Bersihkan 'temaka' dari tubuh birokrat (Catatan Pilkada)

Senin, 26 November 2007

Tony Kleden

No e, No e
Inga pesan ema mo pa
Kalau so bae di tanah orang
Jangan lupa bale...
No e, No e
Ema minta No bale
Serewi Nagi
Bua bae, kaka ade No sendiri

BAIT lagu di atas sangat pas untuk mengantar Drs. Simon Hayon-Yosep Lagadoni Herin, S.Sos (dua gelar ini bukan palsu, lho) yang hari ini, insya Allah, dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur lima tahun ke depan.
Entah kebetulan yang menguntungkan atau rahmat yang dititipkan leluhur lewotanah, duet dengan nama baptis Simon-Yosep ini sarat makna. Menurut keyakinan dan pengalaman banyak orang, urusan nama tidak selesai dengan memberi nama. Tidak berhenti pada what is a name? Tidak! Mengapa? Karena, nomen est omen. Nama menunjuk orang. Karena menunjuk orang, maka ketika mencari nama untuk seorang anak, yang diharapkan semoga si anak menghadirkan kembali semangat dari orang yang namanya dipakai.
Nah, apa yang istimewa dari kedua nama, Simon Hayon dan Yosep Lagadoni Herin? Simon berpembawaan tenang, kalem dan tidak suka obral kata-kata. Tetapi sekali bunyi, penghuni gedung DPRD NTT bungkam, membisu. Cuma bisa mengiakan. Para pejabat eksekutif berpikir dua kali jika ingin bersoal jawab dengan si kurus-kecil ini. Para preman ciut nyalinya berhadapan si jago kungfu ini.
Dengan menjadi bupati, Simon Hayon menjadi bupati kedua Flotim yang mengusung nama Simon, setelah Simon Petrus Soliwoa. Meski tidak diikuti dengan nama Petrus, toh dalam khazanah pemikiran orang Katolik, nama Simon lebih kerap dihubungkan dengan Simon Petrus, si batu karang itu. Maka, kehadiran Simon Hayon adalah kembali lahirnya seorang Petrus di tanah nan gersang, di batu nan keras, Flores Timur. Lepas dari dinamika, kalkulasi dan hasil dari sebuah proses politik yang disebut pemilihan kepala daerah (Pilkada), Simon 'Petrus' Hayon adalah nama yang tepat untuk situasi Flotim lima tahun ke depan.
Tepat, karena di tengah kegerahan warga Flotim yang haus dan lelah menyaksikan pameran kepemimpinan di sana, Simon datang bak oase di tengah padang pasir. Di tengah mumetnya warga Flotim yang gunda gulana melihat pembangunan yang tidak bergeliat, Simon tampil menjadi the rising star. Dengan pengalamannya yang lebih dari separuh usianya di dunia politik, Simon pasti paham bagaimana membuka kran bagi warga yang ingin menyampaikan hasratnya. Dan, dengan menyandang predikat wakil rakyat belasan tahun, Simon mengerti betul bagaimana mengejawantahkan aspirasi politik warga Flotim yang lebih banyak mampet di Gedung Bale Gelekat Lewotanah (Gedung DPRD Flotim).
Akan halnya dengan Yosep Lagadoni Herin? Sosok ini, harus diakui, kurang populer di lewotanah. Anak muda ini adalah pendatang baru di jagat politik Flotim. Tetapi, nama ini telah cukup populer di belantara pers daerah ini, juga di tingkat nasional. Malang melintang dari satu media ke media lain, Yosni -- panggilannya -- telah sangat mengerti akan lika-liku birokrasi, kerasnya persaingan bisnis, susahnya ekonomi bergeliat dan hal ihwal yang terkait dengan urusan banyak orang, urusan rakyat banyak.
Dengan menggunakan nama baptis 'Yosep', Yosep Lagadoni Herin seolah mereinkarnasi si tukang kayu dari Nazareth itu. Lebih banyak diam. Berbicara dengan 'memamerkan gigi' dan memandang lawan bicara. Suatu ekspresi keakraban.
