Fernando Lugo, Pengguncang Gereja

Selasa, 29 April 2008

Oleh : Tony Kleden

JANGANKAN
kemenangannya menjadi Presiden Paraguay, pengunduran dirinya dari uskup saja menjadikan Fernando Lugo Armindo Méndez menjadi topik utama berita media massa sedunia dalam pekan ini. Judul-judul menarik dari berita-berita Lugo dikemas media. "Uskup Kiri Jadi Presiden", "Uskup Orang Miskin itu Kini Jadi Presiden" adalah dua judul berita yang menunjukkan hebohnya Lugo menjadi isu dunia.
Tetapi sesungguhnya yang lebih heboh justru apa yang ada di balik berita itu. Lugo telah menyentuh hal yang selama ini tabu dalam gereja Katolik. Seperti diketahui, sejauh ini hirarki gereja Katolik secara prinsip tidak melibatkan diri dalam politik praktis, apalagi terlibat aktif dalam persaingan merebut kekuasaan.
Karena itu, apa yang dilakukan Lugo dengan menanggalkan jubah, meletakkan jabatannya dari uskup, meninggalkan istana uskup, tinggal di rumah kontrakan, dan terutama terjun langsung ke politik adalah sebuah keberanian melawan arus, sebuah langkah yang tidak lazim dalam gereja Katolik.
Dua tahun lalu, tepatnya pada tanggal 25 Desember 2006, Lugo mengundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup. Uskup dari tarekat SVD (Societas Verbi Divini/Serikat Sabda Allah) ini kemudian mencalonkan dirinya menjadi Presiden Paraguay. Pencalonan dirinya ini menjadi sesuatu sangat yang kontroversial karena ia sendiri tidak diizinkan oleh Tahta Suci Vatikan.
Tahta suci Vatikan memegang teguh pada Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). Merujuk pada hukum kanon, gereja tidak memperkenankan seorang imam untuk terlibat dalam kehidupan politik praktis. "Seorang rohaniwan Katolik dilarang terlibat dalam kegiatan politik, entah dalam bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Hal ini bertujuan agar para klerikus (yang tertahbis) dapat mengonsentrasikan perhatiannya hanya pada pelayanan dalam gereja" (Kanon 287).
Apakah Lugo lupa perintah hukum kanon ini? Apakah dia tidak tahu bahwa Tahta Suci melarang keras para biarawan terjun ke arena politik?
Lugo bukan imam atau uskup kemarin sore. Lahir pada 30 Mei 1951, Lugo ditahbiskan menjadi imam 15 Agustus 1977. Setelah ditahbiskan, dia berkerja lima tahun sebagai misionaris di Ekuador. Di sana dia mulai mengenal dengan lebih baik spirit dasar dari Teologi Pembebasan. Dari Ekuador dia kemudian ke Roma belajar teologi. Saat belajar teologi itulah, Lugo memaknai teologi lebih dari sekadar doktrin-doktrin kaku. Dia menarik teologi ke konteks lokal, kepada kehidupan keseharian orang-orang kecil dan miskin di Paraguay.
Tahun 1987 dia kembali ke Paraguay dan mulai aktif terlibat membela orang-orang kecil. Lugo tergerak membela orang kecil karena lebih dari 61 tahun negara di jantung Amerika Latin yang diapiti Argentina, Bolivia dan Brasilia itu terkungkung dalam kemiskinan yang mendera dan korupsi yang menggurita.
Di tengah tugasnya di antara orang-orang kecil dan miskin, Lugo kemudian terpilih dan ditahbiskan menjadi uskup pada 17 April 1994. Sebagai uskup, dia bertugas di San Pedro, salah satu wilayah miskin di Paraguay. Sebelum menjadi uskup, Lugo pernah menjabat sebagai provinsial SVD (pemimpin SVD di suatu wilayah kerja) di Paraguay.
Lantas, roh apakah yang mendorongnya menanggalkan jubah, meletakkan jabatan uskup dan keluar dari tembok biara? Melihat sepak terjangnya, menyaksikan aksinya bersama orang-orang kecil dan menderita, tak pelak lagi panggilannya membantu orang-orang kecil dan terpinggirkan adalah spirit, roh yang memanggil Lugo.
