Menegaskan panggilan kaum intelektual (Post refleksi kasus penjiplakan skripsi)

Selasa, 13 November 2007

Oleh: Tony Kleden
DALAM konteks pendidikan di aras lokal NTT, rasa?rasanya tak ada satu temapun yang begitu mendominasi diskursus, selama hari? hari ini, selain kasus penjiplakan skripsi. Terungkap bahwa salah seorang tamatan Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) diduga menjiplak skripsi salah seorang tamatan Universitas Undana, dengan sangat sedikit modifikasi. Masyarakat tentu saja kaget, menjadi gempar dengan peristiwa ini. Redaksi Pos Kupang saja menerima begitu banyak reaksi itu berupa surat pembaca maupun telepon. Semuanya menyatakan penyesalan, prihatin dan mengutuk tindakan pengkhianatan seperti ini. Kendati demikian, sesungguhnya, berita ini bukanlah barang baru di dunia akademik. Dia (kasus penjiplakan) ini boleh dibilang hanyalah casus belli dari suatu kejahatan intelektual yang telah berlangsung lama.Kasus pengkhianatan intelektual tidak saja mengambil modus seperti ini. Catat misalnya gelar?gelar akademis yang dapat "dibeli", pembajakan nilai transkrip, nilai ujian negara cicilan pada perguruan tinggi swasta, usaha menyuap dosen untuk mendapat nilai lulus, dosen memeras mahasiswa, dan sebagainya dan sebagainya. Semuanya dilakukan hanya demi satu tujuan murahan yakni memperoleh gelar sarjana.Akan tetapi apa pun juga tanggapan, reaksi dan penilaian yang muncul, kasus ini secara tegas telah mencoreng wajah pendidikan tinggi dengan suatu aib yang menjijikkan. Dalam bahasa eklesiologi barangkali inilah dosa sakrilegi terhadap pendidikan tinggi sebagai suatu lembaga yang mempunyai otorita, wibawa, dapur pencetak cendekiawan, kaum intelektual.Seorang sahabat ketika saya mengajaknya berdiskusi tentang kasus ini dengan sinis mengatakan selama manejemen pendidikan tinggi (di NTT, utamanya) tidak dikelola secara profesional maka segala praktek kejahatan akan tetap eksis dan terus berlanjut dengan modus yang semakin canggih. Saya cuma bermenung mendengar jawabannya yang begitu gamblang. Bukan karena kawan ini datang dari suatu lingkungan kampus yang memang kondusif, tetapi saya bertanya tak percaya, begitukah kondisi pendidikan tinggi di NTT? Pikiran saya, tanpa sadar, lalu kembali mengingat bangku kuliah dulu. Dengan iklim ilmiah yang begitu tinggi dan kondusif, setiap mahasiswa (di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere), dapat belajar apa saja. Berjam?jam orang bisa menghabiskan waktu di perpustakaan. Di ruang kuliah pun setiap mahasiswa dengan sangat demokratis mendebat dosen bila ada soal yang membingungkan dan dirasa masih belum jelas. Sebaliknya para dosen akan melayani setiap pertanyaan dengan sangat antusias, gembira dan jujur. Ingatan saya pun terus mengembara dan tiba di satu kamar kecil yang terkesan kurang terawat. Tetapi dari kamar itulah kami melahirkan seri majalah VOX. Saya tahu persis, setelah masuk dapur VOX hingga menjadi pemimpin redaksinya, betapa susahnya para mahasiswa berjuang meloloskan karangannya. Tetapi semua mahasiswa bersaing menulis dalam suatu persaingan yang sangat gentle. Teramat sering tulisan seseorang misalnya diminta diperbaiki hingga tiga kali.Lalu sekarang dengan mata kepala sendiri melihat dua skripsi dengan satu judul dan isi yang sama, jiwa saya berontak. Memberontaki kemunafikan, menyayangkan kepalsuan dan menangisi ketidakjujuran. Pikiran menerawang jauh dan hanyut dalam ketidakpercayaan. Tetapi akhirnya tiba juga pada kesadaran ini: zaman sekarang memang lagi ramai diwarnai pragmatisme. Kawan dosen tadi rupanya juga mau menegaskan bahwa untuk kepentingan pribadinya ihwal penjiplakan skripsi tetap menjadi salah satu alternatif. Naif memang! Tetapi inilah bagian dari wajah perguruan tinggi kita, tidak saja di NTT. *** Sudah diterima umum bahwa dunia pendidikan (perguruan) tinggi adalah dunia ilmu pengetahuan. Di tempat inilah dididik calon? calon ilmuwan, cendekiawan, intektual. Tempat ini pun merupakan wahana untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam satu kata perguruan tinggi adalah magnitude pengalihan pengetahuan.Tetapi ketika dia dilacuri dengan berbagai aksi maksiat berupa tindakan nista murahan semisal penjiplakan skripsi, semua kita pantas berang. Karena dengan itu berarti segala norma akademik yang dijaga dan dijunjung tinggi mulai hancur. Hancur karena orang mau cepat selesai tanpa mesti belajar keras. Hancur karena dierosi oleh