Suksesi Flores Timur: berpacu dengan daerahisme

Rabu, 14 November 2007


Oleh: Tony Kleden

BANDUL suksesi kepemimpinan di Flores Timur makin mendekati titik kulminasinya. Dan dalam tenggang waktu yang kian singkat itu, makin seru juga 'perang tanding' antarpendukung figur calon pemimpin di Flores Timur.
Berbagai model dan bentuk dukungan telah dilakukan. Ada figur yang mengatakan (setidak?tidaknya dari laporan media massa) telah turun sendiri ke desa?desa dan mengkleim telah membabat kawasan tertentu sebagai kapling garapan dan karena itu jangan diganggu gugat lagi. Figur lain lagi sibuk menyebar surat dukungan ke berbagai desa di pelosok?pelosok. Ada juga yang seperti pemazmur dalam Perjanjian Lama melitanikan sejumlah janji jika terpilih sebagai kepala daerah. Yang lain lagi masih lelap dalam mimpi dan menunggu di tikungan yang pas dan melancarkan serangan fajar melalui segepok rupiah.
Sesungguhnya semua itu termasuk dalam dinamika demokrasi. Dan karena itu mestinya direspons sebagai sesuatu yang lumrah saja. Dari praktek seperti ini terlihat, meski masih sangat minim dampaknya, bahwa rakyat di lapisan paling bawah mulai sadar bahwa mereka punya hak besar menentukan dan merumuskan orang model mana, figur seperti apa yang pantas berdiri di garda terdepan memimpin mereka masuk ke 'tanah terjanji'.
Target praktek ini sudah jelas yakni mencoba merebut kredit dukungan paling banyak yang diyakini merupakan representasi dukungan masyarakat. Dalam koridor pemahaman seperti ini surat dukungan merupakan terminus ad quo (dalam terminologi ini berarti titik star dan modal kepercayaan awal). Sebatas ini agaknya praktek ini diamini sebagai sesuatu yang berlaku umum. Tetapi ketika praktek ini berbalik menjadi terminus ad quem (titik sasaran), maka praktek ini telah menistakan dinamika demokrasi. Dirumuskan secara praktis, jika seorang calon bupati tidak terpilih nanti, dia tidak dapat membela diri dengan berargumen bahwa banyak daerah memberi dukungan kepadanya. Sama konyol juga manakala ada daerah yang kemudian mengultimatum memisahkan diri (direkayasa?) jika jagonya tidak terpilih.
Paradigma dan mekanisme demokrasi seperti inilah yang harus ditinggalkan. Dari pengalaman praktek seperti ini terlalu banyak meminta korban baik material, sosial bahkan nyawa manusia. Ingat misalnya kasus pemilihan Bupati Manggarai. Meski akhirnya dilantik Kamis (24/2/2000), duet Bagul Dagur dan Markus Djadur, menapak tangga pertama kepemimpinan mereka dengan langkah 'berat'. Manggarai bukan Flores Timur. Tetapi pengalaman Manggarai telah membuka mata terhadap banyak hal dalam hal ihwal suksesi kepemimpinan.
Yang menarik dan agak unik dari hajatan suksesi di Flores Timur sejak dulu adalah dijadikannya 'daerahisme' sebagai komoditas unggulan yang menjadi jualan para calon bupati. Seperti di pasar malam, setiap calon membuka kios dan menjual isu ini sebagai jualan primadona. Calon dari pulau (Adonara dan Solor, dulu ditambah Lembata) dengan dukungan masyarakatnya 'menyerang' calon dari dari Flores daratan. Bagi mereka dari pulau, warga di Flores daratan terlalu angkuh dan seakan?akan menjadikan Kota Larantuka sebagai kota eksklusif mereka. Begitu juga sebaliknya, warga di Flores daratan melihat mereka di pulau dengan sebelah mata dan menganggap mereka sebagai orang asing. Flores Timur bagi mereka identik dengan Larantuka.
Tak dinyana kalau di Flores daratan roh sukuisme juga menghantui dan memagari beberapa kawasan: Kota Larantuka, Tanjung Bunga dan Wulanggitang. Di Kota Larantuka pun semangat suku masih memisahkan masyarakatnya. Demikianlah seterusnya hingga warga kabupaten yang miskin PAD itu makin kuat membentengi diri dalam ghetto kultural, etnis dan bahkan sosial. Lama kelamaan tumbuh sentimen suku yang kemudian turut mewarnai suksesi kepemimpinan. Warga Adonara akan mati?matian berjuang bahwa mereka juga adalah bagian dari wilayah Flores Timur. Solor juga tidak ketinggalan 'merebut' kesempatan menunjukkan eksistensinya. Tanjung Bunga dan Wulanggitang, meski berada di Flores daratan, tetap mesti 'memberitahukan' bahwa mereka juga berada di Flores daratan. Sebaliknya warga Kota Larantuka makin tegas menampilkan diri sebagai satu?satunya pewaris Flores Timur. Bahkan tumbuh kesan secara samar bahwa yang disebut sebagai Kota Larantuka itu adalah kawasan sempit yang terbentang dari Postoh di timur hingga San Dominggo di barat. Warga di luar Kota Larantuka merasa diri sebagai anak tiri, sedangkan warga Kota Larantuka semakin pongah menegaskan superioritas mereka.
Pola pikir seperti ini menemukan ekspresinya dalam idiom berbahasa seperti lao data (sebutan untuk orang pulau), dala' data (orang Wilanggitang), belaka guno (daerah di 'belakang' Gunung Mandiri seperti Riangkemie, Lewotala, Riangkotek dan sekitarnya) dan lua data (orang dari Tanjung Bunga). Dengan jargon seperti ini, warga Kota Larantuka secara sadar atau tidak mengkleim diri sebagai ahliwaris paling berhak atas Kota Larantuka dan Kabupaten Flores Timur.
