Politik dan Janji

Sabtu, 04 Oktober 2008


Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD



Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores


POLITIK dan janji, dua hal yang berkaitan erat. Tanggapan dan pemahaman orang atas relasi keduanya ternyata sangat tergantung pada situasi dan kepentingan politis. Hal ini menjadi nyata secara khusus ketika kita sedang berhadapan dengan momentum pemilihan umum, entah legislatif ataupun eksekutif. Banyak paket calon gubernur dan wakil gubernur yang menjual janji di mana-mana dan pada berbagai kesempatan. Para caleg yang namanya sudah terdaftar pada daftar calon sementara mulai masuk keluar rumah dan kampung untuk memperkenalkan diri sembari memberi janji. Janjinya bisa macam-macam, mulai dari kemudahan bagi seseorang untuk lulus dalam tes PNS sampai membangun jalan dan memasang jaringan air. Ada yang berjanji memperjuangkan pemekaran wilayah atau menyediakan pendidikan gratis.

Namun ada pula calon bupati dan wakil bupati yang tampil pada kesempatan kampanye dengan pernyataan: "Kami tidak membuat janji." Pernyataan seperti ini memang terdengar tampan untuk menangkal pendapat, bahwa para politisi rajin mengobral janji. Ungkapan ini dipandang perlu di tengah satu situasi, tatkala tidak sedikit orang menulis dan mengangkat suara mengingatkan para warga untuk tidak memilih politisi yang membuat janji. Para politisi dinilai sebagai pembuat janji yang tidak patut dipercaya. Janji politik identik dengan kebohongan. Maka, untuk meyakinkan para pemilih akan kejujuran sebagai satu bukti keluhuran akhlaknya, sang politisi memilih untuk tidak menjanjikan apa-apa. Benarkah demikian?


Kalau kita memperhatikan apa yang dikatakan para politisi di atas, sesungguhnya pernyataan mereka adalah serangkaian janji. Pernyataan 'tidak membuat janji', adalah rumusan lain dari sebuah janji bahwa orang akan bekerja secara sungguh-sungguh. Kalimat yang menyusul, entah secara implisit atau eksplisit setelah pernyaatan: "Kami tidak membuat janji", adalah: "Kami adalah pekerja keras dan akan terus bekerja keras. Kami tidak akan mengecewakan rakyat." "Kami tidak membuat janji" identis dengan pernyataan: "Kami tidak akan mengingkari janji." Acuannya? Pada para pemimpin politis lain yang dipandang telah mengecewakan rakyat dengan mengkhianati janjinya sendiri. "Mereka itu suka mengingkari janji dan telah membuat kamu kecewa. Kami tidak seperti mereka. Mereka tidak bisa dipercaya. Maka pilihlah kami." Jelas, ini adalah sebuah janji.

Pada hakikatnya, politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Politik tanpa janji akan terperosok menjadi sebuah pragmatisme, yang tidak memiliki pandangan jauh dan hanya berkutat dengan apa yang ada di depan batang hidung. Pragmatisme membenarkan sebuah praktik politik tanpa moral.

Bukan hanya itu. Politik tanpa janji sebenarnya tidak patut disebut sebagai politik. Ada beberapa alasan untuk menggarisbawahi hal di atas. Pertama, tanpa janji tidak akan ada visi. Tanpa visi orang tidak memiliki arah dalam berlangkah. Visi adalah janji yang disampaikan seorang calon pemimpin kepada para warga berkaitan dengan kondisi ideal yang menjadi sasaran akhir kepemimpinannya. Apa hakikat sebuah visi, kalau bukan sebuah janji? Dengan menyampaikan visi, seorang calon pemimpin menunjukkan sasaran yang hendak dicapai apabila orang memilih dirinya. Politik dibutuhkan karena orang menghendaki perubahan. Dan perubahan tanpa visi dan janji adalah sebuah perjalanan dalam kebutaan dan kekelaman.

Kedua, tanpa membuat janji, seorang pemimpin tidak akan dapat dinilai secara pribadi. Setiap penilaian membutuhkan rujukan. Ke mana rujukan harus dicari dalam sebuah penilaian pribadi kalau bukan pada janji sang pemimpin sendiri? Tanpa janji seorang pemimpin akan menjadi sewenang-wenang, karena dia tidak dapat diikat pada satu norma. Kalau demikian, janji adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Seorang diktatur memang tidak perlu berjanji kepada siapa pun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga. Karena alasan ini, maka di dalam sebuah demokrasi, sumpah jabatan disebut juga sebagai janji.

