Jasmerah

Selasa, 13 November 2007

Oleh: Tony Kleden
JAUH hari sebelum masyarakat dengan dipimpin para mahasiswa mengusung keranda rezim Orde Baru menuju liang lahatnya 21 Mei 1998 lalu, paranormal kenamaan Indonesia, Ny. Laurens menujumkan bahwa tahun 1998 adalah tahun kebangkrutan Indonesia. Rezim Orde Baru dengan trade mark?nya koncoisme, kolusi, korupsi dan nepotisme (K3N) pada akhirnya tidak lebih baik dari rezim Orde Lama. Padahal proklamasi Orde Baru di awal ziarahnya adalah koreksi total terhadap praktek Orde Lama.Hasil apa gerangan yang dituai dari koreksi total itu? Tak jelas benar. Yang cukup kentara, warisan Orde Baru adalah kemiskinan yang mendera. Tahun 1995 ketika berceramah di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Hannover di Hannover dan Universitas Humboldt di Berlin (Jerman), Sri Bintang Pamungkas, dengan merujuk catatan statistik mengungkapkan, pada tahun 1991/1992 diperkirakan lebih dari 100 juta orang Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (versi pemerintah saat itu 27 juta).Kemiskinan! Itulah inti utama warisan sejarah yang ditinggalkan rezim Orde Lama. Mendiang George Bernard Shaw tepat ketika dia memaklumkan, "Setan paling laknat dan kejahatan paling biadab itu adalah kemiskinan." Tak jelas betul peristiwa apa yang menyebabkan penulis lakon kenamaan Inggris ini berpendapat demikian. Yang pasti kemiskinan itu seperti setan. Semua orang tahu bahwa setan harus dilenyapkan karena menjadi sumber segala bencana. Tetapi nyatanya setan tak pernah lenyap, bahkan kadang kala terasa bagaikan menguasai dunia. Coba simak pembunuhan the killing field di Kamboja, pembersihan etnis di Bosnia, perang saudara di Somalia, saling bantai suku Tutsi dan Huttu di Rwanda, dan sebagainya. Bukankah ini semua akibat ulah setan yang merasuk manusia? Pengetahuan kita, niat kita, doa kita dan sekian banyak upaya kita ternyata tak mampu melenyapkannya.Demikian halnya dengan kemiskinan. Kekayaan dunia, yang kata PBB tahun silam sudah bernilai 25 triliun dolar itu, nyatanya tak bisa membebaskan kemiskinan. Bahkan 1,3 miliar orang (kurang lebih seperempat penduduk bumi) masih dikategorikan miskin absolut alias berpendapatan kurang dari 1 dolar setiap hari. Padahal boleh yakin, semua pemimpin dunia telah menabuhkan genderang perang terhadap kemiskinan.Semua mafhum, awal sejarah tualang bangsa ini bermula ketika dengan roh solidaritas sosial di tangan semua suku di pelosok nusantara berjuang menentang eksploitasi kaum penjajah. Potret kemanusiaan bangsa ini retak berkeping?berkeping kala itu. Gejolak akan suatu kemanusiaan yang paripurna mendesak seluruh rakyat mengambil satu sikap heroik sambil berteriak, "Kembalikan Indonesiaku! Kembalikan kemanusiaan kami!" Soekarno tampil ke atas pentas pergolakan. Proklamasi kemerdekaan pun ditebus dengan darah dan nyawa.Waktu terus berlalu. Musim silih berganti. Jarum sejarah berputar maju. Masa?masa awal kemerdekaan adalah masa penuh pergolakan. Konsentrasi sejarah saat itu terfokus pada konsolidasi bangsa. Atensi pada pembangunan, sebagai akibatnya, kurang mendapat perhatian. Berbagai praktek penyimpangan lalu mewarnai lembaran sejarah bangsa. Di sana?sini memang terdapat begitu banyak praktek penyelewengan.Rakyat tak tahan. Gelombang demonstrasi marak. Mahasiswa turun ke jalan. "Kemanusiaan sebagai potret jiwa kami sedang retak". Demikian kira?kira koor akbar masa itu. Resonansi koor itu