Panggilan membela orang kecil dan terpinggirkan itulah yang menjadi alasan paling penting dan mendasar mengapa dia meninggalkan biara. Sekali waktu dia menegaskan akan turun dari mimbar gereja dan terjun ke tengah rakyat kecil mengangkat harkat dan harga diri mereka. Bekal ilmu di Roma dipadukan secara hamonis dengan realitas sosial yang terjadi di lapangan. Sebagai imam dan uskup yang tertahbis, Lugo gelisah saat menyaksikan kehidupan sosial di mana terdapat perlakuan yang tidak adil terhadap rakyat lemah. Sebagai imam dan uskup, ia melihat bahwa membela orang kecil dan tertindas tidak cukup lagi hanya dengan seruan moral dan kotbah dari mimbar gereja.
Dapat dimengerti ketika mengumumkan pengunduran dirinya dan pada saat mengumumkan dirinya menjadi calon Presiden Paraguay, Lugo lantang mengatakan, "Katedral saya bukan lagi sebuah gereja keuskupan, seluruh negara adalah katedral saya."
Lugo tentu sangat sadar akan bunyi hukum kanon di atas. Tetapi dia juga sadar bahwa gereja Katolik tidak dapat mengambil sikap apatis terhadap gejolak dan dinamika politik yang terjadi di dunia nyata. Dan, dalam konteks Paraguay, Lugo memilih langkah berani dengan membuka jubah, meletakkan jabatan uskup dan terjun ke pusaran politik. Dia pasti sadar bahwa seruan moral atau kotbahnya di mimbar gereja yang sejatinya tidak bermaksud politis, bisa ditafsir secara politis dan bisa membawa dampak politis yang sangat luas.
Kemenangan Lugo melalui Aliansi Patriotik untuk Perubahan (Patriotic Alliance for Change), suatu front luas berupa gabungan dari kekuatan kekuatan patriotik, yang bersama-sama memperjuangkan terjadinya perubahan di Paraguay. Kemenangan Lugo ini menunjukkan juga bahwa politik "memihak rakyat miskin" yang jadi pedoman aliansinya, mendapat simpati dan dukungan besar dari rakyat.
Lebih jauh, kemenangan Logo juga seakan membongkar kecenderungan pemahaman terhadap gereja yang selama ini dianut kebanyakan orang. Yakni gereja sebagai sebuah institusi dengan aktor utama para klerus (rohaniwan) semata, gereja sebagai superbody, yang di hadapannya manusia mesti berserah diri. Pemahaman yang keliru seperti inilah yang seringkali menyebabkan manusia memposisikan gereja sebagai sebuah institusi yang ideal, di dalamnya ada kesempurnaan.
Melalui sikapnya yang berani, melalui langkah yang kontroversial, Lugo membuka mata banyak orang di dunia ini bahwa gereja ada dalam sejarah. Karena berada dalam sejarah manusia, maka gereja mesti peka dan sensitif terhadap setiap gejolak dalam masyarakat, sanggup merespons kondisi masyarakat, mesti bisa menjawab kebutuhan umatnya. Singkat kata, gereja dalam sejarah adalah ecclesia semper reformanda, yakni gereja yang terus menerus membaharui dirinya.
Keputusan Lugo meletakkan jabatannya dan mau terjun ke dunia politik praktis telah mengguncang hirarki. Tetapi keputusan yang rasional itu sedang membawa dia ke tempat yang lapang. Dunia politik baginya adalah tempat lapang di mana ia secara jernih melihat rakyat yang terpuruk secara ekonomis dan politis dengan bantuan kehendak Allah.
Enam juta warga Paraguay kini meletakkan harapan dan masa depan mereka di atas pundak Lugo. Mereka yakin dan percaya, 'uskup orang kecil' itu tetap tampil membela mereka. Lugo ingin membangun Paraguay seperti apa yang diinginkan warganya. "We will build a Paraguay that will not be known for its corruption and poverty, but for its honesty," katanya berulang kali.
Jika gereja mesti terus berubah dalam konteks zamannya, jika terjun ke arena politik adalah jalan yang lebih lapang membantu rakyat, mengangkat harkat mereka, apakah NTT butuh Lugo-Lugo yang lain? Saya tidak tahu, apakah benar mengajukan pertanyaan seperti ini. *
Minggu 27 April 2008
Read More...

