Sekali lagi, Pangan Lokal

Jumat, 28 November 2008

KETIDAKADILAN pangan yang terjadi di muka bumi ini secara sederhana dan jelas telah diungkap dalam bentuk komik pada buku "Food for Beginners" yang ditulis oleh Susan George dan Nigel Paige.
Keduanya menggambarkan secara gamblang betapa keserakahan, kehidupan yang tidak mengenal kata cukup, dan menganggap diri lebih berarti daripada yang lain telah mendorong manusia untuk ingin mendapatkan dan menguasai lebih dan lebih lagi.
Bahkan tidak jarang si kaya, orang-orang atau negara-negara maju yang menguasai lebih banyak pangan itu, justru lebih menghargai harkat binatang daripada harkat seorang manusia miskin.

Ketidakadilan pangan itu dewasa ini semakin terasa. Banyak warga masyarakat kita tidak mampu makan tiga kali sehari. Sudah begitu, makanan yang dikonsumsi juga rendah nilai gizi dan vitaminnya. Akibatnya, kondisi kesehatan warga tidak maju- maju.
Sejak beberapa dekade lalu, di Indonesia ketika revolusi hijau menjadi primadona, beras menjadi mahadewa yang mendapat perhatian begitu besar. Penggunaan bibit unggul, pestisida dan pupuk kimia serta jaringan irigasi dibangun untuk memacu produksi beras.
Hasilnya luar biasa. Tahun 1984, Pemerintah Indonesia mengumumkan sudah berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Sejak itulah, beras menjadi primadona bahan pangan dan meninggalkan bahan pangan lain. Masyarakat kita menjadi begitu dependen pada beras. Pangan direduksi hanya menjadi beras, pertanian diredukdi menjadi sistem sawah yang monokultur. Seterusnya cara pandang masyarakat kita tentang pangan adalah beras.
Adalah tekad duet Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon L Foenay, yang coba melawan arus besar ini. Sejak dilantik medio Juli lalu, duet ini gencar mengkampanyekan pangan lokal.
Ya, pangan lokal untuk menjawab masalah yang sering mendera rakyat NTT. Kultur warga NTT adalah petani lahan kering. Kondisi tanah umumnya di NTT adalah lahan kering, bukan sawah. Hampir semua daerah mengenal bahan pangan lokal yang menjadi ciri khasnya. NTT terkenal dengan megabiodiversitas (keanekaragaman hayati) yang amat tinggi. Lantas, kenapa kita terus didera kelaparan, kurang gizi, gizi buruk, kekurangan pangan?
Itu hanya terjadi karena kita, warga NTT, lupa kekayaan kita, lupa potensi kita sendiri dan selalu berkiblat ke luar, ke daerah lain. Betapa kita sudah sedemikian jauh melihat dan memandang sesuatu yang dari luar selalu lebih baik, lebih tinggi.
Akibatnya, apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita justru kita abaikan. Bumi NTT menghasilkan aneka ragam sumber pangan seperti kacang-kacangan (leguminosae), yang merupakan sumber protein dan jagung serta umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat.
Kita sepakat dan mendukung duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay. Kita dukung bahwa saatnya kembali ke diri kita masing-masing, melihat potensi yang ada pada alam kita. Ajakan untuk mengonsumsi pangan lokal kita dukung.
Tetapi, kembali ke pangan lokal tidak bisa hanya sebatas ajakan atau imbauan. Dia mesti diterjemahkan ke dalam agenda kerja pemerintah. Artinya pemerintah mesti mulai berpikir serius dengan merancang program, merumuskan aksi nyata agar rakyat NTT perlahan-lahan kembali ke pangan lokal.
Banyak hal mesti segera dilakukan pemerintah. Jika sejauh ini, kebijakan pertanian justru menjauhkan petani dari potensi lokal, maka pemerintah perlu segera mengubah kebijakan pertanian menjadi pertanian yang ramah petani, ramah lingkungan. Artinya kebijakan pertanian yang digagas adalah pertanian yang mampu membuat para petani betah tinggal di desanya.
Jika selama ini kebijakan pertanian cenderung bersifat seragam, maka pemerintah juga perlu segera mengubahnya. Kebijakan pertanian tidak boleh seragam, melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Apa yang menjadi kebijakan pusat atau propinsi tidak harus menjadi kebijakan kabupaten. Itu artinya, petani di setiap daerah diberi keleluasaan untuk menanam apa yang cocok dengan daerahnya.
Kebijakan pertanian juga harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti, dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Rasanya hanya dengan melibatkan petani di desa-desa, harapan kembali ke pangan lokal bisa terwujud. *

Pos Kupang, Kamis 27 November 2008


Read More...

UU Pornografi, Moralitas Pribadi, dan Demokrasi

Selasa, 18 November 2008

Oleh: Otto Gusti Nd Madung

MENJUNGKIRBALIKKAN
nilai-nial! Adagium Friedrich Nietzsche ini mungkin merupakan ungkapan paling tepat untuk melukiskan Undang- Undang Pornografi/Pornoaks i. Undang-undang ini berambisi mengatur kesempurnaan moralitas manusia, yang sesungguhnya mustahil diurus negara, kecuali dalam rezim totaliter.

