Wajah pers, wajah pengelola

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden

PADA Selasa, 15 Agustus 2006 lalu, Harian Umum Pos Kupang -- bersama dengan sembilan media lain di Indonesia -- mendapat penghargaan sebagai koran terbaik 2005. Beberapa saat sebelum piagam itu diserahkan dan beberapa hari sesudahnya, banyak pesan singkat (SMS/short message service) mampir di handphone saya. Semuanya satu nada: selamat dan proficiat untuk prestasi ini!
Tak tega rasanya kalau mesti menghapus pesan-pesan itu dari handphone. Karena itu, tulisan ini boleh dibilang sebagai bentuk terima kasih untuk para pembaca, simpatisan dan siapa saja yang peduli terhadap Pos Kupang dan pers secara umumnya.
Sekilas perkembangan pers
Harus diakui bahwa kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus juga merupakan sebuah blessing in disguise, berkat dan karunia tersendiri bagi dunia pers. Tumbangnya rezim Orde Baru itu membawa sebuah pengaruh yang luar biasa, yakni bahwa kesadaran masyarakat terhadap pers semakin kritis. Masyarakat yang berdiri selaku konsumen media akan menentukan nasib sebuah media. Mati atau gugurnya sejumlah banyak koran dan tabloid adalah juga indikasi betapa masyarakat kita sudah sangat kritis menjatuhkan pilihan. Jika pada rezim lalu, pilihan media sangat terbatas, maka sekarang masyarakat seolah bingung sendiri di tengah bursa media. Pers mendapat tempat secara penuh. Wartawan dan pekerja pers pun menemukan tempatnya berekspresi lewat karya dan kerja jurnalistiknya.
Lembaga Kementerian Penerangan yang ketika itu lebih banyak berperan sebagai 'satpam' bagi pers, dihapus. Tetapi hal yang paling penting adalah digantikannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 itu ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999. Perangkat undang-undang baru ini memberi aksentuasi yang jauh lebih banyak bagi iklim kebebasan pers. Meskipun di sana sini masih terdapat sejumlah pasal yang dilihat sebagai senjata membelenggu pers, toh undang-undang ini telah membongkar paradigma lama tentang pers dan menggantikannya dengan paradigma baru. Jika dalam undang-undang lama kredonya adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab, maka dalam undang-undang baru ini kredonya adalah kebebasan pers yang profesional. Profesionalisme mendapat penekanan di dalam undang-undang ini.
Paradigma baru ini terutama dimaksudkan untuk mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang sudah salah kaprah semasa rezim lama. Paradigma kemerdekaan pers yang profesional juga memberikan makna yang lebih hakiki dan mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi saat ini. Lebih jauh, kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk membangun kualitas sumber daya manusia, manejemen perusahaan yang profesional, kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover both side (jika perlu cover all side), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi.
Inilah tuntutan normatif dan kualitatif yang memberikan landasan pijak bagi titian pers. Tetapi respons terhadap iklim kebebasan pers itu muncul sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ditetapkan. Itu berarti kerinduan (pegiat) pers untuk melepaskan diri dari kuk yang membebani dan ikatan yang membelenggu merupakan kerinduan yang sungguh menghentak dan mendesak. Tak ayal, sebelum perangkat hukum ini disahkan, telah lahir ribuan media di tanah air. Hingga kejatuhan Soeharto, di Indonesia cuma terdapat 289 media yang ber-SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Belum setahun usia reformasi, jumlah media yang terbit menjadi 582, dua kali lipat semasa 30 tahun sebelumnya. Sekarang, sudah lebih dari seribu media yang hadir di tanah air. Ketika bangsa ini memasuki era pencerahan yang disebut sebagai zaman reformasi, pers pun seolah memasuki pintu gerbangnya guna mereguk susu dan madunya. Bagai pengantin baru, pers Indonesia mengalami masa bulan madunya di awal reformasi.
