Nasionalisme: perburuan tanpa tepi

Jumat, 16 November 2007

Oleh : Tony Kleden
TANGGAL
17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi jauh sebelum itu, yakni pada tanggal 20 Mei 1908 Budi Utomo menyanyikan credo tentang persatuan Indonesia. Credo itu memulai era kebangkitan nasional. Jika kemerdekaan oleh Soekarno diibaratkan sebagai pintu gerbang yang memberi kemungkinan seluas-luasnya untuk mewujudkan suatu masyarakat baru yang lebih adil dan sejahtera, maka kebangkitan nasional merupakan titik star menuju pintu gerbang itu.Lima puluh lima tahun sudah pintu gerbang itu terbuka. Tetapi kemungkinan yang terbentang luas itu masih diselimuti kegelapan. Era berganti era. Sosok pemimpin berubah wajah. Tetapi ideal yang dituju masih jauh dari jangkauan. Yang dituai bukan kesatuan dan persatuan warga bangsa yang berlimpah kekayaan alamnya, tetapi sentimen suku, agama, ras dan antargolongan yang kian kental. Kerusuhan demi kerusuhan berlatar SARA terus berlangsung. Melalui rekayasa tingkat tinggi, kesadaran politik rakyat dikebiri dalam proses pembodohan. Di tengah kemelut seperti itu, mampukah nasionalisme menjadi roh yang mempersatukan warga bangsa ini? Nasionalisme sebagai ZeitgeistSecara sederhana dapat dikatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu semangat yang tumbuh di dalam lubuk setiap insan dari suatu kelompok bangsa tertentu. Semangat itu merupakan roh pemersatu, yang mengikat dan menyatukan. Dalam semangat itu terkandung cita- cita, harapan ideal yang mau dikejar, baik itu cita-cita yang disepakati dalam suatu konsensus bersama maupun yang lahir dari latar belakang sejarah yang sama. Cita-cita itu berakar pada penemuan akan realitas hidup yang ada, pada situasi tidak menentu, bahkan pada situasi chaos melalui suatu refleksi bersama. Dalam cita-cita itu yang lama hendak ditinggalkan dan yang baru mau dikembangkan.Sejarah peradaban dan kemajuan hampir semua bangsa di dunia menunjukkan secara eksplisit bahwa nasionalisme merupakan roh yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman, dan karena itu dapat disebut sebagai roh zaman, Zeitgeist. Ditarik ke dalam konteks Indonesia, maka nasionalisme itu muncul secara khas dalam setiap kurun waktu dan generasi. Masing-masing generasi memberi titik tekanan tersendiri pada nasionalisme yang dibangun. Demikianlah, di zaman penjajahan nasionalisme itu tumbuh sebagai roh untuk melawan dan menentang penjajah. Dalam zaman kemerdekaan titik tekanan bergeser pada semangat untuk membangun menuju cita-cita nasional.Meski menemukan bentuk dalam masing-masing kurun waktu, semangat dasarnya tetap sama. Yang berbeda cuma pengungkapan dalam bahasa. Inti muatannya tetap satu dan sama. Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang 'negara kebangsaan' di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep 'pembangunan bangsa' yang digelorakan Orde Baru hingga (Orde) Reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan selama Orde Baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan. Seterusnya, perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo, seterusnya lagi semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah. Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan Orde Lama. Berjalan di luar rel, Orde Lama kemudian diganti dengan Orde Baru. Kendati banyak ketimpangan Orde Lama, harus diakui, merupakan anak zaman pada masanya. Tesis politik yang dicetuskan Orde Baru di awal kelahirannya sangat jelas. Yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang rusak di zaman Orde Lama. Gilang gemilang hasil pembangunan Orde Baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah Orde Baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam Orde Baru. Maka ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju Orde Baru ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai Orde Reformasi.Dua tahun sudah (Orde) Reformasi berjalan. Meski tidak melalui suatu manifesto, agenda pokok yang disemangati orde ini sangat jelas: mereformasi jalan meraih cita-cita, ideal yang telah digelorakan sedari awal. Pada awal tualangnya reformasi mendapat sambutan luar biasa. Pembusukan