Wartawan dan 'jurnalisme noumena'

Kamis, 28 Agustus 2008


Oleh : Tony Kleden

KEKERASAN
terhadap wartawan kembali berulang. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kekerasan itu menimpa wartawan Harian Umum Pos Kupang, Obby Lewanmeru, yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Obby dianiaya oleh empat preman, Minggu, 17 Februari 2008 menjelang fajar.
Sontak saja, berita itu segera menasional dan menjadi buah bibir para jurnalis di Tanah Air. Protes paling keras dan nyaring, sudah tentu, datang dari para pegiat pers, insan pers, wartawan sendiri. Para pihak yang menaruh peduli pada pers juga sama, bereaksi.
Semuanya satu nada dasar : menyesal dan mengutuk. Menyesal karena tindakan itu diperlihatkan justru ketika kebebasan pers di negeri ini mulai mengaroma. Mengutuk karena aksi itu memperlihatkan betapa masih banyak orang yang menyelesaikan soal dengan cara-cara jalanan, tidak beradab dan irasional.
Aksi itu sepatutnya disesali dan dikutuk. Tetapi, pada galibnya aksi kekerasan itu sekaligus juga memperlihatkan betapa jurnalisme investigasi di negeri ini belum ada apa-apanya, masih terpuruk, jauh dari harapan dan belum punya tempat. Sebaliknya jurnalisme yang berkembang dan terus dikembangkan adalah 'jurnalisme fenomena' yang cenderung reaktif terhadap setiap fenomena sosial yang ada, dan belum cukup pada 'jurnalisme noumena', yang berani membongkar apa yang sesungguhnya terjadi dan ada di balik tirai.
Media dan para jurnalis kita (maaf) merasa sudah sangat puas jika mampu membuat para pembaca, pemirsa dan pendengar tertawa bahak-bahak, larut dalam duka nestapa para korban kekerasan. Banyak wartawan sudah bangga jika bisa melapor peristiwa on the spot -- yang belum tentu urgen dan penting untuk diketahui -- dan sanggup membuat pendengar, pemirsa dan pembaca berdecak kagum.
Dalam konteks Indonesia, sangat tangible kalau berita-berita yang dibeberkan masih lebih bersifat permukaan, datar dan belum jauh menukik ke dasar. Sangat jarang pers di negeri ini berhasil mengungkap kasus-kasus besar, membongkar misterinya, mengurai labirin masalahnya, dan mampu mempengaruhi suatu kebijakan penting dan strategis.
Banyak contoh dapat disebut betapa pers di negeri ini belum terlalu berhasil mempengaruhi para pengambil keputusan. Salah contoh yang telah klasik ialah korupsi di negeri ini. Selama tiga dasawarsa di bawah Soeharto, Indonesia morat-marit terbelenggu korupsi. Tetapi kondisi itu lebih sebatas 'katanya', 'konon.' Kasus-kasus KKN lebih sering terdengar, belum tersaji di halaman-halaman koran dan majalah. Kasus-kasus itu belum cukup kuat menarik keberanian dan membakar heroisme pers untuk mentransformasikannya ke dalam bahasa berita.
Memang, harus dipahami bahwa era Soeharto adalah era kegelapan bagi hampir semua piranti demokrasi, termasuk pers. Dijerat oleh regulasi yang mengekang, pers Indonesia terkerangkeng dalam ketakutan.
Alhasil, wartawan Indonesia adalah wartawan omong-omong, wartawan tukang kutip. Berita-berita yang tersaji, sebagai akibatnya, adalah berita omong-omong (talking news). News paper kemudian berubah rupa menjadi view paper, karena lebih banyak menyajikan persepsi, ketimbang memetakan realitas sosial. Seterusnya, fakta yang diberitakan adalah fakta yang telah terkonstruksikan, dan bukan fakta suci sebagaimana sudah terjadi.
In cassu Manggarai Barat, wartawan Pos Kupang, Obby Lewanmeru, coba mengambil jalan lain mengejawantahkan jati dirinya sebagai seorang wartawan sejati, wartawan yang punya kepekaan, yang sensitif terhadap realitas sosial yang ada di balik tirai. Dia coba mengungkap apa yang sudah menjadi agendanya dalam sebulan terakhir, yakni melacak kasus dugaan manipulasi proyek ubi aldira. Obby konsisten pada jalannya, setia pada pilihannya, tegas dalam sikapnya membongkar dugaan kasus itu. Harapannya jelas, semoga saja udang di balik itu bisa keluar.
Jalan, pilihan dan sikap yang diperlihatkan Obby semestinya menjadi proklamasi bagi kebangkitan 'jurnalisme noumena', yakni jurnalisme yang menyajikan fakta dalam dirinya sendiri, dan bukan fakta yang direproduksi atau direkonstruksikan kembali.
Di negeri dengan utang yang menggunung dan korupsi yang menggurita seperti ini, 'jurnalisme noumena' mesti perlu terus dihidupkan dan dikedepankan. Banyak kasus belum terbongkar. Banyak koruptor berwajah santo masih berkeliaran bebas. Pekerjaan 'menyenangkan orang susah dan menyusahkan orang senang' -- meminjam bahasanya wartawan Chicago yang humoris, Finley Peter Dunne -- ini mesti dilakoni setiap orang yang berani mengaku diri wartawan.
Inilah tantangan paling berat bagi panggilan wartawan di negeri ini saat ini. Panggilan wartawan adalah menulis. Setiap hari dia bergulat dengan kata. Kata menjadi persaksiannya. Bagi dia, kata adalah cerminan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kekuatan jika diasalkan dari kehidupan, pikir dan rasa. Seorang wartawan tidak punya apa pun selain kata untuk mengungkapkan isi kerohaniannya.
Kalau kata adalah persaksian seorang wartawan, maka bersama Sutardji Calzoum Bachri, setiap wartawan Indonesia boleh mendendangkan kidung ini, "Kita punya kata-kata, mereka punya tank, panser." *
Pos Kupang, Selasa 4 Maret 2008