Di NTT, dampak kebebasan pers itu juga cukup menyata. Disemangati eforia yang dialami secara nasional, sejumlah orang coba ikut mereguk manisnya madu dengan mencoba mendirikan koran dan tabloid. Setelah Pos Kupang sendirian hadir selama tujuh tahun sebagai koran harian, muncul banyak pendatang baru. Terbit Surya Timor, Suara Timor, NTT Ekspres, Sasando Pos, Flores Pos, Radar Timor, NTT Xpress, Timor Express, Kursor. Semuanya merupakan koran harian. Selain media harian, muncul beberapa tabloid mingguan. Kompak, Metro Kupang, Suara Flobamora, Duta Flobamora, Saksi, Udik, Cermin, Alor Pos, Rote Pos, dan beberapa lain yang hanya untuk kalangan terbatas dan bersifat intern.
Apa yang dapat kita katakan tentang kenyataan ini? Di satu sisi harus diterima bahwa inilah sebentuk kepedulian pegiat media terhadap fakta sosial yang ada di masyarakat. Keprihatinan atas sejumlah banyak praktek abnormal dan ikhtiar membuka wacana bagi masyarakat melalui informasi, kemudian dirumuskan menjadi asumsi dan premis mendirikan institusi pers.
Itu di satu sisi. Tetapi di sisi yang lain, eforia itu disambut secara berlebihan dan karena itu cenderung salah kaprah. Akibatnya, kita menyaksikan sendiri di daerah ini betapa berwarna tampilan dan sajian koran dan tabloid. Yang lucu dan kemudian melahirkan pertanyaan besar adalah bahwa meski telah begitu banyak media hadir dan terbit, toh apa yang disebut sebagai information deficiency tetap saja terjadi. Media begitu banyak, tetapi informasi tidak cuma telah terdistorsi dan terkontaminasi oleh kepentingan tertentu, tetapi juga terasakan sangat kurang. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dan premis awal yang memanggil orang mendirikan media, belum terbukti (sekurang-kurangnya sampai saat ini).
Framing dalam pers
Pada tanggal 1 September 1983, pesawat pembom Uni Soviet menembak jatuh pesawat penumpang Korea 007. Akibatnya, 269 penumpang, termasuk awak pesawat tewas. Pada tanggal 3 Juli 1988, pesawat penjelajah Amerika Serikat, Vincenes, menembak jatuh pesawat penumpang Iran 655 yang melintas di atas kawasan Teluk. Sebanyak 290 penumpang termasuk awak pesawat tewas.
Kedua peristiwa ini sama. Yang berbeda pelakunya: yang pertama Soviet, sedangkan yang kedua Amerika. Ternyata peristiwa yang sama tersebut digambarkan secara berbeda dalam liputan pers Amerika. Peristiwa tertembaknya pesawat penumpang Korea oleh Soviet digambarkan sebagai suatu pembunuhan, atau serangan udara. Liputan pers memakai banyak label dan kata-kata untuk mengutuk peristiwa itu sebagai pembunuhan. Kekejaman Uni Soviet diulas dengan liputan yang bergairah.
Tetapi ketika memberitakan jatuhnya pesawat Iran akibat ditembak pesawat Amerika, liputan pers Amerika mempunyai gambaran yang berbeda. Penembakan itu tidak digambarkan sebagai pembunuhan, tetapi sebuah kecelakaan, atau lebih tepatnya suatu tragedi. Liputan sama sekali tidak memberitakan mengenai kekejaman Amerika. Justru yang ditampilkan adalah kemajuan teknologi radar Amerika -- saat itu Amerika sedang mencoba radar yang dapat menembak secara otomatis pesawat dalam radius yang ditentukan. Penembakan itu, dengan demikian, dimaknai sebagai akibat kemajuan teknologi daripada suatu pembunuhan yang kejam atau sadis.
Ilustrasi ini menunjukkan apa yang disebut dalam jurnalistik dengan framing. Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Robert M Entman mendefinisikan framing sebagai 'seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Dari definisi ini, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Dalam bekerja dan bertugas setiap hari, wartawan -- juga media -- berhadapan dengan framing. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus dibuang, mana yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan bagi khalayak.