Bergurulah ke Mohammad Yunus (2)

Oleh : Tony Kleden
LEPAS
dari gilang-gemilang prestasinya, gereja juga sebetulnya gagal membentuk manusia berdaya saing tinggi, kompetitif dan mampu beradaptasi dengan situasi zaman. Tidak menyiapkan manusia dengan etos wirausaha adalah salah satu contoh penting dari kegagalan gereja.
Kegagalan sumber daya manusia dengan etos seperti itu dewasa ini sangat terasa dan terlihat nyata. Di tengah arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan banyak hal, di tengah apa yang oleh Leo Kleden disebut sebagai partikularisasi kebudayaan, kita butuh manusia yang punya sikap sendiri, punya daya juang tinggi, punya elan vital dan tahan banting. Gagal panen, kelaparan, gizi buruk, mudah terserang penyakit ini dan itu pada galibnya adalah eksplisitasi dari rendahnya ketahanan diri orang-orang kita.
Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebetulnya gereja gagal menyiapkan manusia NTT. Karena itu, jika ingin maju dan sejajar dengan daerah lain, etos wirausaha perlu terus dipompakan dalam diri orang NTT. Dari pengalaman dan pengamatan, jelas terlihat kita kalah bersaing dengan semangat, dengan etos saudara-saudara kita dari Jawa, Batak, Bugis, Bali. Solidaritas di antara mereka sangat kuat. Dilandasi solidaritas itulah, mereka kemudian membentuk jejaring yang sangat kuat. "Orang Bali sangat kuat jaringannya, sehingga susah ditembusi orang dari luar. Hanya sedikit orang China saja yang bisa tembus. Kita lemah dari sisi ini," kata Dr. Leo Kleden.
Selain etos wirausaha lemah, perhatian terhadap koperasi juga perlu ada. Sudah sejak dulu, Credit Union (CU) tumbuh di daerah ini. Belakangan koperasi tumbuh mekar di NTT. CU atau koperasi sangat membantu masyarakat meningkatkan ekonomi mereka, lepas dari belitan rentenir dan jeratan bunga bank yang begitu menjulang.
Tersentil dan respons dengan tumbuhnya koperasi di daerah ini, Leo Kleden menganjurkan agar pemerintah perlu mengirim para manejer koperasi ke Bangladesh untuk belajar dari Mohamnad Yunus. Prof. Mohammad Yunus adalah ekonom peraih Nobel Perdamaian 2006 yang melalui Grameen Bank mengangkat harkat dan harga diri begitu banyak orang miskin di Bangladesh.
Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, juga sepakat tentang penting dan strategisnya koperasi. "Di mana-mana saya kampanyekan pentingnya koperasi," kata Lebu Raya. Lebu Raya tentu tahu, koperasi akan sangat membantu orang-orang kecil yang tidak mudah mengakses ke bank untuk meminjam modal usaha.
Harus diakui, dewasa ini koperasi telah tumbuh begitu subur. Di Maumere, Kantor Koperasi Obor Mas lebih megah dari kantor pemerintah. Di Kota Kupang, kuncup-kuncup koperasi dan kelompok usaha bersama (KUB) mengharum-aroma ke mana-mana. Omzetnya? Berbilang miliar rupiah. Masuk anggota koperasi juga gampang. Pinjam uang lebih gampang lagi. Makin banyak simpan, makin banyak pinjam, makin banyak juga dapat sisa hasil usaha (SHU).
Spirit ini sudah menjadi tanda baik bahwa kesadaran untuk berusaha, menyimpan uang di koperasi telah hidup. Tinggal bagaimana pemerintah terus mendorongnya sehingga lebih maju lagi. Di Thailand, bank-bank sudah ngos-ngosan karena perannya telah diambilalih oleh koperasi.
Banyak usaha kecil-kecil yang kelihatannya sepele, tetapi sebetulnya menyimpan potensi yang luar biasa besarnya. Contoh rumput laut. "Saya pernah bertanya pada seorang yang punya usaha rumput laut, berapa uang yang dia peroleh. Sekali panen dia bisa mendapat uang Rp 15 juta. Kalau dalam setahun dia panen empat kali, sudah berapa uang yang dia peroleh?" tutur Leo Kleden.
