Kamis, 24 Januari 2008

Read More...

Untuk Dan Adoe-Dan Hurek

Senin, 21 Januari 2008

Oleh : Tony Kleden

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Kota Kupang menjungkirbalikkan banyak hal dalam teori politik. Hitungan-hitungan politis jarang kena dan tepat sasar. Tetapi ada satu hal yang paling kasat mata, yakni bahwa faktor figur jauh lebih menentukan ketimbang nama besar partai, canggihnya mesin politik bekerja dan dukungan dana yang tak terkira. Karena itu, kemenangan Dan Adoe-Dan Hurek harus diapresiasi sebagai kemenangan figur ketimbang kemenangan partai.
Mari lihat alasan-alasannya dengan menyimak kekalahan paket-paket lain. Paket Jonas Salean-Alex Ena (Jonex) yang diusung Golkar, dalam kalkulasi politik diperkirakan bakal menang. Diusung partai besar, direstui kepala daerah yang masih memerintah, dibantu jajaran birokrasi di Kota Kupang yang menembus sampai ke RT/RW, didukung dana besar, lama menyiapkan diri dan disiapkan, nyatanya paket ini cuma menempati posisi keempat dari lima paket. Apa yang kurang? Jawabannya, rakyat makin melek politik.
Paket Djidon de Haan-Anton Bele (Djibel) mulanya diperkirakan menjadi kuda hitam. Duet ini secara akademis jauh lebih menonjol ketimbang empat paket lain. Djidon malang-melintang dalam dunia birokrat, bergelar magister dan sangat piawai di bidang kepamongprajaan. Banyak yang bilang, Djidon adalah 'orang'-nya yang pantas menduduki kursi nomor satu di Kota Kupang. Bersama pasangannya, Anton Bele, yang juga sama-sama meraih gelar magister, pasangan ini mengusung visi dan misi yang sangat ideal. Tetapi apa lacur? Duet ini justru bertengger di nomor butut, nomor lima. Salah apa? Jawabannya, politik ternyata tidak cuma untuk memuaskan idealisme para dewa di atas puncak singgasana, tetapi juga bersentuhan dengan realisme di bumi manusia.
Duet Alfa (Al Foenay-Andreas Agas) diyakini menarik simpati etnis Timor dan Manggarai. Hasil apa yang dituai seandainya seluruh orang Timor plus warga Manggarai di Kota Kupang satu suara? Tak pelak, pasangan ini melejit tak terbendung menembus kursi walikota-wakil walikota. Nyatanya tidak. Apa yang terjadi? Jawabannya, ternyata politik tidak mengenal kepastian matematis. Jika dalam matematika, dua tambah dua sama dengan empat, maka dalam politik dua tambah dua moga-moga empat.
Begitu juga dengan duet Jeriko-Jodea (Jefri Riwu Koreh-Johannes Dae). Mengandalkan semangat dan jiwa muda, meyakini dukungan etnis Sabu, Rote dan Ende-Lio, menghamburkan banyak dana, duet ini tak juga bisa menembus nomor satu. Gerangan apa yang keliru? Anda bisa menjawab sendiri. He... he......
Lalu, mengapa duet Daniel Adoe-Daniel Hurek (Dan-Dan) mampu meraih suara paling banyak dan langsung menang pada putaran pertama? Jujur diakui, paket ini paling tertatih-tatih merangkak ke arena Pilkada Kota Kupang. Dua-duanya 'dikalahkan' di tingkat partai masing-masing. Dan Adoe, meski dibesarkan Golkar dan bahkan masih menduduki posisi sebagai Wakil Ketua DPD I Partai Golkar NTT, dihadang di pintu masuk Golkar. Tragis!
Pengalaman yang sama dialami Daniel Hurek. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 'kandang' Dan Hurek, sepertinya setengah hati mendukungnya. Seperti kentut, aroma tak sedap merebak ke sana ke mari di tubuh partai ini. Malah, DPC PKB Kota Kupang, pimpinan Dan Hurek dibekukkan. Maksudnya cuma satu, menjegalnya di pintu. Sakit!
Akibatnya, paket ini mendaftarkan diri di KPUD Kota Kupang pada jam-jam terakhir diiringi aksi demo menentangnya. Berbeda dengan paket lain yang melangkah pasti menuju kantor KPUD, langkah paket ini terseok-seok. Rintangan demi rintangan terus menghadang.
Dalam musim kampanye pun pasangan ini kalah 'infrastruktur'. Dana nihil, tidak mampu mendatangkan artis ibu kota, tidak sanggup membeli air mineral. Apalagi memberi makan dan membagi-bagi uang pulsa kepada tim suksesnya. Tetapi kondisi kurang, perasaan batin karena disakiti seperti inilah yang justru menjadi jantung kekuatan pasangan ini. Dalam posisi sebagai orang lemah, disakiti, dikalahkan, dipojokkan, dicampakkan, Dan-Dan menuai simpati dan mendulang dukungan.
Meresponsi simpati dan dukungan itu, Dan-Dan tampil elegan dengan memanfaatkan psikologi massa yang bersimpati dan mencitrakan diri sebagai orang yang lemah, disakiti dan dilecehkan. Efek pencitraan diri seperti ini sangat luar biasa. Di mana-mana ketika duet ini datang, warga yang menyambutnya adalah warga yang riil bersimpati. Bukan warga yang dikerahkan, yang mobile dari satu ke tempat ke tempat lain. Yang itu-itu juga. Tahulah, di republik ini pekerjaan yang paling gampang didapat dan profesi yang paling mudah dilakoni adalah tukang demo. Dalam sehari, seorang pendemo bisa tampil di beberapa tempat berbeda dan diminta berteriak untuk beberapa isu yang saling bertentangan.
Kembali ke laptop, eh.. ke pokok soal kita. Di atas panggung, duet Dan-Dan juga tidak mengobral kata-kata kasar memojokkan paket lain. Pesan kampanyenya memang beragam. Dari open house dengan tukang ojek dan warga biasa hingga sumur air bor. Dari niat memperhatikan para pedagang di pasar sampai membenahi rancang bangun struktur birokrasi di Kota Kupang yang terlihat pincang karena sarat kepentingan dan penuh pesan sponsor. Diperas dalam satu pesan, maka satu saja sebetulnya semangat yang digelorakan duet ini, yakni mengubah wajah Kota Kupang dalam berbagai seginya. Senyawa antara pencitraan diri sebagai orang lemah, dekat dengan orang kecil dan niat membawa perubahan di Kota Kupang membawa duet ini mendulang 40.801 ribu suara atau 26,48 pada pemungutan suara pada 21 Mei lalu.
***
Mengubah wajah Kota Kupang. Itulah yang ingin dilakukan duet ini. Itulah juga yang warga Kota Kupang harapkan. Tanpa bermaksud menganggap kecil para Walikota Kupang sebelumnya, mestilah diakui bahwa Kota Kupang tidak terlalu menonjol untuk tampil sebagai sebuah ibu kota propinsi. Kalau berkunjung ke ibu kota propinsi lain, Kupang rasanya jaaauuuuh..... sekali. Pertumbuhan ekonomi tidak terlalu menggeliat. Angka pengangguran terus meroket. Keluarga miskin terus bertambah. Infrastruktur kurang mencerminkan wajah sebuah ibu kota propinsi.
Inilah sebagian potret buram yang mesti diubah duet ini. Karena itu, jika ingin memberi masukan -- diterima syukur, ditolak tak apalah --- saya ingin memberikan beberapa masukan kepada duet Dan-Dan yang hari ini dilantik menjadi Walikota-Wakil Walikota Kupang periode 2007 - 2012. He... he... lancang nih.
Pertama, benahi birokrasi. Di seluruh dunia ini birokrasi sangat vital dan berdiri di garda terdepan melayani masyarakat. Sekali lagi melayani masyarakat. Itu sebabnya dalam terminologi asing, pegawai negeri sipil (PNS) yang merupakan roda-roda yang menggerakkan jalannya birokrasi itu disebut public service. Service itu adalah kata turunan bahasa Latin, yang artinya mengabdi, melayani. Niscayalah, PNS adalah abdi masyarakat, pelayan publik. Birokrasi itu diciptakan untuk memudahkan urusan, bukan sebaliknya merunyamkan dan membuat jadi sulit. Tetapi sejauh ini masih banyak yang berpegang pada etik aneh ini: kalau bisa dibikin susah, kenapa dibuat gampang?
Tahun-tahun sebelumnya, banyak pejabat (anggota Dewan juga?) Kota Kupang yang studi banding ke Kabupaten Jembrana, Bali. Mereka sudah lihat dan pelajari seperti apa idealnya rancang bangun birokrasi yang pro rakyat. Tubuh birokrasi tidak perlu terlalu gemuk. Orang yang gemuk produktivitasnya rendah karena cepat ngantuk, gerak tidak leluasa dan malas. Dinas, kantor, badan yang tidak ada gunanya dihapus saja. Pertahankan dan atau bentuk dinas/kantor/badan yang benar-benar ada urgensi dan ada manfaatnya untuk warga Kota Kupang.
Untuk menduduki jabatan-jabatan ini para pejabat itu sebaiknya diuji kemampuan dan kepatutannya (fit and proper test). Saya ingat kritikan yang selalu dilontarkan Bapak Dan Adoe, pejabat itu harus diangkat berdasarkan daftar urutan kepangkatan (DUK), bukan daftar urutan kedekatan. Bapak tahulah seperti apa kondisi di Kota Kupang. Boy Tapaleuk jadi kepala karena dia masih kelu (keluarga) rapat deng Bu Ancurlobang. Bu Ancurlobang pung ini, pung itu banyak yang tiba-tiba nongol dan langsung jadi kepala.
Ujilah para pejabat itu untuk mengetahui, apakah mereka mampu bekerja? Apakah latar belakang ilmu mereka cukup adekuat dengan jenis pekerjaan yang mereka tangani? Apakah mereka punya wawasan yang cukup luas untuk tampil sebagai seorang pejabat? Apakah perilaku dan tingkah laku mereka mencerminkan watak dan ciri seorang pejabat yang patut dicontoh? Nonsens kalau penguasa memilih anggota kabinetnya di luar orang yang bisa dipercayainya. Tetapi dengan fit and propert test, bapak berdua tidak terjebak dalam prinsip beta pung ini, pung itu.
Kedua, dekatlah dengan rakyat. Kota Kupang ini tidak luas. Cuma sekitar 200 km persegi. Dalam hitungan jam, semua huk-huk kota sudah dijangkau. Bapak berdua bisa atur waktu untuk turun ke rakyat, menemui mereka. Sudah lama mereka tidak lihat muka pemimpin mereka, kecuali di koran-koran. Menemui mereka sangat penting buat bapak berdua karena mereka yang pilih langsung bapak. Artinya, legitimasi kekuasaan yang bapak berdua peroleh sangat kuat karena datang langsung dari rakyat, bukan dari tiga puluh orang wakil rakyat yang memilih bapak di tempat tertutup dan rahasia.
Bapak berdua lebih mengerti bahwa politik itu tak lain adalah pertarungan kekuatan. Ada yang memenangkan pertarungan itu melalui kekerasan, yang lain lagi melalui kekuatan uang. Bapak berdua memenangkan pertarungan itu tidak melalui kekerasan, apalagi dengan uang. Terbanyak rakyat Kota Kupang dengan penuh kesadaran memilih bapak berdua. Itu artinya dukungan mereka sangat tulus, datang dari nurani mereka yang paling bening dan bersih, jauh dari prasangka dan bersih dari kepentingan murahan. Karena itu, jangan sia-siakan kepercayaan mereka. Jangan abaikan harapan mereka. Jangan lupa melihat wajah mereka. Dari wajah mereka bapak berdua bisa menangkap banyak hal. Beri kesempatan kepada rakyat untuk bicara, biarlah mereka menyampaikan isi hatinya, dengarlah uneg-unegnya.
Dewasa ini di mana-mana rakyat semakin memiliki kesadaran akan kemanusiaan mereka. Perlakuan yang tidak human akan diberontaki. Hati mereka mesti dipegang kuat. Kepentingan mereka jangan pernah diabaikan. Mencius, filsuf Cina itu, benar ketika dia mengatakan, "Kalau Anda ingin merebut kerajaan, rebutlah rakyat. Kalau ingin merebut rakyat, rebutlah hati rakyat. Kalau ingin merebut hati rakyat, berilah kepada mereka dan nikmati bersama mereka apa yang mereka sukai, dan jangan engkau lakukan pada mereka apa yang mereka tidak sukai. Rakyat akan berpaling kepada seorang penguasa yang manusiawi, tak ubahnya seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah, atau seperti margasatwa pulang ke hutan."
Ketiga, akur sampai selesai. Ini penting buat bapak berdua. Hari ini bapak berdua resmi dilantik dan mulai bertugas sebagai satu pasangan. Sekali lagi, satu pasangan. Ibarat jodoh, rakyat Kota Kupang bangga menyaksikan dua sejoli yang sepakat menyatu dalam sebuah pesta kemenangan. Harapan rakyat ialah kesatuan itu hendaknya lestari dan abadi selalu. Jangan bubar di tengah jalan. Di banyak kabupaten di daerah ini, bupati dan wakil bupati tidak akur, tidak sejalan, tidak sepaham. Yang satu ke kiri, yang satu ke kanan. Akibatnya terjadi bentrokan, stres, stroke dan .....
Lima tahun Bapak Dan Adoe merasakan apa artinya menjadi pendamping. Pasti bapak tidak mau pendamping bapak mengalami apa yang bapak alami. Bapak tidak mau pendamping bapak cuma jadi 'ban serep'. Bapak mesti bisa buktikan bahwa bapak berpasangan dengan seorang pendamping bukan karena kawin paksa. Rakyat kota ini akan menunggu pembuktian itu. Kemesraan itu jangan cuma bertahan tiga bulan, setengah tahun, satu tahun atau dua tahun. Dia mesti lestari, abadi sampai di ujung batas masa.
Masih ada hal lain yang ingin disampaikan. Tetapi rasanya inilah yang paling penting disampaikan pada hari bahagia ini. Rakyat kota ini yakin bapak berdua tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan. Rakyat juga yakin bapak berdua mampu mengubah wajah kota ini, sanggup membawa perubahan di kota ini. Sudah lama Kota Kupang tampil sebagai sebuah kota dengan wajah kampung. Tidak ada landmark, lalu lintas semrawut, musik angkota melewati ambang batas, sampah berserakan di mana-mana, jalan-jalan bopeng dan penuh lubang, kegelapan menyelimuti kota di malam hari, akses terhadap fasilitas umum dan layanan jasa mampet, sarana hiburan miskin, keamanan warga terancam di malam hari, sarana olahraga kurang, warga mengeluhkan air, dan seterusnya dan seterusnya.
Jika bapak berdua ingin dikenang sebagai pelaku sejarah di Kota Kupang, ubahlah Kota Kupang dari Kota Kasihan menjadi Kota Kasih. Gloria Dei, vivens homo! Selamat berbahagia.
* Penulis, wartawan Pos Kupang, warga
Blok W, No. 2 BTN Kolhua, Kota Kupang

Pos Kupang, Rabu 1 Agustus 200) Read More...