Read More...

Memoar (Alm) Uskup Darius Nggawa, SVD

Sabtu, 23 Agustus 2008

Oleh : Tony Kleden

ADALAH seorang tiran yang kuat kuasa. Hanya satu ihwal yang belum dikalahkannya, yaitu memberangus iman warganya.

"Katakan kepada saya, di mana saya dapat menyembunyikan Allah mereka, sehingga mereka tidak sanggup menemukan Dia," demikian tanyanya kepada tiga penasehatnya.

"Sembunyikan Allah mereka di balik bintang yang paling jauh, dan mereka tak akan sanggup menemukan Dia," kata yang satu. Yang kedua membantahnya. "Mereka akan menemukan Dia sekali kelak kalau mereka terbang ke sana," demikian alasannya. "Lebih baik sembunyikan Dia di dasar samudera," usulnya.

Yang ketiga menolaknya. "Ah tidak. Mereka akan menemukan Dia kalau mereka berenang ke sana," kata yang ketiga. "Sembunyikan Dia dalam keseharian orang-orang itu, mereka tak akan menemukan Dia," demikian nasehatnya.

Allah mau disembunyikan? Gilalah mereka yang mencoba menyembunyikan Allah. Tetapi jauh lebih gila semua mereka yang mencoba menyembunyikan diri dari Allah. Juga jauh lebih celaka mereka yang mencoba buta melihat tanda-tanda zaman, tuli mendengar bisikan suara Allah. Wajah Allah, bisikanNya menyata, menyejarah setiap hari, setiap saat dalam setiap fenomena sosial, budaya dan kemasyarakatan.


Tiga puluh tahun (Alm) Mgr. Dr. Darius Wilhelmus Nggawa, SVD berziarah mencari, membaca, mendengar pengejawantahan, pemakluman diri Allah dalam tugas kegembalaannya di Keuskupan Larantuka. Tapak-tapak ziarahnya itu ditulis dalam sebuah buku berjudul Seperti Rajawali, Ziarah Pembebasan Uskup Darius W Nggawa, SVD. Buku kecil yang ditulis oleh Steph Tupeng Witin dan Eman Josef Embu ini berisikan riwayat kegembalaan Uskup Darius di Keuskupan Larantuka dalam rentang 1974 - 2004.

