Tempatkan hukum pada tempatnya

Kamis, 14 Februari 2008

PEMERIKSAAN terhadap sejumlah pejabat publik di negeri ini mulai gencar dilakukan setelah reformasi berhembus sejak delapan tahun lalu. Banyak pejabat dan koruptor di republik ini telah meringkuk di balik jerugi besi, lembaga pemasyarakatan.
Di Nusa Tenggara Timur juga kita saksikan sejumlah banyak pejabat publik diperiksa, ditahan, dipenjarakan karena terlibat kasus korupsi. Sebetulnya, dalam konteks penciptaan pemerintahan yang good and clean, langkah hukum seperti ini normal-normal, biasa-biasa saja. Karena memang seperti itulah wajah negara hukum. Sepertilah itulah hukum ditegakkan secara benar dan konsisten.
Di negara-negara lain, tegaknya hukum membawa perubahan kehidupan masyarakat yang luar biasa. Sebut misalnya Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Cina. Negara-negara ini terlihat begitu cepat maju dan berkembang karena lebih bersih dari virus korupsi. Hukum di negara-negara ini ditempatkan pada tempatnya yang semestinya dan dipraktekkan secara benar. Tidak ada urusan dengan politik. Hukum sebagai hukum diperlukan untuk menciptakan keadilan.
Karena itu, langkah aparat penyidik di NTT, baik itu aparat kejaksaan maupun polisi memanggil, memeriksa, menahan, memperkarakan dan menghukum para pejabat yang terlibat kasus korupsi, juga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Langkah hukum itu memang perlu diapresiasi sebagai sebuah gebrakan. Tetapi mestinya, kita juga tidak perlu 'membaca' langkah itu secara berlebihan, seolah-olah sangat luar biasa.
Dalam konteks hukum, penetapan mantan Bupati Flores Timur, Felix Fernandez, menjadi tersangka, misalnya, adalah sesuatu yang biasa sekali. Begitu juga dengan Bupati Kupang, Bupati Timor Tengah Selatan, atau juga beberapa mantan anggota dan anggota (aktif) legislatif di daerah ini menjadi tersangka. Tidak ada yang luar biasa dari langkah hukum yang ditunjukkan aparat penyidik. Normal-normal saja kalau mereka itu ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian disidangkan dan mungkin juga divonis penjara.
Kita akui, sebegitu sering kita membaca langkah dan tahapan proses hukum dengan kacamata lain, bukan kacamata hukum. Kacamata yang paling laku dipakai adalah politik dan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Jika kita tidak menggunakan kacamata hukum melihat semua proses hukum, tentu saja yang kita tangkap dari seluruh proses itu jauh membias. Proses hukum kemudian ditafsir secara politis bahwa si A dari suku ini ingin menjatuhkan si B dari suku itu. Yang kemudian terjadi adalah semua kita mulai membentengi diri dalam gheto suku kita yang sempit. Semangat pluralisme yang mulai kuat mengarus di tingkat dunia justru akhirnya menjauh dari kita.
Tentu kita tidak mengharapkan akibat-akibat seperti ini terjadi. Juga di daerah ini, terkait dengan langkah hukum para penyidik memeriksa para pejabat publik. Kita sepakat dengan pernyataan gubernur kita, Piet A Tallo, S.H seusai diperiksa di Polda NTT, Selasa (17/1) lalu. "Ini saya tunjukkan bagaimana sebagai warga negara yang baik mentaati aturan hukum yang berlaku di negara kita ini. Juga kalian para wartawan, jangan berlindung di balik profesi. Kalau ada masalah berani ndak datang ke kantor polisi untuk diperiksa." Begitu kata gubernur kesayangan dan kebanggaan kita.
Pemeriksaan Gubernur Tallo berikut pernyataannya sebagaimana kita kutip di atas, tidak hanya menghapus kecurigaan dan keraguan banyak pihak, tetapi juga memperlihatkan sebuah sikap gentle, kemauan baik, ketaatan seorang warga negara yang baik terhadap proses hukum.
Banyak hal yang bisa dan harus kita petik dari proses pemeriksaan ini. Pertama, bagi aparat penyidik, sikap gentle Gubernur Tallo mestinya bisa melecut semangat untuk lebih serius lagi menegakkan hukum di daerah ini. Seorang gubernur saja rela, mau dan ikhlas untuk diperiksa, apalagi para pejabat yang berada di bawahnya, seperti bupati, sekretaris daerah, kepala dinas. Juga siapa pun warga yang patut diduga bersalah secara hukum harus diperiksa.
Kedua, bagi kita semua, warga propinsi ini dan juga para pejabat publik. Teladan yang baik telah ditunjukkan oleh gubernur kita. Kita mestinya mencontohi sikap gubernur kita untuk siap diperiksa jika memang diduga melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Ketiga, dalam konteks penciptaan pemerintahan yang good and clean, kita memang mesti menempatkan hukum pada tempatnya yang benar, sehingga tidak terjadi bias dalam penerapannya. *
Pos Kupang, Kamis 19 Januari 2006
------------------------

0 komentar:

Posting Komentar