Jurnalisme Gender: Pers di antara kepentingan bisnis dan idealisme

Jumat, 16 November 2007

Jurnalisme Gender: Pers di antara kepentingan bisnis dan idealisme
Oleh : Tony Kleden
Sebuah ilustrasi
ADALAH Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir yang punya novel. Novel itu berjudul "Woman at the Point Zero" (Perempuan di titik nol). Novel ini merupakan kisah tentang seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur dari sel penjaranya, tempat dia melaksanakan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang germo laki-laki. Alur ceritanya sangat keras, penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri. Saya kutip satu dua dari sebagian isi buku itu. "Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati. Dan akibatnya, saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu."Kutipan lain, "Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak". Menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki- laki, buku ini berisikan kritik sosial yang teramat pedas. Hari ini di ruangan ini, masalah yang sama kita bahas lagi. Entah apa pun tajuk atau tema yang disodorkan, pokok soal, substansi permasalahan yang hendak diteropong tetap masih sama: perlakuan tidak adil terhadap perempuan.Tetapi yang baru dari pertemuan kita kali ini adalah kesadaran bahwa ketimpangan, perlakuan tidak adil terhadap perempuan itu juga turut disebabkan oleh media massa dalam pemberitaannya. Dari fakta sosial nyata bahwa pemberitaan media massa lokal di NTT tentang perempuan masih jauh dari keberpihakan pada posisi perempuan itu sendiri. Karena itu saya coba meneropong masalah ini dalam satu tema atau topik yakni, "Jurnalisme Gender: pers di antara kepentingan bisnis dan idealisme". Sangat disadari bahwa pilihan topik ini sangat berat. Di tengah perkembangan pers NTT yang lebih berkutat pada ambisi menaikkan tiras penjualan, harapan dari topik seperti ini rasanya terlalu utopis.
Pandangan pincang tentang perempuan
Pada banyak tempat di muka bumi ini, perempuan (sengaja dipakai kata "perempuan" dan bukan "wanita", karena dari asal katanya, "per-empu-an" berarti "yang dihormati") masih saja mendapat perlakuan kurang baik, malah sangat sering disubordinasikan. Perlakuan pincang seperti ini (mungkin) telah lama berlangsung dan setua usia manusia. Kesaksian sejarah sangat eksplisit memaparkan aneka pandangan keliru tentang perempuan. Telaah misalnya beberapa pandangan berikut ini. Menurut Plato, filsuf Yunani kuno, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal, "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya". Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama. Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek pelecehan seksual (baca: persetubuhan) adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral". Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya. Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa." Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian). Entah karena warisan pandangan seperti ini atau karena faktor perubahan lain sampai hari ini, nasib kaum Hawa belum sebaik kaum Adam. Siapa menyangkal kalau iklim dunia masih nyata terlihat dominasi struktur maskulinum: pria diutamakan, perempuan dinomorduakan? Pria identik dengan superioritas, perempuan identik dengan inferioritas. Dan seksisme merupakan paham yang secara tidak sadar membenarkan penindasan terhadap perempuan. Di NTT hingga saat ini, dalam modus dan bentuk lain, pada beberapa tempat perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Seorang istri misalnya berjalan kaki di belakang sang suami, yang dengan enaknya naik seekor kuda. Sedangkan sang istri memikul keranjang besar berisi hasil pertanian mereka yang hendak dijual ke pasar. Atau, perempuan atau istri yang baik menurut penilaian laki-laki adalah perempuan yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang rajin mengambil air (pada banyak daerah di NTT mengambil air sering mengharuskan orang berjalan kaki berkilometer), yang rajin bangun pagi buta menyiapkan santapan bagi suami dan anak-anaknya, yang harus membereskan segala urusan rumah tangga, baru naik tidur ketika seisi rumah telah lelap dalam mimpi. Berita-berita media massa di NTT juga hampir tidak pernah sepi dari berita tentang kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Istri dibacok, siswi disekap, gadis diikat dan diperkosa dan semacamnya adalah isi berita yang kerap kita simak di lembaran media massa di NTT.Mengapa perlakuan berikut pandangan miring seperti di atas masih tetap ada? Salah satu sebab dari pandangan miring seperti di atas adalah karena struktur masyarakat kita yang bersifat patriarkat. Struktur seperti ini secara kuat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan.