Sebagai seorang yang datang dari kampung Pora, Nggela, Ende, Uskup Darius sangat paham akan kehidupan umatnya di Larantuka yang tidak jauh berbeda dengan umat di kampung halamannya. Dan, dia sadar bahwa wajah umatnya adalah wajah Allah yang imanen, menyejarah dalam sejarah manusia.

Karena itu, ziarah kegembalaannya adalah ziarah mencari domba-dombanya di ladang pekerjaan mereka masing-masing, menemui mereka di rumah tangga mereka masing-masing dan menyapa mereka dengan nama mereka masing-masing. Dia mau merasakan denyut kehidupan umatnya, ingin menyaksikan pergulatan hidupnya di ladang, di sawah, juga di laut. Itu sebabnya dalam surat gembalanya tahun 1992, Uskup Darius menulis, "Kita dipanggil untuk melanjutkan karya Yesus mengusir setan dan roh jahat yang kini berbentuk pertikaian antar suku dan pribadi, dengki, balas dendam, kemiskinan, kelaparan, pemerasan, ketidakadilan, pelanggaran hak-hak, serta penindasan dan sebagainya." (halaman 30 buku ini).

Dalam menunaikan hasrat jiwanya mencari dan menemukan umatnya itu, Uskup Darius sangat sungguh-sungguh. Kesungguhan itu, bahkan bagi kebanyakan orang terkesan keras. Tetapi sejatinya, sikap seperti itu adalah opsi keberpihakannya dan juga keberpihakan gereja terhadap kebenaran. Melalui sikapnya yang seperti itu, Uskup Darius ingin mengatakan bahwa tidak baik kalau pemimpin itu suka mengurung diri dalam domus surea-nya, dalam rumah kencananya. Dia juga mengajak para pemimpin umat jangan pernah ambigu atau suka bersikap netral terhadap setiap soal yang dihadapi umatnya. Gereja mesti berpihak, bukan netral. Berpihak ke mana? Berpihak kepada kebenaran dengan melawan ketidakbenaran dan segala praktek kezaliman.

Pemimpin (umat) yang berpihak mengandaikan juga sikap toleran dan tidak imun terhadap kritikan. Pemimpin jangan suka memonopoli kebenaran, atau jangan pernah juga memposisikan diri sebagai penafsir tunggal atas kebenaran. "Kalau umat menyampaikan kritik, itu pasti ada alasannya. Kritik itu bisa, mengapa tidak? Saya biasanya diam dan dengar kalau umat menyampaikan kritik," kata Uskup Darius (halaman 26).

Dalam memimpin, Uskup Darius sangat terkenal karena konsisten dengan sikap dan pendiriannya yang teguh. Konsistensi sikap dan pendirian yang teguh adalah warisan ayahnya, Herman Yoseph Radja, seorang tokoh masyarakat yang punya pengaruh besar di kampungnya. Bersama saudara-saudarinya, Uskup Darius dididik secara keras oleh ayahnya. Bahkan ketika hendak masuk ke sekolah di Ndona, ayahnya mengultimatumnya. "Kalau kau tidak lulus ujian, kau saya ikat dan taruh di tempat yang banyak semutnya," demikian Uskup Darius mengulang kata-kata ayahnya (halaman 58).

Sikap dan pendirian seperti itu nyaris mewarnai seluruh masa kegembalaannya di Larantuka. Dalam banyak soal, Uskup Darius sangat teguh pada sikapnya. Sikap seperti itu sekaligus juga menunjukkan kuatnya kepemimpinan dan kiblat keberpihakannya yang jelas. "Kepemimpinan beliau kuat, jelas, dan karena itu kurang lebih ada kepastian. Beliau terbuka mendengar, tetapi satu hal haram, ialah didikte," kata Romo Frans Amanue, Pr (halaman 92-93).