Rumput laut telah menjadi 'emas hijau' bagi banyak penduduk di pesisir pantai. Dari Sabu hingga Alor. Dari Adonara hingga Labuan Bajo. Potensinya luar biasa. Prospeknya cerah. Yang kurang dan karena itu perlu dilakukan adalah mengarahkan pandangan orang ke laut. "Orang kita, meski tinggal di pinggir pantai membelakangi laut," kata Lebu Raya. Jika rumput laut sudah melimpah, pekerjaan rumah yang juga harus segera dikerjakan pemerintah adalah mendatangkan alat pengolahannya dan membuka pasar.
Tekad menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan jauh lebih tepat dan membantu mendongkrak pendapatan rakyat. Propinsi kepulauan sejak beberapa tahun lalu digulirkan Lebu Raya. Lebu Raya 'ngotot' ke pemerintah pusat menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan. "Kita rugi besar kalau tidak masuk jadi propinsi kepulauan. Sebab jika NTT bukan propinsi kepulauan, maka skema anggaran dari pusat itu dihitung menurut luas daratan, sementara lebih banyak wilayah kita adalah lautan," kata Lebu Raya.
Ide menjadikan NTT sebagai propinsi kepulauan begitu menguat dalam diskusi. Pertimbangannya sederhana, dengan otonomi daerah maka kabupaten lebih otonom mengurus daerahnya sendiri. "Saya setuju dengan propinsi kepulauan. Membangun Flores jadi propinsi sendiri secara sosial budaya tidak efektif, kita akan ribut terus. Propinsi NTT sudah bagus, sudah tenang, kekerabatan kita juga sudah terjalin lama. Lebih dari itu, uang akan mengalir ke kabupaten, bukan propinsi. Kenapa harus Propinsi Flores? Kita jangan terkecoh, karena Propinsi Flores hanya kehendak satu dua orang yang ingin jadi gubernur dan ketua DPRD," kata seorang peserta diskusi.
Banyak lagi kekayaan alam di sekitar kita yang bisa dirupiahkan. Flores kaya pisang dan kelapa. Sungguh konyol kalau pisang dari Flores dibawa ke Surabaya dengan harga murah dan balik lagi dalam kemasan dengan harga telah berlipat-lipat. Sungguh tragis jika asam berkelas dari tanah Timor Tengah Selatan (TTS) dikirim ke Surabaya dan balik lagi dalam bentuk manisan dengan harga melangit. Di Larantuka, ikan cakalang cuma dihargai Rp 4.200,00/kg. Tetapi saya cuma bisa berdecak ketika mesti membayar 10 US dolar untuk tiga potong kecil ikan cakalang yang telah diolah jadi sasimi di salah satu restoran Jepang di Washington, AS tiga tahun lalu. Tidak sukar menaksir berapa harga ikan cakalang jika satu ekor bisa dapat 30 porsi sasimi.
Di Manggarai dan Ngada vanili dan cengkeh tak susah amat dirawat. Di Ende pisang beranga dan ubi nuabosi masih sebatas cerita khas kekayaan Ende. Kapan pisang beranga menembus mal-mal Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya? Kapan petani pisang beranga dan ubi nuabosi menyekolahkan anaknya hingga meraih gelar dokter?
Di daratan Timor dan Sumba, ternak sapi pernah menguasai daging di kota-kota besar di Jawa. Tetapi coba dicek, berapa banyak orang Timor dan Sumba yang jadi pemilik ternak? Banyak orang desa di daratan Timor dan Sumba tak lebih dari penggembala. Mereka merenda hidup di atas hamparan padang rumput, merenung nasib di atas punggung sapi dan kuda menggembalakan ternak milik pemodal.
