'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data' (Catatan Pilkada)

Senin, 26 November 2007

Tony Kleden

Tanam bawang di muka rumah
Bau di sana, bau di sini
Sinyo apa macam begini
Suka di sana, suka di sini......

ITULAH selarik pantun yang hampir selalu dinyanyikan saat pesta dolo-dolo di Flores Timur. Pada malam saat purnama raya, gendang ditabuh dan kaum muda keluar rumah menuju tanah lapang di tengah kampung. Mereka berdolo-dolo, bergandeng tangan, berbalas pantun, bercanda ria, merajut cinta, memadu kasih, membakar asmara, menyulang minuman, menumpahkan uneg-uneg dan mengekspresikan gejolak muda mereka.
Dalam budaya lamaholot, dolo-dolo telah identik dengan pesta. Tidak ada tuan, tidak ada hamba. Tidak ada orang kantoran, tidak ada orang rumahan. Tidak ada opu, tidak ada blake. Tidak ada pejabat, tidak ada bawahan. Semua sama, semua satu, yakni tuan pesta. Pesta rakyat!
Lima tahun lalu, tepatnya Selasa 14 Maret 2000, rakyat Flotim hanyut dan larut dalam pesta bersama duet Felix Fernandez-John Payong Beda. Keduanya terpilih menjadi pemimpin untuk bersama rakyat menjejaki Flotim. Ketika itu, warga Flotim seia sekata, sama-sama yakin. Yakin bahwa duet ini adalah suatu perpaduan yang hamonis, kuat dan kokoh membawa biduk lewotanah menuju masa depannya.
Tampilnya duet ini ketika itu seakan mendobrak cara berpikir warga masyarakat Flores Timur yang masih tersungkup dalam kerangkeng sukuisme, etnis dan agama. Ketika itu, sebelum acara pemilihan, kerangkeng seperti ini menjadi konsumsi politik yang paling laku dikedepankan. Maka ketika duet muda ini tampil ke panggung utama, segala kebekuan mencair, setiap syakwasangka hilang dan semua lagak apriori mentah kembali.
Flores Timur lima tahun lalu dinilai beruntung memiliki duet yang padu. Perpaduan antara jagoan pengelola uang dan ahli di bidang tata pemerintahan. Fernandez dan Payong Beda, ketika itu, diharapkan dapat bersenyawa dan menghasilkan jurus dan rumus bagaimana menjejak langkah Flores Timur.
Hasilnya? Semua sama tahu. Duet ini cerai. KKN menggurita. Pembangunan berantakan: proyek-proyek terbengkelai. Petani menjerit: pupuk tidak ada, bibit kacang hijau rusak. Nelayan meradang: kapal ikan rusak dalam tiga bulan pertama, kapal pengawal pantai miliaran rupiah harganya cuma menghiasi Pelabuhan Larantuka. Pasien histeris: stok obat habis, paramedis mogok kerja. Guru-guru ribut: honor dan perlengkapan sekolah tidak tersedia. Kepala desa mogok dan ramai-ramai mengembalikan stempel: berbulan-bulan honor yang sedikit itu tidak dibayar. Rakyat berteriak memelas: jaringan listrik, air bersih, jalan raya cuma sebatas janji.
Itu muatan sejarah Flotim lima tahun lalu. Dan, pada hari ini, pesta rakyat itu berulang di lewotanah. Sebanyak 126.898 warga Flotim yang mempunyai hak memilih dan telah terdaftar bersua dan berbagi suara di 361 tempat pemungutan suara (TPS). Tetapi, jika pesta dolo-dolo tuntas saat pagi datang menjelang, maka pesta rakyat hari ini tidak usai di TPS. Pesta hari ini adalah pesta sarat makna. Pesta tonggak sejarah. Tonggak untuk merancang bangunan, memilih dasar yang kokoh lagi kuat untuk meniti titian perjalanan lewotanah lima tahun ke depan.
Tiga anak tanah telah didaulat untuk menjadi tuan pesta. Pada tiga tuan pesta inilah, rakyat datang bersujud dan menjatuhkan pilihannya. Mau ke duet Felix Fernandez-Mikhae Umu Lamatewelu? Ke Simon Muda Makin-Yohanes De Rosari? Atau ke Simon Hayon-Yosep Lagadoni Herin?
Jauh-jauh hari ketiga paket ini telah 'mengobok-obok' kampung dan desa di Flotim. Mendaki bukit, menuruni lembah. Mereka menebar janji, menawar rencana. Gong perang urat saraf telah lama ditabuh. Unjuk kekuatan dan kekuasaan telah lama bermula. Poster dan pamflet telah ditebar. Selebaran gelap disebar. Klaim dukungan telah dipatok. Seperti iklan, tujuannya memang cuma satu: meraih simpati, menarik minat, menuai dukungan warga. Ada yang menghambur-uang uang, membayar kepolosan rakyat.