Bagaimana di NTT?
Dalam jagat pers di NTT, framing itu sangat kasat mata. Dalam banyak berita, media di NTT tidak satu nada. Setiap wartawan/media akan berbeda frame-nya ketika melihat suatu realitas atau fakta. Koran A akan melihat masalah kemiskinan, kelaparan sebagai suatu laknat yang harus diperangi. Koran B melihat kemiskinan dan kelaparan sebagai suatu kesempatan emas untuk memproyekkannya guna meraup keuntungan. Koran A melihat pembangunan suatu gedung besar dan megah sarat KKN dan penuh kepentingan. Sementara koran B sibuk membelanya sambil mengharapkan 'tumpahan' dari kuali proyek itu. Perbedaan itu seterusnya akan menyebabkan perbedaan dalam angle berita, dalam teknik pengemasan dan bahkan dalam penggunaan kata-kata (diksi).
Tak ayal di NTT terhadap suatu obyek berita bisa muncul begitu banyak 'informasi'. Jika banyaknya informasi itu adalah akibat perbedaan sudut pandang (angle), maka hal itu harus dapat diterima sebagai variasi dan kekayaan sudut pandang berita. Tetapi jika itu melahirkan makna dan tafsiran baru, maka itu merupakan suatu 'dosa pers'. Yang dirugikan adalah masyarakat selaku konsumen media. Pernah misalnya, terhadap kasus korupsi, ada media yang habis-habisan membongkarnya. Sementara media lain sibuk dan mati-matian membela dan terus membelanya. Kenyataan seperti ini tidak cuma memperlihatkan kegagalan media menegaskan corak independensinya, tetapi sekaligus juga tidak mampu menyembunyikan corak partisannya.
Keadaan ini turut diperparah oleh fakta bahwa masing-masing media memilih jalannya sendiri-sendiri dalan mengejawantahkan apa yang sebelumnya diklaim sebagai asumsi yang coba dibuktikan. Perbedaan itu sangat kentara dalam model, gaya dan format berita. Setiap media berbeda dalam 'laras' pemberitaannya. Normalnya, perbedaan laras itu mengekspresikan perbedaan visi dasar masing-masing media. Sebab masing-masing media memiliki visi dasar yang kemudian menentukan editorial policy (kebijakan editorial). Visi dan editorial policy seterusnya menjadi pedoman dan kriteria dalam proses menyeleksi kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan bahan pemberitaan. Tetapi untuk kasus pers NTT, perbedaan itu secara tegas bukan mengeskpresikan perbedaan visi dasar, tetapi lebih menunjukkan perbedaan kepentingan yang hendak dibela. Karena itu boleh dibilang, bagi pers di NTT fakta bukanlah suatu kejadian sebagaimana sudah terjadi, meminjam formulasi sejarawan Jerman, Leopold Ranke, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Pengaruhnya bagi masyarakat selaku konsumen media ialah bahwa informasi tentang suatu obyek masalah yang diserapnya adalah informasi yang selalu jamak, tidak pernah tunggal atau utuh. Dia (berita itu) selalu mengandung peluang untuk dipertanyakan kembali, berpotensi sangat besar untuk ditafsir ulang guna menemukan saripatinya. Yang menyedihkan ialah masyarakat sendiri masih cukup kuat mengkotak-kotakkan (atau dikotak-kotakkan?) diri secara sempit dalam kelompok-kelompok kepentingan tertentu baik karena suku, etnik, suku maupun agama. Bagi pers, hal ini membawa dampak yang sangat buruk. Kacamata memandang pers yang dipakai masyarakat adalah kacamata suku, golongan, etnis, atau agama.
Meski begitu, pada hemat saya, masyarakat NTT semakin hari semakin kritis. Dia semakin paham dan mengerti, mana media yang dapat dipercaya, mana media yang kurang dapat dipercaya. Berita di media mana yang perlu dibaca, berita di media mana yang tak perlu dibaca. Sebab, dalam jurnalistik berlaku hukum tak tertulis: wajah media adalah wajah pengelolanya. Medianya baik, tentu pengelolanya profesional. Medianya setengah-setengah, pengelolanya juga pasti setengah-setengah. Medianya amburadul, seperti itulah pengelolanya.
