Perihal kekuasaan

Jumat, 16 November 2007

Oleh : Tony Kleden
HAMPIR
tak terbantahkan kalau tema sentral semua pembicaraan, diskusi dan semacamnya setelah Soeharto lengser ke prabon 21 Mei silam hingga saat ini adalah kejahatan begitu banyak ragam warisan Orde Baru. Simak umpamanya satu dua akibat ikutannya yang gila- gilaan: dari menurunnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat hingga menipis (dan karena itu melonjak harga) berbagai kebutuhan pokok hidup (sembako). Dari tidak menentunya kepastian hidup sampai pada utang luar negeri, yang konon dengan kurs sekarang berarti setiap warga negeri ini mesti menanggung lebih dari Rp 10 juta.Kita pun tak membantah kalau selama 32 tahun Soeharto telah banyak berbuat bagi negeri ini. Minus malum, inilah keadaan yang dapat kita raih selama Orde Baru berkuasa. Tetapi kekuasaan yang diaplikasi secara salah akan menjadi sumber segala bencana dan kejahatan. Ibarat pisau, bisa membawa manfaat bisa juga membawa sial, kekuasaan itu memang selalu saja bermatra ganda. Dalam suatu komunitas, lembaga atau unit terkecil hidup bersama, kekuasaan kerap kali tampil bak tangan oktopus yang siap melilit siapa saja yang mencoba melawannya. Kekuasaan seakan muncul sebagai momok buat siapa saja yang punya panggilan untuk berpikir dan bertindak demokratis, menyatakan kebenaran qualitate qua (sebagaimana adanya), dan ingin realita tampil transparan.Apakah memang kekuasaan itu demikian kuat cengkeramannya, sehingga apa pun usaha yang coba mengimbanginya selalu saja gagal? Entahkah masih relevan di alam keterbukaan dan di dalam iklim reformasi ini kekuasaan menampilkan diri sebagai sebuah perpetuasi yang perlu dilanggengkan? Dan apakah kekuasaan itu sememangnya perlu ditakuti?
Hakikat dan dasar kekuasaan
Kekuasaan, apa sesungguhnya? Rasanya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa berbicara tentang kekuasaan tak lain dari berbicara tentang "relasi antarpribadi". Sebab kekuasaan pada latar yang paling dalam sangat mensyaratkan pribadi-pribadi secara bersama-sama (baca: masyarakat). Kekuasaan merupakan gejala yang khas manusiawi, dan karena itu juga, bersifat antarpribadi. Kekuasaan terdiri dari relasi tertentu antarindividu yang berbeda- beda. Hal yang segera akan nampak dalam kekuasaan adalah ketergantungan yang sepihak. Orang menjadi tergantung pada pihak lain.Ketergantungan sepihak selanjutnya akan mengimplikasikan kepatuhan (kesetiaan), juga dari satu pihak kepada pihak lain. Pihak yang satu dipengaruhi sekian oleh pihak yang berkuasa, sehingga selalu mengarahkan perilakunya kepada pihak yang berkuasa itu. Akan tetapi ini tidak lalu berarti bahwa setiap pengaruh dari orang yang satu atas orang lain dapat dicirikan sebagai kekuasaan. Kekuasaan mempunyai warna dan ciri lain. Karena kendatipun orang yang berkuasa mempunyai posisi yang kuat, toh kekuatannya bersifat moral, bukan fisik. Ia tidak main paksa sesuka hati, melainkan datang mengimbau, menggugah dan mempengaruhi kelakuan orang lain dengan mengatakan apa yang harus mereka perbuat. Ia meyakinkan orang lain berdasarkan keunggulan moral.Dalam rumusan lain, kekuasaan tidak bersifat memaksa, tidak pernah mengambilalih kebebasan dari pihak lain. Kekuasaan mempengaruhi, merangsang orang bebas, agar ia sendiri mamakai kebebasan serta tanggung jawabnya untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu. Dikatakan secara tegas, kekuasaan tak pernah boleh merepresentasikan atau bahkan mengganti "aku" yang lain dalam tindakannya, tidak menonaktifkan kebebasan aku yang lain, tetapi terutama mesti dilihat sebagai perpanjangannya. Singkat kata, kekuasaan tak lain adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain.April Carter dalam bukunya Authority and Democracy coba menjelaskan kekuasaan dalam dua ciri. Pertama, kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela; dan kedua, kemampuannya untuk memerintahkan dan memaksakan kepatuhan. Tetapi rumusan ini perlu segera ditambahkan bahwa