Ernst Wolfgang Böckenförde, mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Jerman, merumuskan secara tepat esensi sekaligus paradoks yang harus dihadapi negara demokratis modern: "Negara liberal-sekuler mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang tak dapat dijaminnya sendiri."


Paradoksi ini, demikian Böckenförde, harus diterima setiap negara sekuler yang mau meng-hargai dan menyelamatkan kebebasan individu. Sebuah negara demokratis modern hanya mungkin eksis secara legitimasi jika ia mampu menjamin dan melindungi kebebasan setiap warganya. Di satu sisi, kebebasan individu merupakan tujuan dan dasar keberadaan sebuah negara. Akan tetapi, di sisi lain inti dari kebebasan tersebut, yakni suara hati tidak pernah boleh dan tidak dapat diatur menurut norma-norma hukum positif. Sebab ketika negara lewat hukum positif masuk ke dalam ranah privat kebebasan suara hati, ia sesungguhnya telah menjadi totaliter.

Paradoksi yang dikemukakan Böckenförde di atas merupakan jalan yang telah dan tetap dilewati pemikiran dan praktik politik Eropa modern. Jalan ini telah mengantar mereka keluar dari konflik berdarah dan perang antara agama dan kelompok etnis yang, melanda Eropa pada abad ke-17. Hingga kini konsep negara liberal-sekuler tetap mampu menjaga perdamaian umum.

Kebebasan manusia terungkap lewat keputusan otonom dan atas pertimbangan suara hati yang tidak pernah boleh serta tidak dapat diintervensi oleh instansi luar. Kebebasan hanya dapat meregulasi dirinya dari dalam, dari substansi moral setiap individu dan homogenitas sebuah masyarakat. Bahaya totalitarisme mulai mengintip ketika negara, misalnya, lewat hukum positif mau mengatur suara hati dan virtus (keutamaan pribadi) warganya. Di sini, negara berambisi mengatur segala-galanya, termasuk cara berpikir dan moralitas warganya yang seharusnya mustahil dapat dilaksanakannya.

Ambisi negara tersebut menciptakan konflik dan membahayakan perdamaian umum, sebab ia menyangkal adanya pluralitas budaya, agama, tingkah laku, dan kebebasan berpikir dalam sebuah negara modern.

Diskriminatif


Negasi atas kenyataan pluralitas terjadi ketika di negeri ini para legislator di Senayan mau meregulasi urusan libido warga negara lewat penetapan Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i. Tidak perlu heran kalau undang-undang ini akan terus menuai kontroversi dan protes warga, seperti sudah ditunjukkan di beberapa wilayah di Indonesia. Sebab, ia bersifat diskriminatif dan tidak menghargai keanekaan budaya yang hidup di bumi Indonesia.

Separatisme sesungguhnya sudah berada di ambang pintu, sebab ia hanya mengadopsi ajaran dari agama tertentu dan harus ditaati oleh penganut agama atau kelompok budaya lain. Kelompok minoritas akan terus protes karena merasa ditindas dan budayanya tidak dihargai serta didominasi budaya mainstream. Undang-Undang Pornografi tidak hanya menciptakan separatisme dan membahayakan kesatuan bangsa, tapi akan merongrong dan merusak substansi demokrasi itu sendiri, yakni kebebasan individu dan otonomi yang sudah lama kita perjuangkan. Penolakan terhadap UU ini tidak lagi hanya terbatas pada kaum minoritas yang haknya dilecehkan, tapi menjangkau seluruh warga negara Indonesia yang punya komitmen dan mau memperjuangkan keberlangsungan proses demokratisasi.

Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i merupakan ungkapan totalitarisme negara dan musuh demokrasi. Maka harus ditolak! Di sini negara menjadi totaliter dengan mengintervensi ke dalam domain privat masalah moralitas pribadi warga negara. Negara demokratis modern, yang menghargai paham hak-hak asasi manusia tidak boleh mengintervensi kehidupan moral warganya sejauh pelanggaran atasnya tidak merugikan kesejahteraan umum. Negara tidak boleh membuat larangan semata-mata atas dasar pertimbangan mau menyempurnakan kerohanian pribadi seseorang. Persolan moralitas hanya menjadi masalah negara jika berhubungan dengan bonum commune atau kesejahteraan umum (Franz Magnis Suseno, 1999).

Sejarah pemikiran politik Eropa mengajarkan kita, apa yang terjadi ketika negara di abad pertengahan ingin mewujudkan tujuan ganda sekaligus, yakni menciptakan perdamaian (pax) dan keutamaan pribadi (virtus). Negara abad pertengahan tidak hanya punya wewenang membuat hukum, tapi juga mendidik dan mewajibkan warganya menjadi saleh dan bermoral. Dengan taat terhadap hukum bukan cuma perdamaian umum dapat dicapai, tapi orang-orang juga dibantu untuk menjadi saleh dan baik secara moral.