Mitra masyarakat
Telah lama diterima bahwa institusi pers merupakan pilar keempat dari rancang bangun demokrasi, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi revolusi dan perkembangan pesat dari dunia pers sendiri memaksa pers berperan lebih dari empat fungsinya.
Dalam masyarakat yang bertumbuh sangat pesat, cepat, kompleks dengan begitu banyak arah perubahannya, apa peran media massa, khususnya surat kabar? Berita dan informasi sekarang datang dan hadir seperti air bah, sementara ruangan atau space koran terbatas. Maka yang perlu dilakukan adalah seleksi, memilih mana yang dibutuhkan masyarakat, mana yang harus diberitakan, mana yang tidak perlu diberitakan. Lagi pula, waktu dan kesibukan membatasi keengganan orang untuk membaca. Semakin mendesak kebutuhan bari pers untuk tidak sekadar memberikan informasi, tetapi sekaligus menjelaskan duduknya perkara. Di sinilah peran media sebagai mitra pembacanya sangat diharapkan. Apa arti kejadian, perkembangan dan perubahan itu bagi masyarakat dan bagi dirinya? Apa maknanya jika misalnya ada berita harga minyak di pasar dunia naik atau turun? Apa arti suku bunga kredit menurun?
Informasi yang menjelaskan duduknya perkara tidak lagi sekadar pada kejadian-kejadian itu secara terpisah dan secara sendiri-sendiri. Perubahan yang berlangsung dalam masyarakat amat luas cakupannya. Perubahan besar atau menyeluruh itu minta dijelaskan. Jika ombak besar di kawasan perairan NTT, misalnya, masyarakat perlu dijelaskan apa dampaknya bagi dunia perekonomian masyarakat, apa artinya itu bagi para nelayan di pesisir pantai. Jika kelaparan mengancam Sikka, masyarakat Sikka perlu dijelaskan bagaimana cara-cara mengolah makanan alternatif sehingga tidak mati bodoh karena lapar. Jika tanah ulayatnya dirampas, maka pers perlu juga memberi penjelasan dampak psikologisnya bagi masyarakat sekitar. Jika hutan dibabat, bukit diratakan untuk eksplorasi marmer, pers perlu menjelaskan dampaknya seperti erosi kala hujan, mata air mengering di musim panas dan seterusnya dan seterusnya.
Melalui pers, masyarakat mencari penjelasan lebih lengkap. Pengemasan berita, misalnya, perlu melalui pendekatan multi angle, infografis, data-data pendukung, tabel-tabel, tips-tips. Para ahli komunikasi massa bahkan menyebut salah satu fungsi pers bagi masyarakat adalah alat untuk menjadi bekal hidup (tool of living). Peranan itu semakin besar. Ada yang menguraikan dengan kata-kata news that you can use, berita yang bisa dipakai untuk memperoleh manfaat, yakni manfaat praktisnya. Pers mesti peka dan tajam melihat apa yang paling dibutuhkan khalayak. Jepang maju ekonominya karena liputan ekonomi mendapat porsi yang besar oleh pers dalam negeri itu. Liputan/berita politik kalah jauh.
Pers juga mesti tetap berjalan pada jalurnya. Di tengah kondisi rakyat NTT yang masih serba sulit dan menderita, pers mesti berdiri di garda terdepan memberikan pencerahan, memberikan masukan, membuka wawasan mereka untuk bagaimana menantang kerasnya hidup agar bisa survive. Jangan cuma mengedepankan kasus-kasus korupsi, isu-isu politik, hiburan-hiburan.
Memang di jagad pers berlaku dogma: bad news is good news (berita buruk adalah berita bagus). Yang masuk dalam berita buruk itu misalnya: perkosaan, perselingkuhan, pembunuhan, demonstrasi. Dengan alasan mendongkrak tiras, berita-berita ini laris manis. Tidak salah. Tetapi juga tidak cuma sebatas itu. Untuk investasi jangka panjang, rakyat juga membutuhkan tulisan-tulisan pencerahan, pendidikan, kiat-kiat dan semacamnya. Maka yang dibutuhkan adalah keberanian melawan dogma itu.

Pos Kupang, Selasa 26 September 2006

1 komentar:

  1. Simpet Soge mengatakan...

    Buka wajah pemilik modal-nya 'kan Pak? Hehe mt siang sj.

    20 Agustus 2013 pukul 19.38  

Posting Komentar