Keberpihakan itu menyata dalam beberapa contoh. Pertama, tahun 1975, Uskup Darius memrotes Pemerintah Kabupaten Flotim yang dengan paksaan memindahkan orang-orang Ongabaran ke pemukiman baru di Bugalima, Adonara Barat. Kedua, menggugat biaya pencatatan sipil perkawinan yang dinilai memeras rakyat pada tahun 1976. Ketiga, pada tahun 1991, Uskup Darius menolak SK Gubernur sehubungan dengan mutasi kepala sekolah yang diperbantukan pada Yapersuktim (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur).

Di saat-saat akhir masa jabatannya, Uskup Darius tetap menunjukkan keberpihakan dan konsistensi sikapnya. Sebagai pemimpin gereja dan gembala umat, pastilah Uskup Darius sadar bahwa gereja harus memihak dan tidak bisa lagi menutup mata terhadap realitas sosial yang dihadapi umatnya. Melalui sikapnya itu, Uskup Darius hendak memercik api kesadaran bahwa wajah gereja mesti lebih dari sekadar gereja kultis, gereja upacara, gereja ritual-devosi yang cuma berpusat pada diri sendiri. "Kita harus memihak: memihak kebenaran dalam kasih, memihak kaum lemah yang terus menerus dikalahkan, memihak mereka yang dibungkamkan dan yang dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Pada era ketidakpastian ini, gereja perlu tampil secara meyakinkan sebagai benteng kebenaran, keadilan, cinta dan kebebasan," katanya. (halamana 11).

Buku tipis 207 halaman yang diterbitkan Penerbit Ledalero, 2008 ini memang berisikan riwayat perjalanan seorang gembala umat. Tetapi, lepas dari itu, isi buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana seorang pemimpin umat, juga pemimpin pada umumnya, mesti berdiri di tengah umatnya.

Sudah empat abad gereja, baik Katolik maupun Protestan, menanamkan pengaruhnya di daerah ini. Tetapi, umat di wilayah ini masih tetap terkungkung dalam belenggu ketidakadilan, terjerat kemiskinan, ketertinggalan dan terpinggirkan. Kebijakan publik sudah begitu banyak ditelurkan, tetapi nasib warga dan umat belum banyak berubah. Apa yang salah?

David Hollenbach mengusulkan tiga prinsip kebijakan publik yang bisa membantu. Pertama, kebutuhan orang-orang miskin mendapat prioritas lebih tinggi ketimbang keinginan-keinginan mereka yang kaya. Kedua, pembebasan orang-orang yang didominasi mendapat prioritas lebih daripada kebebasan orang yang kuat kuasa. Ketiga, partisipasi kelompok minoritas mendapat prioritas daripada pelanggengan suatu orde yang mengabaikan mereka.

Herman Yoseph Radja dan Maria Rae memberi nama 'Nggawa' kepada anak mereka yang menjadi gembala umat di Larantuka. Dalam bahasa Lio, 'nggawa' berarti terbang melayang di ketinggian seperti burung rajawali. Selama 79 tahun Uskup Darius terbang tinggi seperti rajawali, sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan merebahkan diri dalam pangkuan bumi. *
Pos Kupang, Minggu 24 Agustus 2008
Read More...

Minta Addendum, Ekspresi Monopoli

APA pelajaran yang dapat kita petik dan makna yang dapat kita tarik dari kasus terbengkalainya 20 paket proyek di Kabupaten Kupang? Seperti warta harian ini beberapa hari terakhir, ke-20 paket proyek itu belum apa-apa dikerjakan. Ada yang baru 10 persen, yang lain baru tiang pancang.

Padahal, seluruh paket proyek itu adalah proyek tahun anggaran 2007. Menurut jadwal, mestinya dalam bulan September nanti, masa kerja seluruh proyek yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya itu selesai.

