Dari senyum Soeharto ke tawa Gus Dur: Mempertanyakan reformasi

Jumat, 16 November 2007

Oleh : Tony Kleden *
TEMPORA
mutantur, et nos mutamur in illis. (Waktu berubah dan kitapun berubah di dalamnya). Begitulah bunyi sebuah pepatah Latin. Benar! Tetapi masalahnya, kalau perubahan itu dikendalikan, atau katakanlah diatur melalui rekayasa tingkat tinggi, maka masyarakat yang berkembang adalah masyarakat yang dinodai oleh neuroris sosial (meminjam terminologi Sigmund Freud). Masyarakat yang mengidap neurosis sosial itulah yang terlihat selama Orde Baru. Sangat sulit dimengerti kalau seorang Soeharto demikian mahakuasanya, sehingga sulit dilawan. Kekuatan macam mana yang membuatnya dapat bertahan sekian lama? Menurut analisis Prof. R. E Elson, Direktur Griffith Asia Pacific Council, Australia, Soeharto bisa berkuasa sekian lama antara lain karena lima kekuatannya. Pertama, Soeharto memiliki kemampuan untuk menarik orang-orang yang memiliki bakat luar biasa. Ada dua kelompok orang-orang ini, masing-masing orang-orang yang bertangan dingin yang mampu menembus kerumitan birokrasi untuk membereskan persoalan. Yang utama dari kelompok ini adalah Ali Murtopo. Kelompok kedua adalah para pakar sipil, di antara mereka adalah teknokrat-teknokrat sangat berpengaruh seperti Wijoyo Nitisastro, Sumitro, Emil Salim, Mohamad Sadli, Subroto. Karakteristik kedua kelompok ini adalah pengabdian yang luar biasa pada Soeharto sebagai pribadi. Kedua, Soeharto juga punya keterampilan luar biasa dalam membuat dan mempertahankan suatu mesin canggih patronase yang menjamin bahwa hampir semua aktor di Orde Baru sepenuhnya kompromis dan berutang budi padanya. Dengan cara ini para aktor ini tidak memiliki ruang untuk melakukan manuver politik secara efektif. Ketiga, kekejaman dan kemampuannya untuk menabur ketakutan di hati semua orang. Para lawan politiknya mengetahui bahwa jika mereka tidak dapat dibeli baik-baik, mereka akan menanggung hukuman tiada henti. Letjen HR Dharsono adalah contoh korban yang pas. Keempat, harus diakui keberhasilan strategi korporatisasi Indonesia. Apa yang Soeharto inginkan adalah suatu pemerintahan dimana kekuasaan mengalir dari atas, tidak pernah ada tempat bagi persaingan di antara para aktor politik. Orde Baru dibangun di atas landasan ini, didukung oleh tentara dan disatukan oleh jaringan patronase dan secara ideologis dilumpuhkan oleh suatu pemahaman terbatas mengenai Pancasila yang membuat kritisisme terhadap Orde Baru sama dengan pengkhianatan, membuat peranan oposisi yang efektif hampir tidak mungkin. Kelima, Soeharto juga punya kemampuan strategis dan politis luar biasa. Ia adalah seorang jagoan kalkulasi yang begitu rinci. Ia tidak pernah menghancurkan seorang lawan bila ia melihat kesempatan untuk menarik hatinya terlebih dahulu. Dalam melawan musuh-musuhnya, pertama-tama ia selalu mengisolasi secara hati- hati, sehingga mereka tidak pernah mendapat dukungan banyak. Ia benar-benar sabar, melihat keadaan, mencoba mengetahui kekuatan dan kelemahan, untuk menggali keuntungan. Sekali ia bertindak, ia secara tidak terduga menyerang dengan cara yang mematikan. Tidak ada seorang pun yang pernah bangkit lagi atau mampu merehabilitasi dirinya manakala Soeharto berurusan dengan mereka.Itulah Soeharto. Semua orang tahu sosok itu adalah Fuehrer yang omnipotens secara sempurna. Ia punya keterampilan untuk berkuasa. Dan di atas kekuasaan itu dia bersimaharajalela di negeri ini. Dampak yang paling kasat mata dari kekuasaan itu terjadi di bidang ekonomi, sosial dan tata pemerintahan. Kemahakuasaan Soeharto juga bahkan mematikan kreativitas para sastrawan, imajinasi seniman