Perjuangan gender
Kita tak habis bertanya, sampai kapankah nasib perempuan menjadi baik? Sudah demikian bopengkah wajah bumi ini, sehingga kekerasan, ketidakadilan, inferioritas, subordinasi, pemerkosaan terhadap perempuan tetap saja eksis? Akankah mimpi kaum ini untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki digenapi? Mungkinkah cerita kemalangan kaum perempuan yang terbingkai nestapa dan rintihan air mata, berubah menjadi cerita keberhasilan, sukses berbalut roh heroik? Masuk akal memang, dan seharusnya didukung, kalau gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, dilihat sebagai suatu perjuangan yang wajar dan bukan sekadar suatu ajang unjuk diri kaum perempuan. Perjuangan perempuan seperti ini telah lama bermula. Dalam sejarah kita misalnya mengenal sekurang-kurangnya empat paham feminisme. Pertama, feminisme radikal, yang menganggap laki-laki dan perempuan tidak sama. Menurut paham ini, ketidakadilan dibuat oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka laki-laki harus dikalahkan. Kedua, feminisme liberal, berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama. Ketidakadilan adalah akibat tingkah laku perempuan sendiri. Ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki-laki.Ketiga, feminisme marxis, yang menganggap bahwa kapitalisme telah menguras tenaga kaum laki-laki demi penambahan modal. Karena tenaganya diperas di tempat kerja, maka di rumah laki-laki balik memeras perempuan yang bergerak di sektor domestik. Ketidakadilan seperti ini, menurut paham ini, hanya dapat disingkirkan kalau kapitalisme dilawan. Keempat, feminisme sosialis. Paham ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya tidak menghendaki ketidakadilan. Ketidakadilan adalah masalah manusia, bukan masalah laki-laki dan perempuan, maka harus ada kerja sama melawan ketidakadilan. Pada masa sekarang ini ketika subyektivitas manusia semakin mendapat penekanan, perjuangan kaum perempuan mendapatkan kembali afirmasi dirinya masih saja berjalan, seakan tak bertepi. "Tragedi Jakarta" (Mei 1998) adalah bukti nyata betapa perempuan masih tetap berada pada posisi lemah dalam struktur sosial kemasyarakatan.Mengapa ketidakadilan yang dirasakan perempuan adalah nestapa yang berjalan beriringan dengan jejak langkah peradaban manusia? Struktur kebanyakan masyarakat yang bersifat patriarkat, tak dapat tidak sangat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan. Perjuangan perempuan mendapatkan kembali harga dirinya bukan lahir dari kesadaran bahwa mereka adalah perempuan, kaum Hawa yang lemah secara fisik, tetapi justru karena mereka adalah manusia dengan kualitas keluhuran yang sama dengan kaum laki-laki. Perjuangan perempuan untuk membela dirinya atau menegaskan kembali ke"aku"-annya, tentu saja, tidak bermaksud menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan seperti ini adalah kenyataan biologis-fisiologis-psikologis yang terberi (given). Keterberian seperti ini, sampai kapan pun tak akan mungkin dipertukarkan. Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, (maaf) kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.Hasilnya? Perempuan sering lupa bahwa di dunia ini hanya dia yang memiliki kekuatan untuk menjadikan dunia ini suatu "rumah". Sangat sering peranan gender diidentikkan dengan peranan koderati. Keduanya, tentu saja, sangat berbeda. Gender adalah konstruksi sosial tentang peranan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh proses sosialisasi. Dan karenanya gender bersifat dinamis, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Sebaliknya peranan koderati adalah sesuatu yang inheren, yang dari khuluknya tidak dapat berubah.Kalau perjuangan gender, bila emansipasi, jika gerakan feminisme diletakkan dalam bingkai pemikiran seperti ini, maka segala upaya perjuangan, cita-cita mulia, mimpi indah kaum perempuan merupakan hal yang sangat wajar. Emansipasi, perjuangan gender, gerakan feminisme yang sesungguhnya adalah usaha menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kalau bingkai ini diabaikan, rasanya semua perjuangan itu cumalah nyanyian bisu anak hilang di tengah gemuruh perubahan zaman.