Sungguh mati. Kita punya potensi. Tetapi kita tidak punya etos wirausaha. Dan, pemerintah belum terbuka mata melihat itu. Belum punya niat untuk mengubahnya. Yang dimiliki pemerintah masih sebatas wacana, seminar, program kerja di map-map di kantor. Sampai kapan NTT terus diplesetkan dengan akronim miris: Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tidak Tentu? Tahun depan NTT merayakan HUT emasnya. Lima puluh tahun sudah usianya. Janganlah usia emas itu dirayakan dengan bermuram durja. (bersambung)
Pos Kupang Kamis 24 April 2008
----------------------------------------------------


Bukan Cari NTT Idol, Bung... (3)
Oleh : Tony Kleden


MENGGELAR sebuah diskusi panel di kampus STFK Ledalero punya nilai tambah. Nilai tambah itu terletak pada kuatnya arus pemikiran didukung pengamatan, penelitian dan pengalaman dari para staf pengajar yang punya view jauh ke depan dan para mahasiwa yang terkenal kritis.
Dan, di negeri ini Ledalero telah tampil menjadi 'arus dari timur'. Arus itu belakangan menjadi begitu kuat menghantar manusia-manusia handal, kritis dan tajam pemikirannya ke pusat-pusat kekuasaan, melebarkan jaringannya ke begitu banyak bidang dan aspek kehidupan.
Menurut data, sekolah calon imam ini 'hanya' menghantar 40 persen mahasiswa menjadi imam yang kini bekerja di seluruh dunia. Sisanya menjadi 'garam' di medan kerja yang lain. Ada cendekiawan kaliber seperti Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Jan Riberu, Sirilus Belen. Di NTT ada nama-nama popular seperti Kristo Blasin, Anton Bele, FX Sega, Apoli Bala, Goris Foju, Anton Darus, Marius Ardi Jelamu dan masih banyak lagi yang berkecimpung di begitu banyak bidang.
Ketika diskusi panel dengan menghadirkan tiga doktor jebolan luar negeri -- selain Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya -- yang telah malang melintang dalam begitu banyak urusan dan ihwal di dalam dan luar negeri, nuansa akademis, pikiran kritis-ilmiah-demokratis dan segudang pengalaman sangat terasa. Dr. Konrad Kebung, SVD adalah doktor filsafat dari Amerika Serikat. Dr. Leo Kleden, SVD adalah doktor filsafat dari Universitas Leuven, Belgia. Dr. Paul Budi Kleden, SVD doktor teologi dengan perhatian lebih pada teologi politik dari Jerman.
Ketiganya anak tanah Flobamora, yang makan jagung dan ubi di daerah ini. Yang membedakan mereka adalah pengalaman. Dr. Leo Kleden sekitar tujuh tahun menjadi anggota Dewan Jenderal SVD dan berkedudukan di Roma. Pengalamannya sarat, pengamatannya tajam, analisisnya menukik. Itu hanya mungkin karena dia telah mengunjungi lima benua dan menjejakkan kakinya di lebih dari 30 negara di dunia.
Dr. Paul Budi Kleden menghabiskan waktu sekitar 13 tahun di Eropa. Sudah tentu, budaya, iklim demokrasi, kehidupan bermasyarakat dan bernegara di benua tua itu dipahami, diamati dan dipelajari. Dr. Konrad Kebung, SVD akrab dengan orang-orang desa di NTT. Dia mengerti baik kultur dan filsafat hidup Amerika. Dia juga paham betul kultur orang NTT. Itu karena sejak tahun 1988 dia telah mengajar di STFK Ledalero. Lebih dari itu, semua dosen adalah lulusan luar negeri, baik yang berstrata S3 (doktor) maupun S2 (master).
Maka ketika ditambah dengan Drs. Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT, yang tentu juga kaya pengalaman di bidang pemerintahan, sebuah diskusi tentang NTT menarik tersaji. Mengusung tema "Memotret Pembangunan di NTT, Kemarin, Hari Ini dan Esok", ratusan peserta, termasuk para mahasiswa yang mesti dibatasi, sangat antusias. Dengan konsentrasi penuh para peserta menyimak pemaparan semua materi.
Mengapa perlu memotret pembangunan? Memotret dalam konteks ini mengandung tiga makna, yaitu menyamakan persepsi tentang keberhasilan dan kegagalan, menyamakan persepsi tentang pengembangan propinsi kepulauan, dan membagi pengalaman mengenai program pembangunan di NTT selama ini. Geliat pembangunan daerah ini selama 49 tahun usianya perlu dipotret.
