Pers NTT: 'anjing peliharaan', 'anjing penjaga', atau 'anjing pasar loak'

Jumat, 16 November 2007

Oleh Tony Kleden
SEMASA
hidupnya Edmund Burke (1729 - 1797) memaklumatkan petuahnya yang sangat terkenal. Dia mengatakan, "Pers merupakan 'the fourth estate' atau pilar keempat dalam kehidupan demokrasi suatu negara, di samping eksekutif, yudikatif dan legislatif." Peran sebagai pilar keempat demokrasi ini pula yang mendorong Thomas Jefferson, salah seorang pendiri demokrasi Amerika untuk mengatakan bahwa jika ia harus memilih antara pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, ia tidak akan ragu sedetikpun untuk memilih yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudian, Napoleon Bonaparte ketika menjadi Kaisar Perancis, mengaku lebih takut kepada pena penulis dari pada seribu bayonet prajurit.Kisah klasik di atas sama sekali tidak bermaksud menganggap luar biasanya tempat dan peran pers atau terutama para pengawaknya. Tetapi dan terutama mau mengatakan bahwa dalam suatu negara atau masyarakat demokratis yang menjunjung kebenaran, menghargai keadilan, menegakkan hukum, kehadiran pers merupakan suatu keniscayaan.Hari ini 9 Februari 2000, kita memperingati Hari Pers Nasional ke-54. Berbeda dengan peringatan ketika kegelapan masih menyelimuti pers nasional sejak kemerdekaan dan terutama ketika rezim Soeharto berkuasa, peringatan tahun ini agaknya sepi-sepi saja. Tidak ada penganugerahan tanda penghargaan sebagaimana budaya rezim Orde Baru. Padahal jika dikritisi budaya seperti itu tidak lain bermaksud mewanti-wanti para pemimpin redaksi penerima penghargaan agar "tiarap" secara sempurna di depan kaki "yang dipertuan agung". Di beberapa propinsi peringatan ini "hanya" diisi dengan serangkaian lomba penulisan. Di NTT tidak ada yang istimewa dari peringatan hari pers nasional.Baiklah, agaknya budaya warisan Orde Baru yang lebih mementingkan lipstik ketimbang isi, menomorsatukan seremoni ketimbang diskusi, mengistimewakan pesta daripada kerja kita kubur. Dalam pola pikir itu kita coba melihat lebih luas, memandang lebih jauh untuk kemudian berpikir lebih dewasa tentang ragam tampilan pers kita di NTT saat ini berikut peran yang dimainkannya.Di NTT saat ini terdapat tidak kurang lima koran harian (sebentar lagi Sasando Pos akan menyusul). Kelima koran harian itu berturut-turut: Pos Kupang, Surya Timor, Flores Pos, NTT Ekspres dan Suara Timor. Kecuali koran harian ini khazanah perpersan di NTT juga disemaraki dengan dua tabloid mingguan, masing-masing Dian dan KOMPAK. Ini tidak terhitung dengan beberapa buletin atau malajah bulanan atau dwimingguan atau juga triwulan yang turut meramaikan media di NTT.Mula pertama setiap media ini memeluk idealisme luhur untuk mulai. Akhir tahun 1992, Harian Umum Pos Kupang terbit. Sebagai satu-satunya harian lokal di NTT saat itu, kehadiran koran ini mampu memberi keyakinan bahwa orang NTT ternyata bisa membangun koran di 'tanah airnya' sendiri. Sesuatu yang sepertinya tabu, setidak-tidaknya di tingkat wacana pemikiran, kala itu. Yang paling sering dan cukup diakui adalah kemampuan 'anak negeri NTT' membesarkan media di luar NTT.Karena itulah ketika Pos Kupang beredar di masyarakat Kota Kupang banyak orang tidak percaya. Pertanyaan aneh-aneh muncul. Cetak di mana? Milik siapa? Siapa wartawannya? Apakah mungkin membikin harian di NTT? Semua itu merupakan pertanyaan normal. Jangan lupa, ilmu pengetahuan bermula dari pertanyaan tentang ignorantia (ketidaktahuan).Karena