Negara dengan monopoli atas kebenaran menjadi totaliter, otoriter, dan intoleran. Konsep negara liberal sekuler ingin keluar dari persoalan ini dengan meninggalkan monopoli atas kebenaran dan membatasi diri pada tugas menjaga perdamaian umum (pax) dan menjamin keadilan lewat hukum positif.

Dengan cara ini, negara menyelamatkan dan menjaga kebebasan dan otonomi individu serta menjamin pluralitas budaya dan agama. Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia, pilihan nilai dan makna menjadi wacana khusus di bawah payung kebebasan beragama dan berpendapat.

Kemunduran

UU Pornografi/Pornoaks i adalah sebuah kemunduran historis dan menampilkan kerancuan cara berpikir. Ia ingin mengawinkan kembali tugas negara, yakni menjamin perdamaian serta kesejahteraan umum dan menjaga kesalehan serta moralitas pribadi warga, seperti pernah dipraktikkan di Eropa pada abad pertengahan. Hal ini tak mungkin dapat diwujudkan dalam sebuah negara modern, karena mengandaikan homogenitas budaya dan tatanan sosial yang monolitis. Sementara itu Indonesia ditandai dengan pluralitas budaya, suku, dan agama.

Persoalan pornografi tidak dapat diatur dengan undang- undang karena ia bersifat sangat subjektif. Hukum positif hanya berurusan dengan hal-hal umum. Absurditas UU ini mencapai kesempurnaannya ketika ia merumuskan definisi pornografi sebagai "materi seksualitas yang dibuat manusia dan dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".

Undang-Undang Pornografi hanya bisa mencapai tujuannya jika ia mampu mengontrol pikiran, menegasi kebebasan dan membangun sebuah negara panoptikum yang dapat mengontrol semuanya. Totalitas teknologi kekuasaan dan mekanisme kontrol ini hanya mungkin dalam sebuah negara totaliter. Maka, UU Pronografi/Pornoaks i harus kita tolak atas nama demokrasi dan martabat pribadi manusia yang otonom!

* Penulis adalah rohaniwan, staf pengajar pada STFK Ledalero dan pernah mengikuti program doktoral di bidang filsafat sosial pada Hochschule f r Philosophie M nchen, Jerman

"Let nothing disturb you, nothing frighten you, all things are
passing, God is unchanging. Patience gains all; nothing is
lacking to those who have God: God alone is sufficient."

(St.Teresa of Avila)

Suara Pembaruan, 17 Nov 2008

Read More...

Buku Baru: Memetakan Kebebasan

Senin, 17 November 2008

Oleh Paul Budi Kleden

KEBEBASAN
tidak hanya merupakan sebuah tema yang menarik untuk dibicarakan. Dia tampaknya demikian berharga sehingga banyak orang, secara pribadi atau kelompok, berjuang untuk merebut atau mempertahankannya.

Perjuangan untuk memperoleh kebebasan selalu berhadapan dengan kekuatan yang dinilai membelenggu dan menjajah. Dari perspektif penguasa politik yang menjajah, setiap bentuk upaya pembebasan adalah tindakan subversif.

Para penguasa agama tidak jarang menilai ungkapan kebebasan itu sebagai heresi yang harus diperangi. Mereka semua tahu, cara paling efektif untuk melindungi diri dari tindakan subversif adalah memanipulasi proses pemikiran, menyeragamkan cita rasa, dan mengontrol pengartikulasian kehendak dan gagasan. Menguasai manusia berarti mengendalikan dua kapasitas dasarnya, pikiran, dan kehendak.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa indoktrinasi seintensif apa pun ternyata tidak sanggup mendiamkan secara total suara kebebasan, dan kekerasan seekstensif apa pun tidak mampu menutup rapat segala sumber gagasan alternatif. Semuanya itu memang mengondisikan manusia, tetapi tidak berdaya untuk menghentikan dinamika kebebasan. Kalau demikian, di mana tepatnya sumber terdalam kebebasan yang tidak tunduk pada pendiktean penguasa dan tidak tercekik oleh lengan kekuasaan itu?

Berpikir untuk kebebasan

Nikolay Berdiayev, seorang filsuf Rusia abad ke-20, membuat refleksi yang radikal mengenai kebebasan. Radikal, karena dia tidak terutama berbicara metode dan strategi untuk membebaskan diri dari dan menggunakan kebebasan untuk sesuatu atau seseorang. Lebih dari itu, yang direfleksikannya adalah dasar terdalam dan sifat hakiki dari kebebasan. Bagi Berdiayev kebebasan adalah yang pertama dan dasar terakhir dari segala sesuatu, dan karena itu dia bersifat kreatif bagi semua yang memberinya ruang untuk mengungkapkan dirinya dan subversif di mana orang hendak memenjarakannya. Dengan buku Kebebasan Kreatif karya Dr Paul Klein, ditampilkan pemikiran kreatif Berdiayev untuk para pembaca Indonesia. Mungkin ini adalah karya pertama yang secara eksklusif memperkenalkan Berdiayev dalam bahasa Indonesia.


