Keluarga : Pilar Pembangunan (Renungan Hari Keluarga Nasional)

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden

KETIKA busung lapar mendera begitu banyak kawasan di sejumlah kabupaten di NTT, spontan pikiran kita tertuju pada ketersediaan pangan yang minim, daya beli masyarakat yang rendah, derajat kesehatan yang tidak memadai, frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit yang juga rendah. Kita jarang berpikir bahwa salah satu faktor yang juga sangat penting yang turut menyebabkan gizi buruk dan busung lapar adalah buruknya manejemen keluarga.
Dari pengalaman terbukti bahwa manejemen yang baik demikian sentral dan penting bagi sehat dan amannya keluarga. Kokoh dan tegaknya sebuah keluarga tidak cuma diukur dari banyaknya simpanan di bank, luas dan modernnya interior sebuah rumah, makanan dan minuman impor yang serba mahal di meja makan. Sebaliknya nasib sebuah keluarga juga sangat tergantung dari bagaimana keluarga itu direncanakan, didesign, dikelola dengan baik.
Kita menggarisbawahi pentingnya mengelola keluarga secara baik di sini tidak sekadar basah basih. Banyak kali orang keliru membayangkan bahwa tingginya tingkat ekonomi langsung berpengaruh pada baik dan sehatnya penghuni sebuah keluarga. Simak misalnya fakta bahwa anak-anak korban gizi buruk di Kabupaten Belu lebih dari separuh adalah anak-anak para pegawai negeri. Dari data kasus HIV/AIDS di Kota Kupang, sekitar 75 persen adalah kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Tanpa mesti melakukan sebuah survai yang teliti, dua fakta ini telah cukup representatif memberikan gambaran betapa apa yang disebut sebagai pengelolaan dan atau pengaturan adalah faktor yang demikian dominan bagi tumbuh-sehatnya unit sosial yang paling kecil ini.
Dengan dasar pemahaman seperti ini, bisa dimengerti kalau peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XII, Rabu kemarin mengambil tema "Ketahanan keluarga: Pilar Pembangunan Bangsa". Sebuah tema yang sarat pengertian dan ajakan untuk terus menyadari betapa penting dan sentralnya keluarga. Kita telah lama menerima pemahaman bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan wahana pertama dan utama dalam menyemaikan nilai-nilai luhur yang menjadi modal bagi setiap orang, utamanya anak-anak, meniti titian perjalanannya. Nilai-nilai luhur yang diperoleh dalam keluarga akan membentuk karakter seseorang. Keluarga juga merupakan wahana ketahanan, pengendalian dan penyesuaian sosial bagi anggota-anggotanya.
Untuk itu pembinaan terhadap ketahanan keluarga yang bermuara pada keluarga sejahtera dapat menjadi benteng dan pengawas terhadap setiap ancaman. Apabila keluarga dipersiapkan dengan baik, maka keluarga akan menjadi institusi pembangunan yang sangat handal, terutama dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui upaya pembinaan ketahanan keluarga serta penanaman nilai-nilai etika, moral dan budaya bangsa bagi anggota keluarga sejak dini, keluarga akan menjadi wahana yang tangguh bagi terwujudnya ketahanan nasional untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Tragedi busung lapar yang melanda NTT, pada galibnya juga mengekspresikan rapuhnya benteng sebuah keluarga. Kita tentu menerima bahwa ketahanan ekonomi adalah penyebab langsung dari musibah yang menimpa banyak keluarga di daerah ini. Tetapi jika keluarga itu dibangun dengan pilar-pilar yang kokoh, dirancang dengan design yang terencana, diikat dengan nilai-nilai moral, budaya yang tangguh, niscaya rancang bangun keluarga itu akan kokoh berdiri menantang badai.
Unsur-unsur yang turut terlibat dalam design keluarga yang sehat antara lain merencanakan usia ideal melahirkan, mengatur jarak kelahiran, merencanakan jumlah anak dalam keluarga, menginvestasi masa depan anak. Ilmu kesehatan mengajarkan bahwa usia kawin ideal adalah usia 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun laki-laki. Sementara usia ideal seorang perempuan melahirkan adalah rentang usia dari 20 hingga 35 tahun. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun adalah usia melahirkan yang penuh risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Sedangkan jarak kelahiran yang ideal adalah 3 hingga 5 tahun. Mengenai jumlah anak dalam sebuah keluarga, dengan paradigma baru Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak membatasi jumlah anak. Instansi ini justru lebih menganjurkan agar setiap pasangan orangtua bisa mengatur jarak kelahiran yang ideal. Tujuannya cuma satu, yakni membantu meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak untuk mewujudkan keluarga yang sehat, sejahtera dan bahagia.