Sudah barang tentu PT Adhi Karya akan bertanggung jawab penuh menuntaskan proyek itu. Kita memaklumi itu. Tetapi ada satu hal yang ingin kita soroti di ruangan ini. Yakni bahwa terbengkalainya proyek bernilai di atas Rp 100 miliar itu terjadi akibat apa yang disebut sebagai monopoli. Sudah lama dan sudah diterima sebagai sah-sah saja PT Adhi Karya sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menangani proyek-proyek pembangunan dengan nilai di atas Rp 1 miliar.

Di NTT, di semua kabupaten proyek dengan nilai di atas Rp 1 miliar pasti dikerjakan PT Adhi Karya. Sudah lama 'konsensus' seperti ini berjalan. Tidak banyak ribu-ribut. Pengusaha lokal sudah terlampau paham akan konsensus ini. Tetapi karena hanya, sekali lagi hanya, PT Adhi Karya yang mengerjakan proyek itu, maka terjadilah monopoli.

Terminologi monopoli selalu bermakna exclusive possession (kepemilikan eksklusif). Dalam konteks ekonomi-pasar, monopoli sering didefinisikan sebagai an exclusive right to have or do something (hak untuk memiliki atau melakukan sesuatu).

Dengan konsep pemahaman seperti itu, kita mengerti betapa kuat dan berkuasanya perusahaan-perusahaan yang diberi hak istimewa untuk menangani suatu proyek. Kalau hasil dari pengerjaan itu baik dan positif, itu kita syukuri. Sebaliknya, jika hasilnya mengecewakan kita hanya bisa gigit jari.

Dan, dalam banyak pengalaman, monopoli lebih banyak berakibat buruk, membawa hasil yang mengecewakan. Lihat saja, perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli suatu usaha selalu berorientasi kepada keuntungan perusahaan dan cenderung mengabaikan kepentingan lebih banyak orang.


Dalam kasus 20 proyek di Kabupaten Kupang, kita dengan pikiran jernih, hati yang tulus mesti menyatakan kekecewaan kita terhadap PT Adhi Karya. Di Kabupaten Kupang, pernah suatu waktu para kontraktor lokal meributkan monopolinya PT Adhi Karya mengerjakan proyek-proyek besar di kabupaten itu. Akibat monopoli itu, kontraktor lokal tidak banyak mendapat paket proyek. Kita sedih dengan kondisi seperti ini.

Karena itu, rencana PT Adhi Karya meminta addendum (tambahan waktu pengerjaan) layak kita persoalkan. Permintaan addendum itu sangat kuat mengesankan betapa berkuasanya PT Adhi Karya terhadap pemilik proyek. Apa-apa, minta keringanan. Tenggat waktu lewat, minta addendum. Kalau seperti ini, kontraktor lokal di NTT juga bisa menangani urusan proyek dengan nilai besar.
Pemkab Kupang sebagai pemilik proyek mesti meminta pertanggungjawaban PT Adhi Karya atas kinerjanya sehingga ke-20 paket proyek itu belum ada apa-apanya. Pertanggungjawaban itu perlu agar PT Adhi Karya juga 'tahu diri', bahwa proyek bernilai ratusan miliar itu adalah proyek untuk rakyat satu kabupaten.

'Tahu diri' juga perlu agar PT Adhi Karya bisa mengerti bahwa kepercayaan yang diberikan secara istimewa mengerjakan proyek-proyek berskala besar di suatu daerah seyogyanya diimbangi dengan kinerja yang setimpal, dengan mutu proyek yang juga layak.

Pemkab Kupang mesti juga mengambil hikmah dari kasus ini. Bahwa kontraktor yang memonopoli proyek-proyek tidak selamanya dapat diandalkan. 'Kemenangan' PT Adhi Karya mengerjakan paket proyek di Kabupaten Kupang adalah contoh soal yang harus menjadi pelajaran berharga betapa monopoli telah menjadi biang penyebab terbengkalainya seluruh proyek.