Bagaimana hasil potretnya? Buram, cerah, gelap, rusak, berhasil, itulah hasil dari potret itu. Menurut Lebu Raya, tidak mudah meletakkan format pembangunan yang betul-betul kena dan tepat untuk NTT sehingga potretnya jadi baik. Sudah tujuh gubernur mengawaki biduk NTT yang tahun depan merayakan usia emasnya. Dari tujuh gubernur itu, lima di antaranya adalah 'darah daging' NTT. El Tari terkenal dengan semboyan progresifnya: tanam, tanam, tanam, sekali lagi tanam. Ben Mboi muncul dengan operasi nusa makmur, operasi nusa hijau. Hendrik Fernandez populer dengan Gempar dan Gerbades. Herman Musakabe tampil dengan Tujuh Program Strategis Membangun NTT. Terakhir Piet A Tallo dengan Tiga Batu Tungku yang kemudian pada periode kedua dimodifikasi lagi menjadi Tiga Pilar Pembangunan.
Hasil apa gerangan yang dituai dari aneka program ini? Tentu tidak adil untuk menilai kalau kondisi terpuruk NTT hari ini karena tidak ada program para gubernur itu yang cocok. Masing-masing gubernur dengan programnya adalah anak kandung zamannya. Masing-masing mereka tampil pada zamannya dan menjawab kebutuhan dan kondisi NTT pada masanya.
Tetapi ketika dipaparkan bahwa pada tahun 2005, dari sekitar 4 juta jiwa, 1.546.200 jiwa masuk dalam kategori miskin (sekitar 35 persen), kita seolah tak percaya. Tak percaya karena merasa bahwa sekian lama ini, sekian banyak program pembangunan, sekian banyak dana seakan tak ada maslahatnya untuk NTT. Kita ingin menggugat, memberontak dan mempertanyakan apa gunanya ada pemerintah, apa pentingnya merumuskan program-program muluk kalau hampir semua indikator Human Development Index (HDI/Indeks Pembangunan Manusia) NTT jauh terpuruk di urutan ke-33 dari 35 propinsi di Indonesia?
Sudah pasti ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa HDI kita begitu jatuh terpuruk. Tetapi faktor yang paling dominan adalah kepemimpinan. Dalam diskusi panel itu kriteria pemimpin menjadi tema yang kuat dibicarakan. Semua sepemahaman bahwa sosok pemimpin, gaya kepemimpinan, integritas moral, kematangan emosional, kebijakan dan kearifan mengambil keputusan, keberpihakan kepada rakyat, bakti kepada kejujuran, satunya kata dan perbuatan, rajin turun ke rakyat, kesehatan mental, ketahanan fisik, adalah domain-domain penting dan niscaya dari seorang pemimpin NTT ke depan.
Dr. Konrad Kebung, SVD menawarkan beberapa syarat pemimpin NTT ke depan. Pertama, memiliki semangat pengabdian yang tinggi dan sungguh berpihak pada rakyat. Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang memiliki visi utama yaitu kesejahteraan dan kebaikan masyarakat.
Kedua, cemerlang dalam berpikir, namun juga praktis-pragmatis dalam pelaksanaan. Pemimpin tidak cuma pintar omong, tetapi juga tahu berbuat. Kita tidak butuh pemimpin yang hanya bisa berteori dan mampu menghipnotis rakyat melalui kata-kata tentang keterpurukan masyarakat. Yang lebih dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu mengubah apa yang dikatakannya itu.
Ketiga, memiliki semangat demokratis yang tinggi. Semangat ini terungkap dalam seluruh hidupnya. Secara praktis, NTT butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, tidak mengambil jarak dengan rakyat, yang lebih memperhatikan dan mementingkan manusia, dan bukan orientasinya pada kesibukan kerja. "Sebagai abdi, dia tidak mempraktekkan top down leadership, melainkan servant leadership," kata Dr. Konrad Kebung, SVD, Ketua STFK Ledalero.