Jurnalisme gender
Reformasi yang melanda Indonesia medio tahun 1998 mendobrak banyak praktek kezaliman di negeri ini. Di bidang pers, terjadi juga perubahan yang sangat penting. Terjadi perubahan paradigma yang sangat berarti tentang cara pandang pers yang benar. Pers yang sebelumnya mesti tiarap jika mau cari selamat, sekarang puas menikmati iklim kebebasan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada masa lalu ibarat tiket yang harus diperebutkan melalui upaya supermahal, pada awal reformasi tidak dipungut biaya. Bahkan saat ini SIUPP ditiadakan. Dunia pers seakan mengalami masa bulan madunya, masa jayanya.Asal tahu saja hingga paruh pertama tahun 1999, tak kurang 1.500 SIUPP diterbitkan oleh Deppen (kala itu). Dalam arti ini, pers Indonesia boleh dibilang mengalami suatu 'revolusi'. Di NTT, 'revolusi' di bidang pers juga jelas terlihat. Dalam rentang waktu tidak lebih dari 1,5 tahun, ikut terbit 6 media massa harian, 4 mingguan, 1 dwi mingguan mendampingi satu media harian (Pos Kupang) dan satu mingguan (SKM Dian). Ini media massa yang beredar secara luas, belum termasuk media yang diterbitkan untuk kalangan terbatas.Di satu sisi, perkembangan ini mesti disambut positif. Artinya hegemoni dan dominasi penguasa dalam urusan penerbitan pers tidak ada lagi. Setiap orang boleh menerbitkan surat kabar atau majalah dengan cuma mendaftar di notaris. Dan setiap orang, boleh mendapat informasi sekehendak hatinya. Tetapi di lain sisi, perkembangan ini tampaknya juga diapresiasi secara berlebihan. Kran kebebasan pers yang dibuka, ditanggapi dengan hasrat dan keinginan menggebu-gebu membangun industri pers. Dapat dimengerti kalau kemudian muncul ribuan media massa cetak di awal reformasi.Untuk apa kemerdekaan pers? Maraknya pemberitaan yang sensasional, diiringi dengan pornografi secara terbuka yang memamerkan alat kelamin di media dewasa ini menunjukkan bahwa banyak pihak yang tidak memahami gagasan dasar kemerdekaan pers. Apalagi di era pers sebagai industri, yang menekankan untung rugi, maka aspek bisnis menjadi penting bagi para pengelola pers, sehingga muncul dilema keberpihakan: idealisme atau komersialisme. Bagi pers pilihan ini ibarat mendapat buah simalakama. Penekanan komersialisme akan melahirkan pers yang sensasional, eksploitasi selera rendah dan pertentangan. Namun di sisi lain penekanan pada idealisme semata tanpa memperhatikan kaidah bisnis, penampilan dan pemasukan uang, akan membuat pers itu tidak berkembang.Banyaknya faktor yang mempengaruhi pers ini menunjukkan kemerdekaan pers sebenarnya tidak berarti tanpa batas. Di negara mana pun dan negara sedemokratis apa pun, tetap ada pembatasan. Namun apa yang dibatasi dan apa yang tidak dibatasi itu tentu saja berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, bergantung pada konteks sosial politik negara masing- masing. Dengan demikian, pada dasarnya, pers tidak pernah netral, sebab bagaimana pun pers harus berpihak kepada mereka yang lemah dan tidak memiliki akses informasi untuk menyuarakan aspirasinya. Dalam pemihakannya itulah, pers sebenarnya wajib "independen", tidak bergantung semata-mata pada kelompok atau kepentingan tertentu. Oleh sebab itu, menurut saya, kemerdekaan pers adalah untuk mencari kebenaran, untuk pengontrol penguasa, bukan untuk penyebaran pornografi, fitnah dan penghinaan. Menyertakan penyebaran segala macam informasi sampah ke dalam kemerdekaan pers adalah pengkhianatan dan penghinaan terhadap mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Orang seringkali salah menyangka bahwa pornografi dilindungi oleh masyarakat demokratis seperti Amerika Serikat, padahal pornografi tumbuh di negeri itu karena batasan pornografinya berbeda dengan Indonesia. Oleh sebab itu, jika ada pers yang menyiarkan kabar bohong dan ada pihak yang merasa dirugikan, maka pers itu mau tidak mau harus dihukum. Jurnalisme mengenal sebutan "risiko tinggi", yang lebih sering diartikan sebagai upaya para wartawan saling berkompetisi mendapatkan berita paling eksklusif, entah dari peristiwa yang dia saksikan langsung atau "syukur" kalau dapat mewawancarai narasumber bernilai berita secara khusus. Harus diakui bagi seorang wartawan "nilai berita adalah hal penting yang sering merasuki jiwa kewartawanan, sehingga sering membuat wartawan terjebak dalam ambisinya menciptakan segala sesuatu yang eksklusif." Tenggelam dalam eforia kebebasan itu, tampilan pers menjadi sangat norak, vulgar bahkan cenderung tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Fokus perjuangan pers terpusat pada penjualan koran, dan bukan pada bagaimana menyajikan informasi yang mendidik kepada masyarakat. Dengan dalil menyebarkan informasi, tampilan pers dibuat sedemikian menarik mata melalui teknik montase foto porno, cerita