Teledemokrasi, reaksentuasi peran pers

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden

MESKI sudah klasik, sejauh ini pers masih tetap dianggap sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, yudikatif dan legislatif. Aksioma ini telah diteriakkan oleh negarawan Inggris, Edmund Burke (1729 - 1797), ketika ia memaklumatkan petuahnya yang terkenal itu: "Pers merupakan pilar demokrasi keempat di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif."
Tak sukar membayangkan di suatu masyarakat yang bersifat terbuka (open society) apa yang akan terjadi tanpa pers yang bisa menyajikan berbagai informasi. Mental tiranik, sikap dan lagak congkak akan menjadi sisi muram riwayat kehidupan manusia. Karena itu rasa-rasanya kita tetap mesti sepakat mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia peranan pers tetap akan sangat sentral.
Di Indonesia usaha penerbitan pers dapat dikatakan bertumbuh cukup baik. Setidak-tidaknya itu dapat dilihat dari trend perkembangan institusi penerbitan pers. Hingga kejatuhan Soeharto 20 Mei 1998, di Indonesia terdapat 292 penerbitan pers dengan total tiras 13,04 juta eksemplar, termasuk 77 surat kabar dengan tiras 4,7 juta eksemplar. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta (ketika itu), maka ratio yang diperoleh adalah satu surat kabar akan dibaca sekitar 42 orang. Sementara menurut target UNESCO, satu koran tersedia bagi 10 penduduk.
Perkembangan dan pertumbuhan pers di Indonesia kemudian seolah menemukan zamannya ketika angin reformasi mulai berhembus medio tahun 1998 lalu. Kita teringat begitu banyak harian, tabloid yang membanjiri pasar, dan terjadi semacam boom media. Tetapi hukum pasar berlaku, dan seturut hukum pasar itu banyak media yang akhirnya harus gulung tikar, tak bertahan. Tampil dan hilangnya sejumlah institusi penerbitan di tanah air menjadi contoh yang sangat pas melukiskan kenyataan itu.
Yang justru tetap ada dan terus berkembang dan bahkan berkembang dengan kecepatan yang sulit dipercaya adalah kebebasan pers berikut kemajuan teknologi informasi. Dalam hal kebebasan pers, pers Indonesia mengalami perubahan yang relatif struktural sifatnya, karena dia tidak lagi dikuasai oleh negara, tetapi sepenuhnya kini berada di tangan masyarakat. Jika semasa Orde Baru berita-berita dalam surat kabar lebih banyak bersifat opinionated news, maka sekarang lebih bersifat hard news dan investigative news. Kalau dulu, kepada pembaca koran menyuguhkan apa kata pejabat tentang suatu hal, maka sekarang justru koran habis-habisan menyajikan data didukung keterangan yang valid tentang apa yang sesungguhnya terjadi dari hal tersebut.
Sedangkan dalam hal kemajuan teknologi informasi, kita menyaksikan betapa cepatnya arus informasi datang dan membanjiri publik. Keruntuhan menara kembar World Trade Center di New York, 11 September lalu adalah contoh menarik menjelaskan bagaimana peristiwa itu, berkat kecanggihan teknologi informasi, dapat disaksikan dari dalam kamar-kamar pribadi dengan cuma duduk di depan televisi.
Tidak dapat disangkali bahwa abad ini sudah sangat kuat dicirikan oleh kemajuan pesat di bidang komunikasi. Kemajuan itu bahkan melaju dengan kecepatan yang susah dibayangkan sebelumnya. Media cetak semakin menyempurnakan penampilannya, mempercepat persebarannya dengan antara lain melakukan cetak jarak jauh. Media elektronik seperti televisi dan radio juga mengalami lompatan kemajuan yang jauh ke depan.
Dari hari ke hari revolusi di bidang komunikasi terus terjadi. Dalam hitungan detik, apa yang terjadi di belahan dunia lain, dapat dengan mudah tersaji di depan mata. Ribuan jaringan televisi, gelombang radio, jutaan eksemplar koran dan majalah adalah wahana komunikasi yang dapat dengan mudah menyajikan seribu satu berita dan informasi dari seluruh penjuru dunia. Revolusi paling akhir di bidang komunikasi barangkali adalah berkembangnya cyber media. Dengan hanya memiliki satu perangkat komputer dan modem berikut sambungan telepon, siapa saja bisa berkelana di 'jagat maya' melalui jaringan internet.
