Quis qustodiet qustodes?

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden*

DALAM zaman "Orde Soeharto" (bukan Orde Baru, karena kredo Orde Baru pada awal mula berdirinya adalah koreksi total terhadap praktek maksiat Orde Lama. Yang terjadi kemudian adalah pengulangan dengan cara yang paling kejam segala praktek Orde Lama. Hebatnya, pengulangan itu selalu dapat dijawab melalui semacam tautologi yang sangat sempurna), transparansi hampir tidak dikenal. Monolog berupa perintah dan petunjuk dari atas memampetkan dialog dan kompromi. Dan demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi jalanan.
Ketika itu jangankan kebebasan berekspresi, membaca karya sastra hasil karya anak bangsa yang dibenci penguasa saja disumbat. Pramudya Ananta Toer adalah contohnya. Hampir pasti banyak pelajar saat itu tidak pernah mendengar Tetralogi-nya Pramudya Ananta Toer yang gilang gemilang dan diterjemahkan dalam belasan bahasa dunia itu. Lalu... membacanya...? Impossible!
Media massa, kendati serba diatur agar dapat selalu tiarap, memang tumbuh dan menyajikan informasi. Tetapi information deficiency tetap ada. Kekurangan informasi sangat terasa di tengah cukup banyaknya media massa. Ketika itu penguasa, entah di pusat pun di daerah, asal punya tanda kepangkatan dan melalui ritus pelantikan, merasa diri begitu kuat dan penting. Dengan pakaian safari yang licin dan sepatu mengkilap mereka menampakkan diri bak resi yang berumah di angin. Rasionalitas akan dijawab dengan irasionalitas. Kritik pasti dibalas dengan pembungkaman. Hukum jarang menyentuh mereka.
Penguasa betul-betul imun terhadap kritik. Kemelaratan rakyat akan dijadikan komoditas andalan menambah kredit point mereka. Retorika yang sering dianut adalah jika pembangunan berhasil pemimpinlah yang dinilai berhasil. Tetapi jika pembangunan gagal, rakyat dituding tidak punya kesadaran, tidak mampu, dan tidak, tidak yang lain.
Tetapi selepas keranda Orde Soeharto itu dihantar mahasiswa menuju liang lahatnya 21 Mei 1998, bangsa ini mendapatkan angin segar dan boleh menarik nafas lepas. Aufklerung, zaman pencerahan terbit. Orde Baru yang di tangan Soeharto menjadi jimat mempertahankan kekuasaan turut dihantar ke kubur. Tak ada banyak ratapan. Bagai orang yang sedang trance, masyarakat bangsa ini hanyut dalam euforia. Di tengah euforia itu, entah siapa "imam"- nya, Orde Reformasi kemudian dibaptis. Iconnya adalah transparansi dan kebebasan menyatakan pendapat. Menyatakan pendapat tidak lagi sekadar kebebasan,, tetapi lebih jauh bermakna hak (right to expression).
Atas landasan hak menyatakan pendapat itulah, kemudian muncul begitu banyak partai politik pada awal Reformasi. Partai politik, jika coba dirumuskan, adalah kelompok terorganisir yang punya orientasi, nilai-nilai dan visi yang sama. Perjuangan mereka adalah memperoleh kekuasaan politik, dan melalui kekuasaan politik itu kebijakan-kebijakannya dikonkretkan. Dalam sistem demokrasi, partai politik dibawa kepada peran dasarnya, yakni sebagai sarana komunikasi politik, sebagai jembatan penghubung antara the rulers (yang memerintah) dan the ruled (yang diperintah). Dalam koridor menampung perubahan dinamika dan pluralitas aspirasi politik, semua partai politik adalah sah dalam tujuan. Sayang, seperangkat aturan bersama yang dirumuskan sebagai syarat eksisnya sebuah partai, menyebabkan 'cuma' 48 partai yang boleh ikut Pemilu, 7 Juni 1999 lalu. Minus malum, Pemilu 7 Juni 1999 merupakan pemilu yang cukup demokratis. Selain kebebasan warga dijamin, out put pemilu secara nyata menampakkan pluralisme dalam percaturan politik. Itu jelas tercermin dari wajah kalangan legislatif yang lahir dari pemilu itu.
