Minta Addendum, Ekspresi Monopoli

Sabtu, 23 Agustus 2008

APA pelajaran yang dapat kita petik dan makna yang dapat kita tarik dari kasus terbengkalainya 20 paket proyek di Kabupaten Kupang? Seperti warta harian ini beberapa hari terakhir, ke-20 paket proyek itu belum apa-apa dikerjakan. Ada yang baru 10 persen, yang lain baru tiang pancang.

Padahal, seluruh paket proyek itu adalah proyek tahun anggaran 2007. Menurut jadwal, mestinya dalam bulan September nanti, masa kerja seluruh proyek yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya itu selesai.

Sudah barang tentu PT Adhi Karya akan bertanggung jawab penuh menuntaskan proyek itu. Kita memaklumi itu. Tetapi ada satu hal yang ingin kita soroti di ruangan ini. Yakni bahwa terbengkalainya proyek bernilai di atas Rp 100 miliar itu terjadi akibat apa yang disebut sebagai monopoli. Sudah lama dan sudah diterima sebagai sah-sah saja PT Adhi Karya sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menangani proyek-proyek pembangunan dengan nilai di atas Rp 1 miliar.

Di NTT, di semua kabupaten proyek dengan nilai di atas Rp 1 miliar pasti dikerjakan PT Adhi Karya. Sudah lama 'konsensus' seperti ini berjalan. Tidak banyak ribu-ribut. Pengusaha lokal sudah terlampau paham akan konsensus ini. Tetapi karena hanya, sekali lagi hanya, PT Adhi Karya yang mengerjakan proyek itu, maka terjadilah monopoli.

Terminologi monopoli selalu bermakna exclusive possession (kepemilikan eksklusif). Dalam konteks ekonomi-pasar, monopoli sering didefinisikan sebagai an exclusive right to have or do something (hak untuk memiliki atau melakukan sesuatu).

Dengan konsep pemahaman seperti itu, kita mengerti betapa kuat dan berkuasanya perusahaan-perusahaan yang diberi hak istimewa untuk menangani suatu proyek. Kalau hasil dari pengerjaan itu baik dan positif, itu kita syukuri. Sebaliknya, jika hasilnya mengecewakan kita hanya bisa gigit jari.

Dan, dalam banyak pengalaman, monopoli lebih banyak berakibat buruk, membawa hasil yang mengecewakan. Lihat saja, perusahaan-perusahaan besar yang memonopoli suatu usaha selalu berorientasi kepada keuntungan perusahaan dan cenderung mengabaikan kepentingan lebih banyak orang.


Dalam kasus 20 proyek di Kabupaten Kupang, kita dengan pikiran jernih, hati yang tulus mesti menyatakan kekecewaan kita terhadap PT Adhi Karya. Di Kabupaten Kupang, pernah suatu waktu para kontraktor lokal meributkan monopolinya PT Adhi Karya mengerjakan proyek-proyek besar di kabupaten itu. Akibat monopoli itu, kontraktor lokal tidak banyak mendapat paket proyek. Kita sedih dengan kondisi seperti ini.

Karena itu, rencana PT Adhi Karya meminta addendum (tambahan waktu pengerjaan) layak kita persoalkan. Permintaan addendum itu sangat kuat mengesankan betapa berkuasanya PT Adhi Karya terhadap pemilik proyek. Apa-apa, minta keringanan. Tenggat waktu lewat, minta addendum. Kalau seperti ini, kontraktor lokal di NTT juga bisa menangani urusan proyek dengan nilai besar.
Pemkab Kupang sebagai pemilik proyek mesti meminta pertanggungjawaban PT Adhi Karya atas kinerjanya sehingga ke-20 paket proyek itu belum ada apa-apanya. Pertanggungjawaban itu perlu agar PT Adhi Karya juga 'tahu diri', bahwa proyek bernilai ratusan miliar itu adalah proyek untuk rakyat satu kabupaten.

'Tahu diri' juga perlu agar PT Adhi Karya bisa mengerti bahwa kepercayaan yang diberikan secara istimewa mengerjakan proyek-proyek berskala besar di suatu daerah seyogyanya diimbangi dengan kinerja yang setimpal, dengan mutu proyek yang juga layak.

Pemkab Kupang mesti juga mengambil hikmah dari kasus ini. Bahwa kontraktor yang memonopoli proyek-proyek tidak selamanya dapat diandalkan. 'Kemenangan' PT Adhi Karya mengerjakan paket proyek di Kabupaten Kupang adalah contoh soal yang harus menjadi pelajaran berharga betapa monopoli telah menjadi biang penyebab terbengkalainya seluruh proyek.

Maka sekarang yang dibutuhkan dari pemilik proyek adalah keberanian melawan dogma, melawan praktek monopoli. Kita paham bahwa merujuk pada aturan, hanya perusahaan dengan kualifikasi A yang diberi 'hak istimewa' mengerjakan proyek dengan nilai besar. Tetapi ketika exclusive right itu membawa akibat buruk, maka pemilik proyek juga perlu punya nyali menolak dan menyatakan tidak terhadap perusahaan-perusahaan yang kinerjanya setengah-setengah. *

Salam Pos Kupang edisi Sabtu 23 Agustus 2008 halaman 14

0 komentar:

Posting Komentar