Jangan banalisasi kekerasan

Kamis, 15 November 2007

BERITA kurang menarik kita baca dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) di harian ini edisi Minggu, 4 November lalu. Diberitakan sekitar seribu massa dari Kecamatan Biboki Utara, Biboki Selatan dan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mengamuk dan menyerbu gedung DPRD setempat, Sabtu (10/11/2007) petang.
Warga marah dan tersinggung karena Bupati TTU, Drs. Gabriel Manek, M.Si, dilecehkan dalam ruang sidang DPRD TTU oleh Ketua Fraksi PKB, Eduard Tanur.
Kita katakan berita ini kurang menarik, karena aksi kekerasan kembali dipertontonkan di ruang publik. Sudah sejak dulu kekerasan selalu berjalan beriringan dengan praktek demokrasi. Padahal, hipotesisnya demokrasi dibangun dan dikembangkan supaya cara kekerasan dan atau kejahatan dihindari.
Sejatinya, kebebasan berpendapat yang menjadi roh demokrasi dipakai untuk menggantikan kekerasan. Artinya, aspirasi tidak mesti disampaikan melalui kekerasan yang sifatnya jalanan, tetapi melalui wacana, mimbar, podium secara elegan, terhormat dan intelektual.
Karena itu, kita mengatakan bahwa apa yang dipertontonkan di TTU, baik di ruang sidang Dewan maupun aksi masyarakat tidak menarik. Tidak menarik karena aksi kekerasan kembali menjadi nomor satu dengan menomorduakan jalan yang elegan.
Eduard Tanur mestinya bisa menyampaikan kritikannya terhadap Bupati TTU dengan cara-cara yang santun, elegan dengan bangunan argumentasi yang kuat. Bukan sebaliknya dengan kata-kata yang justru lebih membangkitkan amarah dan menyinggung perasaan.
Begitu juga rakyat TTU. Sebagai manusia dengan daging dan darah yang melekat, perasaan marah sulit dielakkan. Tetapi, pengungkapan perasaan itu tidak harus dengan jalan kekerasan.
Mestinya semua pihak lebih dewasa dalam sikap, lebih arif dalam tindakan dan lebih tenang dalam bereaksi. Kita bersyukur bahwa aksi kekerasan itu tidak meluas dan melebar. Kita bersyukur bahwa Bupati TTU, Gabriel Manek, memaafkan Eduard Tanur dan menganggap masalah ini selesai.
Tetapi kita mesti bisa menarik banyak pelajaran penting dari kasus ini. Pertama, hendaknya setiap kita, bukan cuma warga TTU dan Eduard Tanur, lebih dewasa ketika hidup dalam alam demokrasi. Kita memahami bahwa sejauh ini kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi belum menonjol, dan lebih banyak didominasi oleh tindak kekerasan. Intimidasi, ancaman, pengerahan massa dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominaan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik.
Kedua, jika toh kita belum terbiasa dan belum terlalu mampu menempuh cara-cara elegan dalam mengungkapkan dan menyalurkan pendapat dan atau aspirasi, hendaknya kita mesti teguh berpegang pada prinsip menghindari risiko yang paling kecil dalam setiap fenomena sosial. Kita mengerti bahwa hampir setiap peristiwa politik selalu diiringi dengan kekerasan. Pilkada rusuh, pelantikan bupati didemo, pelantikan pejabat ini dan itu ditentang dan sebagainya.
Mungkin benar kata Machiavelli bahwa hukum tanpa pedang tidak akan ditaati, pendapat tanpa dukungan kekuatan yang menekan tidak akan didengarkan. Tetapi secara intrinsik, kekerasan itu sendiri merupakan sesuatu yang salah, tidak dapat dibenarkan.
Ketika kita masih lebih suka menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan dan atau menyalurkan pendapat/aspirasi, maka ketika itu juga kita membenarkan apa yang dalam praktek hidup disebut sebagai fenomena banalisasi kekerasan. Artinya, kita menganggap bahwa kekerasan itu adalah sesuatu yang lumrah, biasa dan bukan salah.
Ketika kita semakin sering terjebak dalam banalisasi kekerasan, ketika kita semakin lama terkungkung diri dalam kondisi itu, maka kita akan semakin menempatkan diri dan mempertegas jati diri kita sebagai makhluk yang tidak rasional. Maukah kita disebut sebagai makhluk yang tidak rasional? *
Pos Kupang Jumat 16 November 2007

0 komentar:

Posting Komentar