Tinggal 39 hari lagi, 2,7 juta warga NTT menggunakan hak pilihnya memilih Gubernur-Wakil Gubernur NTT lima tahun ke depan. Figur-figur yang ingin maju sudah mulai 'menjual' diri. Namanya juga menjual, tentu tidak ada yang nomor dua. Semuanya nomor satu. Itu biasa dan merupakan dinamika politik. Harapan rakyat jelas. NTT butuh pemimpin yang bisa memberdayakan rakyat, bukan memperdayai rakyat dengan program-program mercusuar yang tak lebih dari tipuan-tipuan halus. NTT butuh figur yang merakyat, figur yang jujur, bersih, tidak NATO (no action, talk only/cuma banyak omong, tanpa realisasi).
Lebih dari itu, kita tidak sedang mencari NTT Idol yang menghipnotis warga NTT dengan kepiawaian mengobral kata. Kita juga tidak sedang mencari tukang sulap yang mampu mengelabui rakyat melalui aksi tipu-tipuan. Kita juga tidak sedang berada di pusat grosir dan gampang termakan 'iklan dari surga' yang menjebak.
Yang kita cari adalah pemimpin yang punya hati, punya tekad, punya kemauan untuk bekerja, bekerja dan bekerja membangun NTT. Karena itu, salah pilih semua kita ramai-ramai terjun bebas ke kubangan keterpurukan, keterbelakangan, kemiskinan, dan rendah diri. (habis)
Pos Kupang Jumat 25 April 2008 Read More...

Kita Tertinggal Oleh Siapa? (1)

Oleh Tony Kleden
-----------------------------------------
Pengantar:
ALUMNI Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero yang tersebar di sejumlah pelosok negeri mudik ke almamaternya di bukit 'sandar matahari' Ledalero, Maumere. Tidak banyak yang kembali. Cuma beberapa. Tetapi ide, gagasan, pikiran semua mereka kembali ke kampus, kembali ke Ledalero menggelar sebuah diskusi panel, Sabtu 12 April 2008 lalu. Diskusi panel itu mengambil tajuk "Memotret Pembangunan di NTT, Kemarin, Hari Ini dan Esok." Tiga panelis tampil : Drs. Frans Lebu Raya, Dr. Leo Kleden, SVD, Dr. Konrad Kebung, SVD, dengan moderator Dr. Paul Budi Kleden, SVD. Beberapa pikiran sederhana, menarik dan mungkin penting dari diskusi itu dapat Anda simak.
----------------------------------------------------------------------
SEBUAH anekdot. Sekali waktu seorang warga Inggris ingin bertamu ke Raja Inggris. Dengan sepotong kain yang sekadar menutup badannya, dia bergegas ke istana. Pengawal raja menegurnya. "Kalau ingin bertemu raja, harus pakai pakaian yang lengkap," kata pengawal. Cuek bebek, rakyat kecil itu berujar, "Ah, pakaian yang sekarang dipakai raja itu cukup untuk tiga orang pakai. Kurangi dan berikan kepada saya supaya saya bisa menutup bagian badan lain yang belum tertutup."
Anekdot ini diceritakan oleh Dr. Leo Kleden, SVD dalam diskusi panel di kampus STFK Ledalero, Maumere, Sabtu (12/4/2008). Leo Kleden dengan penuh kesadaran menceritakan anekdot ini menanggapi salah satu indikator kemiskinan yang dipakai pemerintah. Sebelumnya Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menyebut sejumlah indikator untuk mengkategorikan sebuah keluarga/orang itu miskin atau tidak. Salah satunya adalah mampu membeli pakaian baru dalam setahun. Ketika menjelaskan sejumlah dari 14 indikator yang dipakai Badan Pusat Statistik, Lebu Raya sendiri juga merasa geli, lucu karena tidak pas. "Saya juga masuk orang miskin karena tidak ke salon untuk cuci muka," kata Lebu Raya. Cuci muka di salon juga disebut sebagai salah satu indikator.
Ketika mendengar sejumlah indikator kemiskinan ini, seluruh peserta diskusi larut dalam gelak tawa. Semua punya kesan yang sama, merasa lucu dengan indikator yang terkesan mengada-ada.
