Consumo ergo sum

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden

MENURUT Aristoteles, keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. Sebaliknya, watak dan mental jahat juga terutama dimiliki oleh seseorang karena kebiasaan. Dan, habitus itulah yang sudah tentu mengantar begitu banyak orang di negeri ini, juga di daerah ini, terperangkap dalam mental rakus dan tamak. Rakus dan tamak mencuri uang negara, rakus dan tamak memamerkan harta milik, juga rakus dan tamak mempertontonkan kerakusan dan ketamakan itu sendiri tanpa malu.
Pameran kerakusan dan ketamakan itu kini mendominasi pandangan publik di daerah ini. Ruang publik kemudian lebih diramaikan dengan wacana tentang salon kecantikan, mobil mewah, rumah besar di kawasan anu, perabot mahal, deposito bank, kapling tanah dan sejumlah artibut kekayaan lainnya. Tak heran kalau pegawai rendahan memamerkan handphone berbagai merk, anak pejabat dengan angkuh menyetir mobil-mobil kelas atas. Seleksi pegawai negeri, dari tahun ke tahun selalu mengulangi dosa yang sama.
Di tengah kondisi ruang seperti itulah kita menyadari betapa follow up tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membongkar KKN di daerah ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Setidaknya, tekad itu belum menyata dari deretan para koruptor kelas kakap yang masuk penjara. Kasus rumpon Belu telah berbilang tahun, belum juga ada pejabat yang masuk penjara. Kasus sarkes sama dan sebangun. Dua tahun sudah kasus itu ditangani, belum ada yang masuk penjara.
Gambaran ini sengaja diangkat untuk menunjukkan betapa korupsi telah merusak sendi paling jauh dari kepribadian manusia, menghancurkan suara hati manusia, memporakporandakan benteng pertahanan nurani manusia. Dan, yang terjadi kemudian adalah banalisasi korupsi.
Bunyi pertanyaan apakah orang tidak merasa bersalah melakukan korupsi tidak lagi menjadi pertanyaan yang relevan dan bermakna. Karena jawabannya cuma satu dan telah menjadi paten, yakni karena banyak orang melakukannya atau karena praktek itu sudah dibanalisasi (dibuat menjadi biasa). Banyak orang melakukannya menjadikan korupsi merupakan suatu actus, suatu perbuatan yang biasa, seakan-akan kebiasaan itu menciptakan hak. Jargon 'banyak orang melakukan' dijadikan alibi tanggung jawab pribadi dan banalisasi korupsi.
Celakanya, kebiasaan itu terus bertumbuh dan kemudian menciptakan struktur hidup, sehingga memudahkan dan membenarkan orang untuk terus bertindak. Seseorang yang sudah terbiasa dengan praktek korupsi tidak perlu bersusah payah berpikir, mengambil jarak atau memberi makna setiap kali bertindak. Aksi, tindakan korupsinya telah menjadi kesadaran praktis, meminjam terminologi Anthony Giddens. Seperti orang yang bangun tidur, tidak perlu harus berpikir lagi ketika turun dari tempat tidur, menapakkan kaki kiri atau kanan duluan. Begitu juga dengan korupsi. Orang yang terbiasa korupsi tidak akan mau berpikir susah. Dia cenderung berpikir praktis, mencari yang enak dan gampang. Petuah dan nilai-nilai moral tidak ada dalam benaknya. Kesadaran yang dibangun memang cuma kesadaran praktis, bukan kesadaran refleksif. Sebab kesadaran refleksif berimplikasi pada perubahan. Perubahan membawa ketidakpastian. Ketidakpastian menakutkan. Konklusinya praktis dan jelas, lebih baik meneruskan kebiasaan korupsi yang enak itu.
Jika Giddens menggunakan terminologi kesadaran praktis, maka Erich Fromm memakai istilah watak anal untuk melukiskan keserakahan seseorang (Erich Fromm "Memiliki dan Menjadi" dalam "Masyarakat Bebas Agresivitas" Penerbit Ledalero, 2004, halaman 424). Yang dimaksudkan dengan watak anal adalah watak seseorang yang energi utama dalam hidupnya diarahkan untuk memiliki, menabung dan menimbun uang dan benda-benda materi, ataupun perasaan, gerak isyarat, kata-kata dan daya energi. Pemilik watak tersebut merupakan seorang individu yang kikir, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat lainnya seperti tertib, tepat waktu, keras kepala dan masing-masing pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang biasa.
'Modus memiliki' adalah kata kunci bagi orang dengan watak anal. Bagi orang yang didominasi 'modus memiliki', miliknya menjadi dasar konstitutif baginya dan bagi identitasnya. Artinya, identitasnya ditentukan oleh apa yang menjadi miliknya. Pernyataan seperti "saya (subyek) mempunyai obyek" mengungkapkan suatu definisi tentang saya melalui pemilikan saya atas obyek. Subyeknya bukan diri saya sendiri, melainkan saya adalah apa yang saya punyai. Pikiran yang mendasari pernyataan 'saya adalah saya' ialah 'saya adalah saya, karena saya mempunyai x. X sama dengan semua benda alamiah dan orang yang dengannya saya menghubungkan diri saya melalui kemampuan saya untuk menguasai mereka dan membuat mereka menjadi milik saya secara tetap.