kebebasan subyek tetap dijunjung tinggi. Kalau kekuasaan dimengerti sekian dan selalu mengandaikan relasi dua pihak, pertanyaan penting yang perlu diajukan sekarang adalah, apakah relasi dua pihak itu punya legalisasi? Bagaimana relasi kekuasaan itu dimungkinkan? Menjawab pertanyaan ini sama perlunya dengan menegaskan kembali hakikat manusia; hakikat manusia sebagai makhluk sementara (contingens) yang berziarah menuju kepenuhan. Makhluk yang ditandai oleh keadaan belum lengkap, belum selesai. Keadaan belum selesai ini menuntut manusia untuk mengembangkan diri dan mencari daya upaya yang menunjang proses "menjadi diri". Dalam usaha merealisasikan jadi dirinya, manusia butuh orang lain. To exist is to co-exist (Ada manusia adalah ada bersama). Atau seperti dikatakan Heidegger, hidup sebagai manusia berarti juga "in der Welt Sein" (ada dalam dunia). Ada dalam dunia selanjutnya berarti terbuka terhadap orang lain.Oleh karena pada hakikatnya manusia adalah "manusia bersama dengan manusia lain", maka ia dapat juga dibantu oleh orang lain dalam merealisasikan hidup pribadinya. Orang lain menjadi begitu penting justru karena dapat menyampaikan sesuatu yang berguna, bernilai dan membuka suatu perspektif baru yang positif. Diterjemahkan ke dalam konteks kekuasaan, maka absah tidaknya kekuasaan tidak merugikan dan mereduksikan keunikan dan kemandirian seseorang individu. Sebaliknya malah terjadi dengan memandang dan kemudian menghayati kekuasaan dalam frame kebersamaan, kekuasaan dapat memberi kedamaian dan bobot yang lebih banyak buat hidup manusia.Sampai di sini kesimpulan yang mesti ditarik adalah bahwa kekuasaan adalah suatu pengabdian pada mereka yang dipimpin. Orang yang mempunyai kekuasaan tidak menggunakan kekuasaan demi kepentingannya sendiri. Kekuasaan secara intrinsik membuat yang bersangkutan mengabdi, membaktikan diri kepada orang lain. Kekuasaannya mengejawantahkan kemampuannya sebagai bagian dari orang lain.Itu berarti bahwa pihak yang berkuasa tidak pernah dapat mengeksploitasi bawahannya. Bawahan seharusnya dan sememangnya dapat "menjadi diri sendiri". Dengan demikian kalau kekuasaan bercorak pengabdian, maka kekuasaan dapat membangkitkan kepatuhan dari pihak yang dikuasai. Tetapi kepatuhan di sini adalah kepatuhan yang didasarkan pertimbangan akal sehat. Kepatuhan bawahan bukanlah kepatuhan buta, tetapi kepatuhan yang didasarkan atas perhitungan bahwa penguasa yang dipatuh adalah penguasa yang tidak memagari atau membatasi lapangan hidup orang lain, melainkan harus memperluasnya. Dalam arti tegas, kekuasaan tidak boleh bercorak represif, melainkan harus ekspansif.
Batas kekuasaan
Kekuasaan per definisi merupakan sesuatu yang positif, karena mengandaikan relasi antarmanusia. Dalam relasi ini manusia diterima sebagai intersubyektivitas. Maksudnya bahwa hubungan antarmanusia adalah hubungan antara subyek dengan subyek. Atau kalau mau memakai rumusan Martin Buber, maka hubungan itu digambarkan sebagai Ich - Du Beziehung. Dalam hubungan ini dua orang saling menerima secara utuh dan lagi saling menghargai karena kemanusiaan.Kendati memiliki nilai positif, toh kekuasaan itu tidak bersifat tanpa batas. Kalau kekuasaan berlaku tanpa batas, maka akibatnya jelas, yakni bahwa kekuasaan akan menjadi arogan. Arogansi kekuasaan akan menemukan ekspresinya dalam kecenderungan memaksakan kehendak dan tindakan kekerasan. Sungguh sayang bahwa kekuasaan itu sering diartikan sebagai dan mengacu pada hak untuk memaksakan kehendak, termasuk hak untuk menegakkan kepatuhan bila diperlukan. Kalau kekuasaan punya point of reference-nya pada hak untuk memaksa, maka power tends to corrupt akan menjadi lagu lama yang senantiasa baru.Lalu apakah kekerasan mesti dihindari dalam pelaksanaan kekuasaan? Solusinya bukan meninggalkan kekerasan dalam pelaksanaan kekuasaan. Bagaimanapun juga kekerasan adalah sesuatu yang selalu perlu dalam pelaksanaan kekuasaan. Tetapi bila kekerasan dipergunakan terlalu sering, maka kekerasan