terhadap hampir setiap aras hidup yang dilakukan Orde Baru membangkitkan euforia yang tak terbendung. Bagai orang yang dalam keadaan 'ekstase' warga bangsa ini hanyut dalam kegembiraan tak terkatakan ketika keranda Orde Baru diusung ke liang lahat pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai ikon Orde Baru.Tetapi setelah dua tahun berjalan, roh, semangat reformasi makin redup. Ketimpangan demi ketimpangan dalam corak yang berbeda terus menampak. Virus KKN bahkan semakin menggeroti rancang bangun pemerintahan. Stabilitas ekonomi tidak kunjung beranjak maju. (Orde) Reformasi sepertinya terseret kembali ke dalam persoalan yang dulunya ia kritik sendiri. Kenyataan-kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa sebetulnya cita-cita perjuangan, titik maksimum sejarah pembangunan tidak pernah mungkin akan tercapai. Karena itu cita-cita pembangunan itu harus direspons sebagai suatu proses tanpa henti, perjuangan tanpa titik kulminasi dan sejarah tanpa titik akhir.
Menghargai pluralismeHarus ditegaskan bahwa pluralitas dalam pelbagai aspek dan bidang kehidupan merupakan causa interna terhadap keruntuhan bagi suatu bangunan sosialitas. Fakta adanya pluralitas sekaligus juga memperlihatkan potensi kehancuran akibat kerapuhan dari pluralitas itu sendiri.Sejarah banyak bangsa menunjukkan bahwa kerap kali pluralitas yang terlanjur berkembang menjadi pluralisme sempit, tumbuh menjadi sumbu pemicu meledaknya berbagai konflik. Pengalaman Indonesia kuat menjelaskan betapa pluralisme yang mengental dalam sentimen sempit mampu mereciki api kerusuhan. Padahal bila dilacak dalam sejarah, terlihat bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya suku-suku bangsa yang menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, ke arah bersatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan negara bangsa. Proses ini menunjukkan bahwa bangsa ini sangat dicirikan oleh pluralitas baik itu suku, ras, agama, golongan maupun etnis dan bahkan kebudayaan. Maka mengkhianati pluralitas dan kemudian menjadikannya senjata untuk terlibat dalam konflik adalah pengkhianatan terhadap fondasi historis bangsa ini.Sikap atau semangat yang dibutuhkan dalam membangun bangsa yang beradab adalah menghargai pluralisme. Yang dimaksud dengan pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan dan bahkan menumbuhkan keadaan yang bersifat plural, jamak, majemuk. Dalam konteks kehidupan berbangsa, maka pluralisme merujuk pada sikap bahwa semua suku, ras, agama, golongan warga bangsa punya niat yang sama yakni membangun suatu kehidupan yang lebih baik. Pluralisme, karena itu, harus disikapi sebagai suatu landasan bagi kelangsungan hidup berbangsa. Mesin politik Orde Baru memang membabat habis pucuk-pucuk kehidupan yang melahirkan kemajemukan. Mesin tersebut berjalan lurus ke arah sebuah tatanan politik yang monolitik, uniform, dominatif dan militeristik-otoriter. Sikap antipluralisme sebenarnya mencerminkan sikap anti terhadap kontrol.Pluralisme mengedepankan pengakuan terhadap keragaman dengan ciri menonjol terdapatnya ruang dan media bagi perbedaan. Lebih jauh dari itu semangat pluralisme mampu menghindarkan dan mencegah prinsip mayoritas melalui pemilu menjadi sebuah sistem demokrasi yang fasis. Dalam arti ini pluralisme tidak lagi berbicara tentang dominasi mayoritas terhadap minoritas, tetapi tentang bagaimana aspirasi semua kelompok mendapat kesempatan yang sama dan adil untuk diekspresikan. Boleh dibilang gagasan tentang pluralisme menjadi institusi sosial terpenting bagi perlindungan eksistensi nilai, ideologi, kepentingan dan aspirasi politik individu dan kelompok masyarakat. Hanya dengan menghargai pluralisme, nasionalisme dapat dihayati secara benar. Dalam roda perjalanan waktu, nasionalisme itu semestinya dihayati sebagai perburuan tanpa tepi. Tetapi penghayatan nasionalisme sangat mensyaratkan penghargaan terhadap pluralisme. Jika tidak, gelombang dinamika perubahan akan terpantul dan kembali ke titik semula. Dan jika ini terjadi maka sejarah perubahan Indonesia adalah history of no change (sejarah tanpa perubahan).
Pos Kupang, 23 Mei 2000

0 komentar:

Posting Komentar