Pluralisme menekankan pengakuan terhadap keragaman. Ciri yang paling menonjol adalah terdapatnya ruang dan media bagi perbedaan. Pluralisme, dengan demikian, akan selalu menghindarkan prinsip mayoritas. Pluralisme tidak lagi bicara mayoritas-minoritas, tetapi tentang bagaimana aspirasi semua kelompok mendapat kesempatan yang adil untuk diekspresikan.
Kendati belum sadar sepenuhnya, karena memang butuh proses dalam waktu, ada kesadaran dari rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Keterwakilan kita di legislatif sedikit banyaknya terasa. Pluralisme di legislatif tidak hanya terlihat dari keanggotaan, tetapi dan terutama menyata juga dari variasi pendapat. Hak-hak anggota legislatif, yang ketika Soeharto berkuasa dinafikan, mulai digunakan. Sayang, euforia politik, agaknya membuat anggota legislatif kita lupa diri dan seperti orang yang mabuk. Peran sebagai pengontrol eksekutif nampaknya terlalu berlebihan dalam artikulasi. Kita memang terpukau, ketika pada masa-masa awal kiprahnya, wakil-wakil rakyat itu tampil ngotot, bersuara lantang. Di tingkat pusat, ingat misalnya pada 20 Juli 2000, Presiden Gus Dur diobok-obok melalui hak interpelasi terkait dengan pemecatan Yusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Ketika itu Gus Dur diberondong dengan seribu satu macam kritik yang sasaran tembaknya justru bukan pada substansi persoalan, tapi pada kepribadian presiden yang dinilai tidak memenuhi syarat kepresidenan. Tak heran kalau Dr. Ignas Kleden (Tempo, 6 Agustus 2000) menilai bahwa apa yang dipertontonkan DPR adalah 90 persen psikologi dengan masalah-masalah kejiwaan, dan hanya 10 persen politik dengan good governance sebagai substansinya.
Lucu, memang! Di NTT, lelucon itu juga mengambil langgam yang lain. Ketika ada soal atau masalah di pihak eksekutif, kalangan Dewan tampil berani dan bersatu dalam satu koor dengan satu nada dasar yakni kritik. Begitu sering kita mendengar kritikan Dewan terhadap pekerjaan eksekutif. Mulanya keras, tetapi lama-kelamaan meredup, meredup dan akhirnya diam. Mengapa? Wallahualam...!!
Laporan Pertanggungjawaban Gubernur NTT pada 19 Juli 2000, adalah contoh soal yang menarik. Rakyat propinsi ini seakan dibuka wawasannya (melalui suara anggota Dewan di media massa) ketika mengikuti kritik kalangan Dewan tentang Pertanggungjawaban Gubernur NTT. Lucunya, jauh-jauh hari ada fraksi yang menurut berita burung, mengancam akan menolak Laporan Pertanggungjawaban Gubernur itu. Ancaman seperti ini janggal, tidak hanya dalam logika politik, tetapi juga dalam logika berpikir. Mana mungkin menjatuhkan putusan (sebagai konklusi) sebelum melihat substansi permasalahan (sebagai premis) yang akan diputuskan? Yang hendak dikritik di sini bukan tidak layaknya Laporan Pertanggungjawaban Gubernur itu, tetapi bagaimana sebagian anggota legislatif kita demikian berlebihan mengganggap penting perannya sebagai pengontrol.
Bahwa salah satu fungsi penting lembaga legislatif adalah mengontrol eksekutif, semua kita mengamininya. Tragedi besar kalau fungsi ini diabaikan. Tetapi kalau terlalu melebih-lebihkan kepentingan fungsi ini adalah juga suatu komedi. Di antara tragedi dan komedi itulah terletak fungsi pengontrol legislatif. Tetapi lalu pertanyaannya, quis qustodiet qustodes? Siapa yang mengontrol Dewan kita?
Pos Kupang, 16 Januari 2001

0 komentar:

Posting Komentar