tujuan pragmatis. Tidak sukar menemukan akibatnya. Lulusan atau tamatannya pun adalah tamatan yang pragmatis, yang hanya mementingkan keuntungan praktis untuk dirinya sendiri. Dan karena itu layak dipertanyakan kualitas intelektual tamatan seperti ini. Inilah gejala di mana seorang sarjana menjadi "a master of none" (orang yang nyaris tak menguasai apa pun). Kualifikasi kesarjanaan yang dimiliki adalah sarjana jiplakan.Sikap yang tidak jujur seperti ini, selain menggambarkan kompleks rendah diri secara intelektual, juga memperlihatkan kemalasan berpikir dan kemunduran dalam semangat investigasi, yang semuanya secara kuat mencirikan jati diri seorang calon cendekiawan. Padahal panggilan seorang cendekiawan adalah melakukan studi dan kemudian mengumumkan hasilnya antara lain lewat karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, menulis adalah nafas yang menghidupi seorang yang mau memasukkan diri dalam kelompok the happy few seperti ini.Dalam konteks ini, skripsi merupakan buah hasil studi, analisis mendalam terhadap suatu pokok soal. Aneh memang jadinya kalau setelah sekian tahun, skripsi yang dipertahankan adalah jiplakan hasil karya tulis orang lain. Kalau orang betul menyadari hal ini maka dia akan menjadikan skripsi sebagai bukti intelektualitasnya.Berbeda dengan jenis karya tulis lain, skripsi merupakan karya tulis dengan mengandalkan daya investigasi mendalam terhadap suatu pokok soal yang dihadapi. Bila ilmu adalah bakti kepada kebenaran, puisi adalah inkarnasi keindahan, esei adalah devosi kepada kegembiraan hidup, maka skripsi adalah pengejawantahan ilmu yang dipelajari. Kalau dalam ilmu kebenaran dianggap sempurna, dalam esei kebenaran mirip seberkas cahaya, maka dalam skripsi kebenaran menjadi terbuka untuk kritik. Kata kunci pada ilmu adalah penelitian kritis, kata kunci pada esei adalah kesaksian yang simpatik, sedang kata kunci pada skripsi adalah kejujuran pada sumber.Maka ketika nilai dan karya skripsi dilacuri oleh kepentingan pragmatis, ketika itu juga skripsi mengalami pergeseran nilai. Dan pada titik inilah mata kita akan terbuka lebar terhadap segala kejanggalan. Pejabat beken dan artis top tetap merasa haus dengan gelar akademis, para pemuda dan pelajar berlomba memaksakan diri untuk masuk perguruan tinggi agar bisa menjadi sarjana. Tetapi siapa menjamin bahwa tingginya jenjang pendidikan dan banyaknya gelar kesarjaaan dengan sendirinya merepresentasikan tingginya kapasitas intelektual seorang sarjana?Kalau saja dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi dapat kembali ke nilai?nilai dasarnya (dalam arti bahwa hanya norma? norma akademik yang dijadikan ukuran untuk memutuskan segala sesuatu: penerimaan mahasiswa baru, kelulusan ujian, kenaikan tingkat, kenaikan pangkat dosen, ketatnya mekanisme penulisan skripsi), maka ekses?ekses yang seperti sekarang jadi marak diberitakan tentu akan terkikis dengan sendirinya. Dampaknya adalah pulihnya wibawa lembaga pendidikan tinggi sebagai seminarium (tempat persemaian) calon?calon cendekiawan, kaum intelektual. *** Kaum intelektual. Semua kita terlampau paham apa dan atau siapa itu kaum intelektual, cendekiawan. Bila dirunut dari akar katanya, maka kata "intelektual" berasal dari kata bahasa Latin "intellectus" yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Sedangkan "intellectus" itu sendiri berasal dari kata kerja "intelligere" yang merupakan gabungan dari dua kata "inter" (antara, di antara) dan "legere" (membaca). Keduanya membentuk kata "intelligere" yang berarti "membaca di antara", atau "membaca di antaranya" atau "memisah?uraikan". Dari uraian etimologis ini dapat dikatakan bahwa intelektual (cendekiawan) adalah mereka yang secara intens dan mendalam membaca, memikirkan dan menghayati sesuatu; mereka yang mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power) yang baik, dan yang tertarik pada hal?hal rohani (the thing of mind). Memakai rumusan Edward Shils, maka cendekiawan adalah "mereka yang mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap dunia yang sakral, mereka yang mempunyai daya reflektif yang sangat tajam akan hakikat alam dan aturan yang mengatur kehidupan ini. Mereka adalah kalangan minoritas yang selalu mencari jawaban yang melewati batas?batas yang dapat ditatap oleh mata. Mereka mempunyai keingingan sangat keras untuk mengeksternalisasikan pikiran mereka, baik secara puitis maupun plastis. Ada keinginan untuk