membahana. Orde Lama dengan rezimnya tumbang. Fajar harapan merekah. Soeharto naik panggung. Orde Baru lahir. Proklamasi Orde Baru sangat tegas: koreksi total terhadap segala praktek Orde Lama.Tiga dekade lebih roda Orde Baru bergulir. Gilang?gemilang hasil pembangunan tampak di mana?mana. Pembangunan di segala bidang menjadi kata kunci. Titik bidik Orde Baru terarah pada pembangunan ekonomi. Para ekonom dan perencana pembangunan dengan teori menetes ke bawah (bottom up) memberikan harapan sepenuhnya kepada masyarakat bahwa kemakmuran yang dijanjikan oleh pembangunan ekonomi, cepat atau lambat, akan menetes ke bawah dan bahwa setiap orang akan mendapat sepotong kue pembangunan. Hasilnya? Teori bottom up sering diplesetkan menjadi "mboten up" (tidak menetes). Hasil pembangunan lebih banyak dinikmati segelintir orang. Mayoritas penduduk miskin tambah miskin. Segelintir orang kaya tambah kaya. "Iri hati sosial" tak bisa terhindari.Sebegitu sering rakyat dikorbankan atas nama pembangunan. Para penguasa berlomba?lomba membangun daerah kekuasaannya. Etik aneh yang sering terdengar adalah jika pembangunan berhasil, pemimpin akan dipuji karena berhasil. Sebaliknya jika pembangunan gagal, rakyat dituduh kurang sadar, tidak aktif. Strategi pembangunan yang lazim dipakai adalah "produksi?sentris" dan bukan sebaliknya "rakyat?sentris". Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai tujuan pembangunan, tetapi sarana pembangunan. Nasionalisme yang pernah ampuh melawan penjajah, dalam masa Orde Baru dikebiri hingga tak lebih dari romantisme sempit dalam formulasi?formulasi semisal "Aku suka produk Indonesia", "Aku cinta Indonesia", "Aku cinta Rupiah" dan semacamnya.Aneh bin ajaib. Setengah abad Indonesia melepaskan diri dari penjajah. Tetapi sulit diterima nalar kalau dalam kurun waktu itu potret kemanusiaan bangsa ini tetap retak. Dengan memakai idiom yang lain, catatan sejarah tetap sama: belenggu kemiskinan. Yang mereguk madu pembangunan cuma segelintir orang yang berkuasa secara politis, atau yang secara ekonomis menguasai hajat hidup orang banyak. Terbanyak warga menjadi kaum pinggiran yang tak berkutik. Arus gelombang yang kelihatan adalah marginalisasi.Dilandasi kesadaran akan keadaan kejiwaan yang hancur itulah, dengan tangan terkepal, rakyat menentang Orde Baru. Berbagai tuntutan diajukan. Lahirlah babakan baru dalam sejarah perjalanan bangsa ini: Orde Reformasi. Credo orde ini, boleh dibilang, adalah Aufklerung (pencerahan) terhadap segala praktek maksiat Orde Baru. Dengan credo seperti ini, maka "Gloria Dei, vivens homo"?nya St. Ireneus (kemuliaan Allah ialah purnanya hidup manusia) mesti juga dikontekstualisasikan menjadi "Gloria Dei, vivens pauper" (kemuliaan Allah, paripurnanya hidup kaum miskin). Angin segar sudah mulai berhembus di awal tualang manusia Indonesia dalam orde ini. Optimisme dipegang kuat. Tetapi pesimisme Kahlil Gibran ketika dia menulis, "Aku melihat diriku seperti orang asing dalam suatu negeri, seorang tak dikenal di antara suku bangsa" harus tetap diwaspadai. "Imagine there's no heaven, no hell bellow us. Above is only sky", kata John Lenon dalam sebuah nyanyian lirih.Awal yang baik dari suatu sejarah baru telah bermula. Tetapi ingat, Bung Karno pernah berteriak lantang: "Jasmerah" (jangan sekali?kali melupakan sejarah). Kalau tidak, orde ini sama dengan Orde Baru Lama.
Pos Kupang, 17 Juli 1998

0 komentar:

Posting Komentar