Maka sekarang yang dibutuhkan dari pemilik proyek adalah keberanian melawan dogma, melawan praktek monopoli. Kita paham bahwa merujuk pada aturan, hanya perusahaan dengan kualifikasi A yang diberi 'hak istimewa' mengerjakan proyek dengan nilai besar. Tetapi ketika exclusive right itu membawa akibat buruk, maka pemilik proyek juga perlu punya nyali menolak dan menyatakan tidak terhadap perusahaan-perusahaan yang kinerjanya setengah-setengah. *

Salam Pos Kupang edisi Sabtu 23 Agustus 2008 halaman 14
Read More...

50 Tahun NTT: Bersama Bangkit Menyongsong Asa


Oleh : Tony Kleden

TANGGAL 20 Desember 1958, AS Pello yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara meresmikan berdirinya Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Kupang ketika itu ditetapkan menjadi ibu kotanya.

Sebelumnya, wilayah Nusa Tenggara Timur (sekarang) yang meliputi Flores, Timor, Sumba dan pulau-pulau yang mengitarinya bergabung dalam Provinsi Sunda Kecil, yang kemudian berubah namanya menjadi Provinsi Nusa Tenggara. Berdasarkan UU No. 64/1958, Provinsi Nusa Tenggara terbagi dalam tiga daerah swatantra, yakni Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah kemudian menggantikan istilah daerah swatantra I menjadi provinsi, dan daerah swatantra II menjadi kabupaten. Meski begitu, peristiwa peresmian Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Timur oleh AS Pello pada tanggal 20 Desember 1958 dijadikan dan diterima sebagai hari lahir Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bersamaan dengan peresmian itu, diangkat William Johanis Lalamentik menjadi PJS Gubernur NTT. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1959, WJ Lalamentik dilantik menjadi gubernur pertama. Layar terkembang. Biduk NTT pun bergerak menantang badai, menyongsong hari esok.

Gubernur berganti rupa. Ditambah dengan Wang Suwandhi, S.H yang menjadi penjabat gubernur dua bulan lebih, maka sekarang NTT sudah dikendalikan delapan pengemudi. Masing-masing gubernur muncul dengan program, rencana dan targetnya.

Wajah NTT juga perlahan berubah. 'Ruang' NTT makin padat oleh bangunan dan jiwa-jiwa manusia yang menghuninya. Ruas jalan raya bertambah panjang, makin jauh meretas isolasi, menembus dusun dan desa. Laut makin ramai oleh kapal motor dan perahu nelayan. Udara tambah bising oleh deru pesawat terbang.
Usianya pun bertambah. Tahun ini, NTT 50 tahun usianya. Para pelaku sejarah yang membidani kelahirannya banyak yang sudah kembali ke haribaan bumi. Kita kenang jasa mereka. Yang masih hidup kian uzur. Kita hormati pengabdian mereka.

Tetapi gubernur yang berganti, wajah yang berubah dan usia yang bertambah, apakah itu telah membawa banyak kemaslahatan bagi 4,2 juta warga propinsi ini saat ini? Apakah wajah yang telah banyak berubah itu, berubah ke arah yang baik, mulus? Atau justru sebaliknya menjadi bopeng?

Apakah usia yang bertambah, di usia emas lagi, turut menjadikan kita lebih dewasa dalam tingkah pola dan atau perilaku kita? Atau justru sebaliknya semakin membuat kita tambah childish dan kemudian mengurung kita dalam sungkup kekerdilan agama, suku, etnis?

Apakah gubernur yang sudah delapan kali berganti itu merupakan top leaders yang satu spirit mengatur haluan menuju cita-cita? Ataukah sebaliknya masing- masingnya datang dan lebih ingin unjuk diri, pamerkan kebolehan dan asyik dengan diri sendiri, dengan suku sendiri, dengan kelompok sendiri?

Tahun ini, biduk NTT merengkuh usia emasnya. Bagaimana pun delapan gubernur yang tampil adalah anak kandung zamannya. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Serba kesulitan karena masih baru ketika itu di tangan Lalamentik menjadi mudah. Mottonya yang sangat terkenal adalah "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan."