Pluralisme : modal membangun bangsa

Oleh : Tony Kleden*

TANGGAL 17 Agustus 1945 duet Soekarno-Hatta memaklumkan kemerdekaan Indonesia. Tetapi jauh sebelum itu, yakni pada tanggal 20 Mei 1908 Budi Utomo menyanyikan kredo tentang persatuan Indonesia. Kredo itu memulai era kebangkitan nasional. Jika kemerdekaan oleh Soekarno diibaratkan sebagai pintu gerbang yang memberi kemungkinan seluas-luasnya untuk mewujudkan suatu masyarakat baru yang lebih adil dan sejahtera, maka kebangkitan nasional merupakan titik awal menuju pintu gerbang itu.
Enam puluh tahun lebih sudah pintu gerbang itu terbuka. Tetapi kemungkinan yang terbentang luas itu masih diselimuti kegelapan. Era berganti era. Sosok pemimpin berubah wajah. Tetapi ideal yang dituju masih jauh dari jangkauan. Yang dituai bukan kesatuan dan persatuan warga bangsa yang berlimpah kekayaan alamnya, tetapi sentimen suku, agama, ras dan antargolongan yang kian mengental. Kerusuhan demi kerusuhan berlatar SARA berlangsung dan terus berlangsung dengan ekskalasi yang mencengangkan. Primordialisme mengkerangkeng pluralisme dalam gheto pemahaman yang sempit dan paradigma berpikir yang picik. Di tengah kemelut seperti itu, mampukah nasionalisme dan pluralisme bisa menjadi roh yang mempersatukan dan modal yang kuat membangun bangsa ini?
Nasionalisme sebagai Zeitgeist
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu semangat yang tumbuh di dalam lubuk setiap insan dari suatu kelompok bangsa tertentu. Semangat itu merupakan roh pemersatu, yang mengikat dan menyatukan. Dalam semangat itu terkandung cita-cita, harapan ideal yang mau dikejar, baik itu cita-cita yang disepakati dalam suatu konsensus bersama maupun yang lahir dari latar belakang sejarah yang sama. Cita-cita itu berakar pada penemuan akan realitas hidup yang ada, pada situasi tidak menentu, bahkan pada situasi chaos melalui suatu refleksi bersama. Dalam cita-cita itu yang lama hendak ditinggalkan dan yang baru mau dikembangkan.
Sejarah peradaban dan kemajuan hampir semua bangsa di dunia menunjukkan secara eksplisit bahwa nasionalisme merupakan roh yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman, dan karena itu dapat disebut sebagai roh zaman, Zeitgeist. Ditarik ke dalam konteks Indonesia, maka nasionalisme itu muncul secara khas dalam setiap kurun waktu dan generasi. Masing-masing generasi memberi titik tekanan tersendiri pada nasionalisme yang dibangun.
Demikianlah, di zaman penjajahan nasionalisme itu tumbuh sebagai roh untuk melawan dan menentang penjajah. Dalam zaman kemerdekaan titik tekanan bergeser pada semangat untuk membangun menuju cita-cita nasional. Meski menemukan bentuk dan mengambil modus dalam masing-masing kurun waktu, semangat dasarnya tetap sama. Yang berbeda cuma pengungkapan dalam bahasa. Inti muatannya tetap satu dan sama.
Dalam arti ini, apa yang disuarakan Soekarno tentang 'negara kebangsaan' di tahun 1945 tidak berbeda jauh dengan konsep 'pembangunan bangsa' yang digelorakan orde baru hingga (orde) reformasi sekarang ini. Karena itu benar bahwa pembangunan yang digiatkan dalam orde reformasi dan selama orde baru merupakan mata rantai dari perjuangan menuju pintu gerbang kemerdekaan yang digelorakan Soekarno ketika bersama para pemuda menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Perjuangan menuju pintu gerbang ini bertali temali dengan landasan persatuan yang ditonggaki Budi Utomo. Seterusnya semangat Budi Utomo ini ditiupi oleh nafas yang ada dalam dada para pahlawan yang menentang penjajah.
Masing-masing era, kurun waktu, orde, karena itu, tidak terlepas satu sama lain dan saling mengeksklusifkan. Setiap orde, kurun, waktu, masa itu kerap diterima sebagai babak baru yang lahir sebagai reaksi sekaligus koreksi terhadap orde sebelumnya. Semangat Budi Utomo digelorakan kembali oleh Soekarno melalui proklamasi kemerdekaan dan orde lama. Berjalan di luar rel, orde lama kemudian diganti dengan orde baru. Kendati banyak ketimpangan, harus diakui bahwa orde lama merupakan anak zaman pada masanya.
Tesis politik yang dicetuskan orde baru di awal kelahirannya sangat jelas, yakni demokratisasi politik di samping perbaikan ekonomi. Tesis inilah yang meromantisasikan perlawanan sosial menentang sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi yang hancur-hancuran di zaman orde lama. Gilang gemilang hasil pembangunan orde baru memang sungguh menakjubkan. Masyarakat di bawah orde baru telah berkembang sangat pesat. Namun harus diterima bahwa perkembangan itu adalah perkembangan elitis dalam sistem politik yang tunggal dan monolitik. Pilihan model pembangunan yang bercorak teknokratis yang secara sengaja memperlemah kekuatan politik non negara untuk menghindari bargaining politik kemudian melahirkan begitu banyak ketimpangan dalam orde baru. Karena itulah ketika desakan arus bawah semakin kuat dan dengan didorong hasrat mau maju, orde baru kemudian ditentang. Orde yang berjalan lebih dari tiga dasawarsa ini kemudian tumbang dan lahirlah orde yang lebih lazim disebut sebagai (orde) reformasi.
Sembilan tahun sudah reformasi berjalan. Meski tidak melalui suatu manifesto, agenda pokok yang disemangati reformasi ini sangat jelas: mereformasi jalan meraih cita-cita, ideal yang telah digelorakan sedari awal. Pada awal tualangnya, reformasi mendapat sambutan luar biasa. Pembusukan terhadap hampir setiap aras hidup yang dilakukan masa sebelumnya membangkitkan euforia yang tak terbendung. Bagai orang yang dalam keadaan 'ekstase' warga bangsa ini hanyut dalam kegembiraan tak terkatakan ketika keranda orde baru diusung ke liang lahat pada 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai ikon orde baru.
Tetapi setelah sembilan tahun berjalan, roh, semangat reformasi itu belum banyak memberi makna, belum kunjung menafasi roh para pemimpin. Justru sebaliknya roh reformasi itu cenderung meredup. Presiden BJ Habibie digantikan Gus Dur. Gus Dur berhenti di tengah jalan dan Megawati Soekarnoputri naik tahta. Megawati berhenti dan Susilo Bambang Yudhoyono memegang kemudi republik ini.
Tetapi dari empat presiden ini, apa yang dituai? Perubahan signifikan apa yang telah direngkuh? Apa gerangan geliat kemajuan yang terlihat? Korupsi yang menggurita, utang luar negeri yang membelit, meningkatnya angka kemiskinan, meroketnya pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, merosotnya kewibawaan moral dan integritas para pemimpin pada galibnya merupakan pengejawantahan dari meredupnya tiupan reformasi itu.
Menghargai pluralisme
Sesungguhnya ada begitu banyak sebab mengapa reformasi belum mereformasi tata laku, pola tindak, paradigma berpikir dan cara hidup warga bangsa ini sebagai masyarakat madani yang dicita-citakan bersama.
Menurut hemat saya, salah satu sebab lain yang cenderung dianggap sepele adalah betapa kita masih begitu lemah menghargai pluralisme. Luas wilayah yang mencengangkan, latar belakang budaya yang kaya, bahasa yang beragam, adat istiadat yang majemuk, suku yang banyak, golongan dan agama yang beraneka niscaya mengimplikasikan adanya pluralisme yang tidak bisa dihindari. Sejatinya, pluralisme apa pun juga model dan bentuknya, merupakan suatu kekayaan yang sangat berguna. Tetapi itu hanya terjadi jika dan hanya jika pluralisme itu dipandang dan dikelola dengan benar dan baik. .
Kasus-kasus pertikaian yang terjadi di Tanah Air lebih sering memperlihatkan pertikaian di antara suku, etnis, agama, golongan yang berbeda. Begitu sering kita terpola pada cara pandang sempit dengan menempatkan sama saudara yang lain sebagai 'mereka', 'orang lain'. 'Mereka' itu bukan 'kita', bukan 'orang kita.' 'Mereka' itu adalah 'orang lain', orang di luar 'kelompok kita'.
Perbedaan suku atau etnis dan cara pandang seperti ini akan sangat mudah menjadi api yang membakar nafsu dan menyulut amarah. Tetapi jika perbedaan, pluralisme itu dipandang sebagai potensi, kekayaan, maka dia akan menjadi kekuatan yang luar biasa dinamis dan besar sebagai modal dan aset membangun bangsa.
Harus disadari bahwa pluralisme dalam pelbagai aspek dan bidang kehidupan merupakan causa interna terhadap keruntuhan bagi suatu bangunan sosialitas. Fakta adanya pluralisme sekaligus juga memperlihatkan potensi kehancuran akibat kerapuhan dari pluralisme itu sendiri. Ibarat pisau, jika digunakan dengan benar akan menguntungkan, salah digunakan akan merugikan.
Sejarah banyak bangsa menunjukkan bahwa kerap kali pluralisme yang terlanjur berkembang menjadi pluralisme sempit tumbuh menjadi sumbu pemicu meledaknya berbagai konflik. Pengalaman Indonesia kuat menjelaskan betapa pluralisme yang mengental dalam sentimen sempit mampu mereciki api kerusuhan. Padahal bila dilacak dalam sejarah, terlihat bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya suku-suku bangsa yang menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, ke arah bersatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan negara bangsa.
Proses ini sebetulnya menunjukkan bahwa bangsa ini sangat kuat dicirikan oleh pluralisme, baik itu suku, ras, agama, golongan maupun etnis dan bahkan kebudayaan. Maka mengkhianati pluralisme dan kemudian menjadikannya senjata untuk terlibat dalam konflik adalah pengkhianatan terhadap fondasi historis bangsa ini.
Sikap atau semangat yang dibutuhkan dalam membangun bangsa yang beradab adalah menghargai pluralisme. Yang dimaksud dengan pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan dan bahkan menumbuhkan keadaan yang bersifat plural, jamak, majemuk. Dalam konteks kehidupan berbangsa, maka pluralisme merujuk pada sikap bahwa semua suku, ras, agama, golongan warga bangsa punya niat yang sama, yakni membangun suatu kehidupan yang lebih baik.
Pluralisme, karena itu, harus disikapi sebagai suatu landasan bagi kelangsungan hidup berbangsa. Mesin politik orde baru memang membabat habis pucuk-pucuk kehidupan yang melahirkan kemajemukan. Mesin tersebut berjalan lurus ke arah sebuah tatanan politik yang monolitik, uniform, dominatif dan militeristik-otoriter. Sikap anti pluralisme sebenarnya mencerminkan sikap anti terhadap kontrol.
Pluralisme mengedepankan pengakuan terhadap keragaman dengan ciri menonjol terdapatnya ruang dan media bagi perbedaan. Lebih jauh dari itu, semangat pluralisme mampu menghindarkan dan mencegah prinsip mayoritas melalui pemilu menjadi sebuah sistem demokrasi yang fasis. Dalam arti ini, pluralisme tidak lagi berbicara tentang dominasi mayoritas terhadap minoritas, tetapi tentang bagaimana aspirasi semua kelompok mendapat kesempatan yang sama dan adil untuk diekspresikan. Boleh dibilang, gagasan tentang pluralisme menjadi institusi sosial terpenting bagi perlindungan eksistensi nilai, idiologi, kepentingan dan aspirasi politik individu dan kelompok masyarakat.
Hanya dengan menghargai pluralisme, nasionalisme dapat dihayati secara benar. Dalam roda perjalanan waktu, nasionalisme itu semestinya dihayati sebagai perburuan tanpa tepi. Bangsa besar lagi kaya raya ini terlalu lama berada dalam kondisi statis, tanpa banyak geliat meraih masa depannya. Karena itu untuk menggapai cita-cita bersama bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang mau berubah, pemimpin yang punya good will dan political will untuk mengubah wajah bangsa ini. Pemimpin yang mau berubah adalah pemimpin yang menghargai pluralisme, yang tidak ingat diri, tidak melihat latar belakang suku, agama, etnis atau golongannya.
Sudah enam presiden mengemudi bahtera besar Indonesia ini. Sejujurnya, kebanyakan mereka lebih menampilkan sosok politisi ketimbang pemimpin. Pemimpin yang terlalu kuat paham politiknya cenderung mengelola negara dengan lebih banyak mempertimbangkan aspek dan pertimbangan politik. Pemimpin seperti ini mudah goyah diterjang gelombang kepentingan politik. Idealisme luhur, slogan yang dikampanyekan mudah goyah dihantam badai oportunisme. Sekali memegang kemudi, dia akan memegangnya dengan angkuh.
Kekuasaan di tangan penguasa yang angkuh dan memposisikan diri sebagai dewa yang omnipotens (penuh kuasa) memungkinkannya mendesain model politik yang lebih menggarisbawahi supremasi politik dan supremasi kekuasaan atas segala kualitas lain yang disyaratkan dalam suatu sosialitas. Eksplisitasinya jelas dan nyata terlihat : pasal-pasal hukum menjadi seperangkat aturan yang menjerat rakyat yang melawan, norma moral menjelma menjadi aturan non formal yang mengatur bagaimana rakyat mesti sujud menyembah. Tak heran panggung pengadilan lebih kerap menjadi panggung sandiwara. Keputusan pengadilan telah ditentukan jauh-jauh hari sebelum proses persidangan. Dan, banyak orang bingung masuk penjara tanpa pernah mengetahui apa dosanya.
Supremasi politik dan kekuasaan di negeri ini tampaknya masih terlalu pongah berdiri. Para mahasiswa telah berkorban menjadi martir melahirkan reformasi. Tetapi keadaan belum banyak berubah. Apakah reformasi perlu berinkarnasi dan menjadi revolusi? Entahkah titik gravitasi reformasi perlu digeser?
Dengan proyek mercusuarnya Soekarno membawa bangsa ini berkubang dalam krisis ekonomi. Dengan doktrin stabilitas nasional, Soeharto mewariskan bangsa ini suatu rancang bangun politik dan ekonomi yang kuat tetapi semu dan sangat rapuh. Dengan harapan akan kemajuan di bidang teknologi, BJ Habibie gagal menerbangkan bangsa ini tinggal landas. Dengan gaya humornya, Gus Dur sering menganggap kecil persoalan-persoalan besar yang dihadapi. Dalam diamnya, Megawati tidak banyak bicara menghadapi multikrisis yang mendera. Quo vadis Indonesia di bawah Susilo Bambang Yudhoyono? Mudah-mudahan sejarah perubahan Indonesia bukan history of no change.