dan ekspresi budayawan. Sastrawan sekaliber Pramudya Ananta Toer yang tetraloginya diterjemahkan dalam puluhan bahasa dunia nyaris mengubur idealismenya tatkala karya gemilangnya dilarang terbit dan edar di Indonesia semasa Orde Baru. Penguasa Orde Baru itu berkuasa nyaris sempurna, sehingga menidakkan segala yang berlawanan dengan kemauannya. Yang fiktif di tangan seorang sastrawan bisa jadi riil di tangan Soeharto. Yang riil di tangan wartawan (korupsi misalnya) akan jadi fiktif di mata Soeharto. Seni memimpin Soeharto, yang lahir pada 8 Juni 1921 ini demikian hebatnya, sehingga menempatkan dia sebagai penguasa paling lama di Asia.Sosok ini juga sangat sulit dipahami, termasuk para pembantunya. Secara intelektual, Soeharto terbatas dan biasa-biasa saja. Ia bahkan gagal terpilih untuk pendidikan perwira di AS pada tahun 1950-an. Dia juga jarang membaca, atau merenungkan gagasan- gagasan abstrak. Kemampuan inteligensinya bukanlah inteligensi akademik. Ia seorang yang pasif, sabar, tetapi sangat rakus belajar. Ia dapat menangkap masalah yang rumit, menguasainya hingga ke detail-detailnya, membedahnya, merencanakan strategi- strategi tepat dan hanya ketika waktunya yang tepat, bertindak secara kejam dan tegas untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan. Anak petani dari Dusun Kemusuk, Argomulya, Jateng ini juga tanpa banyak warna, hati-hati, tekun dan bertanggung jawab. Sangat jarang Soeharto menunjukkan isyarat suasana hati atau ekspresi wajah dan isyarat badan. Ia sering memejamkan mata dan senyuman lebarnya begitu khas. Itu sebabnya, OG Roeder memberi judul "The Smiling General, President Soeharto of Indonesia" ketika dia menulis biografi Soeharto.Di hadapan rakyatnya dia tampil sebagai seorang bapak yang penuh misteri. Ada rasa takut yang tersembunyi dan tak terungkapkan di hati banyak orang ketika dia berkuasa. Ada juga loyalitas tanpa batas dari para bawahan dan orang-orang dekatnya. Umumnya orang tahu there is something wrong pada Soeharto, tapi tidak ada keberanian untuk menyatakan kesalahan itu. Memang sangat sulit memahami Soeharto. Yang paling berkesan dari Soeharto adalah senyumnya itu. Bagi Soeharto senyum itu seakan harta yang diwariskannya kepada warga bangsa ini. Tetapi bagi rakyat, harta itu adalah opium yang menghipnotis hingga tak banyak berdaya. Humor dan guyon jarang hidup di Orde Baru. Yang lebih marak adalah isu, yang pada dasarnya lahir ketika jalan demokrasi mampet, seni mengolah kata berubah menjadi seni mengindoktrinasi, politik bukan the art of the possible (seni kemungkinan), tetapi menjelma menjadi the art of the impossible (seni ketidakmungkinan).Itulah Soeharto dengan Orde Baru-nya. Orde dimana warga jarang menikmati hidup secara genuin. Orde dimana seninan tidak pernah bebas berkreasi. Orde dimana rakyat jarang tersenyum dan tertawa selain berpikir dan menebak misteri senyum khas pemimpinnya. ***
SEKARANG, setelah penguasa yang omnipotens itu lemas tak berdaya, terbersit perasaan lega. Sejak 20 Oktober 1999, warga bangsa ini akhirnya dapat tertawa lepas. Bersama Gus Dur yang terpilih menjadi presiden, warga bangsa ini seperti diajak mengikuti kontes tertawa. Jika Soeharto dikenang karena senyumnya, maka Gus Dur diingat karena tertawanya. Jika senyum Soeharto semisteri senyum Monalisa, maka tertawa lepas Gus Dur adalah tertawa khas apa adanya, tidak menyembunyikan makna yang sulit ditebak. Berbeda dengan Soeharto, Gus Dur jarang senyum. Dia justru punya keahlian membuat warga bangsa ini larut dalam gelak tawa. Ingat misalnya ketika dilantik menjadi presiden, Gus Dur sudah membuat warga bangsa ini tertawa. "Presidennya, ya... hanya