Jalan Dialog, jalan kebenaran?

Jumat, 16 November 2007

Oleh: Tony Kleden
TENTANG
hakikat seni, pelukis besar Pablo Picasso mengatakan, "Seni itu bukan kebenaran. Seni itu dusta yang mengungkapkan kebenaran.... Seni memang sebuah dusta, tetapi dusta yang justru untuk mengungkapkan kebenaran." Pesan apa gerangan yang hendak disampaikan Picasso? Tentu banyak. Tetapi yang pasti, keberanian memperjuangkan kebenaran kerap mesti melalui jalan salib yang panjang. Sebut umpamanya Sokrates, filsuf pencari kebenaran di Atena tempo dulu. Racun maut rela ditenggaknya demi membela kebenaran daripada harus menyangkal diri dan memihak kepada kaum sofis yang memperkenalkan ajaran palsu. Sokrates mau mati demi kebenaran, karena dia telah hidup demi kebenaran. Sejarah kita hari ini mencatatnya sebagai seorang pencinta kebenaran, bukan seorang pengecut yang mudah tergoda untuk memalsukan kebenaran.Upaya mencari dan menemukan kebenaran dalam bentuk dan ragam lain masih tetap (dan seterusnya?) menyertai zirah hidup kita hari ini. Telusuri saja tekad orang-orang kecil yang mendatangi kantor- kantor Lembaga Bantuan Hukum mengadu perlakuan yang mereka rasakan. Dengar misalnya teriakan orangtua yang anak-anaknya diperlakukan tidak wajar. Insafkan bagaimana mahasiswa mesti menggerutu menghadapi para dosen yang kerap main kuasa. Di tengah oase mencari kebenaran, akhir pekan lalu, di Arena Pekan Raya Jakarta, diadakan satu hajatan besar: dialog para mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat di satu pihak dengan pemerintah di lain pihak. Dialog tujuh jam itu, menurut laporan media massa, dinilai positip, berhasil dan tentu saja punya maslahatnya. Dialog yang melibatkan tak kurang 16 Menteri Kabinet Pembangunan VII ini, sebagaimana kita ketahui, adalah muara dari suatu tuntutan panjang suatu gerakan moral yang mendapat personifikasi dalam diri para mahasiswa. Intipati tuntutan sangat jelas: reformasi total dan segera.Pemerintah sebagai "bapak yang baik hati", meminjam idiom Kitab Suci Perjanjian Baru, telah menanggapi tuntutan itu secara positip. Intinya reformasi dilakukan bertahap dan secara gradual. Pemerintah sudah memenuhi hasrat warganya dengan mengadakan dialog. Ibarat cinta, inilah barangkali salah satu modus cinta pemerintah terhadap warga, cinta orangtua buat anaknya. Sebagai anak yang juga baik, kita sebagai warga negara sememangnya menerima jawaban pemerintah. Masih ibarat cinta, jangan juga lupa bahwa cinta kita terhadap pemerintah sebagai orangtua adalah juga dengan menunjukkan kesalahan orangtua. Salah tanggap, dan karena itu sering terjadi distorsi, sering terjadi di sini. Sering koreksi dari bawah dianggap tidak ada artinya. Otorita, kewibawaan sebagai yang punya kuasa seakan dirongrong manakala ada kritikan, kendati bermaksud baik. Yang benar selalu mesti dari atas, bak doktrin mati yang harus dipegang teguh. Betulkah demikian? Wallauhalam! Lantas apa itu kebenaran, sehingga sulit mendapat ekspresi secara jelas? Jauh-jauh hari Thomas Aquinas memformulasikan verum est adaequatio rei et intellectum (persesuaian antara hal dan pikiran). Dalam bahasa yang lebih sederhana, kebenaran boleh disebut sebagai satunya fakta dan kepercayaan. Atau kalau memakai rumusan matematis, kebenaran sama dengan fakta ditambah kepercayaan.Kalau kebenaran dimengerti demikian, kecurigaan terhadapnya harus tetap dalam bingkai kewajaran. Soalnya kebenaran antara lain dicirikan oleh kesudiannya untuk dicurigai dan diuji. Bila perintah dari atas dikemas dalam wujud suatu doktrin yang mesti diaplikasi tanpa toleransi (pasti akan sangat rigoristis), maka hakikat kebenaran akan menjadi kacau. Batasannya menjadi kabur. Dan substansinya lalu menjadi tidak jelas. Siapa juga yang tidak tahu kalau slogan, pidato, jargon, pepatah menjadi begitu penting untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya? Orang yang tidak belajar ilmu bahasa pun paham kalau penyakit eufemisme dalam tutur kata sulit diberantas.Implikasi lanjutannya? Makna sebuah janji atau sejenisnya kemudian menjadi sangat interpretatif. Dan kebenaran yang seharusnya sangat gamblang lalu menjelma menjadi sangat elusif (tersembunyi dan sulit diungkapkan). ***Kita menyambut baik dialog yang telah dilakukan. Bila dirunut lebih jauh, akar masalahnya kurang lebih ini: ada distorsi di tengah konflik. Dalam masyarakat mana saja, dan entah karena keyakinan atau kepentingan yang berbeda, konflik bukanlah sesuatu yang asing dalam zaman ini. Konflik sosial adalah akibat pluralisme. Pluralisme merupakan keadaan atau kenyataan yang dihadapi dan dialog merupakan sikap untuk menanggapinya.Merujuk pada Jusin N Ekennia ("Pluralism and the commited Dialog"), penolakan terhadap pluralisme pada dasarnya berarti memaksa suatu ide dominan. Pemaksaan pada suatu ide dominan, apa pun alasannya, merupakan tindakan yang secara etis tidak bertanggung jawab dan secara politis tidak akan memberikan pemecahan. Sebab, meminjam April Carter ("Otoritas dan Demokrasi"), dalam demokrasi kekuasaan politik bukanlah sesuatu yang sakral, tetapi sesuatu yang artifisial, yang diciptakan oleh rakyatMenyatupadukan keyakinan-keyakinan yang berbeda, mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berseberangan adalah persoalan yang demikian pelik dalam pluralisme. Masyarakat kita memang terdiri dari orang-orang dengan heterogenitas pandangan dan keyakinan, bahkan sampai pada saling bertentangan satu sama lain. Ekennia bahkan dengan tajam melukiskan "Kebanyakan negara dewasa ini bersifat polikomunal dan meliputi para pesaing dan musuh-musuh lama yang terkunci dalam negara yang sama", suatu kenyataan yang mengingatkan kita pada ungkapan filsuf J.P Sartre "Sesama adalah neraka".Terlepas dari sekian banyak penilaian dan tanggapan terhadapnya, sekali lagi, sepatutnya kita memandang positif dialog pekan lalu. Kita percaya dan harus yakin (?) bahwa pemerintah punya target tertentu tentang dialog itu. Cuma hendaknya semua kita, siapa pun dia, mesti juga sepakat bahwa orientasi dialog yang baik bukan mencari kemenangan, melainkan kebersamaan sosial. Sesudah pemerintah dan mahasiswa menyingkirkan ketakutan dan kecurigaan, lewat rekonsiliasi dalam dialog, akan tercipta suatu lingkungan dan suasana baru untuk saling percaya. Lingkungan itu perlu dipertahankan dengan hormat dan toleransi. Jika hormat memperlihatkan sikap aktif dalam melihat segi-segi positif dari pihak lain, maka toleransi lebih merupakan sikap pasif menerima segi-segi negatif pihak lain. Saling hormat dan toleransi berperan memberikan kontrol terhadap penyalahgunaan dialog seperti dogmatisme, inkonsistensi dan bahkan kontradiksi diri.Menyusul tuntutan mahasiswa saat ini, dialog pekan lalu, boleh dibilang suatu awal mula yang baik. Tetapi hendaklah diingat, sama seperti krisis moneter yang menerpa panggung kehidupan ekonomi bangsa ini, dialog dapat saja dilanda krisis manakala masing-masing pihak beranjak kembali ke dalam diri sendiri. Mogoknya dialog terjadi karena: ada kecenderungan masing- masing pihak mencari afirmasi diri; ancaman yang dirasakan satu terhadap yang lain dalam hal memenuhi kecenderungan itu; kebutuhan kedua belah pihak untuk mencari rasa aman dan membenarkan diri; pihak yang satu berusaha menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain; dalam upaya menutup diri terhadap pengaruh hadirnya roh kebenaran yang menimbulkan kegoncangan yang hebat dalam diri kedua pihak.Jika demikian, dapatkah dialog dimengerti sebagai suatu jalan menuju kebenaran? Kalau tidak, kita memang masih harus terus berjuang dan terus berjuang.
Pos Kupang, 24 April 1998

0 komentar:

Posting Komentar