* Penulis, wartawan Pos Kupang Read More...

Nomen est omen

---- Catatan Pilkada Tony Kleden ---

SAMA Saudara/i, warga Kota Kupang yang terhormat. Saya ingin titip pesan sambil mengingatkan apabila ada calon wakot-wawakot yang ingin membeli suara anda pakai uang, maka terimalah dengan senang hati karena uang itu adalah hasil korupsi, tetapi pada saat pemilihan jangan pilih (tusuk) gambarnya. Bila perlu kerok uangnya sampai ludes. Inga! inga!
Begitu barisan kata-kata yang masuk ke handphone saya 7 Maret 2007 lalu. Nomor itu asing di handphone saya. Mungkin Anda juga ketiban pesan yang sama dari nomor yang sama atau juga berbeda dengan saya. Seperti gelombang radio, pada saatnya nanti layanan pesan itu akan berseliweran mencari nomor-nomor handphone.
Mengapa mesti menggunakan kata-kata? Jawabannya karena kata punya kekuatan. Ya, kata punya kekuatan luar biasa. Yesus meraih simpati karena kata-kata bijak setiap kali mengajar. Soekarno menyihir massa karena pilihan kata-kata yang mengalir lancar dari mulutnya. Konon, sekali lagi konon, duet SBY-MJK memenangkan pilpres karena kata-kata arif, cermat dan terpilih yang keluar dari mulut SBY.
Bila dikemas dengan baik dan rada provokatif, maka kata-kata akan sangat berdampak. Simak iklan-iklan di koran, TV, radio, reklame-reklame di pinggir jalan. Daya sihirnya luuaaaarrrr biasa......
Kecap ABC diburu ibu-ibu di pasar. Rexona adalah parfumnya kaum parlente. Yamaha jadi incaran anak-anak muda. Gudang Garam, rokoknya kaum pemberani. Surya, ini baru pro! Dan lain-lain, dan lain-lain. Itu karena kekuatan kata-kata.
Ada sebuah disiplin ilmu filsafat yang secara khusus mempelajari struktur dalam bahasa guna mengetahui struktur-struktur pemikiran manusia. Disiplin ilmu itu disebut strukturalisme. Strukturalisme mengambil titik mulainya dalam sebuah naskah berbentuk mapan sebagai 'tenunan baka' dari jalinan macam-macam anasir.
Kaum strukturalis membedakan tiga undak/jaringan arti. Pertama, struktur logis dan sadar yang terkandung dalam setiap hasil karya seni. Kedua, struktur-struktur kultural, yakni bahwa jika suatu pernyataan itu sungguh berarti, maka setiap term (kata, idiom, istilah) harus dipahami dalam konteks kultur dan sejarah partikular. Ketiga, struktur-struktur lebih mendalam, yang tidak bergantung pada latar belakang kultural, tetapi umum bagi semua umat manusia karena mereka merefleksikan struktur pemikiran manusia itu sendiri.
Nah, dalam konteks ini kita kemudian menemukan dan coba menafsir makna di balik nama-nama paket bakal calon Walikota-Wakil Walikota Kupang yang diplesetkan menjadi Alfa (Al Foenay-Ande Agas), Jeriko-Jodea (Jefri Riwu Kore-Johannes Dae), Jonex (Jonas Salean-Alex Ena), Jibel (Djidon de Haan-Anton Bele), Duo-Dan (Dan Adoe-Dan Hurek), Guyan (Guido Fubertus-Yan Mboeik). Alfa, Jeriko-Jodea, Jonex, Jibel, Duo Dan dan Guyan. He.... hee.... hitung-hitung ada tambahan perbendaharaan kosa kata.
Meski tampak dan kedengaran 'gaul', tetapi sesungguhnya 'istilah-istilah' baru ini bukan sekadar gaul. Dia lebih dari sekadar istilah, idiom, atau kata kosong. Sudah pasti para anggota tim sukses dengan penuh kesadaran mencari rangkaian huruf-huruf untuk menciptakan suatu kata yang merepresentasikan paket yang dijagokan. Kata itu harus berdampak atau memberi pengaruh. Dan, dampaknya pada ingatan kolektif warga Kota Kupang. Ingatan kolektif terhadap nama-nama itulah yang menjadi harapan yang coba didapat dari istilah itu.
Demikianlah, Alfa mau mengingatkan orang akan suatu kemahakuasaan, yang bermula dari awal sejarah. Sebagai huruf pertama dalam abjad Yunani, Alfa diharapkan tampil pertama dan terdepan dalam konteks Pilkada Kota Kupang. Dengan nama ini, Al Foenay dan Ande Agas mau menegaskan, kamilah orang pertama.
Jeriko-Jodea mengajak orang mengenang tapak tilas Yesus dalam masa hidupnya di Palestina. Dengan nama ini, orang akan diingatkan akan perjalanan panjang Jefri Riwu Kore dan Johannes Dae menuju kota harapan, yakni Kota Kupang. Di kota harapan itulah keduanya coba merancang perubahan seturut visi misinya nanti.
Jonex. Dari bunyinya sama dengan merk raket nomor wahid yang dipegang para atlet bulutangkis dan tenis. Jonas Salean dan Alex Ena adalah dua terbaik yang menjadi merk Partai Golkar untuk diusung ke dan bersaing di tengah arena. Sebagai merk terbaik, Jonex menggedor kesadaran dan minat warga untuk memakainya. Itu karena mereka adalah the best.
Jibel? Jika huruf 'l' di akhir kata ini diganti dengan 's', maka dia menjadi jibes alias jiwa besar. Anda tahu khan orang yang berjiwa besar? Tidak aneh-aneh, tidak childish (kekanak-kanakan), tidak neko-neko, tidak macam-macam, elegan dan simpatik. Nah, Djidon de Haan dan Anton Bele, diharapkan menunjukkan kebajikan-kebajikan ini. Dengan moto memimpin dengan hati, duet ini ingin tampil apa adanya, jauh dari hingar bingar dan hura-hura. Keduanya berjiwa besar mengubah kota ini sehingga tampil elegan dan beradab.
Duo-Dan? Dua raga dalam satu pribadi. Wou... dahsyat nian tenaganya. Buktinya? Meski terombang-ambing dalam ketidakpastian, paket ini akhirnya menemukan perahu untuk berlayar di lautan pilkada. Sudah dapat perahu, jalannya pun masih oleng-kemoleng diterpa badai perseteruan di partai pengusung. Toh, perahu itu pun lolos hingga didaftarkan di KPUD pada hari terakhir.
Guyan. Kata apakah itu? Jika boleh 'mereproduksi' lagi, kata ini bisa menjadi guyon. Nah, Guido Fulbertus dan Yan Mboeik tentu tidak sekadar guyon ketika memutuskan untuk maju dalam pilkada. Pasti keduanya serius. Dengan mau maju, pasangan ini ingin memberitahu kepada seluruh warga Kota Kupang untuk jangan terlalu serius menghadapi hidup ini. Di sebuah kota yang gersang nan tandus ini, warganya juga perlu menghabiskan waktu untuk bermain, tertawa, bercengkrama, bersenang-senang. Keduanya mau mengajak warga Kota Kupang jangan cuma menyadari diri sebagai homo faber, yang cuma bersibuk diri dengan bekerja dan bekerja. Warganya perlu disadarkan bahwa mereka adalah homo ludens, yang tidak lupa bermain; atau juga homo ridens yang doyan tertawa mengunjuk gigi, bukan cuma tahu memamerkan otot.
Alfa, Jeriko-Jodea, Jonex, Jibel, Duo-Dan dan Guyan. Sejak Kamis, 14 Maret tengah malam, 'nama-nama' ini resmi didaftar di KPUD Kota Kupang. 'Nama-nama' ini dikemas tim suksesnya biar 'layak jual'. Semua 'nama' itu merepresentasikan watak, menunjukkan orang dan mengidealkan harapan di baliknya. Benarlah, nomen est omen. Nama menunjukkan orangnya. Anda lebih dekat ke siapa? *

Pos Kupang, Sabtu 17 Maret 2007 Read More...

Hikmah Puasa:

Oleh : Tony Kleden

TAK disangkal lagi kalau Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Posisi mayoritas ini lalu sangat mewarnai dan memberi arti bagi setiap jejak langkah perjalanan bangsa. Bulan puasa, misalnya, menjadi rentangan waktu yang sangat khas Islam. Di mana-mana digelar seminar, sarasehan, dakwah tentang Islam. Media cetak pun elektronik tampil dengan ulasan juga dalam nada dasar tentang Islam.
Tujuan apa yang hendak digapai oleh pencarian setiap muslim di bulan puasa khususnya? Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa muara setiap ziarah pencarian adalah perdamaian dengan Allah. Karena seturut arti katanya Islam mengandung makna "masuk dalam perdamaian". Masuk dalam perdamaian berarti berdamai dengan Allah dan manusia.
Buat setiap agama berdamai dengan manusia mengimplikasikan suatu kerelaan untuk keluar dari benteng pemahaman yang sempit tentang agama sekaligus kesudian untuk meninggalkan segala lagak triumfalisme dan kecongkakan. Dalam rumusan lain, berdamai dengan manusia berarti memiliki sikap dialog dengan sesama penganut agama lain. Dalam konteks ini rasanya tetap relevan untuk sekali lagi di kesempatan emas menyiapkan diri dan hati untuk berdamai dengan Allah dan manusia kita merumuskan kembali dialog antar agama. Bukan lagu baru, tentu saja, tapi juga bukan tanpa guna.
Sudah menjadi suatu pemandangan yang biasa bahwa dialog yang terjadi ternyata bukan suatu upaya yang mulus. Selain karena ketidakjelasan memetakan locus sociale sebagai basis dialog, sikap kita terhadap agama lain amat main peranan dalam menentukan bobot suatu dialog. Hal terakhir ini menyangkut apa yang dinamakan optio fundamentalis (sikap dasar) terhadap agama-agama lain.
Tiga paradigma
Banyak ahli akhir-akhir ini menggolongkan optio fundamentalis terhadap agama-agama lain ke dalam tiga paradigma dasar. Ketiga-tiganya paling kurang dapat mempengaruhi dan menentukan intensitas suatu dialog. Pada tatanan teoritis sikap menerima atau menolak komitmen iman dari golongan lain merupakan cerminan dari sikap dasar tertentu terhadap agama-agama lain yang dianuti. Begitu pun hal serupa dapat kita jumpai dalam praktek hidup sehari-hari. Kekerasan dan ekstremitas, toleransi dan lapang dada tak lain merupakan ekspresi dari optio fundamentalis paradigmatis mana yang dipegang.
Pertama, paradigma eksklusif. Para penganut paradigma ini mengklaim tidak adanya keselamatan di luar agamanya. Agama-agama lain cuma dipandang baik dalam dirinya sejauh ia merupakan hasil refleksi budi-manusia, bukan sebagai mediasi keselamatan. Tidak ada wahyu dalam agama-agama lain kecuali dalam agama kaum eksklusif sendiri.
Berbagai upaya menarik penganut agama lain untuk memeluk agama kaum eksklusif merupakan hal yang biasa dan amat mendesak demi mengurangi kekafiran. Kekerasan berupa intimidasi dan aneka tradisi penaklukkan serta peperangan justru tak lain atas nama Allah yang disembah dalam agama seperti ini. Dialog tidak punya tempat buat penganut paradigma eksklusif, atau kalau pun ada justru karena faktor-faktor yang non agama misalnya kekerabatan atau relasi keturunan.
Kedua, paradigma inklusif. Paradigma ini mengakui adanya rahmat dan wahyu dalam agama-agama lain dan karenanya dimaklumi pula bahwa setiap agama adalah mediasi keselamatan bagi para pemeluknya. Akan tetapi paradigma inklusif mengklaim relatifnya peran agama lain sebagai jalan yang benar untuk memperoleh keselamatan. Agama kaum inklusif adalah agama yang mutlak benar, sedangkan keselamatan melalui agama lain tak lebih dari sekadar pancaran keselamatan dalam agamanya. Prinsipnya ialah bahwa wahyu yang otentik dan kemungkinan keselamatan cuma terdapat dalam agama kaum inklusif. Sebaliknya apa yang kiranya dapat diperoleh melalui agama lain adalah sebagian dari keselamatan paripurna dalam agama kaum inklusif.
Ketiga, paradigma pluralis. Penganut paradigma ini lebih suka menerima semua agama sebagai jalan yang absah untuk memperoleh keselamatan. Retorika para penganut paradigma ini lazimnya bertolak dari aksioma bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi semua manusia.
Menurut para penganut paradigma pluralis, setiap manusia memiliki keterbukaan eksistensial terhadap yang supernatural. Horizon supernatural yang termasuk kodrat manusia sendiri membuat manusia memiliki sikap menerima yang supernatural karena hal itu muncul pada horizonnya. Akan tetapi tetap digarisbawahi satu hal penting bahwa manusia adalah makhluk yang berkodrat sosio-historis dengan sejarah yang berbeda-beda. Jika rahmat keselamatan Allah menjadi nyata secara universal, maka ia harus mengambil bentuk sosio-historis. Ia harus menjadi badan, tulang, peristiwa dan simbol. Hal ini terjadi dalam sejarah di dalam agama-agama yang berbeda-beda yang mengandung rahmat, yang menghantar kepada keselamatan dalam kenyataan sosio-historis. Kesimpulannya sederhana, rahmat Allah yang menyelamatkan tidak sampai kepada seorang pribadi di luar agama dan kepercayaannya, melainkan di dalamnya.
Pandangan di atas sama sekali tidak menafikan agama. Sebaliknya ia meneguhkan agama sebagai mediasi simbolis untuk berelasi dengan Allah. Secara fenomenologis relasi itu mendapat bentuk dan ekspresinya dalam konteks kebudayaan dan sejarah. Bentuk konkretnya adalah ritus, doktrin, etika dan institusi atau lembaga agama.
Karenanya setiap agama mempunyai karakter absolut dan relatif. Hubungan personal sebagai komitmen dalam iman mempunyai karakter absolut terutama karena ia berhubungan dnegan Yang Absolut (Tuhan). Sedangkan segala ekspresi simbolis yang dikondisikan oleh faktor-faktor kultural dan historis pada dasarnya bersifat relatif. Hubungan yang absolut dan yang relatif seperti hubungan tubuh-jiwa, dua hal yang berbeda tapi tak terpisahkan. Setiap agama adalah relatif dalam hubungannya dengan Yang Absolut (Tuhan), bukan relatif dalam relasinya dengan agama-agama lain. Kesalahan dan kekeliruan dapat saja terjadi pada tahap ini mengingat misalnya oleh keterbatasan manusia menafsirkan wahyu Allah melalui nabinya.
Konteks Indonesia
Pluralisme agama diakui di Indonesia. Malah toleransi dan kerukunan beragama merupakan konsep final bangsa Indonesia bagaimana mengejawantahkan jiwa dan pasal 29 UUD 1945. Problemnya adalah bagaimana menggariskan implementasi konsep tersebut agar menghindari kemungkinan pluralisme agama-agama sebagai sumber ketegangan nasional.
Memang diakui selama ini kita berhasil membina kelangsungan pluralisme agama-agama. Prestasi ini ternyata luar biasa dibandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi sebagaimana sudah amat diketahui, persepsi kita mengenai kerukunan beragama yang nyata melalui seruan-seruan, imbauan dan berbagai produk hukum yang mengaturnya tidak dengan sendirinya cukup untuk menghindari pertentangan antar agama dengan modus apa pun. Masih saja kita dengar adanya keretakan-keretakan antar agama yang berlangsung di beberapa tempat. Ironisnya justru hal ini terjadi pada saat kita sebagai suatu bangsa yang besar semakin merasa senasib dan sepenanggungan mengejar ideal bersama yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam referensi paradigma pluralis kini tiba saatnya memulai dialog saling memahami dan saling menghormati yang bermula dari apa yang paling universal, yaitu pengalaman iman akan Allah dalam masing-masing agama. Titik tolaknya bukan lagi faktor-faktor relatif, melainkan Allah yang menawarkan bonum (kebaikan) kepada para hambanya dalam masing-masing agama. Dalam Allah kita adalah satu karena Allah berhati lapang yang merangkul kita semua dalam kelembutan dan kasih sayang, kata Muhammed Khaled, seorang Syeikh dari Universitas Al-Azhar tahun 1958.
Konteks dialog antar agama adalah komunitas orang-orang sebagai suatu bangsa yang hidup dalam budaya dan struktur sosio-politis yang sama. Agama dengan segala unsurnya antara lain doktrin, ritus dan etika tetap diakui sebagai komitmen iman akan Allah yang sama, akan tetapi semuanya itu dihayati dalam konteks kita sebagai suatu bangsa yang besar yang mempunyai masalah dan keprihatinan sendiri, berbeda dengan ketika para nabi menerima wahyu. Agama-agama diharapkan dapat berperan sebagai kekuatan dalam konteks para pemeluknya hic et nunc. Yang dibutuhkan sekarang adalah kooperasi antar agama untuk memperjuangkan bonum commune (kebaikan umum) berupa keadilan dan kesejahteraan semua orang. Hal-hal yang baik inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah untuk diperjuangkan para hambanya.
Ada satu hal yang tetap sama, yakni bahwa di tengah-tengah kemajemukan realitas dunia dan aneka tuntutannya, kita semua memiliki semacam kerinduan umum yaitu keadilan dan perdamaian, pemerataan hasil-hasil pembangunan dan kesejahteraan. Kerinduan seperti ini dirasakan lebih-lebih oleh begitu banyak kaum yang hak mereka diperkosa, kaum lemah serta kaum miskin di tengah-tengah kita. Agama-agama secara bersama-sama mestinya mampu memenuhi kerinduan umum akan pembangunan yang secara moral dapat dipertahankan dan secara rohani sanggup memenuhi hasrat serta dapat menciptakan keadilan. Hal seperti inilah yang disebut bonum, yang dikehendaki oleh Allah.
Iman kita masing-masing akan Allah yang menghendaki kebaikan bagi semua manusia, itulah yang menjadi basis moral bersama. Karenanya pada level yang lebih tinggi yaitu antara alim ulama dari masing-masing agama, dialog dapat dilakukan secara lebih menyeluruh menyangkut masalah-masalah eksistensi-manusiawi. Misalnya dapat diupayakan suatu penalaran bersama (moral reasoning) dalam basis moral yang sama yaitu Allah yang menghendaki kebaikan bagi siapa saja.
Yang mendesak bagi kita sekarang adalah membuang jauh-jauh sikap antagonistik. Dialog tak terlaksana dalam hubungan-hubungan antagonistik apa pun. Dialog adalah perjumpaan cinta seperti Allah yang mencintai kita semua. Perjumpaan cinta tidak mungkin berupa perjumpaan antara pihak-pihak yang bertentangan.

Media Indonesia, Sabtu 25 Februari 1995 Read More...