seperti ini aja. Mau apa lagi?". Atau simak jokenya yang lain ketika dipilih berduet dengan Megawati Soekarnoputri. "Inilah tim yang ideal. Presiden tidak dapat melihat, dan wakil presiden tidak dapat bicara."Dalam tataran perbincangan nasional, lelaki kelahiran desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur ini tampil dalam banyak dimensi, seperti dimensi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Penasehat di berbagai departemen, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia tahun 1985, hingga kolumnis sepak bola Piala Dunia. Dia juga menampilkan diri sebagai sosok yang dapat menembus sekat-sekat batas baik itu ras, antargolongan, suku dan agama. Kendati terkenal kontroversial dalam ungkapannya, langkahnya sebagai orang yang diterima siapa saja tak menyurut. Kendati membingungkan, Gus Dur dengan leluasa berkunjung ke tokoh- tokoh yang sikap politiknya saling beda. Suatu kali dia akrab dengan Megawati, dan pada saat yang sama ia mengunjungi mantan Presiden Soeharto, atau sarapan bareng dengan Habibie. Karena itu Gus Dur disebut-sebut sebagai tokoh pemersatu bangsa. Namanya mulai terkenal terutama melalui tulisan-tulisannya di media massa. Puncak popularitasnya terjadi ketika pada tahun 1984 dia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Sejak saat itu, nama Gus Dur menggelembung hingga ke dunia internasional.Anak sulung dari enam bersaudara itu memulai pendidikan dari SD (1953) di Jakarta, kemudian melanjutkan SMEP di Yogyakarta (1956). Dari situ dia kemudian masuk ke pesantren Tegal Rejo, Magetan, Jawa Tengah, lalu pindah ke Pesantren Darul Ulum Tambak Beras, Jombang, Jatim (1958-1963). Setelah itu dia menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dalam bidang studi Arab dan Islam. Kemudian pindah lagi ke Fakultas Sastra di Universitas Bagdad, Irak hingga meraih gelar LC (1970). Kendati hidup dalam lingkungan dengan tradisi NU, wawasan Gus Dur tidak tersekat di situ. Dia misalnya menjadikan Mahatma Gandhi sebagai tokoh idolanya. Dia mengerti dengan sangat baik Das Kapital-nya Karl Marx. Dia menganggap (Alm) Rm YB Mangunwijaya sebagai saudaranya. Berbagai latar belakang tersebut agaknya memunculkan Gus Dur sebagai sosok kontroversial dan lintas sektoral. Tepat kiranya mengatakan bahwa Gus Dur memang tidak hanya menjadi milik orang NU, orang Islam atau bahkan orang Indonesia, tapi dia milik dari seluruh komponen masyarakat.Sangat boleh jadi dengan keunggulan inilah Gus Dur terpilih menjadi presiden. Dia dipandang bisa mewadahi pluralisme bangsa Indonesia. Karena itu terpilihnya dia adalah kemenangan orang Islam, orang Kristen, orang Jawa dan luar Jawa. Ketika terpilih menjadi presiden, dukungan datang tidak saja dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Nada dasarnya sama: rezim lama tutup buku dan lahirlah Indonesia baru. Majalah Times edisi online, seminggu setelah pemilihan itu menulis, "Dan Indonesia pun hidup berbahagia selama-lamanya..." Menurut Times, pergulatan demokrasi di Indonesia berakhir seperti sebuah dongeng. Hampir terjerumus pada pertumpahan darah baru, drama politik Indonesia ternyata berakhir "happy ending" dengan terpilihnya pemimpin muslim moderat K.H Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan tokoh populis Megawati sebagai Wapres.Setengah tahun sudah Gus Dur berdiri sebagai pemimpin. Tetapi langkah sepertinya tidak maju-maju, berjalan di tempat. Kerusuhan dan pertikaian semakin menjadi-jadi. Krisis ekonomi dan politik tidak kunjung surut. Disintegrasi menjadi ancaman serius. Agenda reformasi yang dimotori mahasiswa kian jauh sasarannya. Perjuangan menempatkan supremasi