Memperhatikan pertimbangan di atas, maka janji politik adalah hal yang niscaya dalam sebuah demokrasi. Malah dapat dikatakan, seorang pemimpin tanpa janji sama buruknya dengan seorang pemimpin yang kemudian mengingkari janji. Kekecewaan karena pengingkaran janji dapat membuat orang meragukan demokrasi sebagai mekanisme yang tepat bagi pemilihan pemimpin. Dan tanpa janji, proses demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah dimulai, dan jika tidak pernah dimulai, maka proses tidak ada pula tidak pernah dapat dikoreksi. Ingkar janji membuat orang kecewa dengan demokrasi, tanpa janji orang membawa demokrasi ke jurang otoritarianisme.

Jika memang janji adalah bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses politik yang demokratis, maka yang menjadi pertanyaan adalah janji manakah itu? Pertanyaan ini penting, sebab ternyata tidak semua janji politik membawa kemajuan bagi demokrasi. Soalnya bukan ada atau tidaknya janji, melainkan kualitas janji.

Hemat saya, ada beberapa kriteria yang dapat disebutkan berkaitan kadar demokratis dari sebuah janji politik. Pertama, keberakaran dalam realitas. Janji politik sejatinya bertolak dari pengenalan dan penguasaan yang baik akan situasi sekarang. Janji adalah sebuah cita-cita ideal, namun yang ideal tidak haruslah menjadi lawan dari yang real. Semakin intensif seseorang mengenal dan menguasai situasi masyarakat yang real, maka semakin meyakinkan pula janji yang disampaikannya. Janji politik yang tidak bertolak dari realitas akan terdengar sebagai mimpi murahan, dan mimpi murahan tidak memiliki daya transformatif.

Relasi dengan realitas sekarang merupakan satu keniscayaan dalam janji politik, sebab politik tidak berurusan dengan apa yang turun dari langit ke bumi, melainkan bergumul dengan masalah bagaimana menumbuhkan bumi menuju langit. Visi yang dilukiskan di dalam sebuah janji politik merupakan sebuah proyeksi, yakni apa yang dilemparkan dari sini ke masa depan. Hal ini berbeda dari sebuah prolepsis, yakni masa depan yang memancarkan dirinya ke tengah situasi sekarang bagai mentari pagi yang memantulkan berkas-berkas sinarnya di cakrawala.

Pengenalan dan penguasaan akan realitas masyarakat meliputi beberapa aspek. Pertama adalah aspek permasalahan dan tantangan. Permasalahan dan tantangan dapat berupa kondisi alam, situasi masyarakat atau perkembangan sistem politik dan ekonomi yang sedang terjadi. Kondisi geografis tertentu misalnya hanya memungkinkan tanaman pertanian atau perdagangan jenis tertentu. Situasi masyarakat yang dikondisikan oleh adat kebudayaan dan pendidikan yang diperoleh membatasi bidang yang dapat dijadikan unggulan. Sementara sistem politik dan ekonomi yang ditentukan oleh pusat-pusat kekuasaan global mempersempit ruang bagi inisiatif-inisiatif lokal. Sebuah janji politik akan dapat dipercaya kalau mempertimbangkan berbagai situasi ini.

Aspek kedua adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki satu masyarakat yang hidup di satu wilayah. Kondisi geografis yang hingga kini diukur berdasarkan orientasi pada pusat-pusat ekonomi dan politik tertentu, dapat dialiharahkan sehingga dapat menjadi atau menciptakan satu pusat baru yang menjanjikan peluang-peluang perkembangan baru pula. Perubahan pola baca letak geografis ini telah menjadikan China sebuah pusat perekonomian dunia yang sekurang-kurangnya dapat bersaing dengan Amerika dan Eropa. Situasi pendidikan dan kebudayaan masyarakat dapat menjadi sebuah kekuatan besar untuk perkembangan ekonomi dan politik seandainya pengalaman dan pengetahuan masyarakat diangkat untuk menjadi rujukan dalam berpolitik, dan rasa percaya diri masyarakat ditingkatkan sehingga mereka dapat menentukan sendiri selera makan dan pakaiannya sendiri tanpa didikte oleh program pemerintah dan dominasi media massa. Sebuah janji politik akan sanggup menggalang kekuatan masyarakat apabila dia menyingkapkan potensi yang mereka.