Mencari spiritualitas agama yang relevan

Oleh: Tony Kleden

DALAM bulan Juli lalu, umat beragama di NTT, yang mayoritas memeluk agama Kristen, mengalami dua peristiwa penting. Pertama pad awal bulan, umat Kristen Protestan memusatkan perhatian ke Tarus. Selama beberapa hari berlangsung Konsultasi Nasional (Konas) V Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia. Dengan tajuk "Peran Agama mewujudkan Keadilan dan Perdamaian", yang coba ditemukan dalam pertemuan berskala nasional ini adalah cara yang tepat sasarguna menjalankan misi profetis gereja seagai pembawa damai dan keadilan.
Kemudian di penghujung Juli, persis 27 Juli, seluruh umat Katolik mengarahkan mata pada peristiwa penthabisan Uskup Coajutor Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr. Kedua peristita tersebut, kalau diletakkan dalam kerangka kerja gereja, merupakan sesuatu yang tidak terlalu luar biasa.
Tetapi ketiak kita menempatkan peristiwa itu dalam suatu skope yang lebih luas dan kemudian melihatnya secara lebih tajam dan jauh, maka akan terlihat bahwa semakin hari keberadaan agama kembali ditegaskan, peran dan fungsinya, lalu semakin diperjelas. Tegangan-tegangan yang sedang melanda dunia seperti globalisasi, industrialisasi, sekularisme dan seterusnya, karena itu juga menjadi semacam blessing in disguise (berkat terselubung) buat manusia untuk kembali menyadari dirinya sebagai manusia beragama yang sedang dalam perjalanan mencari pangsal dan pengadaannya.
Tetapi ketika berpaling ke belahan dunia lain, niscaya kitakan ragu kembali. Betulkan agama dapat diandalkan? Keraguan itu tambah kuat dengan berbagai aksi atas nama agama atau sekte suatu agama belalui berbagi aksi nekat. Catat misalnya serangan gas di Kereta Api bahwa tanah Tokyo dua tahun lalu. Atau ingat, saja ulah David Koresh, Juga aksi bunuh diri massal di Guyana yang dipimpin Jim Jones.
Fenomena apakah ini? Tak ada maksud dalam tulisan ini menguraikan secara sosiologis, apalagi teologis, tentang agama. Terhadap semua peristiwa semacam ini, sangat boleh jadi sensus religiosus (rasa keberagamaan) kita tersentuh, ruang batin penghayatan dia tas akan kembali mengganggu. Dapatkan agama dapat diandalkan? Kalau pun dapat agama macam manakah itu? Mesti diakui bahwa pertanyaan ini tidak mungkin dijawah secara tuntas. Karena itu barang yang kita perlukan adalah merumuskan atau lebih tepat mencari suatu spiritalitas agama yang kurang lebih relevan dengan sejarah (manusia) hic et nunc (di sini dan saat ini). Karena agama dan sejarah (manusia) bukan dua 'wilayah' dengan hukum sendiri-sendiri tanpa saling bersangkut paut. Agama dan sejarah manusia adalah dua dimensi dari satu kehidupan yang integral.
Agama: Hakekat historis
Keraguan kita tentnag roh agama dan setiap aksi 'gila" atas nama agama, secara positig dapat dikatakan sebagai ekspresi sensus religioses kita sendiri. Bahwa bagaimana pun juga agala tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah hidup manusia. Karena itu bisa dimengerti kalau Will Durant dalam The Lesson of History tegas-tegas mengatakan "Agama mempunyai seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama akan mati untuk selamanya, kecuali agama. Sekalipun dia seratus kali dibunuh, dia akan hidup dan bangkit lagi".
Penegasan ini sebetulnya tidak terllau berlebihan. Karena selain sikap yang makin positip terhadap agama (kendati tetap dengan keraguan akan roh yang didapat darinya) kebangkitan agama di seluruh dunia sekaligus juga menegaskan keberadaan agama. John Naisbitt benar ketiak dia menujumkan, dewasa ini manusia kembali yakin bahwa di tengah gemuruhnya arus perkembangan teknologi agama tetap menjadi pegangan, kompas pedoman arah buat manusia di setiap jejak langkahnya.
Dalam hidup berbangsa dan bernegara misalnya, agama merupakan suatu institusi yang sangat vital. Agama hadir dan memainkan perannya sebagai stabulisator dan dinamisator yang mengatur segala realitas manusi ayang sering retak. Karena itu juga kiranya benar kalau dikatakan bahwa agama termasuk lembaga yang tertua dalam masyarakat yang prihatin terhadap masalah-masalah permusuhan dan perdamaian.
Hal itu bisa dilihat misalnya bahwa upacara-upacara ibadha dan tempat-temapt ibadah berfungsi sebagai sentrum dan integrator, sebagai wadah Treuga Dei (Perdamaian Allah) bagi pihak-pihak yang bertentangan. Atau untuk meminjam Karl Manheim, maka agama berfungsi sebagai Sinndeutung und sinver-deutlichung des Zusammenlebens (pemberi makna dan penjelasan atas hidup masyarakat). Atau sebagia Grezstuation (situasi batas) menurut Karl Jaspers.
Buat setiap penganutnya agama tetap dirasakan begitu penting, kendati di zaman di mana teknologi telah tumbuh menjadi suatu kratos (kekuatan) tersendiri. Bisa dipahami kalau Peter L Berger memaklumatkan bahwa agama merupakan suatu sacred canopy (pangit suci) yang melindungi manusia dari situasi khaos, yaitu situasi tanpa arti, situasi anomi.
Mengapa gerangan agama tetap diyakini sebagai yang dapat menjadi pegangan? Mengapa dia tetap eksis kendati seratus kali dibunuh?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat mengandaikan pemahaman secara tepat tentang hakikat agama. Akan tetapi memberikan suatu basan tentang agama secara pas ternyata tidak gampang. Namun karena kita tidak mungkin mengejawantahkan sensus religiosus kita tanpa punya konsepsi sebagai kerangka acuan, maka minimal dibutuhkan suatu deskripsi tentang agama. Deskripsi tentang agama ini berdasarkan premis bahwa sepanjang sejarahnya manusia beragama telah menunjukkan suatu 'rasa suci'. Dan agama termasuk dalam kategori 'yang suci' itu.
Setiap manusia punya pengalaman tentang yang suci tersebut. Pengalaman itulah yang oleh Rudolf Otto disebut sebagai perjumpaan dengan Yang Kudus. Menurutnya ide tentang Yang Kudus ('qados', 'hagios', 'sanctus') adalah 'the real innermost core' (saripati sesungguhnya) dari semua agama. Di sini manusia berjumpa dengan suatu 'misteri' yang tersembunyi dan esoteris, sesuatu yang sama sekali lain (Wholly Other), yang melampaui yang tercerna, yang dialami sebagai 'mysterium tremendum et fascinosum' (misteri yang menggetarkan dan mempesona), yang melahirkan dalam diri manusia 'urgensi' dan 'enersi' yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Atau kalau memakai rumusah William James, maka agama sesungguhnya bersangkut paut dengan 'perasaan, tindakan dan pengalaman'. Singkat kata, agama bukan sesuatu yang berada di luar diri manusia. Agama termasuk kemanusiaan manusia. Ia tidak hanya menyangkut hal-hal teoretis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Dalam bahasa Hans Kueng, agama selalu menyangkut basic-trust seseorang akan hidup, menyangkut 'ya' atau 'tidak' pada hidup.
Karena agama selalu berkaitan dengan diri manusia, maka hakekatnya adalah hakekat historis. Bukan sebaliknya hakekat metafisik yang selesai dan terumus mati dalam keabadian dokrin dan ajarannya. Benar bahwa agma punya refensi pada kekuatan adokodrati. Ia menunjuk kepada sesuatu yang tidak terbatas dan ultim. Namun yang memberikan titik referensi itu adalah juga manusia yang menyerah, denga daging dan darah yang melekat.
Spiritual yang relevan
Suatu kajian yang mendalam mengenai agama memperlihatkan bahwa agama memiliki multi-dimensi dalam fungsinya. Dalam hakekatnya yang paling dalam fungsinya. Dalam hakekatnya yang paling dalam agama bisa dilihat sebagai bentuk pengungkapan rasa kepatuahn manusia pda Yang Transenden, Yang Absolut dan Imanen dalam berbagai bentuk simbol dan tradisi sesuai dengan konteks historis tertentu. Tetapi di pihak lain agama juga tidak bisa terlepas dari perspektif sosiologis kemasyarakat. Buat setiap penganutnya agama dilihat sebagai ultimatum remedium, semacam senjata pamungkas, yang bisa meredam segala macam konflik, atau boleh memberikan warna human terhadap modernisasi yang cenderung reduktif
Kalaulah agama mempunyai missio fundamentalis (misi utama) untuk menyelamatkan dunia dari situasi anomi, situasi khaos, mengapa gerangan panggung dunia kita merupakan sebuah panggung yang penuh dengan ketidakberesan? Megnapa sejarah hidup kita juga merupakan sejarah peperangan? Dan mengapa titian hidup manusia merupakan sebuah titian yang sarat dengan tantangan?
Benar dan lagi tidak disangkal bahwa dalam setiap agama terdapat dimensi perenis yang menyatukan semua agama. Dan setiap agama dan tradisi esoterik kita temukan warta dan pengetahuan yang sama, yang terbungkus dalam berbagai bentuk tradisi dan simbol. Hanya saja kita perlu suatu spiritualitas baru, sehingga missio fundamentalisnya tetap relevan dengan siatuasi sosio historis saat ini.
Mengapa? Karena manusia beragama tidak pernah menghayati hidupnya dalam suatu kevakuman. Ziarah hidupnya berlangsung dalam kisaran waktu dengan sekian banyak implikasi praktisnya: kemajuan, kemunduran, pergolakan dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan agama. Seturut hakekatnya yang historis, maka agama tak pernah dihayati dalam suatu kevakuman. Ia terlibat dalam setiap perubahan yang terjadi.
Kalaulah agama menyatu dengan kemanusiaan manusia dan lagi terlibat dalam setiap pergaulan hidup manusia, maka sememangnya agama mempunyai konsern terhadap situasi dunia nyata hari ini. Agama tidak bisa cuma sekadar memuaskan Zeus di puncak Olimpus, tetapi sebaliknya juga harus mampu memberikan jawaban buat manusia yang bertanya di bumi.
Ia tidak bisa hanya menurung diri dalam ghettonya dan lalu merumuskan seperangkat doktrin dan ajarannya yang terkadang rigoristis, dan perlu dipatuhi. Tetapi sebaliknya ia mesti turut dalam setiap tarikan nafas manusia, ikut merasakan semua getaran nasib manusia dan terlibat dalam setiap riak gelombang ziarah hidup manusia zamannya. Agama boleh punya tuntutan normatif, tetapi tidak mesti mengabaikan panggilan praktisnya.
Agama yang dibutuhkan bukanlah agama yang gampang menteror para pendosa, para pelacur, penguasa dan aparat yang korup. Bukan juga agama yang menjebak orang dalam rasa bersalah yang parmanen, tetapi membebaskan. Misi sebuah agama adalah sanggup menggambarkan Tuhan sebagai cinta, bukan sebagia hakim yang bengis.
Agama yang dibutuhkan bukan agama yang cuma memuaskan kuriositas para teolog, untuk studi kaum psiko-analis. Tidak untuk skripsi para sarjana, tetapi primer untuk kehidupan nyata. Agama yang dibutuhkan adalah agama yang mampu memberikan kesegaran bagi para petani miskin, buruh kasar di pelabuhan, mereka yang tertindas.
Dalam dunia modern, yang sadar dengan aneka persoalan, agama yang dinantikan bukanlah agama ritual semata-mata. Tetapi terutama agama eksistesial yang berada dalam dan bersama manusia, dunia yang sanggup mengetuk nurani manusia, yang mampu menanggapi duka dan kecemasan, kegembiraan dan harapan manusia zaman ini.
Intinya bukan saja kepercayaan kepada Allah yang diaktulisir dan dijaga ketat dalam suatu institusi yang rapi. Tetapi juga harus memperjuangkan suatu tata hidup yang baru. Menghadapi begitu banyak tegangan yang gejolak dewasa ini (dan masa mendatang), maka memakai bahasa Dr. Leo Kleden, agama harus mampu menjadi gerakan rohani di tengah dunia kongkret.
Bila agama memiliki spiritualitas seperti ini, maka bersama Ireneus setiap manusia beragama boleh menyanyikan kidung ini, "Gloria dei, vivens homo" (Kemulian Allah adalah purnanya hidup manusia). Apakah ini suatu harapan utopis?
Moga-moga tidak *

Pos Kupang 1 Agustus 1997 Read More...