sipil, penegakan hukum, kehidupan demokrasi, keadilan dan kedamaian warga masyarakat semakin hari semakin terasa mahal dan jauh dari gapaian.Sementara Gus Dur, dengan gayanya yang khas, tetap tenang. "Itu aja kok repot" adalah idiom yang seolah menjadi kunci jawaban Gus Dur. Dalam pandangan Gus Dur segalanya seakan berjalan mengalir, pantha rei. Bak permainan wayang, Gus Dur adalah dalang ulung yang piawai memainkan figur-figur. Dia sama sekali tidak merasa terganggu dengan pertanyaan banyak orang tentang kredibilitas dan kapabilitasnya memimpin bangsa ini. Kebingungan yang dialami masyarakat atas apa yang dilakukannya tidak membuatnya merasa terusik. Malah sebaliknya, ia menikmatinya, asalkan tujuannya tercapai. Strategi zig-zagnya menurunkan Jendral Wiranto, memecat Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla boleh dikata, merupakan buah kepiawaian Gus Dur memilih lakon. Begitu banyak kebijakannya diprotes. Berbagai pernyataannya dianggap kontroversial. Sikapnya yang cuek melahirkan antipati terhadapnya.Tetapi Gus Dur tetaplah Gus Dur. Antipati, protes, perlawanan terhadapnya dijawab dengan semacam sacra indifferentia, suatu ketakacuhan saleh. Maka, dengan gayanya yang seperti ini, Gus Dur sebetulnya mau mengajarkan bagaimana mesti berdemokrasi. Bahwa pemecatan seorang pemimpin di negara demokrasi bukan sesuatu yang luar biasa, sehingga terus menerus diributkan. Bahwa di depan hukum tidak ada orang yang imun, sehingga pemeriksaan mantan Presiden Soeharto menjadi begitu berlarut. Bahwa perbedaan pendapat bukan sesuatu yang tabu, sehingga para elite politik mesti tersinggung manakala ada pernyataan yang kontroversial. Bahwa kritik adalah wahana pendewasaan dan perluasan wawasan, sehingga tidak perlu takut dan alergi. Bahwa guyon dan tertawa adalah katarsis yang selalu perlu, sehingga orang menjadi sehat dalam alam demokrasi.Lalu, kepada Gus Dur kita mempertanyakan haluan reformasi? Kalau Gus Dur mau bodoh untuk menjawabnya, hampir pasti dia akan menjawab bahwa reformasi tidak akan tercapai kalau seluruh perhatian masih terpaut ke masa lampau. Reformasi dalam sikap baru akan terjadi kalau yang menguasai alam pikiran dan perhatian adalah masa depan. Bagaimana masa depan dibangun dengan cara yang lebih baik, dengan tekad yang lebih sungguh-sungguh, dengan kekuasaan yang lebih terawasi, dengan pemerintahan yang lebih bersih, dan dengan keadilan yang lebih merata. Reformasi yang benar adalah menciptakan masa depan yang lain, yang lebih baik dari masa lalu.Gus Dur tetap tidak pusing peduli dengan skeptisisme terhadap kemampuannya. Dia tetap nekat karena mau membawa negeri ini menuju demokrasi yang sejati. Dalam wawancara dengan Time edisi July 3, 2000 lalu, Gus Dur menyebut tiga hal penting yang ingin diraihnya dari kedudukan sebagai presiden. Pertama, dia mau menjadi terkenal sebagai orang yang mengembalikan Indonesia kepada penegakan hukum, kebebasan berekspresi dan pemerintahan yang bertanggung jawab dan bersih. Kedua, dia juga ingin dilihat sebagai pribadi yang mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia. Ketiga, dia juga mau menjadi salah seorang yang membawa Indonesia kepada kehidupan perekonomian yang normal.Minus malum, untuk kondisi saat ini agaknya Gus Dur masih perlu dipertahankan. "Sekarang kita punya bayi yang baru lahir. Persalinan diwarnai rasa sakit dan adanya darah yang tumpah, tetapi sekarang lahir Indonesia baru," kata Prof. Dr. Emil Salim seperti pernah dikutip harian The New York Times. Dan Gus Dur adalah pengampu yang merawat dan membesarkan bayi itu. Mau apa lagi....???
Pos Kupang, 26 Juli 2000

0 komentar:

Posting Komentar