Berdiayev berpikir dan hidup sebagai seorang yang bebas dan kreatif. Hidup dan kerangka berpikirnya bukanlah sebuah dualisme. Apa yang direfleksikan dan ditulisnya dalam sekian banyak buku adalah pengalaman, pengamatan, dan perjuangan pribadinya untuk menjadi bebas dan kreatif. Baginya, filsafat bukanlah sesuatu yang melulu bersifat akademis dan platonis.

Karena eratnya kaitan antara biografi dan sejarah pemikiran ini, sangat tepat bahwa Paul Klein memperkenalkan biografi Berdiayev dalam napas yang sama dengan memperkenalkan beberapa gagasan kunci Berdiayev. Hemat saya, membaca bab pertama buku sudah sangat memberikan inspirasi. Dia berhasil merangkai kehidupan dan argumen filosofis, sebab memang sudah menjadi prinsip Berdiayev, bahwa hidupnya terabdi untuk filsafat. Hidup yang seperti itu diresapi oleh filsafat dan dapat menghadirkan sebuah filsafat.

Negara monster

Pengalaman manusia ditandai oleh apa yang disebut sebagai keterasingan atau pengasingan. Apa yang dirasakan dalam hati dan dipikirkan di kepala ternyata diungkapkan keluar dalam bentuk yang tidak memadai. Eksteriorisasi dan obyektivasi dipakai untuk menyatakan pengasingan ini. Eksteriorisasi adalah proses menampilkan keluar apa yang ada pada kedalaman. Pengungkapan ini menggunakan perangkat yang sudah ada di dalam sejarah dan masyarakat. Dalam kenyataan, apa yang ada di dalam sejarah dan masyarakat telah terkena obyektivasi, yakni belenggu mengobyekkan atau membendakan keberadaan. Oleh sebab itu, apa pun yang kita ungkapkan keluar selalu terjerat dalam obyektivasi. Jelas bahwa obyektivasi bermuara pada ketidakbebasan.

Obyektivasi adalah hilangnya kebebasan, yang dialami pada beberapa tingkatan, yakni pada tataran dunia dan sejarah, pada tataran pribadi dan pada tataran kolektif. Bentuk obyektivasi kolektif yang paling kuat adalah negara. Negara telah menjadi instrumen yang menindas dan mengalienasi manusia. Walaupun sebenarnya merupakan struktur yang paling rendah setelah pribadi dan agama, tetapi karena memiliki aparat yang kuat, negara berhasil menjadikan dirinya sebagai institusi kedaulatan yang berkuasa penuh dan dilegitimasi untuk menuntut kepatuhan mutlak dari para warga. Baginya 'negara adalah yang paling kejam dari segala monster, dan manusia mulai di mana negara berhenti' (hal 109).

Berdiayev pun tidak lupa menyoroti obyektivasi yang terjadi di dalam agama. Figur inkuisitor agung dalam Dua Bersaudara Karamasov karya Dostojewsky, baginya, adalah simbol yang secara tepat melukiskan kiprah Gereja yang telah mengingkari ajaran Yesus. Gereja telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang membelenggu manusia karena lebih memerhatikan hukum dan moral ketimbang pesan pembebasan.

Membebaskan

Sebagaimana pergumulan untuk menjadi pribadi yang bebas dan membangun masyarakat yang bebas selalu merupakan perjuangan panjang yang dipenuhi kegagalan dan keberhasilan, demikian pun bangunan pemikiran Berdiayev tentang kebebasan adalah sebuah konstruksi yang dirancang selama hidupnya, dengan tingkat kejelasan dan kekaburan yang bervariasi. Kebebasan adalah sebuah tantangan yang tidak gampang untuk dihidupi dan tidak mudah untuk dipikirkan. Namun, kita harus memikirkannya, sebab pemikiran adalah satu bentuk pertanggungjawaban.

Salah satu jargon yang sering digunakan Berdiayev adalah 'primat kebebasan'. Manusia tidak boleh dipaksakan untuk apa pun dan dengan alasan apa pun, termasuk oleh dan untuk kebenaran. "Suatu kebenaran yang dipaksakan, atas namanya saya harus melepaskan kebebasan, bukanlah kebenaran melainkan cobaan iblis..." (hal 140). Karena posisinya yang ultim tersebut, maka kebebasan pun dipakai untuk menakar dan menilai segala sesuatu, tidak terkecuali kebenaran. Itu berarti, sesuatu hanya dapat disebut sebagai kebenaran kalau dia membebaskan. "Kebenaran dikenal dalam dan melalui kebebasan" (hal 26).