itulah masa-masa awal penerbitan, Pos Kupang mesti menerima banyak kritikan, cemoohan. Wartawan disepelekan, berita dianggap tidak berbobot dan korannya kemudian dinilai lebih cocok dipakai sebagai pembungkus kacang. Sebagai suatu tantangan, semua reaksi awal itu sah-sah saja. Tetapi diakui atau tidak, Pos Kupang merupakan tonggak paling penting merintis koran harian lokal di NTT. Dia telah memenangkan sejarah ketika tampil setiap hari. Tiga tahun pertama merupakan masa pencarian identitas diri. Terpaan badai datang mengganggu. Tahun 1996 koran ini bergabung dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia), suatu raksasa koran di Indonesia. Sejak itu Pos Kupang tampil lebih percaya diri. Profesionalisme semakin mendapat tekanan. Dan koran ini mulai dikelola secara profesional.Seiring dengan itu, rasa percaya diri mulai tumbuh. Setidak-tidaknya hingga paruh pertama 1999, Pos Kupang tampil sebagai single fighter dalam jagat pers di NTT. Apa yang ditulis diyakini sebagai benar. Dari tampilannya melalui berita berikut gaya dan style penulisan, secara tegas dapat dikatakan Pos Kupang menampilkan diri sebagai koran umum. Spesifikasi pembaca belum terlihat kentara.Ketika angin reformasi berhembus dan kebebasan pers dihargai, Harian Surya Timor muncul. Itu terjadi Mei 1999. Dengan komandan Wens John Rumung, hampir seratus persen pengelola harian ini adalah para mantan awak Pos Kupang. Karena itu mudah bagi kita menebak gaya macam apa yang akan dikembangkan Surya Timor. Banyak pihak menduga-duga harian ini tidak jauh berbeda dengan Pos Kupang.Ternyata dugaan itu meleset jauh. Sangat berbeda dengan Pos Kupang, Surya Timor tampil dengan gaya yang sangat 'acak', karena dia merupakan harian yang ditulis dalam gaya tabloid. Tampilan seperti ini sangat jarang terjadi dalam jagat pers Indonesia. Dalam konteks ini, harus diakui Surya Timor memperkenalkan wajah baru dalam pers NTT.Dengan gaya seperti ini, berita-berita yang disajikan menjadi terbedakan. Berbeda karena dua hal, pertama, ada kandungan interpretasi dalam berita. Kedua, pembaca digiring untuk turut berpikir secara aktif menanggapi suatu berita. Sangat berbeda dengan model stright news, dimana news harus betul-betul new. Dalam empat bulan pertama, langgam seperti ini cukup bertahan. Dan Surya Timor mendapat tempat yang cukup baik di hati pembaca. Sesudah itu gaya yang mestinya sangat baik ini mulai hilang. Itu terlihat dari isi dan muatan interpretasi setiap beritanya. Memang menulis dengan gaya seperti ini sangat mensyaratkan kemampuan dan daya pikir para wartawan. Dengan gaya ini Surya Timor bertahan dan coba untuk maju menembus pasar. Di pasaran Surya Timor tetap tampil dengan gayanya. Tentu bukan asal tampil beda.Beberapa waktu setelah Surya Timor lahir, di Ende muncul Harian Flores Pos. Satu atap dengan SKM Dian, awak Flores Pos adalah juga awak Dian. Tidak berbeda jauh dengan Dian, Flores Pos juga menampilkan gaya penulisan dan style yang tajam, mengigit dan terkadang kelewat berani. Ini didukung oleh para awaknya yang kebanyakan punya latar belakang studi filsafat.Tidak berapa lama, muncul harian NTT Ekspres. Sama seperti Surya Timor para awaknya, setidak-tidaknya di jajaran teras keredaksian, adalah para mantan wartawan Pos Kupang. Bahkan ada beberapa mantan karyawan Pos Kupang yang sebelumnya mengawaki Surya Timor bergabung lagi di NTT Ekpres.Sejauh ini, boleh dibilang harian ini masih mencari bentuk dan gaya penulisan sendiri. Gaya yang