Informasi dan berita mengitari manusia seakan tanpa sekat dan batas. Berita apa saja dapat diakses. Dari yang paling baik hingga yang paling vulgar. Dari seribu satu macam hiburan hingga gambar-gambar porno. Nyaris tidak ada batasan. Dunia rasanya menjadi semakin 'kecil'. Global village yang didengungkan oleh Marshal McLuhan beberapa dasawarsa lalu boleh dibilang menemukan penggenapannya saat ini.
Teledemokrasi
Perkembangan teknologi informasi dengan akibat pada perkembangan komunikasi itu, sedikit banyak turut dipengaruhi oleh terbitnya buku Alvin Toffler berjudul Creating a New Civilization pada tahun 1995. Ada kredo dalam buku itu yang berbunyi: "interaksi publik yang intensif akan meningkatkan perdebatan politik dan menyelamatkan demokrasi".
Sejak buku itu terbit istilah "teledemokrasi" jadi memasyarakat. Ini karena masyarakat Amerika Serikat dengan leluasa mengirimkan segala unek-uneknya tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kepada para politisi partai lewat teknologi informasi. Berbagai stasiun televisi AS, berlomba membuka kran informasi dengan merancang aneka program yang memungkinkan masyarakat memberi masukan mengenai kebijakan pemerintah. Dipilihlah sejumlah topik bahasan seputar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik setempat.
Euforia teledemokrasi kemudian merambah Inggris. Menurut Ian Angell, pakar teknologi informasi dari the London School of Economics, sejak teledemokrasi menjadi trend di AS, pembaca surat kabar dan pemirsa televisi di Inggris tergerak untuk urun rembuk tentang sejumlah isu hangat mengenai kebijakan pemerintah.
Berbekal teledemokrasi itu, para elite politik baik yang duduk di pemerintahan maupun Parpol, memperoleh umpan balik mengenai reaksi dari masyarakat mengenai suatu kebijakan. Elite kemudian menjadi terbiasa dengan perbedaan pendapat, tidak terjangkit "paranoid". Manfaat paling nyata dari teledemokrasi itu antara lain mengurangi mobilisasi massa dalam menyampaikan aspirasi atau opini politik, dan membuka debat publik yang rasional, kritis dan demokratis.
Di Indonesia gagasan teledemokrasi sudah mulai diterapkan, baik di media elektronik maupun media cetak. Di media elektronik, sejumlah program dialog demokrasi digelar oleh hampir seluruh stasiun televisi dengan mengundang berbagai narasumber dari berbagai disiplin ilmu, kalangan terpelajar dari perguruan tinggi dan masyarakat. Sedangkan di media cetak, teledemokrasi itu mewujud melalui jajak pendapat mengenai sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah, atau opini masyarakat mengenai "penyakit-penyakit" ekonomi, sosial, dan politik.
Reaksentuasi peran pers
Pers dalam konteks kita di sini merujuk pada media cetak. Harus diakui, dengan kekurangannya dari segi kecepatan tiba di tangan publik, media cetak toh tetap unggul dari banyak aspek. Berbeda dengan media elektronik yang relatif bersifat einmalig, media cetak bisa mengulas tuntas setiap soal dari berbagai sudut pandang (angle), dapat dipelajari berulang-ulang dan menjadi referensi permanen untuk berbagai keperluan di waktu mendatang.
Di tanah air, tonggak media massa (cetak terutama), menemukan magmanya kembali sejak diberlakukannya UU Pokok Pers yang baru yakni UU Nomor 40 Tahun 1999, menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1982. Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 yang disahkan pada 23 September 1999 itu, jaminan kebebasan betul-betul dihargai. Segala bentuk hegemoni kekuasaan dan negara yang lazim dalam era Orde Baru ditabukan. Tak heran ketika Mohamad Yunus Yosfia menjabat sebagai Menteri Penerangan di era pemerintahan Habibie, ribuan media massa lahir dan membanjiri pasar. Pers di tanah air betul-betul mengalami masa bulan madunya.