Menurut Leo Kleden, anggapan bahwa orang NTT bodoh, miskin, terkebelakang tidak tepat. Karena, jauh sebelum Indonesia merengkuh kemerdekaannya, gereja di Nusa Tenggara telah berbuat banyak sekali. Ada begitu banyak prestasi gilang gemilang yang dikerjakan gereja. Di bidang pendidikan, misi Katolik dan zending mendirikan sekolah-sekolah, kursus-kursus pertukangan dan sebagainya. Sekolah itu sarana penting, tetapi yang lebih penting dari itu adalah good will pemerintah kolonial mensejajarkan orang Indonesia dengan bangsa penjajah dalam hal memperoleh pendidikan.
Di Flores, misalnya, pada tahun 1925 Pater Cornelissen mendirikan seminari kecil di Lela, Sikka, yang kemudian pindah ke Mataloko, Ngada. Semangat di balik seminari ini adalah kemauan, sikap, keberpihakan misi kepada warga kecil, penduduk pribumi untuk boleh mengenyam pendidikan filsafat, teologi, moral yang diperuntukkan bagi para calon imam di Eropa. Pendirian seminari ini harus disebut sebagai langkah sangat berani pada masa itu.
"Pada malam sebelum imam pertama ditahbiskan (tahun 1941), Pater Cornelissen berteriak di kamarnya seperti orang gila. Dia teriak karena kerja kerasnya bertahun-tahun telah berhasil. Ternyata orang Flores juga bisa belajar teologi, filsafat, moral dengan kualitas seperti yang didapat di Eropa. Berarti orang kita juga bisa," kenang Leo Kleden.
Di bidang penerbitan, gereja juga mencatat prestasi yang sangat spektakuler. Percetakan Arnoldus di Ende didirikan tahun 1925 guna mencetak bahan-bahan bacaan. Di bidang pers, gereja Katolik juga menerbitkan majalah Bentara dan Anak Bentara di Ende. Dua majalah ini menguasai Nusa Tengagara dan Indonesia era tahun 1950-an. Ketika itu oplahnya mencapai 45 ribu, suatu prestasi yang belum terkalahkan pers di daerah ini sampai saat ini.
Di bidang perhubungan, gereja juga meretasnya dengan mendatangkan sejumlah banyak kapal/motor laut seperti Sta. Theresia, Arnoldus, Siti Nirmala, Ratu Rosari, Ama. Semuanya melayari wilayah NTT, menghubungkan pulau-pulau, menembus ke tanah Jawa.
Di bidang pertanian, gereja juga mendatangkan dua orang insinyur pertanian. Salah satunya yang sangat terkenal adalah Pater BJ Baack, SVD. "Tidak masuk akal untuk Flores yang kecil ini datang dua orang ahli pertanian dari sekolah pertanian yang sangat bergengsi di Belanda," kata Leo Kleden.
Sejumlah prestasi ini sengaja dikenang, dituturkan terutama dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa orang NTT sebetulnya tidak begitu terdera, dan karena terkebelakang sebagaimana anggapan umum, karena dijajah oleh Belanda. Sebaliknya, jika dikritisi, penjajah justru membuka akses dalam banyak hal untuk warga di daerah ini.
Karena itu jika sekarang NTT disebut-sebut sebagai daerah miskin, tertinggal, terkebelakang, maka predikat perlu diganggu-gugat lagi. Justru sebutan itu menunjukkan kegagalan semua elemen di daerah ini, terutama pemerintah, melanjutkan estafet 'tangan-tangan' gereja itu.
Sudah sejak zaman penjajah, putra-putra NTT menimbah ilmu jadi guru hingga ke Tomohon, Sulawesi Utara. Sudah sejak dua abad lalu, sekolah pertama di Rote didirikan. Lalu sekarang, ketika mutu pendidikan kita begitu jeblok, banyak anak-anak yang meninggal karena gizi buruk, apa yang salah, siapa yang harus diminta penjelasan?
Sekarang NTT disebut tertinggal? Tertinggal oleh siapa dan dalam hal apa? Nenek moyang orang NTT tidak dijajah Belanda 350 tahun. Kalau indikator kemiskinan diambil dari Jakarta, Jakarta menjadikan New York sebagai patokan, maka sampai kiamat pun NTT tetap miskin.
Lantas siapa yang sebenarnya menjajah kita? Mungkin terlalu cepat bangsa ini mengusir penjajah Belanda. (bersambung)
Pos Kupang Rabu 23 April 2008 Read More...