Memoar (Alm) Uskup Darius Nggawa, SVD

Sabtu, 23 Agustus 2008

Oleh : Tony Kleden

ADALAH seorang tiran yang kuat kuasa. Hanya satu ihwal yang belum dikalahkannya, yaitu memberangus iman warganya.

"Katakan kepada saya, di mana saya dapat menyembunyikan Allah mereka, sehingga mereka tidak sanggup menemukan Dia," demikian tanyanya kepada tiga penasehatnya.

"Sembunyikan Allah mereka di balik bintang yang paling jauh, dan mereka tak akan sanggup menemukan Dia," kata yang satu. Yang kedua membantahnya. "Mereka akan menemukan Dia sekali kelak kalau mereka terbang ke sana," demikian alasannya. "Lebih baik sembunyikan Dia di dasar samudera," usulnya.

Yang ketiga menolaknya. "Ah tidak. Mereka akan menemukan Dia kalau mereka berenang ke sana," kata yang ketiga. "Sembunyikan Dia dalam keseharian orang-orang itu, mereka tak akan menemukan Dia," demikian nasehatnya.

Allah mau disembunyikan? Gilalah mereka yang mencoba menyembunyikan Allah. Tetapi jauh lebih gila semua mereka yang mencoba menyembunyikan diri dari Allah. Juga jauh lebih celaka mereka yang mencoba buta melihat tanda-tanda zaman, tuli mendengar bisikan suara Allah. Wajah Allah, bisikanNya menyata, menyejarah setiap hari, setiap saat dalam setiap fenomena sosial, budaya dan kemasyarakatan.


Tiga puluh tahun (Alm) Mgr. Dr. Darius Wilhelmus Nggawa, SVD berziarah mencari, membaca, mendengar pengejawantahan, pemakluman diri Allah dalam tugas kegembalaannya di Keuskupan Larantuka. Tapak-tapak ziarahnya itu ditulis dalam sebuah buku berjudul Seperti Rajawali, Ziarah Pembebasan Uskup Darius W Nggawa, SVD. Buku kecil yang ditulis oleh Steph Tupeng Witin dan Eman Josef Embu ini berisikan riwayat kegembalaan Uskup Darius di Keuskupan Larantuka dalam rentang 1974 - 2004.

Sebagai seorang yang datang dari kampung Pora, Nggela, Ende, Uskup Darius sangat paham akan kehidupan umatnya di Larantuka yang tidak jauh berbeda dengan umat di kampung halamannya. Dan, dia sadar bahwa wajah umatnya adalah wajah Allah yang imanen, menyejarah dalam sejarah manusia.

Karena itu, ziarah kegembalaannya adalah ziarah mencari domba-dombanya di ladang pekerjaan mereka masing-masing, menemui mereka di rumah tangga mereka masing-masing dan menyapa mereka dengan nama mereka masing-masing. Dia mau merasakan denyut kehidupan umatnya, ingin menyaksikan pergulatan hidupnya di ladang, di sawah, juga di laut. Itu sebabnya dalam surat gembalanya tahun 1992, Uskup Darius menulis, "Kita dipanggil untuk melanjutkan karya Yesus mengusir setan dan roh jahat yang kini berbentuk pertikaian antar suku dan pribadi, dengki, balas dendam, kemiskinan, kelaparan, pemerasan, ketidakadilan, pelanggaran hak-hak, serta penindasan dan sebagainya." (halaman 30 buku ini).

Dalam menunaikan hasrat jiwanya mencari dan menemukan umatnya itu, Uskup Darius sangat sungguh-sungguh. Kesungguhan itu, bahkan bagi kebanyakan orang terkesan keras. Tetapi sejatinya, sikap seperti itu adalah opsi keberpihakannya dan juga keberpihakan gereja terhadap kebenaran. Melalui sikapnya yang seperti itu, Uskup Darius ingin mengatakan bahwa tidak baik kalau pemimpin itu suka mengurung diri dalam domus surea-nya, dalam rumah kencananya. Dia juga mengajak para pemimpin umat jangan pernah ambigu atau suka bersikap netral terhadap setiap soal yang dihadapi umatnya. Gereja mesti berpihak, bukan netral. Berpihak ke mana? Berpihak kepada kebenaran dengan melawan ketidakbenaran dan segala praktek kezaliman.

Pemimpin (umat) yang berpihak mengandaikan juga sikap toleran dan tidak imun terhadap kritikan. Pemimpin jangan suka memonopoli kebenaran, atau jangan pernah juga memposisikan diri sebagai penafsir tunggal atas kebenaran. "Kalau umat menyampaikan kritik, itu pasti ada alasannya. Kritik itu bisa, mengapa tidak? Saya biasanya diam dan dengar kalau umat menyampaikan kritik," kata Uskup Darius (halaman 26).