Dari dulu hingga sekarang peta politik di Flores Timur ditandai dengan ketegangan antara dua kutub: Flores daratan dan pulau-pulau. Di bawah sungkup daerahisme, dua tegangan ini terus mengental. Dan, dia menjadi komoditas unggulan yang dijual para calon bupati. Seperti di pasar malam, setiap calon membuka kios dan menjual isu ini sebagai dagangan primadona. Calon dari pulau dengan dukungan masyarakatnya 'menyerang' calon dari dari Flores daratan. Bagi mereka dari pulau, warga di Flores daratan terlalu angkuh dan seakan-akan menjadikan Kota Larantuka sebagai kota eksklusif mereka. Begitu juga sebaliknya, warga di Flores daratan melihat mereka yang di pulau dengan sebelah mata dan menganggap mereka sebagai orang pulo, orang luar. Flores Timur bagi kelompok ini identik dengan Larantuka.
Tapi, tak dinyana kalau di Flores daratan roh sukuisme juga menghantui dan memagari beberapa kawasan: Kota Larantuka, Tanjung Bunga dan Wulanggitang. Di Kota Larantuka pun semangat suku masih memisahkan masyarakatnya. Demikianlah seterusnya hingga warga kabupaten yang dalam rentang waktu lima tahun terakhir dijuluki 'kabupaten seribu soal' itu makin kuat membentengi diri dalam ghetto kultural, tembok etnis dan bahkan pagar sosialitas.
Lama kelamaan tumbuh sentimen suku yang kemudian turut mewarnai suksesi kepemimpinan. Warga Adonara akan mati-matian berjuang bahwa mereka juga adalah bagian dari wilayah Flores Timur. Solor juga tidak ketinggalan 'merebut' kesempatan menunjukkan keberadaannya. Tanjung Bunga dan Wulanggitang, meski berada di Flores daratan, tetap mesti 'memberitahukan' bahwa mereka juga berada di Flores daratan. Sebaliknya warga Kota Larantuka makin tegas menampilkan diri seolah-olah pewaris tunggal Flores Timur.
Disparitas seperti ini menemukan ekspresinya dalam jargon seperti lao data' (sebutan untuk orang pulau), dala' data (orang Wilanggitang), belakang guno (daerah di belakang Gunung Mandiri seperti Riangkemie, Lewotala, Riangkotek, Lamatou, Lewoneda), lua data' (orang dari Tanjung Bunga) dan hana data' (khusus untuk kawasan sekitar Waiwadan hingga Wailebe). Lalu, untuk kelompok di sekitar Kota Larantuka? Lebih tepat mereka itu disebut muka guno, karena berada di depan Gunung Mandiri jika mengambil posisi di Kota Larantuka.
Jelas sekarang, kalau pertarungan hari ini adalah pertarungan antara wakil dari hana data' (Simon Hayon), lua data (Simon Muda Makin) dan muka guno (Felix Fernandez). Tetapi ingat, pertarungan hari ini cuma tonggak awal. Sekali lagi cuma tonggak awal. Siapa yang bakal terpilih, dialah pilihan bersama, pilihan rakyat. Dialah tuan pesta yang akan mengundang anak-anak tanah memadu tekad, merumuskan program, merakit rencana untuk bersama-sama melayari biduk mengarungi lautan menuju pulau impian.
Besok dan lusa, alam pikiran primordialis hendaknya dibuang. Sekat-sekat yang membatasi 'kita' dan 'orang lain' tidak berarti lagi. Semangat yang mesti dibangun adalah 'kita satu bersaudara'. Suksesi kepemimpinan di lewotanah adalah suksesi kepemimpinan Kabupaten Flores Timur, bukan Adonara, bukan Solor dan bukan juga Larantuka.
Sejak beberapa waktu lalu, tiga kandidat telah menanam bawang di muka rumah. Baunya menyengat ke sana dan kemari. Kandidat mana yang mau Anda pilih hari ini? 'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data'? Anda ragu? Saya juga ragu ketika menanyakan apakah Anda ragu? *
Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005

0 komentar:

Posting Komentar