tersaji sekarang masih kuat dipengaruhi oleh gaya Pos Kupang, sesuatu hal yang tidak bisa dihindari karena gaya Pos Kupang masih cukup kuat membatin. Tetapi yang unik dari harian ini adalah moto koran ini yakni 'aktual, akurat dan tuntas berlandaskan kasih'. Tak dapat tidak, moto ini langsung mengesankan warna kristen. Ini diperkuat lagi dengan rubrik Hati Nurani di halaman tiga, yang menyajikan renungan harian yang diterbitkan PGI (Persekutuan Gereja Indonesia). Lepas dari moto berikut kesan ikutannya, NTT Ekspres sampai hari ini tampil sebagai koran umum. Nyaris tidak ada bedanya dengan Pos Kupang.Belum dua bulan NTT Ekspres 'go public', terbit Harian Suara Timor. Mulanya tidak ada yang menduga kalau minat membangun koran begitu tinggi dalam diri orang NTT. Lagi-lagi, adalah Wens John Rumung yang membidani koran ini, setelah berhenti dari Surya Timor. Agaknya para awak Suara Timor yang 'lari' dari Surya Timor berjuang mengalahkan Surya Timor. (Dalam ilmu bisnis keadaan dan niat seperti ini sah-sah saja). Itu kentara dari pemilihan nama harian ini. Huruf 'y' membedakan "Surya Timor" dan "Suara Timor". Sangat sulit dipercaya kalau pemilihan nama ini tidak berlandaskan semacam suatu 'sentimen psikologis'. Jika tidak ada 'sentimen psikologis' berarti para awaknya tidak kreatif berpikir mencari suatu nama lain. Mirip dengan Surya Timor, Suara Timor juga coba tampil 'acak' dalam gaya penulisan. Dengan mengambil segmen pasar masyarakat Kota Kupang harian ini hadir dengan berita-berita beragam di kota ini. Seperti di pasar murah, harian ini hadir sebagai 'paket hemat' di pasaran: murah dalam harga (ketika awal Rp 1.000,00 per eksemplar, sekarang naik menjadi Rp 1.500,00) dan ringan dalam penulisan.Dari telaahan asal jadi di atas, terlihat bahwa idealisme menyajikan informasi, membela kebenaran, mengontrol ketimpangan dan pendidikan masyarakat merupakan kredo yang dinyanyikan para awak koran pada awal mulanya. Dalam arti ini tidak ada alasan bagi kita untuk tidak gembira terhadap media massa di NTT. Yang kemudian menjadi pertanyaan penting sekarang sejauh mana kredo itu diejawantahkan dalam setiap tampilan berita. Kebebasan pers sudah dibuka seluas-luasnya. Undang-Undang Pers yang baru saat ini juga cukup menjamin iklim kebebasan pers itu. Tetapi itu tidak berarti tanpa tanggung jawab moral.Tinggal sekarang bagaimana pers NTT menampilkan diri. Mau pilih sebagai 'anjing peliharaan'? Atau 'anjing penjaga'? Barangkali sebagai 'anjing pasar loak'? Karakter pers sebagai 'anjing peliharaan' adalah pers yang sangat kuat diintervensi oleh penguasa, sehingga pers itu senantiasa menuruti kemauan tuannya.Pers yang tampil sebagai 'anjing penjaga' adalah pers yang menjunjung tinggi kredo dan coba menghayatinya dalam pemberitaan yang seimbang dan mementingkan kepentingan umum. Dia tidak berafiliasi di bawah suatu kepentingan tertentu. Tidak juga di bawah pengaruh seorang pengusa. Pers seperti ini juga didukung oleh wartawan yang bekerja secara profesional dengan memegang teguh kode etik jurnalistik.Sedangkan pers yang muncul sebagai 'anjing pasar loak' adalah pers yang lebih menempatkan keuntungan ekonomis di atas segala- galanya. Akibatnya segala yang disyaratkan seperti profesionalisme, wartawan yang berdedikasi dan memegang teguh kaidah moral diabaikan. Mau pilih yang mana? Pasar jua yang kelak menentukan mana pers yang sesungguhnya dan karena itu layak disambut.
Pos Kupang, 9 Februari 2000

0 komentar:

Posting Komentar