Janji politik yang bertolak dari pengenalan dan pengetahuan yang baik situasi aktual dari masyarakat akan sanggup menjadi basis buah program politik yang dapat dipertanggungjawabkan. Janji seperti ini realistis serentak menantang, realistis, sebab dia mencerminkan situasi real satu masyarakat pada tempat dan dalam waktu tertentu. Janji seperti ini bukan sebuah candu bagi masyarakat. Tetapi janji ini juga menantang, karena dia menunjukkan apa yang sebenarnya dapat diwujudkan apabila para warga bersungguh-sungguh. Dia membuka mata warga untuk melihat potensi, yang akan tinggal sebagai kemungkinan, apabila tidak pernah diolah dengan ketelatenan yang dipandu oleh pemikiran yang kritis.

Kriteria kedua adalah pelibatan warga. Sebuah janji politik bernilai demokratis, apabila dia menunjukkan peran para warga dan sang pemimpin itu sendiri. Demokrasi memerlukan pemimpin, namun pemimpin yang demokratis tidak menjadikan dirinya satu-satunya penentu kondisi masyarakat. Yang berjanji adalah seorang pemimpin, namun dia bukan tukang sulap dalam sebuah demokrasi. Model pemimpin sebagai tukang sulap sebenarnya merendahkan derajat warga sebagai pemilik kedaulatan. Di dalam janjinya mesti menjadi jelas partisipasi warga masyarakat.

Partisipasi rakyat bisa dilihat baik dalam rangka proses pengambil keputusan publik, pelaksanaan dan kontrol atas pelaksanaan maupun penikmatan hasil keputusan publik. Politik bukan hanya soal pendistribusian proyek dan pemerataan pembangunan. Lebih dari itu, politik mesti mengarah kepada pelibatan warga dalam memikirkan apa yang hendak dilaksanakan dalam kehidupan bersama. Sebab itu, janji politik yang demokratis bukan terutama soal rencana membangun rumah sakit, dermaga atau perguruan tinggi, melainkan satu proses demokratis yang memberikan ruang lebih luas dan kesempatan lebih banyak kepada para warga untuk mengartikulasikan kepentingannya. Semakin luas peluang partisipasi warga yang diungkapkan dalam sebuah janji politik, semakin tinggi pula kadar demokratis dari janji tersebut.

Yang dapat disebut sebagai kriteria ketiga dari sebuah janji politik yang demokratis adalah kaitannya dengan pembuat janji. Sebuah janji yang demokratis memperhitungkan dan menghargai warga masyarakat sebagai subyek yang mempunyai nurani dan pikiran. Dengan nurani dan pikiran tersebut warga sanggup mengukur korelasi antara pribadi politisi dengan janji yang dibuatnya. Tentu saja di dalam demokrasi tidak boleh ada terlampau banyak regulasi yang membatasi partisipasi seseorang untuk memperebutkan kekuasaan. Namun kualitas diri orang yang menampilkan diri atau ditampilkan dalam ajang perebutan kekuasaan menunjukkan tingkat penghargaan terhadap warga satu masyarakat. Menampilkan seorang pencuri untuk ikut dalam ajang perebutan kekuasaan dapat dibaca sebagai ungkapan pandangan yang merendahkan masyarakat. Masyarakat dipandang bodoh sehingga mudah diarahkan untuk apa saja, termasuk memilih pemimpin yang sangat patut diragukan kualitas dan kredibilitasnya.

Demikian pula, seorang politisi yang dikenal luas sebagai koruptor, namun berani tampil dan membuat janji politik untuk memberantas korupsi secara tuntas, sebenarnya sedang merendahkan masyarakat calon pemilih.

Bobot sebuah janji politik tidak terlepas dari kualitas demokratis yang dimiliki dan pernah ditunjukkan pembuat janji itu. Jika orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pribadi yang memang setia pada janjinya, maka janji politisnya memang patut mendapat dipercaya. Seorang yang suka dan gampang mengingkari janji, memang tidak pantas dipercaya.
Politik memang tidak pernah bebas dari janji. Dan para politisi selalu membuat janji, diakui atau tidak. Menjadi tanggung jawab warga adalah menilai janji tersebut. *

Pos Kupang, Sabtu 4 Oktober 2008

1 komentar:

  1. Unknown mengatakan...

    bang aku ijin yah pake beberapa kutipan dan tulisan ini untuk di latar belakang tesis saya.. kalau ada no telepon mohon share biar saya bisa hubungi

    29 November 2017 pukul 20.12  

Posting Komentar