Dalam wujudnya sebagai kejahatan struktural, korupsi mengambil empat modus (lihat Dr. Haryatmoko: "Etika Politik dan Kekuasaan", Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 122). Pertama, korupsi jalan pintas. Korupsi model ini tampak dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Masuk dalam kategori ini, misalnya, aturan-aturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi, partai-partai politik mayoritas mendapat uang sebagai balas jasa. Sifat institusional politis cukup menonjol dalam korupsi model ini. Money politics juga masuk di sini.
Kedua, korupsi upeti. Korupsi ini dimungkinkan karena jabatan strategis seseorang. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik ekonomi, politik, budaya bahkan upeti dari bawahan. Mark up harga adalah contoh korupsi model ini. Ketiga, korupsi kontrak. Korupsi ini tak dapat dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek. Termasuk di sini usaha mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan. Korupsi ini erat kaitannya dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar. Korupsi ini menyata dari pencantuman nama-nama tokoh tertentu dalam suatu perusahaan sebagai jaminan keamanan. Dalam zaman Soeharto, korupsi ini sangat kentara dengan memasukkan nama-nama jenderal untuk menjadi komisaris di berbagai perusahaan penting.
Korupsi yang dilakukan secara terstruktur ini tidak cuma membanalisasikan actus itu, tetapi juga menjadikan para koruptor seolah terbebas dari sentuhan hukum. Kita mendapat kesan sangat kuat kalau aparat penyelidik 'begitu susah' menjerat para koruptor dengan modus seperti ini. 'Kesulitan' disentuh hukum menjadikan korupsi beranak pinak dalam 'rahim' yang mendukungnya. Tak ayal, mahasiswa yang lantang berteriak basmi korupsi akan kembali terperangkap dalam jerat yang sama bila kelak mereka masuk dalam jaring kekuasaan. Para koruptor sekarang ini adalah orang-orang yang sama yang pada tahun 1966, 1974, 1978, 1998 lantang berteriak "Turunkan harga!", "Ganyang korupsi", "Berantas KKN", "Kembalikan harta rakyat!"
Salah satu dampak paling kentara dari watak korupsi struktur ini adalah distorsi makna perilaku politik. Artinya, pembedaan yang baik dan yang jahat menjadi kabur. Kerangka penafsiran masyarakat yang merupakan perangkat penilaian dibuat tidak peka lagi terhadap tatanan moral. Masalah moralitas direduksi menjadi masalah manejemen politik. Korupsi lalu hanya menjadi salah satu bagian dari kemampuan membuat laporan keuangan atau kemampuan melakukan transaksi tanpa meninggalkan bukti. Keterampilan untuk bisa lepas dari audit kemudian menjadi salah satu keterampilan ilmu akuntansi.
Kita sudah tidak mampu lagi membayangkan korupsi di negeri ini. Masalahnya, actus tak bermoral ini cenderung dibawa ke rana politik sambil menjauhi rana hukum. Akibatnya, political will seorang pejabat akan dikalahkan oleh perhitungan dan peta kekuatan politik. Kalau obsesi seorang pejabat adalah mempertahankan kekuasaan, maka kebijakannya akan ditentukan oleh perhitungan dagang sapi. Kalau seseorang yang terjun dalam dunia politik masih membawa mentalitas animal laborans, dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi adalah siklus produksi-konsumsi sangat dominan, maka dia akan cenderung menjadikan panggung politik sebagai mata pencaharian utama.
Barangkali dalam konteks ini kita dapat memahami janji para petinggi negeri ini untuk memberantas korupsi akan tetap menjadi lagu lama dengan nada dasar baru. Program 100 hari yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya masih 'indah kabar dari rupa.' Dan, saya teringat Pius Rengka, anggota DPRD NTT, ketika dia mengatakan tidak tahu cara menjadi kaya seperti koleganya yang lain. Ya, ketika banalisasi korupsi telah menjadi trade mark di negeri ini, orang akan cenderung menurunkan hakikat dirinya setara dengan harta milik: rumah, kendaraan, deposito bank, kapling tanah. Makna hidup mengalami reduksi menjadi gaya hidup. Bagi orang yang bermental korup, yang mengagung-agungkan gaya hidup hedonis, rumusan filsafat Rene Descartes, cogito ergo sum dilencengkan menjadi consumo ergo sum (saya menghambur-hamburkan, maka saya ada).

Pos Kupang, Rabu 26 Januari 2005

0 komentar:

Posting Komentar