Korupsi sebagai patologi narsisme

Kamis, 14 Februari 2008

DUA hari berturut-turut ini bersejarah. Tanggal 9 Desember kemarin diperingati sebagai Hari Antikorupsi sedunia. Sementara pada hari ini, 10 Desember, kita peringati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM).
Terasa memang, resonansi peringatan dua hari khusus ini tidak bergema dan bergaung. Beda sekali dengan peringatan-peringatan hari-hari bersejarah lain, yang tidak cuma menyita banyak perhatian, tetapi juga menelan banyak dana untuk acara seremoninya. Mungkin karena itulah, kontras rasanya jika kita mesti 'meledakkan' peringatan Hari Antikorupsi.
Tetapi, kita merasa tetap urgen di sini mengartikulasikan kembali makna peringatan dua hari bersejarah ini. Korupsi, tentu bertentangan dengan HAM. Dia melanggar etika yang umum dianut. Dia merusakkan sendi-sendi kehidupan yang layak, yang baik, yang diikhtiarkan, yang jadi impian umum. In sensu stricto, korupsi merupakan malum dari suatu bonum, kekurangan dari suatu kebaikan.
Peringatan Hari Antikorupsi hari ini terasa demikian bermakna dan penting kalau kita tarik perilaku corrupt itu ke konteks kita di daerah ini. Beberapa waktu terakhir, beberapa pejabat penting, yang merupakan master mind setiap kebijakan publik, diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) ditetapkan menjadi tersangka. Bupati dan Wakil Bupati Kupang juga ditetapkan sebagai tersangka. Walikota Kupang bersama mantan anggota Dewan setempat juga diperiksa. Beberapa pejabat di Kota Kupang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Itu di lingkup pemerintah. Di luar pemerintah, beberapa pihak yang mengelola dana bantuan juga diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Meski belakangan, kita sangat ragu dan sangsi akan keseriusan aparat hukum mengantar para tersangka itu ke hotel pro deo, toh pemeriksaan sebagai tersangka itu sendiri sudah memberikan image yang sangat buruk.
Para tersangka itu, boleh bermuka tebal, tetapi jati dirinya sebagai seorang subyek otonom, apalagi seorang figur publik, hancur berantakan. Jargon seperti 'makan uang' buat telinga kita masih sangat menyakitkan. Hukuman fisik di penjara mungkin bisa dihindari ketika penegakan hukum di republik masih sebatas dagelan dan setiap aktornya bisa dibayar dengan segepok rupiah. Tetapi hukuman sosial tidak bisa dihindari. Dan, jangan lupa saat ini banyak orang stres bukan karena siksaan fisik, tetapi akibat siksaan psikologis-sosial. Orang miskin yang tidak makan satu hari masih bisa 'mengangkat muka', ketimbang orang kaya yang kenyang tetapi dicibir di lingkungannya.
Banyak teori sudah menjelaskan tentang watak orang yang suka 'makan uang' itu. Banyak sudut pandang telah dijelaskan. Semua penjelasan itu, setiap teori itu, boleh diringkas dalam satu tali simpul: koruptor adalah orang yang telah jatuh dalam narsisme.
Ya, narsisme. Artinya orang yang hanya melihat dirinya, berkonsentrasi pada dirinya, seolah-olah dunia di luar dirinya, lingkungan sosial di luar dirinya tidak ada. Dia begitu mendewa-dewakan dirinya. Dia khawatir kalau dirinya tidak oke. Dia menyamakan dirinya dengan salah satu aspek parsial dari dirinya. Entah hartanya, entah kemasyhurannya, dan entah apa lagi yang terkait dengan dirinya.
Patologi narsisme, tentu saja sangat bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Ketika seseorang hanya mengagung-agungkan aspek parsial dari dirinya, ketika itu juga dia merendahkan martabat kemanusiaannya. Karena dia seakan mengidentikkan dirinya dengan apa yang ada padanya, berapa simpanannya, berapa kapling tanahnya, berapa unit kendaraan mewah di rumah, berapa banyak rumah miliknya, dan seterusnya dan seterusnya.
Rasanya tidak terlalu keliru buat kita untuk mengatakan bahwa banyak dari antara pemimpin kita di daerah ini, juga orang-orang yang doyan memarjinalkan kemiskinan warga daerah ini untuk kepentingan terselubung, kita sebut sebagai orang-orang yang telah jatuh dalam patologi narsisme.
Suara mereka nyaring di ruang rapat untuk mendatangkan investor. Proposal mereka berhalaman-halaman berisi seribu satu kekurangan, kemiskinan, ketidakberdayaan warga daerah ini guna meluluhkan hati donatur. Tetapi ketika dana itu datang, yang pertama dalam benak mereka adalah 'saya makan berapa, apa lagi yang harus dibeli sebagai kekayaan pribadi?' Kita memang mesti sedih. *
Pos Kupang, Sabtu 10 Desember 2005

0 komentar:

Posting Komentar