Pola pikir seperti ini bisa dilacak dari sejarah awal ketika Patung Bunda Maria terdampar di pesisir Pantai Suster (Pante Uste) beberapa abad lalu. Salah satu versi sejarah menyebutkan patung Bunda Maria itu ditemukan oleh seorang bernama Resiona. Resiona kemudian membawa patung itu ke korke (rumah adat) dan selanjutnya diserahkan ke Raja Larantuka. Raja Larantuka kemudian dilihat sebagai pemegang estafet keberadaan patung Bunda Maria itu. Bahkan tongkat kerajaan kemudian diserahkan ke Bunda Maria. Bunda Maria kemudian menjadi benteng yang kokoh pelindung Kota Larantuka. Dan Kota Larantuka kemudian dijuluki Kota Renha Rosari.
Sejarah ini sangat mempengaruhi alam pemikiran warga Kota Larantuka hingga saat ini. Itulah sebabnya dalam urusan suksesi mereka menganggap bahwa orang yang paling berhak memimpin Flores Timur adalah orang dari 'turunan' yang paling berhak. Dalam alam pikiran mereka orang itu tidak boleh orang dari lao data, dala data, belaka guno dan lua data. Memang lima bupati sebelum ini adalah figur dari 'luar'. Tetapi harus diingat ini hanya mungkin terjadi di alam Orde Baru, di mana hal ihwal pergantian kepemimpinan baik tingkat I maupun tingkat II diputuskan di Jalan Cendana Nomor 8, Jakarta Pusat (rumah kediaman mantan Presiden Soeharto).
Tetapi ketika Orde Baru tumbang dan angin segar berhembus dengan antara lain melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, alam pemikiran seperti ini coba dipupuk lagi. Mekanisme suksesi kemudian sarat dengan sentimen suku, kelompok, asal dan etnis. Memang seperti suksesi kali lalu yang kemudian oleh Mendagri diminta untuk diproses ulang, semua tata cara suatu suksesi kepemimpinan ditempuh. Pernyataan dukungan mengalir. Kriteria dipatok. Kualifikasi keunggulan disyaratkan.
Anggota DPRD setempat bekerja keras menggodok nama para calon yang masuk ke Dewan. Mestinya melalui proses normal figur yang digodok anggota Dewan adalah figur yang lolos seleksi alias memenuhi kriteria, tanpa mengabaikan asal, suku atau etnis. Tetapi apa yang terjadi? Lima figur yang dimajukan ke atas lebih mencerminkan faktor pemerataan: dari Lembata, Adonara, Solor dan Flores daratan. Dengan ini berarti segala kerja keras memberi dukungan, merumuskan kriteria dan menggodok keunggulan tidak ada artinya sama sekali.
Sekarang bukan saatnya lagi hidup dengan alam pikiran primordialis. Sekat?sekat yang membatasi 'kita' dan 'orang lain' semakin tidak berarti lagi. Semangat yang mesti dibangun adalah 'kita satu bersaudara'. Suksesi kepemimpinan di lewotana adalah suksesi kepemimpinan Kabupaten Flores Timur, bukan Adonara, bukan Solor dan bukan juga Larantuka.
Warga Kota Larantuka tidak bisa lagi menyempitkan sudut pandangan melihat suksesi hanya sebatas Kota Larantuka. Penyempitan penghayatan jati diri yang terungkap dari idiom seperti lao data, dala data, belaka guno dan lua data tidak pas lagi dipakai. Sebab idiom seperti ini yang lahir dari alam pemikiran sempit hanya mencerminkan kompleks rendah diri di tengah persaingan yang semakin keras dari luar.
Sudah terlalu lama pembangunan di Kabupaten Flores Timur tidak memperlihatkan geliat perubahan yang berarti. Pejabat birokrat lebih banyak tekun memanfaatkan waktu untuk memikirkan bagaimana memasukkan 'orang'?nya di jajaran pemerintahan. Akibatnya, dari waktu ke waktu Flores Timur sibuk berpacu dengan urusan kemiskinan, keterbelakangan, kurangnya lapangan pekerjaan dengan dampak pada meningkatkan angka perantauan dan aneka macam kekurangan.
Waktu tinggal sedikit. Suksesi kali ini sekaligus menjadi momentum mengukur kadar dan integritas kalangan Dewan. Undang?Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah menggariskan banyak hal untuk urusan ini. Tetapi undang?undang ini juga punya banyak implikasi berat untuk daerah dengan PAD yang minim. Karena itu, tak bisa tidak, figur yang layak memimpin Flores Timur adalah dia yang punya panggilan membangun lewotana, punya integritas tinggi, memiliki kemampuan intelektual, kenyang dengan masalah kepamongprajaan dan terutama mendapat legitimasi sosial dari masyarakat.
Porsi tanggung jawab paling besar terletak di tangan anggota DPRD Flores Timur. Janji kalangan dewan guna meraih tiket menuju Bale Gelekat Lewotana (gedung DPRD Flores Timur) telah ditabur di tengah masyarakat ketika berkampanye. Rakyat sekarang menunggu janji. Mampukah anggota Dewan menjadi pahlawan yang sungguh membela kepentingan rakyat? Atau justru sebaliknya hanya bisa menjadi pahlawan kesiangan yang mencari popularitas murahan?

Pos Kupang, 25 Februari 2000


0 komentar:

Posting Komentar