Birokrat bukan aristokrat

Kamis, 14 Februari 2008

MULA pertama ketika mulai diperkenalkan, birokrasi dimaksudkan terutama untuk menggantikan sistem pemerintahan aristokrasi. Merujuk pada etimologinya, aristos (paling baik), krateo (memerintah), paham aristokrat sendiri bermaksud baik.
Pemerintahan aristokrat berarti pemerintahan oleh orang-orang yang paling baik, baik moral maupun intelektual. Untuk konteks zamannya, paham ini dapat diterima.
Tetapi lama-kelamaan, golongan yang disebut sebagai yang paling baik dan intelektual itu merujuk pada golongan bangsawan, raja-raja, pangeran-pangeran. Penyimpangan justru mulai terjadi ketika golongan ini mendapat perlakuan istimewa dan mempunyai hak-hak khusus yang berbeda dengan warga kebanyakan.
Paham ini kemudian runtuh. Hampir semua negara modern di dunia saat ini sudah meninggalkan paham ini. Sebabnya, paham ini tidak cukup kondusif mewujudkan masyarakat madani. Sebagai gantinya, paham demokrasi dipilih. Sejauh ini, lepas dari sisi kurangnya, demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling baik, mendekati ke arah yang dicita-citakan bersama.
Itu pada tataran teoretis. Masalah yang dihadapi sekarang terkait dengan pemerintahan demokrasi adalah prakteknya yang justru tidak demokratis.
Kita menyaksikan sendiri, banyak pejabat pemerintahan sekarang memperlihatkan perilaku sikap dan kepemimpinan yang tidak mencerminkan semangat demokrasi. Wajah birokasi pun terlihat bopeng dan bolong di mana-mana. Pejabat bermental raja dan feodal, pegawai berwatak korup.
Dampaknya, banyak kita saksikan sekarang. Korupsi tumbuh subur. Birokrasi melayani birokrat. Banyak yang menjadi pegawai pemerintah karena kolusi, bukan karena seleksi. Profesionalisme sangat jauh dari staf pemerintah. Itu sebagian dari antara pembiasan yang terjadi.
Mental dan perilaku seperti inilah yang juga tertangkap dari kekecewaan dan kegeraman Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Senin (28/11). Saat membuka rapat kerja (Raker) para kepala daerah tentang HIV/AIDS, Gubernur Tallo kecewa karena banyak kepala daerah tidak hadir.
Seperti diberitakan harian ini edisi kemarin, cuma tiga kabupaten yang dihadiri bupatinya, empat kabupaten dihadiri wakil bupatinya. Selebihnya cuma mengirim asisten dan kepala dinas. Bahkan ada yang cuma mengirim kepala bagian.
Kita tidak menggugat dangkalnya persepsi dan rendahnya konsern para kepala daerah itu tentang masalah HIV/AIDS yang tengah dibahas di Hotel Kristal. Tidak! Kita memang harus mengakui masih begitu banyak kepala daerah, banyak pejabat yang -- maaf saja -- belum paham masalah yang sudah menjadi epidemi dunia ini. Mungkin saja ada kepala daerah yang tidak tahu apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularannya dan hal-ihwal seputar HIV/AIDS.
Yang mau kita sentil di sini adalah mental dan sikap para pejabat -- utamanya pada kepala daerah kita di NTT -- yang sepertinya tidak lagi menghargai yang namanya rapat kerja, yang namanya rapat koordinasi guna mencari jalan terhadap aneka soal, menemukan titik simpulnya dan kemudian membangun komitmen bersama.
Kita melihat dan menangkap kesan sangat kuat bahwa para pejabat kita sekarang ini lebih asyik dengan urusannya sendiri. Lebih doyan jalan-jalan ke tempat lain atas nama studi banding dan lobi ini dan itu. Kita juga menyaksikan dan turut merasakan betapa para pejabat birokrat kita telah berubah visi, dari melayani masyarakat kepada melayani diri sendiri.
Kita melihat banyak instansi pemerintah yang dibentuk tidak untuk melayani kebutuhan masyarakat, tetapi justru untuk melayani kebutuhan birokrasi. Lambatnya urusan kartu tanda penduduk, yang katanya sudah komputerized, adalah satu contoh kecil saja yang mencerinkan buruknya pelayanan birokrasi kita. Di luar negeri, pegawai pemerintah itu disebut public servant. Kata servant itu, dari akar katanya dalam bahasa Latin berarti melayani.
Pemandangan yang kita lihat dan pengalaman yang kita rasakan sekarang sangat kontras. Pegawai pemerintah menjadi tuan, para pejabat menjadi raja. Rakyat yang mestinya dilayani, berbalik menjadi hamba-hamba yang datang bersujud, menyembah dan meminta 'sedekah' yang namanya pelayanan publik. Dan, itu hanya terjadi karena pejabat birokrat kita masih memegang paham aristokrat. *
Pos Kupang, Rabu 30 November 2005

0 komentar:

Posting Komentar