Sikap etis terhadap lingkungan: menghindari alienasi

Oleh : Tony Kleden

"Kami menyanyikan lagu
Melodi suara alam
Air yang mengalir
Desiran angin
Lenguhan binatang",
Dan mengajak semua manusia:
"Ajarilah anak-anakmu
Mencintai alam"
MESKI ditulis secara puitis, penggalan syair "Grand Council Fire of American Indians" di atas menyatakan secara plastis tentang satunya manusia dan alam, manusia dan lingkungan. Kita tidak mengetahui persis, apa latar belakang syair ini ditulis, tetapi satu kemungkinan dapat kita duga tentang bagaimana inti batin penulis syair ini. Dengan syair ini penulisnya mau mengatakan tentang harmoni antara manusia dan alam sebagaimana mestinya dan tentang bagaimana harmoni itu terlihat sekarang.
Sulit membantah bahwa dewasa ini harmoni manusia dan lingkungan alamnya semakin rusak akibat keserakahan manusia sendiri. Keadaan lingkungan yang buruk dewasa ini semakin menjadi- jadi. Air laut tercemar minyak. Karang laut hancur akibat bom ikan. Udara terpolusi akibat asap yang dikeluarkan dari cerobong asap pabrik dan knalpot kendaraan. Hutan ternoda oleh gergaji mesin. Satwa semakin terpinggirkan dari habitatnya. Dan, manusia pun semakin jauh dari alam.
Mitos firdaus yang diceritakan dalam Kitab Suci mengenai situasi yang demikian sempurna rupanya tidak cukup menjadi metanonia buat manusia untuk kembali kepada alam. Eksplorasi, eksploitasi dan manipulasi atas nama kemaslahatan manusia kerap kali cumalah rasionalitas dari kerakusan manusia sendiri.
Alam dan lingkungan diberikan kepada manusia sebagai Gabe (hadiah). Tetapi manusia harus menerimanya sebagai suatu Aufgabe (tugas) sekaligus. Dalam konteks ini kita dapat mengerti kalau kemudian berkembang pariwisata yang antara lain berfokus pada lingkungan alam. Sejauh demi kemaslahatan umat manusia, mestinya kita menyambut gembira hasrat atau niat mengolah alam atas nama pariwisata.
Tetapi ketika kita menyaksikan betapa semakin hari keadaan alam semakin terpuruk akibat ulah manusia sendiri maka kita membutuhkan semacam sikap etis terhadap lingkungan alam. Pariwisata di NTT dengan fokus utama pada pengolahan alam agaknya harus diakui belum seberapa. Tanpa harus melakukan suatu penelitian yang cermat, dapatlah dikatakan bahwa lingkungan alam NTT relatif masih belum banyak tercemar akibat kerakusan manusia. Tetapi keadaan ini tidak boleh membuat kita lengah dalam sikap.
Dengan menegaskan demikian saya sebetulnya lebih cenderung untuk berpendapat bahwa tema yang layak dibahas dan dikemukakan saat ini pada aras lokal NTT adalah bagaimana mengembangkan pariwisata yang etis terhadap lingkungan. Tema yang diajukan panitia "Pariwisata Peduli Rakyat" jelas merupakan suatu tema yang sangat praktis. Tetapi pada hemat saya tema ini hanya akan bermakna jika terlebih dahulu dikondisikan oleh suatu sikap etis yang menjadi direction dalam mengembangkan pariwisata. Sikap etis merupakan prasyarat bagi terciptanya harmoni manusia dengan lingkungan, sehingga sedari awal segala peluang akan terjadinya disharmoni antara manusia dengan lingkungan dapat dicegah dan dengan demikian manusia tidak mengalami alienasi (keterasingan) di tengah lingkungannya sendiri.
Fokus uraian yang diangkat dalam tulisan ini memang jauh dari bahasan praktis tentang lingkungan alam di NTT. Tidak juga menyoroti keadaan pariwisata dan harapan idealnya. Dengan tetap menganggap pentingnya hal-hal seperti ini, menurut saya kemajuan dan kemunduran, keberhasilan dan kegagalan mengembangkan pariwisata di NTT sangat mengandaikan sikap etis terhadap lingkungan alam yang mau diolah dan dikembangkan.
Manusia dan lingkungan
Adalah suatu faktisitas bahwa manusia berada dalam dan bersama dengan lingkungan. Tak pernah terpikirkan manusia tanpa lingkungan. Lingkungan hidup bagi manusia adalah sebuah panggung kehidupan di mana manusia melakoni peran dan tugasnya. Manusia berada dan bergerak dalam lingkungannya. Bagi lingkungan manusia adalah pemberi arti. Lingkungan menjadi lingkungan manusia karena manusia memberi arti kepadanya. Manusia dan lingkungan mempunyai relasi yang tak terpisahkan. Karena tak terpisahkan maka relasi itu bersifat eksistensial.
Manusia hanya ada dalam lingkungan (Umwelt) dan manusialah yang membuatnya menjadi lingkungan hidup yang manusiawi (Lebenswelt). Lingkungan menyediakan makanan, air dan udara bagi kehidupan manusia. Dalam lingkungan manusia mengembangkan adanya atau mengaktualisasikan dirinya. Sepak terjang kehidupan manusia terjadi dalam relasi dengan lingkungan.
Relasi manusia dengan lingkungan berdimensi obyektif dan subyektif. Secara obyektif manusia memandang lingkungan sebagai sesuatu di luar dirinya dan yang berbeda dari dirinya. Lingkungan merupakan obyek keterarahan kemampuan manusia. Lingkungan menjadi obyek pancaindra. Tetapi secara subyektif lingkungan itu berhubungan dengan manusia sebagai aku. Manusia mengenal dirinya sebagai subyek hanya dalam relasi ini. Lingkungan mendapat arti langsung dari manusia yang tinggal di dalamnya.
Hubungan manusia dengan lingkungannya secara eksistensial diungkapkan oleh filsuf Heidegger sebagai "pemeliharaan" (Sorge). Menurut Heidegger pemeliharaan merupakan hakikat seluruh eksitensi manusia sehingga ia menyatukan segala unsur kehidupan. Pemeliharaan merupakan dasar perhubungan manusia dengan lingkungan. Manusia menghadapi lingkungan dengan sikap memelihara agar lingkungan menjadi pendukung hidupnya.
Relasi manusia dengan lingkungan merupakan suatu relasi ketergantungan. Keduanya saling mengandaikan dan mempengaruhi. Sebuah aksi atau tindakan manusia akan mempengaruhi keadaan lingkungan dan sebaliknya perubahan pada lingkungan akan memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Banyak ahli coba bereksperimen tentang hubungan manusia dengan lingkungan. C. Backster misalnya, menggunakan detektor bohongan untuk mengukur reaksi tanaman. Dia menghubungkan alat detektor dengan selembar daun tanaman. Lalu daun itu dicelupkan ke dalam secangkir kopi. Reaksi yang diperlihatkan kecil. Lalu Backster merencanakan untuk membakar saja daun itu. Reaksi yang diperlihatkan oleh daun itu belum terlalu hebat. Namun ketika ia sungguh datang dan membawa korek api hendak membakar daun itu, reaksinya menjadi sungguh besar. Backster mengubah pikiran dan berpura-pura hendak membakar. Kelihatan bahwa reaksinya berkurang.
Apa yang dapat dikatakan dari eksperimen itu? Jelas bahwa ada komunikasi antara pikiran manusia dengan tanaman. Para penyelidik dari Uni Sovyet membenarkan hasil eksperimen ini. Mereka bahkan mengatakan bahwa tanaman dapat mempersepsi lingkungan di luar dirinya. Sikap dan perilaku manusia memberikan pengaruh besar terhadap lingkungan. Lingkungan akan memberikan reaksi terhadap sikap dan perlakuan manusia. Secara tegas dapat dikatakan terdapat relasi yang kuat dan eksistensial antara manusia dan lingkungan.
Satu dan eratnya hubungan antara manusia dan lingkungan nampak juga dari cara pandang masyarakat di NTT. Umumnya orang NTT melihat alam dan manusia dalam suatu hubungan harmonis. Alam dilihat sebagai yang mempunyai jiwa atau pribadi. Hal ini jelas dari cara bagaimana mereka memperlakukan alam. Misalnya kalau mulai membuka kebun, orang NTT akan lebih dahulu memohon restu dari alam melalui ritus-ritus tertentu. Ritus-ritus ini menunjukkan pengakuan akan suatu pribadi di luar dirinya dan mempunyai peranan dalam hidupnya. Ada keyakinan bahwa kalau ritus tidak dilakukan, alamatnya panen akan gagal.
Masalah tentang lingkungan
Masalah (baca kerusakan) lingkungan yang dihadapi dewasa ini merupakan ekspresi dari perlawanan yang dilakukan oleh bumi terhadap penjajahan yang dibuat oleh manusia. Beberapa masalah lingkungan yang menonjol untuk disebutkan antara lain. Pertama, pemanasan global dan efek rumah kaca (greenhouse effect). Menurut para ahli lingkungan hidup, bumi tempat kita diam ini semakin panas. Penyebab naiknya suhu bumi itu karena pertambahan jumlah konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfir bumi. Di atmosfir karbondioksida dan gas-gas lainnya membentuk semacam tirai yang menyelimuti bumi. Tirai itu menghalangi pemancaran panas dari permukaan bumi ke angkasa luar. Gejala terbungkusnya bumi dengan berbagai gas itu disebut gejala efek rumah kaca. Kadar CO2 yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan bakar fosil (minyak dan batu bara), pembakaran serta pembusukan tumbuhan, gas metan dan gas klorofluorkarbon (CFF, yaitu bahan kimia yang dipakai dalam proses pendinginan dan berbagai bahan pelarut) yang meningkat di atmosfir. Konsentrasi berbagai gas itu akan menjadi semacam selimut yang menudungi bumi. Ini akan menghalangi pemancaran panas matahari kembali ke angkasa. Panas akan tetap tinggal antara permukaan bumi dan selimut itu.
Kedua, menipisnya lapisan ozon. Ozon adalah gas berupa molekul yang terdiri dari tiga atom oksigen (O3). Gas ini berada di bagian luar dari lapisan atmosfir bumi (stratosfir). Fungsinya adalah melindungi bumi dan seluruh isinya dari sengatan sinar ultraviolet yang berasal dari matahari. Tanpa saringan lapisan ozon ini sinar ultraviolet akan menyebabkan berbagai penyakit antara lain kanker kulit, katarak dan mengurangi kemampuan sistem kekebalan pada tubuh manusia. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pesawat supersonik dan senjata nuklir merupakan dua dari beberapa penyebab menipisnya lapisan ozon. Gas N2O yang dipancarkan dari pesawat supersonik mengikat satu atom O dari ozon (O3). Ini berarti penghilangan ozon itu.
Ketiga, polusi. Bertambahnya kadar karbondioksida atau klorofluorkarbon di atmosfir menyebabkan apa yang disebut polusi udara. Suatu keadaan dikatakan terpolusi bila konsentrasi karbondioksida atau klorofluorkarbon sudah melebihi ambang batas kemampuan manusia dan makhluk hidup lainnya untuk mengadakan metabolisme (reaksi kimia yang menjaga agar organisme tetap hidup dan sehat) secara normal.
Selain polusi udara, ada pula polusi air dan tanah. Polusi air terjadi karena pembuangan limbah industri ke sungai dari laut di sekitarnya. Di beberapa kota besar di Indonesia, polusi air sudah menjadi kasus yang sangat parah. Sedangkan polusi tanah terjadi jika limbah-limbah industri dikuburkan dalam tanah. Tanah menjadi tidak subur karena ada unsur-unsur kimia yang membuat keadaan tanah menjadi lebih asam atau basah. Penguburan sampah kimia akan menyebabkan air berkontaminasi dengan kimia beracun.
Relasi etis dengan lingkungan
Jika disepakati bahwa lingkungan alam dikaruniakan untuk kemaslahatan umat manusia, maka pariwisata merupakan salah satu bentuk pengejawantahannya. Tetapi seringkali dalam membangun lingkungan yang manusiawi atas nama pariwisata, manusia berorientasi pada kepentingan dan kebutuhannya sendiri, dan tidak terutama pada kepentingan dan kebutuhan alam. Lingkungan alam digarap, diolah dan dikerjakan supaya manfaatnya untuk keperluan manusia menjadi lebih besar. Dan pariwisata kemudian menampilkan wajah buram karena merusak alam.
Keadaan seperti ini sebetulnya dapat dilacak dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Kuat dugaan bahwa perkembangan atau evolusi kebutuhan manusia rupanya jauh lebih cepat daripada evolusi kesadaran manusia akan keterbatasan alam. Berarti pengetahuan manusia untuk memanfaatkan alam jauh lebih dahulu berkembang daripada pengetahuan untuk melindungi dan menyelamatkan alam. Lebih jauh berarti juga bahwa kecenderungan untuk memakai lingkungan alam jauh lebih berakar dalam sejarah umat manusia dibandingkan dengan kecenderungan untuk melindungi, melestarikan dan menyelamatkan lingkungan alam.
Dari sejarah kita mengetahui belum pernah alam dipakai dan dikuras secara demikian besar-besaran seperti semenjak Revolusi Industri yang ditunjang oleh penemuan-penemuan ilmu pada abad ke- 17 dan penemuan-penemuan teknologi pada abad ke-19. Boleh dibilang sejak itu juga mulailah proses alienasi (keterasingan) manusia terhadap lingkungan. Harmoni menjadi disharmoni. Alam yang ramah berbalik menjadi tak bersahabat. Kerusakan lingkungan secara sistematis pun mulai terlihat.
Menurut E. F. Schumacher, penulis buku "Kecil Itu Indah", kerusakan lingkungan dewasa ini pertama-tama bukan disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Bukan juga karena kita kekurangan pengetahuan dan informasi, kekurangan orang yang terlatih atau juga dana untuk pemeliharaan lingkungan. Kerusakan lingkungan pertama-tama disebabkan oleh gaya hidup dunia modern yang berakar dalam cara pandang tertentu terhadap lingkungan.
Gaya hidup seperti ini kuat dipengaruhi oleh pandangan antroposentrisme, yang menegaskan manusia sebagai pusat dan sumber segala nilai. Pandangan ini ditafsir dengan sangat egoistis oleh manusia dan menjadi dasar tindakan dan perlakuan terhadap lingkungan. Lingkungan diperlakukan sedemikian hanya demi kebutuhan dan kesenangan manusia saja. Kesuksesan hidup diukur dengan kesanggupan mengumpulkan kekayaan material. Standar hidup berubah dari waktu ke waktu. Semakin tinggi standar yang dipakai, semakin manusia mengeksploitasi alam. Antroposentrisme telah menutup mata manusia terhadap dunia sekitarnya.
Jika sekarang ramai-ramai orang berkampanye untuk kembali ke alam maka sebetulnya telah tumbuh suatu evolusi manusia untuk kembali ke alam, "go to nature". Evolusi seperti itu sebetulnya didasarkan atas kenyataan bahwa manusia telah kehilangan rumahnya yang asli, yaitu alam. Hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh yakni meninggalkan sepenuhnya rumah alamiahnya untuk menemukan rumahnya yang baru, rumah yang ia ciptakan sendiri, dengan menjadikan dunia ini tempat kediaman yang manusiawi dan menjadikan dirinya sungguh manusiawi.
Di sini manusia membutuhkan suatu relasi etis dengan lingkungan. Relasi etis mempertimbangkan kondisi manusia secara menyeluruh dan penghormatan yang wajar terhadap lingkungan. Relasi etis mendasarkannya pada pemahaman bahwa sikap dan perlakuan yang sembrono terhadap lingkungan merupakan suatu pengingkaran terhadap eksistensi manusia sendiri. Sikap dan perlakuan sembrono itu turut menciptakan keadaan yang tidak menyenangkan bagi manusia, kondisi alienatif dan keadaan yang menghancurkan masa depan manusia sendiri. Relasi etis menempatkan manusia dan lingkungan sebagai dua sahabat yang saling menghargai. Dengan relasi demikian keduanya dapat hidup bersama secara saling menguntungkan. Pandangan antroposentris harus dibuang, dan yang harus dianut adalah pandangan biosentris, yang menekankan bahwa semua unsur mempunyai caranya sendiri untuk berada.
Dalam mengembangkan relasi etis dengan lingkungan itu terdapat tiga prinsip dasar moral yang harus dipegang. Pertama, prinsip sikap baik. Dengan prinsip ini dimaksudkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu baik. Dalam relasi dengan manusia, prinsip ini berpandangan bahwa manusia itu baik. Dalam konteks relasi dengan lingkungan, prinsip ini mau mengajarkan bahwa lingkungan hidup itu sesungguhnya baik dan menyenangkan. Lingkungan adalah sahabat dan bukan musuh.
Kedua, prinsip keadilan. Prinsip sikap baik menuntut pula prinsip keadilan. Secara sederhana dapat dikatakan, adil berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Analog dengan itu, dalam pembicaraan tentang lingkungan, prinsip keadilan berarti menghormati hak orang lain dan seluruh makhluk hidup yang membutuhkan keseimbangan. Ketiga, prinsip pengembangan diri manusia. Prinsip ini mau mengatakan bahwa prinsip sikap baik dan adil harus mendukung kualitas hidup manusia. Manusia tidak boleh menjadi korban dari penghormatan yang besar terhadap alam.
Jika relasi etis dibangun dengan berpegang pada tiga prinsip moral ini, kita yakin kecemasan bahwa manusia akan teralienasi dari lingkungannya sendiri tidak terwujud.
Manusia dan lingkungan (alam). Dua unsur dalam satu makrokosmos yang membangun harmoni dalam jalinan relasi etis. Manusia tanpa lingkungan tak mungkin terpikirkan. Lingkungan tanpa manusia, tidak ada nilainya. Rusaknya jalinan etis itu menyebabkan harmoni menjadi disharmoni.
Setelah jaringan itu rusak dan terpuruk, saat ini manusia ramai-ramai melintanikan kerinduan untuk kembali ke alam. Ingin menikmati lagi desau angin, gemercik air, kicau burung. Manusia mau menghirup udara segar dan meneguk air langsung dari pancuran. Manusia merindukan suasana alam yang syahdu, dunianya yang asli.
Terwujudkah kerinduan itu? Martin Luther King, Jr coba menggugat kita dengan mengatakan, "Dengan kemahiran ilmu dan teknologi kita telah menjadikan dunia sebagai tetangga. Kini dengan kegeniusan moral dan spiritual kita harus membuatnya menjadi saudara." Read More...

Apa yang diburu di DPRD NTT?