Untuk konteks NTT, semangat yang coba dihembuskan BKKBN ini agaknya harus menjadi perhatian serius. Sebab, hasil Survai Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa indikator-indikator kesehatan yang merupakan tema pokok kampanye kesehatan BKKBN peringkat NTT selalu melampau rata-rata nasional. Ini gambaran yang sangat buruk di sektor kesehatan. Beberapa indikator berikut ini menjelaskan gambaran buruk itu. Angka TFR (Total Fertility Rate/Angka kelahiran) NTT sekarang mencapai 4,1 (tertinggi di Indonesia) dibanding dengan rata-rata nasional 3,4. Peserta KB aktif hanya 35 persen, terendah di Indonesia. Angka Mother Mortality Rate (MMR/angka kematian ibu melahirkan) 650/100.000 kelahiran (tertinggi di Indonesia). Angka Infant Mortality Rate (IMR/angka kematian bayi 65/1000 kelahiran hidup (tertinggi di Indonesia). Angka kematian anak dan balita 103/1000 kelahiran hidup. Angka kehamilan pada usia remaja 11 persen (rata-rata nasional 10 persen). Angka drop out peserta KB cukup tinggi.
Angka-angka ini membuat kita miris memikirkan nasib keluarga-keluarga di NTT pada beberapa dekade mendatang. Dari keluarga-keluarga dengan latar belakang minor seperti inilah, akan muncul penduduk daerah ini, akan muncul generasi berikut yang bakal mengambil over kelanjutan pembangunan daerah ini.
Sumbangan program KB
Semua telah mafhum bahwa penduduk merupakan aset pembangunan terpenting. Yang menjadi soal ialah bagaimana kualitas aset itu. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang tidak terkendali akan memperlambat proses pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya, keberhasilan dalam mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk dan keluarga akan memperbaiki seluruh segi pembangunan dan kehidupan masyarakat serta mempercepat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini pengelolaan penduduk harus menyentuh substansi dasar, yaitu aspek pertumbuhan penduduk, aspek pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh dua hal utama, yaitu kelahiran dan kematian. Sebaran penduduk dengan dominasi usia produktif akan memungkinkan tingginya laju pertumbuhan karena kelahiran baru, dan berdampak pada besarnya jumlah penduduk dengan struktur usia muda dan membawa akibat lanjutan berupa tingginya dependency ratio.
Kemajuan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan berdampak pada bertambahnya usia harapan hidup penduduk (life expectancy). Ini berarti angka kematian penduduk semakin diperkecil, karena tidak ada lagi keluarga atau negara yang ingin penduduknya atau anggota keluarganya mati dalam jumlah banyak. Jika kematian ditekan, maka jumlah kelahiran harus dikendalikan agar pertumbuhan penduduk berada dalam batas toleransi dan tidak menjadi hambatan dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi untuk mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan hanya dapat diwujudkan dengan didukung oleh kualitas penduduk yang memadai. Sebaliknya peningkatan kualitas penduduk tidak akan terjadi jika tidak ada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas penduduk akan sulit dilaksanakan jika jumlah penduduk semakin besar dan sudah terlanjur rendah kualitasnya. Membiarkan pertumbuhan penduduk dengan kualitas rendah dengan tidak terkendali akan mempersulit persoalan pembangunan. Karena itu pengendalian kuantitas penduduk dan peningkatan kualitasnya harus dikelola secara bersamaan.
Lalu apa sumbangan program KB? Program keluarga berencana (KB) adalah upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan, pengaturan dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga ideal, mengatur jumlah anak, jarak dan usia melahirkan anak, pengaturan kehamilan dan membina ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Melalui pendekatan baru dan pelayanan yang demokratis, program dan kegiatan KB dan kependudukan makin berkembang menjadi gerakan KB dan kependudukan yang luas. Indonesia kemudian mendapat penghargaan yang tinggi dan sebagai salah satu negara yang dianggap pantas untuk ditiru dan diteladani. Keberhasilan KB yang diiringi perkembangan globalisasi, keberhasilan program pendidikan yang cepat, dengan kemajuan modernisasi mengakibatkan tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia terus naik jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan peduduk.
Perlahan tapi pasti, progam KB telah mengantar banyak pasangan muda menatap masa depannya dengan lebih pasti, lebih cerah dan jelas untuk kemudian membangun keluarganya dengan lebih kokoh. Pada tahun 1993, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Bukan tanpa alasan tanggal 29 Juni dipilih dan ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional. Tanggal ini punya alasan historis. Dalam sejarah kita tahu kalau pada tanggal 22 Juni 1949 Pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dan, pada tanggal 29 Juni tahun itu juga dilaporkan bahwa seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, di gunung dan pedesaan, telah kembali di tengah keluarga masing-masing.
Mudah-mudahan peringatan Hari Keluarga Nasional kali ini memberi makna yang lebih jauh lagi tentang penting dan strategisnya peran dan fungsi keluarga sebagai pilar pembangunan.

Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005

0 komentar:

Posting Komentar