Kebebasan jugalah yang menjadi takaran untuk menilai kebenaran sebuah agama. Tuhan bukanlah nama lain dari aturan dan hukum, bukan personifikasi dari keharusan dan norma. Tuhan adalah penjamin, pelindung, dan pemenuh kebebasan manusia. Agama yang benar adalah agama yang membebaskan. Untuk mengalami kebebasan seperti ini, Berdiayev yakin bahwa manusia mesti menjadi semakin mistis. Kedalaman mistis ini akan mencegah orang dari kecenderungan membendakan Tuhan dan mengandangkan-Nya dalam kerangka agamanya sendiri. Berdiayev menyebut dirinya sendiri lebih sebagai seorang homo mysticus daripada homo religiosus. Yang dimaksudkannya dengan mistik bukanlah pengalaman yang mengawang dan cenderung subyektivistis. Baginya, seorang mistikus sejati adalah orang 'yang melihat realitas dan membedakannya dari fantasma.'

Kebebasan kreatif

Saat kita memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional, mesti diakui bahwa bangsa ini masih dikuasai oleh kekuatan ekonomi global yang sangat dominan, yang mendikte kebijaksanaan dan keputusan politik pada tingkat nasional. Sementara itu, para politisi kita lebih suka menampilkan diri bukan sebagai pengambil keputusan yang bebas dan bertanggung jawab, melainkan lebih sebagai korban dari berbagai kondisi yang ditetapkan pihak lain. Berbarengan dengan itu, perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara warga masyarakat gampang dijadikan ideologi dan argumentasi untuk merenggangkan solidaritas antarsesama warga. Di tengah kondisi kemiskinan dan keterpurukan harga diri, tampaknya sangat gampang manusia Indonesia diprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan. Kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi tampaknya gampang hanyut dalam arogansi mayoritas atau rasa sakit hati minoritas.

Ketidaktentuan yang dialami pada tahun-tahun ini menjadi sebab bagi sebagian orang untuk kembali mengimpikan tampilnya negara yang kuat dan pemimpin yang berkuasa mutlak. Untuk mencegah apa yang dinilainya sebagai kemunduran akhlak, ada orang yang menghendaki agar negara tampil sebagai regulator yang mengatur sebanyak mungkin persoalan pribadi para warga. Cara berpakaian, gerak-gerik, dan bahan bacaan warga pun hendak diatur dan dikontrol oleh negara. Karena moralitas disejajarkan dengan hukum, maka orang berpikir, kualitas moral akan semakin dijamin oleh kian banyaknya hukum dan paksaan.

Di tengah kondisi seperti ini, kehadiran sebuah buku yang berbicara mengenai kebebasan kreatif, yang menunjukkan secara jelas obyektivasi di dalam negara dan menyebut negara sebagai bentuk alienasi yang paling berbahaya, merupakan sebuah peringatan yang sangat penting. Berdiayev tidak bermaksud menolak negara dan mengeliminasi politik. Dia menunjukkan pentingnya negara sebagai pengatur yang memerhatikan agar kebutuhan-kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Yang diharapkannya adalah negara yang tahu diri, yang dijalankan dalam kesadaran bahwa perannya adalah menjaga dan memerhatikan kebebasan manusia. Berdiayev mengingatkan bahwa negara memiliki sebuah kecenderungan yang sulit diatasi untuk 'menuntut bagi dirinya bukan saja apa yang menjadi hak Cesar, tetapi juga yang menjadi hak Allah' (hal 111). Menghadapi tendensi semacam ini, para warga harus bangkit dan berjuang untuk menata negara yang membela hak dan kebebasan, sebab di sanalah terletak pembenaran eksistensi negara.

Aktualitas tema kebebasan kreatif sebagaimana dipaparkan di atas sebenarnya hanya menunjukkan satu kekurangan di dalam buku ini, bahwa dia sendiri tidak menyampaikan secara eksplisit tempatnya yang tepat di dalam situasi bangsa ini. Tentu saja semuanya itu tidak dapat dibicarakan di dalam satu buku. Namun, akan menjadi sangat menarik apabila sebagian dari konteks ini disinggung.

* Budi Kleden, Teolog, Dosen Teologi pada STFK Ledalero, Flores

Sumber: Kompas, Senin, 17 November 2008

Read More...

Dirancang, Perda HIV/AIDS Kota Kupang

Minggu, 16 November 2008

KUPANG, PK--Peraturan Daerah (Perda) Kota Kupang tentang masalah HIV/AIDS saat ini sedang dirancang. Draf rancangan perda itu kini sudah berada di tangan pihak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang. Diharapkan draf itu bisa dibahas Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang dan DPRD Kota Kupang untuk ditetapkan.
Hal ini diungkapkan konsultan dan pengamat hukum, Simpleks Asa, S.H, ketika membawakan materi tentang HIV/AIDS Dipandang Dari Sisi Hukum pada acara pelatihan HIV/AIDS bagi komunitas jurnalis Kota Kupang di Ruangan Garuda Kantor Walikota Kupang, Sabtu (15/11/2008) siang.

Simpleks mengatakan, dirinya sebagai konsultan hukum telah diminta pihak KPA Kota Kupang untuk membantu menyusun Draf Rancangan Perda Kota Kupang tentang HIV/AIDS dan draf tersebut kini telah diserahkan ke KPA Kota Kupang.