dapat menjadi momok yang bisa menghancurkan kekuasaan sendiri. Sebaliknya juga benar bahwa kekuasaan yang tidak didukung oleh kekuatan pemaksa yang cukup besar, juga dapat menimbulkan kehancuran kekuasaan itu sendiri.Solusi yang tepat, karena itu, adalah menciptakan keseimbangan yang pas antara penggunaan persuasi (pengaruh) dan coercion (paksaan). Dalam kehidupan bermasyarakat koersi memainkan peranan penting, karena manusia merupakan makhluk berakal budi. Dalam hal kekuasaan, kepatuhan sukarela dapat ditimbulkan oleh persuasi, sedangkan penggunaan koersi dalam melaksanakan kekuasaan merupakan satu hal yang relatif gampang. Yang dibutuhkan adalah kekuatan yang melebihi pihak yang dikuasai.Menciptakan keseimbangan antara keduanya, itulah solusi yang paling baik. Tetapi mencapai keseimbangan itu ternyata tidak segampang membalikkan telapak tangan. Sebab kekuasaan yang didasarkan atas persuasi adalah terlalu ideal, sebaliknya bila didasarkan atas koersi yang terlalu banyak adalah tidak manusiawi.Prinsip keadilan barangkali mesti diterapkan. Dalam suatu masyarakat keadilan menjadi nyata dalam pelaksanaan hukum normatif yang berlaku. Tetapi praktek hukum tetap punya persoalan. Soalnya tetap klasik: keterbatasan dan kelemahan manusia. Namun hukum toh mesti diterima. Hukum, sekalipun punya aspek negatif - karena dengan mudah dapat merendahkan kelakuan manusia menjadi kejadian yang bercorak mekanis - selalu punya aspek positif. Hukum justru melindungi manusia terhadap keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Karena hukum merumuskan secara obyektif apa yang harus dilakukan atau harus dihindari manusia. Mengingat bahwa hukum mendatangi manusia dari luar maka hukum memaksa manusia untuk berlaku atas cara tertentu. Seandainya manusia hanya tergantung pada diri sendiri (tidak menerima hukum), maka kelakuannya akan mengarah kepada kesewenang-wenangan. Hukum punya daya kemauan untuk setiap kali mengembalikan manusia kepada kewajiban tertentu yang ada padanya, dan ipso facto, manusia dapat menghasilkan suatu kelakuan yang kurang lebih mantap.Boleh saja hukum tidak perlu. Tujuan hukum paling dalam justru adalah terhapusnya hukum itu sendiri. Tetapi itu sangat mengandaikan kelakuan manusia yang sangat stabil dan konsisten. Namun faedahnya hukum justru berasal dari tidak benarnya pengandaian itu. Pengandaian bahwa "aku" adalah demikian stabil dalam bersikap, sehingga tidak butuh bantuan hukum, merupakan suatu cita-cita utopis. Dalam filsafat sikap itu dinamakan idealisme moral.Bagaimana kekuasaan diaplikasikan selama Orde Baru? Sebegitu lama, bau busuk segala praktek menyimpang dibalut perban putih seperangkat peraturan hukum yang bukan hanya rigoristis sifatnya tetapi juga mengekang. Tak pelak lagi kejahatan dalam berbagai ragam (ekonomi, politik, hukum, moral dan lain-lain) semakin hari semakin merajalela.Tetapi anehnya kendati banyak yang sadar akan kejahatan itu, hampir tak ada orang yang mampu melawannya. Menghadapi keadaan kejahatan di Indonesia mungkin berguna kalau kita mengingat Voltaire. Baginya kejahatan adalah suatu fenomena yang berurusan dengan kekuasaan, pertarungan antarkekuasaan. Salah satu alat untuk memecahkan soal itu adalah political will, atau mungkin lebih tepat power will atau the will to power itu sendiri. Tanpa itu tidak ada pemecahannya. Coba simak pernyataannya ini: "Pilihannya adalah Tuhan bisa menghapus kejahatan dari muka bumi, tetapi dia tidak mau; atau mau melakukannya, tetapi tidak bisa; atau dia tidak bisa dan tidak mau; atau dia bisa dan mau. Kalau dia mau dan tidak bisa, berarti dia tidak maha kuasa. Kalau dia bisa dan tidak mau, maka tidak baik hatinya. Kalau dia tidak mau dan tidak bisa, berarti dia tidak maha kuasa dan juga tidak baik hatinya. Kalau dia mau dan juga bisa, dari mana asalnya kejahatan di atas muka bumi?" Dalam kasus Orde Baru? Ternyata ada yang lebih berkuasa dari Tuhan yang maha kuasa.
Pos Kupang, 5 Oktober 1998

0 komentar:

Posting Komentar