terus menerus bergelut dari dalam dirinya dalam mencari hakikat di balik yang tampak."Dalam bahasa lain, cendekiawan diartikan sebagai kaum terpelajar. Tetapi status terpelajar itu hanya bersifat aksidental. Yang menjadi tuntutan sekaligus identitas dasar seorang cendekiawan ialah kemampuannya berpikir, menganalisis suatu masalah, situasi, kondisi tertentu, sampai menemukan latar belakang, sebab akibat dan jalan keluarnya.Dia adalah sosok yang berbudaya. Tingkah lakunya ditentukan oleh kejujuran dan logika. "Biar harus naik hukuman dibakar api, akan tetapi mengingkari keyakinan kita tidak akan," begitu ditegaskan N. Vavilov yang dihukum mati karena tidak mau mengikuti gagasan Marxis. Seorang cendekiawan bekerja dengan pertanyaan. Pisau bedahnya adalah kata. Kalau pisau bedahnya adalah kata, maka kreativitas menulis menjadi syarat mutlak.Bagaimana dalam kenyataan? Memang mesti diakui kondisi masyarakat kita di Indonesia (NTT apalagi) adalah "masyarakat tutur" (teach community) dan belum cukup "masyarakat wacana" (discourse community). Dalam "masyarakat tutur" cakrawala pandangan orang sangat terbatas. Langit kegiatan mereka hanya terbatas pada "sejauh mata memandang", dan bumi atau rantau pijakan mereka hanya komunikasi tatap muka atau komunikasi jarak dekat. Sulit membantah kalau pola, ciri khas masyarakat seperti ini turut pula menjadi sebab mengapa tidak banyak orang bisa menulis secara baik. Kasus penjiplakan skripsi adalah contoh kasus yang baik. Sulit diterima akal sehat kalau seorang mahasiswa yang tidak dibiasakan menulis (esei, puisi, cerpen) karena tuntutan harus menulis skripsi dalam format: sistematis dalam kerangka, disiplin dalam berpikir, runut dalam logika dan kritis dalam analisis. Dari sini barangkali kita dengan sedikit lebih gampang memahami kalau para mahasiswa begitu gampang (atau memang digampangkan?) menjadi plagiator yang menjiplak skripsi, hasil karya orang lain.Tetapi pada hemat penulis, sama sekali tidak adil mempersalahkan para mahasiswa. Ada kaitan dalam kasus ini yang membentuk semacam vicious circle (lingkaran setan). Para mahasiswa misalnya, selain karena digerogoti mental cari gampang, juga dapat bersembunyi di balik kepentingan pragmatis. Para dosen sebaliknya bisa menjadi permisif dan (siapa tahu) "membantu" mahasiswa dengan menawarkan skripsi orang lain untuk dijiplak. Baik mahasiswa maupun dosen pun tentu yakin bahwa kejahatan mereka menjadi mungkin karena mekanisme kontrol skripsi masih sangat lemah.Sangat susah menangani masalah ini. Mungkin yang paling mudah dilakukan adalah menciptakan iklim ilmiah di lingkungan kampus. Kondisi ini memungkikan adanya kreativitas dan seterusnya mahasiswa memiliki kemampuan berpikir secara mandiri. Tetapi dalam kenyataan pendidikan kita sangat terbalik dari ideal yang seharusnya. Selain karena masih ditandai sistem "banking system education" (meminjam Paulo Freire), pendidikan kita secara umum juga masih diwarnai iklim diktatorisme.Dalam iklim ilmiah yang kreatif peserta didik harus menjadi subyek yang belajar berpikir sendiri. Bagi orang yang kreatif, yang utama bukan soal banyaknya pengetahuan yang dimiliki, tetapi dengan pengetahuan yang sedikit (sebagai akibat tak terhindarkan dari spesialisasi) banyak hal baru ditemukan. Seperti dikatakan Aflred North Whitehead, "the ideal of a University is no so much knowledge as power. Its business is to convert the knowledge of a boy into the power of man". Bila kondisi ilmiah tercipta di lingkungan kampus, boleh dipastikan bahwa para mahasiswa, dosen akan terpola dalam iklim hidup dan berpikir yang ilmiah dan kritis. Mental cari gampang akan berubah menjadi tantangan kreatif. Segala kejahatan intelektual semisal penjiplakan skripsi, budaya nyontek akan menjadi dosa yang menakutkan. Dalam iklim ilmiah yang kritis dengan muara pada kreativitas ilmiah seperti ini, kekhawatiran Julien Benda pada awal abad ini tentang "pengkhianatan intelektual" menjadi awasan buat setiap insan pencari kebenaran, yang menjunjung tinggi kejujuran. Kita akan mengamini apa yang dikatakan Benda, bahwa para cendekiawan pada hakikatnya tidak memiliki tujuan?tujuan praktis. Motif mereka adalah kegairahan untuk berbakti kepada kebenaran. "Kerajaanku bukanlah di dunia ini" adalah motto yang menurut Benda semestinya mendominasi kata hati seorang cendekiawan. Dan inilah panggilan kaum intelektual.
* Penulis, wartawan Pos Kupang

0 komentar:

Posting Komentar