Memaknai filosofi satu atap

Kamis, 14 Februari 2008

UNTUK kesekian kalinya penanganan kasus korupsi kita sampaikan di ruang ini. Tidak ada maksud lain, seperti memojokkan, mendiskreditkan siapa pun, pihak mana pun juga, kecuali keinginan yang kuat agar kasus-kasus korupsi di daerah ini ditangani dengan serius.
Mengapa dengan serius? Tentu karena selama ini, ada kesan sangat kuat penanganan kasus korupsi di daerah ini dilakukan pro forma, hanya untuk menyenangkan rakyat, hanya supaya terlihat ada usaha penanganan. Di hampir semua kabupaten, jarang kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik ditangani. Jarang para pejabat di daerah ini masuk penjara karena korupsi. Yang memenuhi penjara hanyalah pegawai kecil yang sebetulnya menjadi kambing hitam, menjadi tumbal atasannya. Akibatnya, rakyat daerah ini memandang penegakan hukum sebagai sandiwara belaka. Mereka tidak percaya lagi dengan aparat penyidik hukum. Dalam benak mereka hukum adalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Kasih uang habis perkara (KUHP) adalah sinisme yang sangat memalukan.
Ke depan, kesan, pandangan, ketidakpercayaan rakyat terhadap hukum harus dipulihkan. Modus lama harus dibuang. Aparat penyidik mesti menempatkan hukum di atas segala-galanya. Dan, daerah ini bisa segera bersih dari virus-virus koruptor.
Warta di media ini kemarin membersitkan harapan itu. Jajaran penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan BPKP duduk bersama membahas penanganan kasus-kasus KKN di NTT. Hadir Kapolda, Kajati, para kapolres se-NTT, para kajari se-NTT, para kasat reskrim, juga utusan dari BPKP Perwakilan NTT.
Rapat yang disebut rapat koordinasi (Rakor) ini bermaksud menyamakan persepsi, melihat bersama dan yang lebih penting lagi, ingin bersama dalam satu atap menangani kasus-kasus korupsi. Satu atap, itulah filosofinya. Untuk konteks penanganan kasus korupsi di daerah ini, filosofi ini begitu bermakna. Kita coba melihat beberapa makna dan implikasi penting dari filosofi ini.
Pertama, korupsi di daerah ini telah menjadi kebiasaan, perilaku, watak yang inheren dalam diri para pihak yang berurusan dengan dana-dana publik. Sepertinya, mereka yang 'makan uang' itu tidak lagi menyadari bahwa apa actus makan uang itu merupakan sesuatu yang melanggar hukum, bertentangan dengan norma moral dan karena itu harus mendapat hukuman yang setimpal.
Boleh dibilang, di daerah ini korupsi telah dibanalisasi. Orang melakukannya karena hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku umum dan jamak di mana-mana. Karena merupakan sesuatu yang jamak, maka orang pun ramai-ramai melakukannya. Di tengah lingkungan seperti itu dan dengan integritas moral yang rendah, lama-kelamaan kesadaran bahwa korupsi merupakan suatu malum, aib menghilang. Nah, menghadapi perilaku koruptif seperti inilah, filosofi satu atap sangat urgen dan penting sebagai obat penangkalnya.
Kedua, dari dulu daerah ini terkenal miskin. Dana-dana pembangunan berasal dri pusat, dari daerah lain. Dari tahun ke tahun, pemerintah daerah ini, melalui rancangan anggaran pembangunan dan belanja daerah (RAPBD) mengajukan dana ke pusat. Semuanya berjalan normal dan rutin. Pusat, melalui prosedur tetap, mengucurkan dana setiap tahun. Selain dana pemerintah, juga mengalir dana-dana swasta, dana-dana yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Dalam setahun saja, NTT bisa kebanjiran dana Rp 3 - 4 triliun.
Tetapi pertanyaan yang selalu mengusik kita, mengapa dari tahun ke tahun kita tetap tertinggal? Meski terdengar lucu, tetapi plesetan NTT sebagai nusa tetap tertinggal, benar-benar menampar pipi kita, terutama pejabat pemerintah di daerah ini. Apa saja yang dilakukan? Apa yang salah? Mengapa kesalahan terus berulang dan berulang terus? Mengapa kita tetap miskin? Apakah memang kita sudah demikian tidak mampu untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan kita?
Salah satu sebab kita tidak maju-maju adalah virus korupsi yang telah menahun di daerah ini. Kita menyaksikan, virus itu seolah beranak pinak. Dari bapak menular ke ibu. Dari orangtua turun ke anak. Dan, tidak ada yang malu lagi memamerkan kendaraan mewah, rumah-rumah modern, perhiasan mahal. Padahal (maaf) cuma pegawai negeri.
Karena itulah, kita berpendapat bahwa filosofi satu atap dapat menjadi obat penawar melawan kebiasaan, sikap, perilaku koruptif seperti ini. Tidak ada maksud kita di sini untuk melecehkan siapa pun. Yang mau digugat dan diharapkan di sini adalah dukungan terhadap filosofi satu atap ini. Dengannya, semua kita berharap, semoga di masa depan, virus korupsi perlahan-lahan diberantas dan disembuhkan dari muka bumi NTT. *
Pos Kupang, 27 Januari 2006
-------------------------

0 komentar:

Posting Komentar