Oleh : Tony Kleden

SEPERTINYA tidak ada satu idiom pun yang demikian mendominasi pembicaraan dan lantas menyita perhatian kita sekarang ini selain pertarungan merebut kekuasaan di lembaga legislatif. Baik DPR RI, DPRD sejumlah propinsi maupun DPRD kabupaten di NTT, semuanya mempertontonkan drama persaingan merebut kursi kekuasaan.
Setelah bertarung merebut kursi ketua, kursi panas yang sekarang menjadi rebutan adalah ketua komisi-ketua komisi. Kita mengira pemilu legislatif dengan sistem 'setengah telanjang' dapat menghasilkan anggota Dewan yang kurang lebih mencerminkan harapan rakyat. Perkiraan kita jauh meleset. Wakil rakyat kita masih merupakan wakil rakyat pilihan partai, bukan pilihan rakyat. Di DPR RI hanya dua wakil rakyat yang murni pilihan rakyat, karena memenuhi bilangan pembagi. Di DPRD NTT, cuma seorang -- sekali lagi cuma seorang -- anggota Dewan pilihan rakyat.
Dengan kondisi itu sebetulnya kita, rakyat yang memberi mandat kepada sejumlah orang untuk duduk di lembaga legislatif itu punya alasan yang cukup untuk mengatakan kepada para wakil kita untuk tahu diri, tidak takabur, tidak tepuk dada. Tetapi itu terlalu jauh untuk kita katakan kepada mereka. Sebaliknya yang hendak kita ingatkan buat mereka adalah jangan mempertontonkan dagelan politik dengan semangat merebut kekuasan di lembaga legislatif.
Kita juga mengira pemilu presiden secara langsung mampu menghembuskan angin perubahan sebagaimana dicanangkan presiden terpilih, duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Mohammad Jusuf Kalla. Lagi-lagi, perkiraan kita meleset. Soalnya, semangat merebut kekuasaan di kursi legislatif di DPR RI masih demikian mengental. Karena itu, rasa-rasanya reformasi, perubahan dan ideal in optima forma yang hendak dituju masih terlalu jauh.
Semangat merebut kekuasaan! Itulah kata sakti hari-hari ini. Semangat ini juga terlihat demikian merasuk partai-partai tertentu untuk kembali menyatakan jati dirinya, memproklamirkan keberadaannya di tengah publik. Tak terkecuali di NTT. Semangat ini jugalah sangat yang mewarnai dan mengiringi rapat-rapat pembahasan tata tertib pemilihan pimpinan DPRD NTT hingga rapat pemilihan yang digelar Rabu (27/10) lalu. Sebagaimana kita ikuti bersama, terbentuk dua kubu di DPRD NTT. Yang satu terdiri dari 18 anggota yang tergabung dalam Fraksi Gabungan NTT Bersatu. Yang lainnya 37 anggota terdiri dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDIP plus empat anggota dari Partai Damai Sejahtera yang bergabung dengan PDIP.
Dari hari ke hari, dari rapat ke rapat, kita saksikan tidak pernah ada kesepakatan di antara dua kutub ini. Masing-masing kubu menyanyikan argumennya. Tampak berisi, harmonis, kritis dan bermakna. 'Lagu perseteruan' itu mengambil nada dasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2004. Yang satu menafsirkan PP itu lurus-lurus, tanpa kreasi sehingga melahirkan satu inti pesan: hanya fraksi murni yang boleh mengajukan calon pimpinan. Yang lainnya, penuh kreasi dan warna menafsirkan lebih jauh PP itu, sehingga melahirkan peluang bagi partai-partai kecil di Dewan mengajukan calonnya. Boleh dibilang, puncak pertarungan itu terjadi pada rapat pleno (sebetulnya tidak 'pleno', penuh; karena sebanyak 18 anggota tidak hadir. Karena itu lebih tepat disebut 'quasi pleno') pemilihan pimpinan, Rabu (27/10) itu.
Fraksi Partai Golkar sudah mengumbar senyum karena memenangkan pertarungan. Itu ekspresi kemenangan mereka. Fraksi PDIP juga telah lapang dada menerima kekalahan. Itu pengejawantahan sportivitas menerima kekalahan. Sementara Fraksi Gabungan NTT Bersatu masih menolak hasil pemilihan itu. Itu juga hak mereka. Tetapi, yang tidak terlihat dari kalangan wakil rakyat kita itu adalah sensitivitas untuk memihak kepentingan rakyat NTT. Sensitivitas pro rakyat itu demikian kurang dan lemah. Kurang karena yang dipertontonkan adalah semangat merebut kursi ketua. Lemah karena yang ada dalam benak mereka cumalah kursi kekuasaan. Ya, kursi dan kekuasaan. Merebut kursi untuk merajai. Merajai dari atas kursi.
Maka sekitar dua juta rakyat NTT yang mendelegir separuh 'hak politiknya' kepada 55 orang itu menyaksikan sebuah dagelan dengan aktor-aktor para pemburu. Argumen yang dikemukakan membenarkan proses pemilihan itu juga memang tampak rasional. Alasan seperti "pemilihan harus dilaksanakan karena sudah terlalu lama", "pemilihan itu sudah final sehingga harus diterima" memang masuk akal. Tetapi sebetulnya dia cumalah language game, permainan bahasa, yang dapat mengambangkan, menyembunyikan atau mendistorsikan suatu proses yang fair, adil dan demi kepentingan yang lebih besar.
Mudah dipahami kalau kemudian Pius Rengka, salah seorang anggota Dewan, mengatakan, apa yang terjadi pada Rabu lalu tidak lain adalah proses pembodohan politik. Proses itu, katanya, menjadi mungkin karena didukung oleh 'suporter dungu' yang menghendaki seorang pejuang politik 'berbasis lapar' dan bukan 'berbasis ideologis'. Suatu terminologi yang terdengar sangat kasar.
Tetapi itulah fenomenanya.
Fenomena itu merupakan eksternalisasi suatu alam pemikiran yang sangat pragmatis yang tengah melanda para wakil rakyat kita di Gedung DPRD NTT, yakni alam pemikiran yang final logic, yang lebih memusatkan perhatian pada target ketimbang proses. Didominasi mentalitas seperti itu, seluruh usaha akan dikerahkan untuk mengejar target tanpa peduli, apalagi menunjung suatu rule of game yang fair, santun dan mungkin juga beradab.
Alam pemikiran yang final logic merupakan anak kandung pragmatisme yang mewarnai mentalitas dan cara berpikir kebanyakan wakil rakyat kita di gedung Dewan. Lepas dari hakikat dirinya yang sebenarnya juga positif, mentalitas pragmatisme yang telah tereduksi oleh pencapaian target yang sifatnya segera itu, menampilkan pemiskinan politik dalam tiga bentuk. Pertama, dengan menafikan perdebatan ideologis, diskusi tentang nilai-nilai dan perdebatan tentang prioritas. Kedua, pemiskinan politik itu terjadi ketika ruang publik direduksi menjadi manejemen kepentingan kelompok yang sempit. Yang dibela di sini adalah kepentingan pribadi untuk mendapatkan pengakuan. Ketiga, pembodohan itu menyata dalam lingkup etika politik. Ketika diskusi dinafikan, ketika perdebatan ideologis ditabukan dan ketika diskriminasi diperlihatkan, ketika itu juga terjadi pelecehan terhadap kebebasan dan pengingkaran etika politik. Tiga corak proses pemiskinan politik ini sangat tangible di DPRD NTT.
Duet SBY-MJK telah memulai sesuatu yang baru sebagai pelajaran demokrasi di negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India ini. Ya, kita memang sudah mulai meniti sistem demokrasi yang sebenarnya. Hanya agaknya, demokrasi yang kita terapkan itu baru sebatas pada hardware-nya, sementara software-nya masih terlalu jauh. Sistemnya sudah demokrasi, tetapi perilakunya belum demokratis.
Entahlah, sampai kapan para wakil kita akan terus berkutat dalam perilaku seperti ini? Rakyat daerah ini telah memilih 55 orang wakilnya bukan untuk memburu kursi kekuasaan. Mudah-mudahan, demokrasi di daerah ini tidak tumbuh dalam 'horror mundi' dengan dalang para pemburu kekuasaan yang menampilkan perilaku despotik.

Pos Kupang 31 Oktober 2004 Read More...

SBY-MJK: dwitunggal - dwitanggal?

Oleh: Tony Kleden

HARI ini, presiden ke-6 negara besar ini dilantik. Dwitunggal Susilo Bambang Yudhoyono, yang populer dengan akronim SBY, dan Muhamad Yusuf Kalla (MJK), tampil ke atas pentas utama panggung sejarah negeri ini. Tak banyak literatur yang menulis dan mengupas tentang kedua sosok ini. Sangat berbeda dengan Megawati Soekarnoputeri, yang demikian besar magnitudenya saat awal ketika tampil sebagai sosok populis, yang di-taken for granted-kan sebagai figur yang punya notion pro masyarakat kecil. Tetapi, setiap babakan sejarah selalu punya Zeitgeist yang kemudian melahirkan tokoh pada zamannya. Begitu juga dengan sejarah negeri ini, yang mewariskan sederetan tokoh yang merengkuh perjuangan hingga ke puncak tangga kekuasaan.
Perjuangan menentang penjajah mendapat icon dalam diri Soekarno. Soekarno naik ke tampuk pemerintahan dengan menggotong demokrasi terpimpin. Resistensi terhadap modus demokrasi itu kemudian melahirkan orde baru di bawah Soeharto. Meski mengusung kredo mulia: menjalankan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya orde baru justru membalikkan demokrasi terpimpin menjadi otokrasi.
Selama 32 tahun, rakyat negeri ini hidup di bawah bayang-bayang kesemuan. Kemakmuran semu, kesejahteraan semu, stabilitas ekonomi semu, dan keamanan semu. Otokrasi di bawah orde baru melahirkan sederetan kesenjangan yang amat besar. Keadaan kemudian tak tertahankan. Puncak arus balik tercapai. Gerakan reformasi pun meletus. Soeharto lengser dan orde baru menuju liang lahatnya. Habibie tampil di awal orde reformasi. Meski seumur jagung, harus diakui di bawah Habibielah benih-benih demokrasi mulai bersemi.
Dianggap anak kandung orde baru, Habibie kalah pamor dalam pertarungan dengan Gus Dur. Meski secara fisik kurang mendukung, adalah Gus Dur yang mengajarkan rakyat negeri ini untuk bagaimana menata rancang bangun negara yang demokratis. Di bawah Gus Dur, rakyat negeri ini secara plastis mengekspresikan dirinya, berani mengritik pemerintah, nekat menggelar aksi demo menentang kezaliman. 'Prestasi' Gus Dur justru menjadi bumerang baginya. Dianggap kebablasan, Gus Dur ditelikung di tengah jalan dan digantikan Megawati Soekarnoputeri.
Tiga tahun lebih Megawati menakhodai republik ini. Gilang-gilang kemajuan dicapai. Tetapi, banyak juga harapan yang tak kunjung terjawab. Rakyat kemudian menginginkan nafas baru, semangat baru, spirit baru, mesias baru. Harapan akan mesias itu, boleh dibilang, tergenapi dalam diri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia harus dapat disebut sebagai mesias karena dipilih rakyat secara langsung. 'Rakyat sosiologis' yang secara langsung mendatangi TPS pada pemilu presiden memberikan dukungan padanya. Dia bukan pilihan 'rakyat MPR' yang lebih sering 'berjarak' dengan rakyat sosiologis.
Tetapi, seperti apakah mesias itu? Yang diketahui cumalah penampilan luarnya. Ganteng, berwibawa, murah senyum, brilian, rendah hati. Menurut banyak analis, penampilan lahiriah inilah yang menyedot animo dan mampu menghipnotis massa memilih SBY dalam piplres dua putaran kali lalu. Karakter dan watak tradisional dalam diri pemilih Indonesia mengafirmasi kemenangan SBY.
Tetapi, benarkah SBY hanya laku karena tampang? Wallauhalam! Adalah Herman Musakabe yang banyak bercerita tentang sederetan keunggulan SBY sehingga layak jual. Dalam suatu kesempatan wawancara dengannya di Kupang, Selasa 15 Juni 2004 lalu, orang yang sangat dihormati SBY ini, mencoba membuka tirai tentang 'ruang dalam' SBY.
Sebagai orang yang dilahirkan di keluarga militer, dididik dengan disiplin militer ketat dan mengenyam pendidikan militer, sudah tentu pribadi SBY tak jauh berbeda dari karakter dan watak khas militer. Dan, memang di jalur ini, SBY betul-betul konsisten pada jalannya. Berbagai jabatan militer dipegangnya dengan penuh keberhasilan. Didukung kemampuan intelektualnya yang cemerlang, bintang SBY di jalur militer melesak cepat bak meteor. Dari komandan lapangan di Timor Timur, SBY cepat beralih ke sekolahnya para taruna angkatan darat (baca: Seskoad) di Bandung. Dari Bandung, dia meniti jenjang kepemimpinan di tubuh angkatan darat. Banyak yang memperkirakan, SBY akan segera naik ke puncak menara angkatan bersenjata di negara ini.
Tetapi, guratan nasibnya mulai beralih di era kepemimpinan Gus Dur. Jejak langkah SBY bergeser. Meski disiapkan menjadi KSAD oleh Panglima TNI ketika itu, Jenderal Wiranto, Gus Dur selaku presiden berkehendak lain. SBY ditarik masuk ke kabinetnya menjadi menteri pertambangan dan energi (Mentamben), suatu jabatan yang sama sekali sulit dibayangkan oleh dan dapat ditarik korelasinya dengan seorang tentara aktif. Loyalitasnya pada negara menjadi dorongan mengapa SBY menerima permintaan Gus Dur. Ketika Gus Dur merombak kabinetnya, SBY dipercayakan menjadi menko polsoskam.
Loyalitas, negarawan, integritasnya mendapat ujian lagi ketika Gus Dur memintanya mengemban Maklumat Presiden RI pada tanggal 28 Mei 2001. Isi maklumat itu betul-betul menantang setiap orang yang haus kekuasaan: ".... berhubung situasi politik darurat karena adanya kontroversi kemungkinan SI MPR dan dekrit presiden, presiden memerintahkan menko polsoskam untuk mengambil tindakan dan langkah khusus yang diperlukan guna mengatasi krisis serta menegakkan ketertiban, keamanan dan hukum secepat-cepatnya."
Jika saja SBY orang serakah, dia akan dengan sangat gampang mengambil alih kekuasaan. Ingat, peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru! Ditantang dengan godaan itu, SBY menentukan sikapnya. Kepada para menteri dan juga kepada rakyat yang mencemaskan kondisi waktu itu, SBY mengatakan ia akan tetap berpijak pada konstitusi, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Wajahnya yang polos lebih mengekspresikan hatinya yang lurus, tanpa kepalsuan. Senyumnya bukan senyum seorang despotik, yang menebar racun menjerat mangsa. Dia benar-benar menampilkan dirinya sebagai seorang demokrat tulen, berjiwa independen dan teguh pada konstitusi. Itulah sebabnya, terhadap godaan merebut kekuasaan, SBY sering berujar, "Negara dulu, baru orang."
Lima tahun ke depan, mesias yang demokrat, independen dan konstitusionalis itu akan membawa biduk Indonesia ini berlayar. Ada sejumlah keraguan yang seolah mengganjal. Mampukah SBY menempatkan pluralisme menantang isu Syariat Islam? Sanggupkah SBY menanggalkan seragam tentaranya membendung isu militerisme?
Keraguan itu jauh-jauh hari telah dijawab secara elegan dan cerdas oleh SBY melalui programnya, "Konsensus 4-2-2". Empat pertama adalah : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika (pluralisme). Dua yang kedua adalah: "Indonesia bukan dan tidak boleh menjadi negara komunis"; "Indonesia bukan dan tidak boleh menjadi negara agama." Sedangkan dua terakhir adalah : "Negara harus mencegah dan menumpas gerakan separatisme" dan "Negara juga harus mencegah dan menumpas terorisme."
Tetapi konsensus ini adalah formulasi lain dari tekad lima presiden sebelumnya. Intinya tetap satu dan sama: menuju Indonesia yang jaya, mandiri, aman, adil dan sejahtera. Tetapi selama memerintah, masing-masing presiden menerjemahkan tekad itu menurut versinya. Selama 20 tahun Soekarno konsisten membangun Indonesia dengan menggalang kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu lewat 'revolusi terus menerus'. Tak setuju dengan model ini, Wakil Presiden, Bung Hatta mundur. Para elite dan rakyat berlomba memusatkan pikiran dan tenaga untuk berperan dan berkuasa dalam gelombang revolusi itu. Modal mereka hanya lidah dan mulut, alias menjilat dan memuji. Mereka lupa bagaimana bekerja di bidang kehidupan lain, yang akhirnya justru berantakan. Akhirnya, dengan revolusi itu pemerintahan Soekarno berakhir menyedihkan. Dwitunggal Soekarno-Hatta lepas dan menjadi dwitanggal.
Jenderal Soeharto melanjutkan garis Bung Karno. Tidak berbeda dengan Soekarno, Soeharto juga menggalang kekuasaan dan menggunakannya, tetapi dengan semangat dan cara yang malah antirevolusioner. Tak ayal, selama 32 tahun gelombang revolusi diganti dengan gelombang pembangunan. Dalam versi Soeharto, gelombang pembangunan itu diterjemahkan menjadi gelombang menguras sumber-sumber kekayaan bangsa. Tragisnya, gelombang pembangunan itu justru membawa malapetaka. Soeharto tampil karena petaka 1965, dia juga turun karena petaka 1998. Dwitunggal Soeharto-Habibie juga tanggal.
Si genius Habibie mencoba melanjutkan estafet. Sayang, mengurus negara tidak cuma butuh kegeniusan, tetapi juga kemampuan manajerial. Maka, usia Habibie tidak lama, cuma mengisi kekosongan jabatan. Ahli pesawat terbang ini digantikan dwitunggal, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, ekspektasi rakyat demikian membuncah. Duet ini disebut sebagai perpaduan yang sangat serasi. Tetapi apa lacur? Agaknya Gus Dur 'terlalu maju' dalam pikiran dan gagasan. Dwitunggal ini akhirnya juga tanggal di tengah jalan.
Sebanyak 69.266.350 (60,62 persen) pemilih dari sekitar 120 juta warga telah menjatuhkan pilihannya pada SBY. Tentu saja pilihan itu selalu punya harapan. Setimpuk harapan telah, masih dan akan terus ditimpakan di pundak mesias yang telah datang itu. Sebagai seorang demokrat, independen dan konstitusionalis, SBY paling tahu apakah dia akan menempatkan diri sebagai negarawan (statesmen) atau politikus (politician). Pasti sang mesias kita ini juga paham apa yang pernah dikatakan Georges Pompidou, "A politician is a statesmen who places the nation at his service. A statesmen is a politician who places himself at the service of the nation."
Akankah SBY-MJK, yang dikawinkan menjadi dwitunggal di Hotel Garden Palace, Surabaya, Jumat 7 Mei 2004 lalu, juga berakhir tragis menjadi dwitanggal? Mudah-mudahan, sejarah Indonesia lima tahun ke depan tidak mengambil tema antagonisme dengan ending tragedi.
* Penulis, wartawan Pos Kupang
Pos Kupang, Rabu 20 Oktober 2004 Read More...

