Perempuan, duhai nasibmu....!

Jumat, 16 November 2007

Oleh Tony Kleden *
SERTA-MERTA buku itu kembali mengusik kesadaran dan perhatian. "Woman at the Point Zero." "Perempuan di Titik Nol", demikian judul buku itu dalam terjemahan edisi bahasa Indonesianya. Tujuh tahun silam buku tipis itu menarik minat dan menggodaku membacanya dengan perasaan ingin tahu yang mendesak. Novel yang didasarkan kisah nyata, dan ditulis oleh Nawal el- Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi internasional.Novel ini merupakan kisah yang diceritakan oleh seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur dari sel penjaranya, tempat dia melaksanakan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang germo laki-laki. Alur ceritanya sangat keras, penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri. Coba simak satu kutipan dari sebagian isinya ini, "Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati. Dan akibatnya, saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu."Menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki- laki, buku ini berisikan kritik sosial yang teramat pedas. Perempuan, duhai nasibmu...! Kira-kira seperti itulah reaksi akhir siapa saja seusai melahap buku itu. Pada banyak tempat di muka bumi ini, perempuan (sengaja dipakai kata "perempuan" dan bukan "wanita" karena dari asal katanya, "per-empu-an" berarti "yang dihormati") masih saja mendapat perlakuan kurang baik, malah sangat sering disubordinasikan.Perlakuan pincang seperti ini (mungkin) telah lama berlangsung dan setua usia manusia. Kesaksian sejarah sangat eksplisit memaparkan aneka pandangan keliru tentang perempuan. Telaah misalnya beberapa pandangan berikut ini.Menurut Plato, filsuf Yunani kuno, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan. Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal, "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya". Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama. Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek pelecehan seksual (baca: persetubuhan) adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral".Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya. Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa." Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian).Entah karena warisan pandangan seperti ini atau karena faktor perubahan lain sampai hari ini, nasib kaum Hawa belum sebaik kaum Adam. Siapa menyangkal kalau iklim dunia masih nyata terlihat dominasi struktur maskulinum: pria diutamakan, perempuan dinomorduakan. Pria identik dengan superioritas, perempuan identik dengan inferioritas. Dan seksisme merupakan paham yang secara tidak sadar membenarkan penindasan terhadap perempuan.Pandangan-pandangan berat sebelah di atas, membuat kita jadi miris dan mengurut dada. Perempuan, duhai nasibmu...! Maka ketika terjadi pemerkosaan, yang konon terorganisir secara rapi, di Jakarta medio Mei lalu, kita tak habis bertanya, sampai kapankah nasib perempuan menjadi baik? Sudah demikian bopengkah wajah bumi ini, sehingga kekerasan, ketidakadilan, inferioritas, subordinasi, pemerkosaan terhadap perempuan tetap saja eksis? Akankah mimpi kaum ini untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki digenapi? Mungkinkah cerita kemalangan kaum perempuan yang terbingkai nestapa dan rintihan air mata, berubah menjadi cerita keberhasilan, sukses berbalut roh heroik? Masuk akal memang, dan seharusnya didukung, kalau muncul tuntutan agar "Tragedi Jakarta" (kalau boleh dibilang demikian) diusut hingga tuntas. Sudah sepatutnya juga kalau gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, dilihat sebagai suatu perjuangan yang wajar dan bukan sekadar suatu ajang unjuk diri kaum perempuan.Perjuangan perempuan seperti ini telah lama bermula. Dalam sejarah kita misalnya mengenal sekurang-kurangnya empat paham feminisme. Pertama, feminisme radikal, yang menganggap laki-laki dan perempuan tidak sama. Menurut paham ini, ketidakadilan dibuat oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka laki-laki harus dikalahkan. Kedua, feminisme liberal, berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama. Ketidakadilan adalah akibat tingkah laku perempuan sendiri. Ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki- laki.Ketiga, feminisme marxis, yang menganggap bahwa kapitalisme telah menguras tenaga kaum laki-laki demi penambahan modal. Karena tenaganya diperas di tempat kerja, maka di rumah laki-laki balik memeras perempuan yang bergerak di sektor domestik. Ketidakadilan seperti ini, menurut paham ini, hanya dapat disingkirkan kalau kapitalisme dilawan. Keempat, feminisme sosialis. Paham ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya tidak menghendaki ketidakadilan. Ketidakadilan adalah masalah manusia, bukan masalah laki-laki dan perempuan, maka harus ada kerja sama melawan ketidakadilan.Pada masa sekarang ini ketika subyektivitas manusia semakin mendapat penekanan, perjuangan kaum perempuan mendapatkan kembali afirmasi dirinya masih saja berjalan, seakan tak bertepi. "Tragedi Jakarta" adalah bukti nyata betapa perempuan masih tetap berada pada posisi lemah dalam struktur sosial kemasyarakatan. Di NTT sendiri, sebagaimana diungkapkan Veronika S Ata dan Yos Pati Bean dalam seminar di Hotel Charvita Kupang, 12 Mei 1998 lalu, berdasarkan laporan Harian Pos Kupang kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di NTT sepanjang tahun 1997 sebanyak 83 kasus. Data ini hanya merupakan kasus yang masuk dalam liputan Pos Kupang, tidak terhitung kasus yang luput (tidak ditulis).Sebagai orang yang beradab, saya kira, siapa saja, laki-laki terutama, harusnya bermetanonia dan merefleksikan tema laten ini: Perempuan, duhai nasibmu...! Mengapa ketidakadilan yang dirasakan perempuan adalah nestapa yang berjalan beriringan dengan jejak langkah peradaban manusia? Struktur kebanyakan masyarakat yang bersifat patriarkat, tak dapat tidak sangat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan. Secara picik perempuan dilihat sebagai "pendewitololan" (pinjam bahasa Soekarno). Di satu sisi mereka disanjung bagai dewi dari khayangan, tetapi di lain sisi dianggap tidak lengkap dan tolol.Perjuangan perempuan mendapatkan kembali harga dirinya bukan lahir dari kesadaran bahwa mereka adalah perempuan, kaum Hawa yang lemah secara fisik, tetapi justru karena mereka adalah manusia dengan kualitas keluhuran yang sama dengan kaum laki-laki. Perjuangan perempuan untuk membela dirinya atau menegaskan kembali ke"aku"-annya, tentu saja, tidak bermaksud menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan seperti ini adalah kenyataan biologis-fisiologis-psikologis yang terberi (given). Keterberian seperti ini, sampai kapan pun tak akan mungkin dipertukarkan.Sayang dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, (maaf) kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi ultimum remidium (senjata pamungkas) berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Hasilnya? Perempuan sering lupa bahwa di dunia ini hanya dia yang memiliki kekuatan untuk menjadikan dunia ini suatu "rumah". Sangat sering peranan gender diidentikkan dengan peranan koderati. Keduanya, tentu saja, sangat berbeda. Gender adalah konstruksi sosial tentang peranan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh proses sosialisasi. Dan karenanya gender bersifat dinamis, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Sebaliknya peranan koderati adalah sesuatu yang inheren, yang dari khuluknya tidak dapat berubah.Kalau perjuangan gender, bila emansipasi, jika gerakan feminisme diletakkan dalam bingkai pemikiran seperti ini, maka segala upaya perjuangan, cita-cita mulia, mimpi indah kaum perempuan merupakan hal yang sangat wajar. Emansipasi, perjuangan gender, gerakan feminisme yang sesungguhnya adalah usaha menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kalau bingkai ini diabaikan, rasanya semua perjuangan itu cumalah nyanyian bisu anak hilang di tengah gemuruh perubahan zaman.Perempuan, duhai nasibmu...!
Pos Kupang, 28 Juli 1998

0 komentar:

Posting Komentar