Hal yang sungguh menggembirakan dari UU Pokok Pers ini adalah perubahan paradigma dan filosofi tentang pers. Semasa Orde Baru pers Indonesia menganut paradigma "kebebasan pers yang bertanggung jawab", tetapi dengan Undang-Undang baru itu, paradigma itu diganti menjadi "kebebasan pers yang profesional". Profesionalisme mendapat aksentuasi dalam Undang-Undang ini. Paradigma baru ini sangat perlu guna mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang sering salah kaprah. Hiruk-pikuknya berita sensasi, terutama eksploitasi seks dalam ragam berita dan tulisan porno didukung oleh lay out dan tampilan foto yang seronok dan vulgar, adalah contoh tentang apresiasi yang salah mengenai kebebasan pers sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang baru itu.
Paradigma baru "kemerdekaan pers yang profesional", memberikan makna yang lebih hakiki dan mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi. Kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk membangun kualitas sumberdaya manusia, manajemen perusahaan pers yang profesional, kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover-allside (tidak cukup lagi cover-bothside), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi. Dengan adanya tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi, maka tanggung jawab pers nasional terhadap kualitas pemberitaannya bukan didasarkan atas keterpaksaan, tapi atas kesadaran pentingnya komitmen terhadap etika profesi serta nilai-nilai profesional yang harus diembannya.
Di suatu masyarakat terbuka yang demokratis, pers mempunyai peran yang sangat penting. Dia melaporkan semua hal. Mulai dari gejala kesenjangan sosial hingga sukses pertumbuhan. Ia ikut mencari jalan keluar, bukan sekadar mengecam dan mengkritik. Ia berperan menyampaikan fakta dan opini kepada masyarakat luas. Ia menjadi instrumen perluasan cakrawala, dinamisasi, dan daya kritik masyarakat.
Tetapi di era ini, seiring dengan berkembangnya gagasan teledemokrasi, pers Indonesia tak dapat tidak mesti mereaksentuasi kembali jati dirinya. Dia tidak bisa lagi hanya sekadar melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga dan terutama melukiskan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Selama ini, wartawan lebih dikesankan sebagai 'orang pertama' yang tiba di tempat kejadian suatu peristiwa. Dia kemudian, karena tekanan deadline, melaporkan apa adanya dari suatu peristiwa, tanpa banyak berikhtiar menyelam di dasar peristiwa itu. Jika predikat 'orang pertama' ini menjadi dominan, sudah tentu media cetak akan kalah cepat dari media elektronik yang bisa melaporkan langsung dari tempat kejadian.
Keunggulan media cetak justru terletak pada keleluasaannya menyelami hingga ke dasar peristiwa itu. Karena itulah, pendekatan terhadap fakta dan gaya tulisan mengungkap fakta itu mesti diperbaharui. Jika dicermati secara kritis tampilan media cetak belakangan ini, tampak betapa pola pendekatan dan gaya penyajian terhadap suatu fakta telah mengalami perkembangan berarti. Aksentuasi pada pola stright news dan hard news tetap penting sejauh itu bersifat informatif. Tetapi pola investigative news dan intepretative news adalah pilihan paling baik dan tepat membeberkan fakta secara tuntas dan dari berbagai sudut pandang.
Pola hard news terbatas karena di hadapan realitas yang kompleks misalnya, dia hanya mengatakan 'apa adanya', hanya mengatakan apa yang terjadi, tetapi tidak menjelaskan dan menerangkan apa sifat dan kaitan yang terdapat dalam realitas itu. Terhadap setiap realitas, media cetak harus kreatif dalam improvisasi memilih gaya tulisan. Ketika hard news tidak membawa dampak yang diharapkan, pendekatan mesti beralih ke interpretative reporting, sehingga suatu realitas dapat lebih dipahami konteks dan latar belakangnya. Kredo pada hard news yang berbunyi "fakta harus tetap dihormati" harus berani diganti dengan misalnya "fakta adalah suci, interpretasi adalah halal".
Manakala interpretative news dan investigative news masih juga belum membuahkan harapan yang ingin dicapai, maka pendekatan itu maju satu langkah lagi. Di sinilah lahir pendekatan opini. Ragam opini perlu ketika orang ingin juga memerlukan semacam judgement. Orang memerlukan 'susunan pengetahuan' yang dapat menjelaskan dan menerangkan apa sifat dan kaitan sebab akibat dalam setiap peristiwa yang terjadi.
Inilah aksentuasi yang mau tidak mau mesti diperhatikan media cetak di era teledemokrasi ini. Jika tidak diindahkan, agaknya publik akan beralih ke media elektronik.
Pos Kupang, 16 November 2001

0 komentar:

Posting Komentar