Sebagai wartawan, Yosni lebih banyak bicara melalui deretan kata dan kalimat di halaman-halaman koran dan majalah. Kekuatan kata, harus disadari, terbukti mampu menggiring pencuri berkrah masuk penjara. Sebagai wartawan, kesaksiannya adalah kata-kata. Datang dari keluarga sederhana, hidup dan besar di lingkungan yang juga sederhana, semangat hidup berfoya-foya tidak ada dalam dirinya. Berpetualang ke hampir semua kota di tanah air, Yosni tentu sudah melihat keberhasilan daerah lain dan dari sana mulai menarik manfaatnya untuk Flotim.
Hari ini, malam ini, langit Flotim akan riuh oleh dolo-dolo. Gendang ditabuh. Lagu berganti. Pantun berbalas. Semuanya hanyut dalam suka, gelak dalam tawa dan tenggelam dalam eforia. Tetapi lagu dan pantun malam ini adalah lagu dan pantun untuk tidak hanya mengantar sang kepala daerah dan wakil kepala daerah ke tugas baru sebagai pemimpin. Tidak sebatas itu. Lagu dan pantun malam ini adalah lagu dan pantun yang berisi harapan. Harapan tidak cuma dari 50.810 orang yang memilih pasangan ini dalam pilkada 30 Juni lalu. Tetapi harapan dari seluruh warga Flotim.
Seperti Simon Petrus yang diberi tugas mendirikan gereja, seperti Yosep dari Nazaret yang membesarkan tokoh sejarah paling penting dalam gereja, Simon-Yosni pasti sudah punya kiat menafkahi warga Flotim, menjawabi harapan mereka.
Ya, harapan mereka akan banyak hal. Tiga di antara harapan itu yang agaknya penting dan urgen adalah pertama, harapan para petani akan sarana jalan yang memadai. Kerinduan warga pedalaman Adonara, Solor, Tanjung Bunga akan jalan raya telah begitu lama terpendam. Ya, mereka butuh ruas jalan yang menghubungkan desa dengan desa, desa ke pusat kota. Melalui jalan itulah, kelapa, mente, kopi, kemiri, jagung terangkut ke pasar. Rakyat tidak butuh traffic light di tengah kota yang mubazir.
Kedua, harapan para nelayan akan kredit motor ikan yang terjangkau. Simon-Yosni telah sangat paham, betapa urusan perikanan Flotim adalah urusan kasus, kasus dan kasus. Dari kepala dinas yang lebih banyak berada di luar Flotim sehingga lebih tepat disebut 'kepala dinas jarak jauh' hingga pembagian jatah motor ikan yang sarat KKN dan penuh kepentingan. Nelayan Flotim tidak butuh kapal pengawal laut yang justru jadi pengawal pelabuhan.
Ketiga, harapan para pegawai pemerintah, aparat birokrat. Lima tahun berselang, birokrasi Flotim bopeng dan bolong di mana-mana. Bidan dan perawat jadi staf dan sekretaris lurah. Dokter jadi camat. Guru jadi pejabat struktural di kantor-kantor pemerintah. Sementara yang kualified justru ditendang, entah ke mana. Yang kritis dipasung. Yang lurus disingkirkan ke penjara. Dan, Flotim seolah berjalan tanpa pemerintah. Tak ayal, honor kepala desa dan guru raib. Stok obat-obatan di rumah sakit kosong. Kepala desa mengembalikan stempel. Guru mogok mengajar. Perawat di rumah sakit mogok kerja.
Mereka, para pegawai itu, butuh manejemen pemerintah dan sistem kerja yang benar dijalani tenaga yang tepat, sesuai dengan bidang dan keahliannya. Karena itu, sangat penting membersihkan para penjilat dan 'temaka' (bahasa Simon Hayon sendiri ketika kampanye) dari tubuh birokrasi. Angkatlah pejabat berdasarkan kemampuan, bukan kemauan.
Ingatlah, kemenangan Anda berdua tidak saja karena perjuangan Anda, tetapi karena sentimen dan antipati kolektif masyarakat Flotim akibat titian sejarah hidup mereka lima tahun terakhir yang pahit. Karena itu Anda berdua mesti bisa membalikkan sentimen dan antipati itu dengan simpati dan solidaritas bersama untuk membangun Flotim tahun ke depan. Jauh-jauh hari Bung Karno sudah memperingati : Jasmerah -- jangan sekali-kali melupakan sejarah."
Pos Kupang Jumat, 27 Agustus 2005

0 komentar:

Posting Komentar