sadisme guna menjual koran. Di Kupang, keadaan seperti ini juga terlihat nyata. Kita ingat beberapa tahun lalu ada tabloid yang tampil dengan perwajahan yang demikian 'mengganggu'. Menyusul penerbitan tabloid ini muncul reaksi protes, terutama dari kalangan perempuan yang merasa kaumnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Inilah barangkali 'dosa suci' yang dilakukan pers.Eforia kebebasan itu juga melanda pers lokal di sini terkait dengan pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan. Jika disimak secara kritis, tampak bahwa berita menyangkut kekerasan terhadap perempuan lebih terfokus pada detail tentang aksi kekerasan seperti perkosaan, pemukulan terhadap wanita dan bukan pada bagaimana membangkitkan empati khalayak pembaca terhadap aksi kekerasan itu sendiri. Kebebasan pers yang tumbuh saat ini bukan lantas harus diapresiasi semau gue. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memang sangat menjamin kebebasan pers. Tetapi jika dibaca secara teliti ternyata UU ini juga membawa implikasi yang tidak kecil bagi insan pers. Dan, yang terpenting dari UU ini adalah perubahan paradigma atau filosofi tentang pers. Sebelumnya paradigma pers yang dianut adalah "Kebebasan pers yang bertanggung jawab". Sedangkan dalam UU ini, paradigma yang dipegang adalah "Kemerdekaan pers yang profesional". Perubahan paradigma ini perlu untuk mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang salah kaprah. Dalam paradigma baru ini masyarakat dapat menempuh langkah-langkah hukum dalam menyikapi pemberitaan pers yang dinilai menyimpang. Bagi pers di NTT yang masih bersusah payah menaikkan tirasnya, pengemasan berita yang mengedepankan detail kekerasan dan terutama pornografi seakan diamini sebagai policy pemberitaan paling efektif menaikkan tiras penjualan. Idealisme pers yang terangkum dalam empat fungsinya yakni menyebarkan informasi, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial dan memberikan hiburan, rasanya semakin jauh dari gapaian. Betul bahwa pers hidup antara lain dari berapa tiras yang dijual. Tetapi itu tidak berarti idealisme mesti mengalah tanpa kompromi terhadap aspek bisnis. Karena masing-masing media massa otonom dalam policynya, maka jalan paling aman yang dapat ditempuh adalah mengembangkan jurnalisme gender. Dengan jurnalisme gender di sini dimaksudkan, pertama, suatu prinsip jurnalisme yang menempatkan perempuan bukan lagi sebagai obyek (sasaran) yang bisa dieksploitasi. Dan kedua, masalah perempuan atau apa saja yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan sebagai titik akhir, tetapi menjadi titik awal (titik berangkat) dari suatu peliputan. Memang tidak gampang mengembangkan jurnalisme gender dalam media massa. Karena hal itu berarti mengadakan transformasi yang bersifat mendasar terhadap visi dan struktur kerja dari kalangan jurnalis. Kuatnya ideologi patriarki yang dianut kalangan jurnalis, merupakan masalah lain yang patut diperhatikan. Pendidikan dan pelatihan yang bervisi kesetaraan gender, agaknya dapat dilakukan setiap media massa. Selain visi gender, hal lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahasa dalam pengemasan. Di Indonesia, dalam zaman Orba media massa umumnya seragam dalam penggunaan bahasa. Di masa ini, koran-koran nyaris seragam dalam memanfaatkan kekayaan bahasa untuk mengekspresikan opini atau gagasan. Namun keseragaman itu kini jadi cair setelah penguasa Orba lengser. Dengan kata lain, kini ada upaya dari kalangan pers untuklebih memperkaya pemakaian bahasa dalam media massa. Kosa-kata yang dipakaipun kian beragam. Sebenarnya, sifat "gado-gado" dari bahasa pers bukan hal yang baru dan khas, namun merupakan kewajaran dari sifat seorang penulis atau jurnalis, yang tak suka dengan kata-kata yang monoton.Karena bahasa pers antara lain merupakan refleksi dari kompleksitas cara berpikir para nara sumber dan wartawan, maka "kegado-gadoan" ucapan para nara sumber pun dan pilihan kata wartawan pada akhirnya muncul di halaman-halaman koran. Kosa-kata tertentu sering dipopulerkan wartawan dalam media massa. Simak misalnya kata "keong", 'nok-nok', "ciki-ciki", "ukur badan" dalam Pos Kupang. Kosa kata ini mulanya dipakai untuk memperhalus (eufemisme), tetapi kata-kata ini belakangan mengandung makna kekerasan dan terkesan kasar. Pers menggunakan kata-kata spesifik dengan maksud menarik pembaca. Tetapi seringkali maksud ini justru berdampak terbalik. Di tengah upaya dan hasrat menaikkan tiras penjualan, agaknya komersialisme masih tetap menang atas idealisme. Sangat sulit menarik garis tegas antara keduanya. Jurnalisme gender barangkali merupakan kompromi yang mungkin dapat menjadi via media (jalan tengah) mengawinkan kepentingan bisnis dan perjuangan gender.

0 komentar:

Posting Komentar