Menurut Simpleks, undang-undang yang menjadi rujukan atau dasar pembuatan perda tidak ada karena semua undang-undang tidak menyebutkan secara khusus mengenai HIV/AIDS dalam pasal-pasalnya, tetapi tidak berarti pemerintah tidak bisa membuatkan Perda tentang HIV/AIDS. Karena UU tentang Otonomi Daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.

Sekarang ini, kata Simpleks, tidak ada hirarki aturan lagi setelah adanya UU tentang Otonomi Daerah. Kalau dulu, di bawah undang-undang ada peraturan pemerintah, kemudian ada keputusan menteri, ada peraturan menteri, baru di bawahnya ada perda. "Tapi sekarang bisa dibuatkan perda meski peraturan di atasnya tidak mengatur khusus karena pemerintah daerah sudah diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Di banyak tempat di Indonesia sudah ada Perda tentang HIV/ AIDS dan di tingkat Propinsi NTT juga sudah ada perda-nya. Tinggal, bagaimana dengan Kota Kupang ini," kata Simpleks.

Dia menambahkan, untuk masalah HIV/AIDS perlu dibuatkan peraturan daerah (Perda) karena masalah penanggulangan HIV/ AIDS berhubungan dengan masalah perilaku manusia. Dan, menyangkut masalah perilaku manusia ini harus diatur dalam suatu aturan supaya manusia bisa berperilaku secara baik terkait masalah HIV/AIDS.

Selain Simpleks, juga tampil pemateri lain, yakni Redaktur Pelaksana Pos Kupang, Tony Kleden. Tony membawakan materi tentang liputan dan menulis masalah HIV/AIDS. Menurut Tony, dalam menulis berita tentang HIV/AIDS yang perlu ditonjolkan adalah aspek pentingnya, bukan terutama menariknya. Karena itu dia meminta wartawan melawan dogma eksklusivisme dalam menulis berita atau masalah HIV/AIDS.

"Kalau berita lain, Anda perlu eksklusif, tetapi dalam menulis HIV/AIDS tidak perlu. Makin banyak orang tahu tentang HIV/AIDS makin baik. Makin banyak tulisan dan berita tentang HIV/AIDS berarti makin banyak perhatian dan kepedulian terhadap masalah kemanusiaan ini," kata Tony.

Tony juga mengatakan, para wartawan perlu mengusung jurnalisme empati dalam menulis masalah HIV/AIDS. Jurnalisme empati artinya jurnalisme yang menempatkan para korban, para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sebagai subyek, dan bukan sebagai obyek. (mar)

Pos Kupang, senin 17 november 2008
Read More...

Sehati, Sesuara, Setindak Bangun NTT (3)

Sabtu, 01 November 2008


Oleh Tony Kleden

TIGA
jam dialog di Aula Yustinus Atma Jaya Jakarta, Sabtu (11/10/2008) malam, itu menghasilkan banyak sekali masukan, saran, pendapat, usul untuk duet Gubernur-Wakil Gubernur NTT lima tahun ke depan.
Panitia dialog juga menyatakan kegembiraannya karena baru kali ini gubernur dan wakil gubernur hadir bareng menemui warga NTT di tanah rantau. Oleh panitia hasil dialog itu disebut Gagasan Jakarta. Penyerahan Gagasan Jakarta malam itu itu agak hambar karena bersamaan dengan berita duka kematian ayahanda Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Meski begitu, duet Frans-Esthon tetap bergairah dan antusias menerimanya sebagai masukan berarti dan berharga.

Banyak sekali gagasan, ide, pemikiran menarik dan kritis yang disampaikan. Ide, pemikiran dan gagasan itu disampaikan secara plastis, langsung, tanpa tedeng aling-aling. Gubernur juga terang- terangan membeberkan kondisi riil yang ada sekarang. Angka- angka yang menunjukkan keberhasilan dan kegagalan dipaparkan. Potensi dan hambatannya ditunjukkan. Banyak yang geleng-geleng kepala melihat betapa daerah ini dalam hampir semua variabel kemajuan lebih buruk dari rata-rata nasional. Tingkat kemiskinan mencapai 27 % dari total 4,4 juta warga. Kepala Keluarga (KK) miskin bahkan lebih tragis lagi, 58 %. Kematian ibu dan anak, gizi buruk, busung lapar, dan sebagainya dan sebagainya, semuanya selalu lebih jelek dibanding rata-rata nasional.
Memilukan. "Tetapi ini hanya bisa kita atasi kalau ada solidaritas di antara semua kita, warga NTT, baik yang di NTT maupun yang ada di tanah rantau. Kalau Institut Leimena, Jakarta ingin menyumbangkan sesuatu untuk NTT, mudah- mudahan warga NTT di rantau juga bisa ikut menyumbang untuk membangun NTT," pinta Gubernur Lebu Raya.
Para narasumber yang diminta berbicara juga berbicara tanpa beban. Tidak sembunyi-sembunyi. Omong lurus. Gaya khas orang NTT. Dr. Daniel Dhakidae tajam dan kritis. Aloysius Kiik Ro buka-bukaan. Agus Toepoe santai tapi menusuk.
Ben Mboi ketika didaulat untuk berbicara, lebih banyak mengritik program-program, terutama program jagung yang digagas. Jagung, menurut Ben Mboi, tidak tepat mengingat hujan semakin tidak tentu akibat perubahan iklim global. Ben Mboi juga meminta duet Lebu Raya-Esthon lebih realistis dan tidak membuat perencanaan yang muluk-muluk.
Di era otnomi daerah sekarang, Ben Mboi minta gubernur-wakil gubernur selalu membangun koordinasi dengan para bupati/walikota sebab wewenang eksekutif di propinsi dibatasi oleh UU Otonomi.
Kritikan pedas, tajam, menukik, sarkastis dengan gaya penyampaian berapi-api ala NTT sejatinya adalah bukti tanggung jawab warga NTT terhadap daerahnya. Semuanya adalah tanda nyata kecintaan warga NTT di mana pun agar Nusa Flobamora segera bangkit dan jangan cuma bisa terkenang karena serba kekurangan. Ruangan yang penuh adalah bukti kecintaan itu. Mereka gerah melihat kondisi NTT hari ini. Mereka geram karena dana begitu banyak digelontorkan, sudah delapan gubernur memegang kemudi, toh biduk NTT belum kunjung merapat di dermaga impian.