In nomine?

Oleh : Tony Kleden

SEJAK dari dulu sudah diterima bahwa politik itu adalah "the art of the possible" (seni kemungkinan). Juga telah dimaklumi bahwa dalam politik "there is no permanent enemy nor permanent friend, only permanent self-interest" (tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan diri).
Karena itulah politik lebih kerap menampilkan wajahnya yang angkuh, pongah. Lawan-lawan disingkirkan. Sobat kental berbagi arah di persimpangan jalan pilihan. Kebenaran, kejujuran dan keadilan mudah ditinggalkan. Diktum klasik yang tetap dianggap sah adalah kalah atau menang, bukan sebaliknya salah atau benar. Ya, politik cuma mewariskan satu hal yang pasti: lawan dan kawan. Banyak orang yang mati muda karena stres dalam politik. Tak ayal ada yang suka bergurau bahwa politikus itu artinya "banyak tikus".
Entah untuk kepentingan yang mana, benar atau salah, kalah atau menang, banyak atau sedikit tikus, yang jelas hari ini 55 anggota DPRD NTT menjatuhkan pilihannya dalam ajang yang, konon, sangat menentukan. Konon, karena merujuk pada fakta bahwa yang paling berkepentingan dengan urusan dua orang jadi kepala daerah di sini, cuma segelintir warga. Paling banyak dari segelintir warga itu adalah para pegawai negeri, para anggota partai. Mafhum saja, di tengah geliat ekonomi yang lesuh karena dunia usaha mati suri, PNS menjadi elemen warga yang paling berpengaruh dan sekaligus memberi ciri propinsi ini.
Karena itu bagi sesama warga yang memilih jalan hidup di garis ini, siapa gubernur akan sangat menentukan suratan karirnya. Ini juga menjadi wajar. Kewajaran itu lantaran sejauh ini birokrasi kita adalah birokrasi yang mempertuanagungkan penguasa. Maka ditarik secara lurus, siapa yang menjadi gubernur, menjadi bupati, atau walikota, maka dialah orang yang sangat menentukan jenjang karir dan kursi seorang PNS.
Dalam konteks seperti ini, berbahagialah kami, warga yang memilih jalan lain dalam titian hidup dan pekerjaan dengan bergerak di sektor swasta. Jika berpikir secara gampang, elemen warga ini akan mempersetankan apa yang terjadi hari ini di Gedung DPRD NTT. Toh, siapa gubernur yang terpilih tidak mengganggu lahan pekerjaan, tidak menambah tunjangan.
Tetapi, saya kira, cara berpikir gampangan ini terlalu naif dan cenderung memperlihatkan apatisme yang berlebihan. Siapa Gubernur NTT, seharusnya menjadi perhatian bersama, menjadi kepedulian semua warga NTT. Tentu bukan supaya kelak orang tidak menyesal dengan misalnya mengatakan, "Saya memang dilahirkan di tempat yang salah", tetapi dan terutama supaya ungkapan penyesalan yang seolah telah tertanam dalam alam bawah sadar secara permanen itu, dapat 'naik' ke alam sadar untuk kemudian dihadapi secara gentle.
Dan, karena itu, adalah sungguh penting bagi setiap warga NTT untuk menaruh harapan akan hasil yang dituai di kebun besar, yang jika kita sepakat, bernama suksesi kepemimpinan itu. Pemilihan gubernur, karena itu, boleh dibilang merupakan panen bersama yang sangat penting dan berarti untuk diabaikan begitu saja. Yang akan sangat menentukan hasil panenan itu adalah para pekerja di kebun itu (baca: anggota DPRD NTT). Jika bekerja dengan sepenuh hati, yang dituai adalah maslahat-nya. Sebaliknya jika dengan hati setengah, atau malah tidak dengan hati, terang saja mudarat-nya yang bakal dituai.
Sudah tujuh nama yang mencatatkan diri menjadi Gubernur NTT. Masing-masing tampil dengan kekurangan dan keberhasilannya. Ada yang sangat merakyat dan kemudian mewariskan program yang merakyat sehingga sangat dikenal dan layak dikenang. El Tari dengan programnya "Tanam, tanam, sekali lagi tanam". Ben Mboy tampil dengan Operasi Nusa Hijau-nya. Hendrik Fernandez dikenang karena Gerakan Membangun Desa (Gerbades). Musakabe nyaris identik dengan GOR Flobamora, Aula El Tari dan Arena Promosi Fatululi. Ya, nama-nama ini akan terus dikenang oleh anak cucu. Nama-nama itu menunjuk sesuatu yang langsung dikenang. Dan, bukan mustahil nama-nama itu kelak akan menjadi legenda di daerah ini. Maka, mereka yang pernah menjadi gubernur di daerah ini paling tahu, legenda macam mana yang telah mereka kenangkan buat anak cucu mereka.
Hiruk pikuknya berita koran di Kupang, membuat setiap orang pangling, bingung mendapat sedikit gambaran di balik tirai peta kekuatan masing-masing kubu. Soalnya masing-masing kubu tampil penuh percaya diri, thus mengklaim diri telah mengantongi sekian suara, sekian banyak suara. Tidak cuma menegangkan, suksesi kali ini juga sedikit menggelikan. Sangat berbeda dengan kali-kali sebelumnya. Barangkali karena pertama di era reformasi sehingga semua komponen warga tampil (atau ditampilkan?) menyatakan dukungannya dalam apa yang disebut sebagai aspirasi.
Tetapi, dari hiruk pikuk berita koran, ada suatu kesan yang sangat menguat, yakni bahwa ke-55 orang anggota DPRD NTT saat ini (apalagi hari ini) adalah orang-orang yang sangat mahal 'nilai jualnya'. Menurut sebuah harian, ada paket calon gubernur yang rela membayar Rp 350 juta plus sebuah mobil untuk satu suara anggota Dewan. Menurut harian lain, sejumlah anggota Dewan terhormat jauh-jauh hari telah diiming-iming segepok rupiah. Ya, roh uang memang sangat menghantui nurani siapa saja. Semua kita sudah tentu berharap, semoga uang menjauh dari Gedung DPRD NTT dan dari rekening pribadi anggota Dewan.
Politik uang (money politics) dalam sejarah pergantian kepemimpinan di negeri ini, lebih banyak diwarnai dengan kegagalan. Sejumlah kepala daerah di sejumlah tempat, urung dilantik (meski telah terpilih) karena politik uang. Para pialang yang bertaruh di ajang ini sungguh piawai memainkan kiat merangkul peminat. Kasat mata tidak terlihat. Seperti kentut, tidak terlihat tetapi tercium baunya. Di dalam koridor hukum, politik uang dilarang keras. Tetapi di luar hukum, siapa takut?
Tentang para calon, visi dan misi telah dipaparkan. Masing-masing tampil dengan programnya. Seperti di pasar malam, masing-masing tampil dengan propagandanya, menjual programnya di hadapan anggota Dewan. Ada yang tampil elegan dengan program dan visi dan misi yang hebat-hebat. Yang lain tampil santai dengan program yang tak menggigit. (Mungkin karena mumet, lelah atau bosan sehingga tidak cakap lagi menangkap sesuatu yang lain untuk kemudian merumuskan program yang baru secara substansial). Ada yang bahkan tampil tanpa beban dalam waktu tiga menit untuk memaparkan apa yang dibuatnya lima tahun ke depan bagi tiga juta lebih warga NTT jika terpilih menjadi gubernur.
Sayang, demokrasi memang lebih sering memperlihatkan dinamika dengan logika terbalik. Pemaparan visi dan misi tidak cuma sekadar sebuah ajang yang pro forma, tetapi juga semakin melegalkan apa yang selalu salah di negeri ini, yakni kesimpulan mendahului premis. Demikianlah, para calon jauh-jauh hari telah ditentukan. Aspirasi kemudian digalang untuk mendukung calon itu. Dan, visi dan misi mengikuti dari belakang. Maka ajang suksesi, harus juga diterima sebagai "jalan yang benar untuk mendapat pemimpin yang salah."
Tetapi, lagi-lagi dengan merujuk pada sejarah, pemimpin yang tampil ke kursi dengan cara seperti ini, lebih sering dilupakan orang ketika dia turun. Seperti monster yang ganas, pemimpin seperti ini bisa memakan anaknya sendiri. Sindrom yang oleh Erich Froom disebut sebagai the pathology of normalcy, yakni penyakit yang tidak lagi disadari sebagai penyakit karena sudah jadi bagian diri yang wajar, sering menyerang pemimpin seperti ini.
Kita tentu berharap, semoga gubernur yang dipilih 55 wakil kita hari ini bukan gubernur yang mengidap kuman ini. Para pengusungnya telah lama menyatakan bahwa para calonnya adalah negarawan. Masing-masing kandidat sendiri yang paling tahu dan mengerti, entah dia adalah seorang negawaran atau politikus. Kita cuma berharap semoga mereka mampu membedakan bahwa "a politician is a statesmen who places the nation at his service. A statesmen is a politician who places himself at the service of the nation."
Gubernur kita kali ini, seorang negarawan atau politikus? Pertanyaan ini hari ini akan dijawab oleh 55 anggota DPRD NTT. Mudah-mudahan ketika menentukan suaranya, para wakil itu menjatuhkan pilihannya "in nomine populi" (atas nama rakyat) dan bukan "in nomine pecuniae" (atas nama uang).

Pos Kupang, 19 Juni 2003 Read More...