Jangan mati rasa berbuat baik

Kamis, 14 Februari 2008

TAK terbantahkan bahwa paling laknat saat ini adalah kemiskinan. Dia ibarat monster ganas yang bisa dengan gampang mencabut nyawa begitu banyak orang. Jika dicermati secara teliti, akan jelas kalau hulu dari banyak kasus kejahatan yang terjadi adalah realitas kemiskinan, si monster itu.
Jika diurut-urut, maka mata rantai kemiskinan cukup panjang. Ayah pukul istri karena tidak bisa menyiapkan makanan. Istri menjewer anaknya yang rewel meminta uang membeli buku. Anak mencuri uang temannya karena ditekan oleh guru di sekolah. Guru memanggil orangtua karena anaknya mencuri di sekolah. Malu karena anaknya mencuri di sekolah, orangtua kemudian memukul lagi si anak. Lingkaran sebab akibat ini bisa kita pakai untuk menjelaskan tentang mata rantai kemiskinan itu.
Kini kemiskinan itu telah menjadi demikian parah. Di daerah ini, kemiskinan itu juga menyata dalam bentuk dan modus lain. Di Sumba Timur, warga yang kekurangan bahan makanan menggadaikan kartu rumah tangga miskin (RTM) ke rentenir. Di Lewoleba -- dan di banyak tempat lain di propinsi ini --, kelaparan bakal mengancam warga. Banyak dan bertambahnya jumlah kepala keluarga (KK) miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan BBM adalah contoh nyata bahwa kemiskinan telah demikian menghantui warga di daerah ini.
Parahnya, instansi dan atau stakeholder yang berurusan dengan jalan keluar mengatasi kemelut warga ini juga turut menambah penderitaan warga. Ketika BLT yang banyak dikritik ini mulai dicairkan awal Desember tahun lalu, muncul banyak 'orang miskin baru'. Yang datang menerima bantuan itu mengenakan sepatu hak tinggi, gelang emas melingkar di tangan, anting berlian tergantung di telinga. Dan, banyak yang datang menggunakan sepeda motor pribadi. Apakah mereka itu miskin?
Contoh lain adalah raibnya dana sebesar Rp 900 juta bantuan gizi buruk di Kabupaten Alor. Seperti diberitakan harian ini edisi kemarin, dana sebesar itu diduga digelapkan oknum petugas BRI Kalabahi. Rasa-rasanya kita sesak nafas membaca warta dari Alor itu. Betapa teganya oknum yang tidak bertanggung jawab itu menggelapkan dana untuk anak-anak gizi buruk di kabupaten itu.
Kita tentu mesti berharap agar kasus ini segera ditangani aparat penyidik. Tetapi, yang ingin kita soroti di ruangan ini adalah betapa kita sudah mati rasa akan solidaritas, akan keprihatinan, akan kepedulian kita terhadap sesama kita, warga kebanyakan yang masih didera kemiskinan. Banyak dari antara kita begitu tega membiarkan penderitaan warga itu berlangsung. Sikap pembiaran itu menyata dalam banyak ragam bentuk: merampas hak mereka, mengaku diri miskin, mempersulit urusan yang melibatkan orang-orang kecil.
Dalam suatu masyarakat ketika sikap-sikap dan perilaku ini masih mekar bertumbuh, sulit mengharapkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Demikianlah warga masyarakat yang kekurangan, yang mestinya harus dibantu justru jadi sapi perah, justru menjadi ladang garapan.
Saat ini, mayoritas warga NTT berada dalam masa pra-Paskah. Tema utama pra-Paskah adalah pertobatan. Tepatlah kalau untuk orang Katolik, aksi puasa pembangunan tahun ini berbunyi "Budaya Bebas Korupsi." Ya, korupsi yang telah melilit bangsa ini tidak lagi sekadar penyakit. Dia telah mewujud dalam budaya, telah menjadi habit, dan karena itu dibanalisasi.
Untuk melawannya, perlu kerja keras. Tidak cuma menegakkan hukum, memeriksa orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana ini, menetapkan sejumlah banyak orang menjadi tersangka. Lebih jauh dari itu, yang paling dibutuhkan adalah perubahan sikap, perilaku, budaya.
Hanya dengan perubahan sikap, kita bisa memiliki kemauan untuk menumbuhkan solidaritas dengan mereka yang berkekurangan. Hanya dengan perubahan perilaku, kita bisa memiliki itikad untuk berbuat baik terhadap orang lain.
Kemiskinan sudah terlalu lama mendera kita, membuat kita terpuruk. Tetapi jika kita juga miskin berbuat baik, miskin solidaritas terhadap sesama warga kita yang berkekurangan, maka sebetulnya kita secara tidak sadar terus melanggengkan laknat yang bernama kemiskinan itu. Tegakah kita menyaksikan banyak warga daerah ini terus didera kemiskinan? Mudah-mudahan kita tidak mati rasa untuk berbuat baik. *
Pos Kupang, Kamis 16 Maret 2006

0 komentar:

Posting Komentar