Kecintaan itu juga ditunjukkan lagi warga Jakarta dan sekitarnya pada hari Minggu (12/10/2008) pagi, ketika bersama-sama menghadiri misa syukuran di Gereja Paroki St. Tomas, Kelapa Dua, Depok. Perayaan ekaristi inkulturatif khas NTT di markas brimob itu dipadati ratusan warga NTT. Kain sarung khas NTT dari beragam etnis terlihat di dalam gereja. Tarian-tarian daerah NTT diragakan. Semuanya menyatu dalam satu nafas, nafas NTT. Harmoni dalam satu warna, warna NTT.
Misa dipimpin Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr dengan pengkotbah, Pater Alex Lanus, OFM. Dengan iringan lagu-lagu khas daerah NTT, terasa seperti sedang mengikuti misa di NTT.
Dari gereja, acara pindah ruangan di sebelahnya, ke aula paroki. Tidak formal. Semua yang hadir lebih banyak berdiri. Meja bundar cuma beberapa, khusus untuk rombongan wakil gubernur. Selebihnya berdiri, pesta gaya Jakarta.
Acara dimulai. Seperti biasa, sambutan-sambutan. Pastor paroki, Uskup Agung Ende dan wakil gubernur berbicara. Semuanya sama, satu nada. Mengasah solidaritas, menajamkan kebanggaan sebagai orang NTT. Dengan keragaman budaya dan etnis, kata Uskup Sensi, NTT harus bisa dibangun dengan nilai-nilai khas NTT. Tidak perlu latah meniru gaya lain, budaya lain. Orang NTT, kata Uskup Sensi, harus bangga menyatakan jatidirinya sebagai orang NTT.
Semua warga NTT mesti bangga menjadi orang NTT. Dari kebanggaan itu akan lahir kecintaan. Dari kecintaan itu akan muncul tanggung jawab. "Jangan terlalu NTT menjadi nasib tidak tentu atau nanti tuhan tolong," kata Uskup Sensi.
Harapan yang sama juga disampaikan Wakil Gubernur, Esthon Foenay. Foenay membeberkan aneka program yang akan dilakukan lima tahun ke depan. Kepada seluruh warga NTT, Foenay mengajak untuk bersatu, mengasa solidaritas membangun NTT. Perbedaan-perbedaan budaya, etnis jangan menghambat solidaritas untuk membangun dan membuat nasib propinsi ini tambah sulit. "NTT sudah sulit. Jangan lagi mempersulit kekerabatan di antara kita," kata Foenay.
Tahun ini NTT berusia emas. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Mottonya yang sangat terkenal berbunyi, "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan." El Tari dikenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam". Ben Mboi terkenal dengan operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM). Hendrik Fernandez tampil dengan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar). Herman Musakabe meracik program strategis bernama Tujuh Program Strategis Membangun NTT. Piet A Tallo mengajak masyarakat membangun dari apa yang ada melalui program Tiga Batu Tungku.
Pasti semuanya dirancang, dikemas dengan satu harapan, yakni NTT 'lepas landas' dari aneka kesulitan dan serba kekurangan. Kita butuh semangat bersama, kesatuan yang kuat tidak cuma sehati sesuara, tetapi juga sehati, sesuara dan setindak membangun NTT.
Tak terasa sudah tiga bulan duet Lebu Raya-Esthon Foenay dilantik. Sudah lebih 100 hari pasangan ini memegang kemudi NTT untuk lima tahun tahun ke depan. Akankah semuanya berjalan mengalir begitu saja? (habis)

Pos Kupang, 1 November 2008
Read More...