El Tari tampil memompa semangat warga menyatakan jatidirinya sebagai warga di suatu propinsi dengan pertanian lahan kering menjadi ciri dominan. Pada masanya, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur digalakkan. Kita tahu, El Tari-lah yang mengajak warga bergotong royong membangun lapangan terbang di masing- masing kabupaten. Bukan berlebihan kalau El Tari yang kita kenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam" itu adalah Bapak Pembangunan NTT.

Pada tanggal 1 Juli 1978 Ben Mboi dilantik menjadi gubernur setelah kendali NTT dipegang sementara waktu oleh Wang Suwandhi selama dua setengah bulan menyusul wafatnya Gubernur El Tari. Jiwa militer dalam dadanya menjadikan Ben Mboi sosok gubernur yang sangat disegani. Pada masanya para staf pemerintah siaga penuh. Ben Mboi terkenal dengan program operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM).

Ben Mboi turun, Hendrik Fernandez naik panggung. Sama seperti Ben Mboi yang juga berlatar pendidikan dokter, Fernandez tajam dalam analisa. Bak ahli bedah, Fernandez membedah aneka masalah di NTT dan mencari akarnya. Program Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) adalah jawaban atas aneka masalah NTT ketika itu.

Lima tahun memimpin, tahun 1993 Hendrik Fernandez digantikan Herman Musakabe. Meski seorang tentara aktif dengan pangkat Mayor Jenderal, penampilan Musakabe jauh dari sosok seorang tentara yang sering identik dengan yang 'keras-keras.' Musakabe berhati lembut, tutur katanya juga pelan dan halus. Karena sosoknya yang seperti itu, Musakabe dijuluki bapak yang baik hati. Bapak yang baik itu mengusung Tujuh Program Strategis Membangun NTT.

Latar belakangnya sebagai Komandan Sekoad agaknya menjadi alasan mengapa Musakabe merumuskan programnya yang lebih bersifat strategis itu. Pada masa Musakabe, orang NTT mulai kenal nikah massal. Musakabe jugalah yang memassalkan kain tenun ikat NTT hingga menjadi begitu prospektif seperti
sekarang ini.

Menduduki jabatan satu periode, Musakabe turun tahun 1998 dan digantikan Piet Alexander Tallo. Pengalamannya 10 tahun menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) menjadikan sosok Tallo sebagai figur yang dinanti-nantikan. Sayang, Tallo memegang kendali ketika reformasi berhembus di negeri ini yang membawa dampak yang jauh ke hampir semua sendi kehidupan. Bencana demi bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, datang silih berganti. Praktis, gaung program Tiga Batu Tungku (periode pertama) dan Tiga Pilar Pembangunan (periode kedua) melemah. Karena itu, banyak yang bilang Tallo menjadi gubernur pada waktu yang salah.

Tallo turun, Frans Lebu Raya naik pentas. Lebu Raya menjadi gubernur pertama melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Baru sebulan lalu Lebu Raya dilantik. Tetapi harapan di atas pundaknya begitu besar. Anggur Merah (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) menunggu pembuktian.

Masing-masing gubernur merancang programnya merujuk pada konteks historis pada masanya. Program-program yang dipatok, karena itu, mengartikulasikan jawaban terhadap aneka soal sekaligus harapan mendulang sukses.

Sudah 50 tahun NTT menjejak langkah, meniti riwayat perjalanannya. Inilah momentum penting untuk mengaca diri, melihat kembali tapak-tapak sejarahnya. Banyak sukses telah dituai. Gilang gemilang pembangunan nyata terlihat. Sejumlah prestasi juga terukir.


Di sisi lain, masih banyak target yang belum tercapai. Dalam banyak indikator pembangunan, kita masih jauh di belakang. Ekonomi kita mati suri. Pendidikan jeblok. Kesehatan terpuruk. Pemerintahan goyah.

Yang tersisa pada kita mungkin cuma harga diri. Tetapi harga diri itu sekaligus menjadi investasi paling penting untuk bangkit dan menyatakan keberadaan kita sebagai orang NTT. Saatnya kita bangkit. Mari, bersama kita bangkit. *

Pos Kupang edisi Sabtu 23 Agustus 2008 halaman 1
Read More...