Gus Dur: politikus atau negarawan?

Senin, 26 November 2007

Oleh: Tony Kleden

TERMINOLOGI kekuasaan tiba-tiba saja mendapat tekanan lagi ketika buronan pencuri kelas kakap, Tommy Soeharto belum kunjung ditemukan dan dijebloskan dalam penjara. Gara-gara satu orang, seluruh rakyat negeri kaya raya ini jadi geram. Kutukan dan umpatan bertubi-tubi ditujukan kepada anak kesayangan diktator Orde Baru, Soeharto ini. Lepas dari tengara sandiwara dengan Gus Dur sebagai aktor di balik layarnya, banyak orang telah jadi korban kerakusan Tommy. Dari yang tidak punya seragam, alias warga sipil, hingga yang punya seragam dengan senjata tergenggam. Sederetan pejabat telah dipecat. Menteri, Kapolri hingga para jaksa. Bahkan beberapa pejabat penting sekarang seperti orang yang jantungan menanti votum Gus Dur. Sekali lagi, itu gara-gara Tommy Soeharto, pria yang selalu menebar senyuman khas, mirip bapaknya itu.
Tetapi kasus Tommy secara tegas mengingatkan kita akan satu hal yang pasti. Yakni bahwa di negeri ini, supremasi kekuasaan masih demikian pongah berdiri tegak, kuat dan sulit dirubuhkan. Menurut sosiolog Dr. Ignas Kleden, kasus Tommy adalah bukti kemenangan supremasi kekuasaan atas supremasi hukum. Memakai rumusannya, "Ini menandakan pertandingan antara hukum dan kekuasaan dimenangkan oleh kekuasaan." Supremasi kekuasaan dengan dampak paling nyata pada relativisasi dan bahkan legalisasi penyalahgunaan wewenang di negeri ini telah lama mengendap dalam kesadaran kolektif bangsa ini. Stabilitas sosial harus sama dan sebangun dengan stabilitas negara yang berarti kelanggengan penguasa. Kritik terhadap pemimpin ditafsir sebagai pembangkangan seorang anak terhadap orangtua. Harmoni kemudian dikamuflase menjadi anomi.
Ingatan kolektif warga bangsa dengan julukan gemah ripah loh jinawi ini kemudian dikerangkeng dalam apa yang oleh Erich Froom disebut sebagai the pathology of normalcy, yakni penyakit yang tidak lagi disadari sebagai penyakit karena sudah jadi bagian diri yang wajar. Penyakit ini sangat kentara dalam bisul-bisul seperti ini: kepentingan penguasa disulap menjadi kepentingan rakyat; nafsu penguasa dibuat menjadi nafsu rakyat; ambisi penguasa dibahasakan menjadi "sesuai amanat rakyat"; perbedaan pendapat dikategorikan sebagai perbuatan subversif; melawan pemerintah dicap tidak nasionalis; peran kontrol sosial pers haruslah dalam koridor "bertanggung jawab"; dan seterusnya, dan seterusnya. Astagfirullah...!!! Begitu tololkah warga bangsa ini, sehingga tidak berani melawan arus? Memang, sekian lama warga bangsa ini mirip tikus kecil yang berdiri tak berdaya di hadapan kucing. Diselimuti ketakutan yang demikian hebat, tak ada energi yang tersisah buat tikus guna berkonsentrasi memikirkan bagaimana bisa meloloskan diri dan cengkraman kucing.
Rakyat yang mengidap the pathology of normalcy membuat penguasa bebas memformat model politik untuk kemudian dihidupkan. Demikianlah di Indonesia (semasa Orde Baru) iklim politik yang diciptakan adalah 'politik seolah-olah'. Warga bangsa ini seolah- olah hidup dalam demokrasi yang sebenarnya. Ketenangan warga seolah-olah berarti kedamaian. Penguasa yang korup seolah-olah mahadewa yang harus disembah.
Politik, sebagaimana diterima umum, memang tak bebas rekayasa. Segala cara ditempuh, diatur, guna mengejar target. Hati nurani sebagai instansi terakhir menilai baik dan buruk segala perilaku, perbuatan tak banyak berperan. Dalam politik distansi antara mimesis dan orisinalitas jati diri nyaris tidak ada. Ramai- ramai orang mengkampanyekan suatu obsesi yang juga tidak nyata benar. Maka benar kalau politik itu sudah sejak Bismarck dikenal sebagai the art of the possible (seni kemungkinan).
Lawan-lawan disingkirkan. Sobat kental berbagi arah di persimpangan jalan pilihan. Kebenaran, kejujuran dan keadilan mudah ditinggalkan. Siapa yang menjadi panglima, dia akan menjadi penguasa politik. Diktum klasik yang tetap dianggap sah adalah kalah atau menang, bukan sebaliknya salah atau benar. Politik cuma mewariskan satu hal yang pasti: lawan dan kawan. Perseteruan kerap dibawa hingga liang lahat. Benar, dalam politik there is no permanent enemy nor permanent friend, only permanent self-interest (tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan diri).
Diutamakannya rekayasa, penekanannya pada the art of the possible, serta dihalalkannya keleluasaan menyingkirkan lawan-lawan menyebabkan politik menampilkan suatu wajah angkuh. Idealisme luhur, slogan yang biasa dikampanyekan, mudah goyah diterjang badai oportunisme. Orang cepat berubah dan bergerak menuju ke arus yang kuat. Ibarat bunglon yang gampang berubah warna mencari aman.
Kekuasaan yang angkuh di tangan penguasa hingga memungkinkannya memformat model politik yang dihidupi, jelas akan semakin menggarisbawahi supremasi politik maupun kekuasaan atas segala kualitas lain yang disyaratkan dalam suatu sosialitas. Di tangan penguasa, pasal-pasal hukum menjadi seperangkat aturan yang menjerat rakyat yang melawan. Norma moral menjelma menjadi aturan non formal yang mengatur bagaimana rakyat mesti sujud menyembah. Tak heran panggung pengadilan, lebih kerap menjadi panggung sandiwara. Keputusan pengadilan telah ditentukan jauh-jauh hari sebelum proses persidangan. Dan, banyak orang bingung masuk penjara tanpa pernah mengetahui apa dosanya. Memang, supremasi politik dan kekuasaan, di negeri ini, rasanya masih terlalu pongah berdiri. Para mahasiswa telah berkorban jadi martir melahirkan reformasi. Tetapi keadaan belum banyak berubah. Apakah reformasi perlu berinkarnasi? Entahkah titik gravitasi reformasi perlu digeser?
Dengan proyek mercusuarnya Soekarno membawa bangsa ini berkubang dalam krisis ekonomi. Dengan doktrin stabilitas nasional Soeharto mewariskan bangsa ini suatu rancang bangun politik dan ekonomi yang sangat rapuh. Dengan harapan akan kemajuan di bidang teknologi Habibie menerbangkan bangsa ini menuju ancaman disintegrasi. Quo vadis Indonesia di bawah Gus Dur?
Merujuk pada gaya kepemimpinan Gus Dur, rasanya tak ada ahli nujum yang mampu meramalkan pantai tepian mana yang hendak dituju. Hanya Gus Dur yang tahu. Seperti juga dia tahu bahwa a politician is a statesmen who places the nation at his service. A statesmen is a politician who places himself at the service of the nation. Gus Dur, seorang negarawan, ataukah seorang politikus? Saya tidak tahu, entah sudah benar mengajukan pertanyaan ini.
Pos Kupang, 24 November 2000

0 komentar:

Posting Komentar