Dalam memimpin, Uskup Darius sangat terkenal karena konsisten dengan sikap dan pendiriannya yang teguh. Konsistensi sikap dan pendirian yang teguh adalah warisan ayahnya, Herman Yoseph Radja, seorang tokoh masyarakat yang punya pengaruh besar di kampungnya. Bersama saudara-saudarinya, Uskup Darius dididik secara keras oleh ayahnya. Bahkan ketika hendak masuk ke sekolah di Ndona, ayahnya mengultimatumnya. "Kalau kau tidak lulus ujian, kau saya ikat dan taruh di tempat yang banyak semutnya," demikian Uskup Darius mengulang kata-kata ayahnya (halaman 58).

Sikap dan pendirian seperti itu nyaris mewarnai seluruh masa kegembalaannya di Larantuka. Dalam banyak soal, Uskup Darius sangat teguh pada sikapnya. Sikap seperti itu sekaligus juga menunjukkan kuatnya kepemimpinan dan kiblat keberpihakannya yang jelas. "Kepemimpinan beliau kuat, jelas, dan karena itu kurang lebih ada kepastian. Beliau terbuka mendengar, tetapi satu hal haram, ialah didikte," kata Romo Frans Amanue, Pr (halaman 92-93).

Keberpihakan itu menyata dalam beberapa contoh. Pertama, tahun 1975, Uskup Darius memrotes Pemerintah Kabupaten Flotim yang dengan paksaan memindahkan orang-orang Ongabaran ke pemukiman baru di Bugalima, Adonara Barat. Kedua, menggugat biaya pencatatan sipil perkawinan yang dinilai memeras rakyat pada tahun 1976. Ketiga, pada tahun 1991, Uskup Darius menolak SK Gubernur sehubungan dengan mutasi kepala sekolah yang diperbantukan pada Yapersuktim (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur).

Di saat-saat akhir masa jabatannya, Uskup Darius tetap menunjukkan keberpihakan dan konsistensi sikapnya. Sebagai pemimpin gereja dan gembala umat, pastilah Uskup Darius sadar bahwa gereja harus memihak dan tidak bisa lagi menutup mata terhadap realitas sosial yang dihadapi umatnya. Melalui sikapnya itu, Uskup Darius hendak memercik api kesadaran bahwa wajah gereja mesti lebih dari sekadar gereja kultis, gereja upacara, gereja ritual-devosi yang cuma berpusat pada diri sendiri. "Kita harus memihak: memihak kebenaran dalam kasih, memihak kaum lemah yang terus menerus dikalahkan, memihak mereka yang dibungkamkan dan yang dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Pada era ketidakpastian ini, gereja perlu tampil secara meyakinkan sebagai benteng kebenaran, keadilan, cinta dan kebebasan," katanya. (halamana 11).

Buku tipis 207 halaman yang diterbitkan Penerbit Ledalero, 2008 ini memang berisikan riwayat perjalanan seorang gembala umat. Tetapi, lepas dari itu, isi buku ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana seorang pemimpin umat, juga pemimpin pada umumnya, mesti berdiri di tengah umatnya.

Sudah empat abad gereja, baik Katolik maupun Protestan, menanamkan pengaruhnya di daerah ini. Tetapi, umat di wilayah ini masih tetap terkungkung dalam belenggu ketidakadilan, terjerat kemiskinan, ketertinggalan dan terpinggirkan. Kebijakan publik sudah begitu banyak ditelurkan, tetapi nasib warga dan umat belum banyak berubah. Apa yang salah?

David Hollenbach mengusulkan tiga prinsip kebijakan publik yang bisa membantu. Pertama, kebutuhan orang-orang miskin mendapat prioritas lebih tinggi ketimbang keinginan-keinginan mereka yang kaya. Kedua, pembebasan orang-orang yang didominasi mendapat prioritas lebih daripada kebebasan orang yang kuat kuasa. Ketiga, partisipasi kelompok minoritas mendapat prioritas daripada pelanggengan suatu orde yang mengabaikan mereka.

Herman Yoseph Radja dan Maria Rae memberi nama 'Nggawa' kepada anak mereka yang menjadi gembala umat di Larantuka. Dalam bahasa Lio, 'nggawa' berarti terbang melayang di ketinggian seperti burung rajawali. Selama 79 tahun Uskup Darius terbang tinggi seperti rajawali, sebelum akhirnya jatuh ke tanah dan merebahkan diri dalam pangkuan bumi. *
Pos Kupang, Minggu 24 Agustus 2008

0 komentar:

Posting Komentar