Tau Ko Sonde, Beta di Oepura... (2)


Oleh Tony Kleden


HARI Sabtu, 11 Oktober 2008. Sudah lepas tengah hari. Lewat sejam lebih warga NTT telah merapat ke kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Mereka datang dari berbagai sudut Jakarta dan sekitarnya. Panitia mesti membatasi undangan. Khawatir tak tertampung.
Tetapi Aula Yustinus di lantai lantai 14 Universitas Atma Jaya di Jalan Sudirman yang padat kendaraan di senja hari itu tetap saja sesak. Pengunjung meluber. Banyak yang terpaksa berdiri di luar karena tak kebagian kursi. Mereka rela berdiri. Ingin mendengar langsung seperti apa duet Gubernur Frans Lebu Raya-Esthon Foenay melayari biduk NTT menuju tepian impian.

Tokoh-tokoh NTT hadir. Di kursi deretan depan duduk antara lain Dr. Jan Riberu, mantan anggota DPR RI. Persis di sebelah kanannya duduk berdampingan dr. Ben Mboi dan Ibu Nafsiah, mantan Gubernur NTT. Di sebelah kanan pasangan ini duduk Cypri Aoer. Terlihat juga Agus Toepoe, Blasius Bapa, Dr. Daniel Dhakidae, Drs. Frans Meak Parera, Dr. Aloysius Madja, Cypri Aoer, Zainal Nampira.
Yang muda-muda dan lagi menanjak di lingkungan kerja masing- masing juga banyak yang hadir. Ada Pieter Gero dari Kompas, Dr. Ignatius Iryanto, Dr. Aloysius Kiik Ro Direktur PT Danareksa. Dari Atma Jaya lebih banyak lagi yang hadir. Ada Wakil Rektor III, Drs. Yohanes Temaluru, M.Psi, Dr. Mikael Dua, Dr. Andre Ata Ujan.
Semuanya antusias. Semangat empat lima. Ingin mendengar suara gubernur dan wakil gubernur. Selain ingin mendengar langsung, acara itu juga dihelat untuk memberikan 'oleh-oleh' berupa gagasan dan harapan warga NTT di Jakarta kepada duet pemimpin yang telah dilantik tiga bulan itu.
Masukan itu dirancang dalam dua babakan pemaparan berupa sumbang saran dan tanggapan dari beberapa narasumber. Di bidang pendidikan tampil Dr. Daniel Dhakidae dan Drs. Frans Meak Parera. Bidang kesehatan tampil dr. Eddy Lamanepa, MPH dan Zainal Nampira. Bidang ekonomi Drs. Agus Toepoe, MM, Dr. Aloysius Kiik Ro dan Dr. Aloysius Madja. 'Manggung bareng' ini dimoderatori Dr. Mikael Dua dan Dr. Andre Ata Udjan.
Suasana tidak formal. Santai dan cair. Gubernur memaparkan rencana kerja lima tahun ke depan. Agenda-agenda besar dibeberkan. Dari pendidikan hingga pertanian. Dari kesehatan sampai ekonomi.
Selepas gubernur, kesempatan pertama diberikan kepada Dr. Aloyius Kiik Ro, Direktur PT Danareksa (Persero). Semua terkesima ketika mendengar gambaran situasi ekonomi yang disampaikan Kiik. Gambaran ekonomi NTT, peluang ekonomi yang mesti dibangun di NTT dibeberkan Kiik dengan baik.
Terkait dengan pembangunan di NTT, ada dua hal menarik yang dicatatnya. Pertama PD Flobamor. Perusahaan milik Pemda NTT ini dikritiknya karena tidak banyak membawa manfaat. Mengapa? "Business of goverment is to goverment," kritiknya. Tajam tetapi sangat menusuk. Artinya, pemerintah tidak bisa menjalankan usaha bisnis. "Bisnis adalah privasi," kata Kiik, pria asal Timor Tengah Utara ini.
Hal kedua, soal website. Kiik punya kisah. Sekali waktu di tahun ini, Kiik berbicara dalam sebuah seminar terhormat. Dia ingin menggambarkan peta dan potensi ekonomi NTT. Maka, masuklah dia ke website Pemda NTT. "Saya buka alamat itu. Masuk. Tetapi apa yang saya dapat? Data-data dan tampilan di website itu terakhir di-update 5 Januari 2004," kata Kiik. Seisi ruangan itu pun 'picah ketawa.'
Cerita Kiik belum titik. Dia kemudian menghubungi dua nomor kontak person yang tertera di website itu. Nomor pertama tidak diangkat. Nomor kedua diangkat. Di balik sana, terdengar suara seorang ibu. Kiik menjelaskan identitasnya dan apa yang ingin dicarinya. Apa jawabannya? "Lu nih... Lu tau ko sonde, beta lagi di Oepura...." Geerrrr... Aula Yustinus Atma Jaya di rembang petang itu seolah runtuh. Tertawa meledak. Astaga.
Kisah nyata ini lucu. Sangat lucu. Tetapi kelucuan itu sekaligus mencerminkan sebuah kekonyolan. Sudah empat tahun sebuah website -- yang biasanya di-update setiap menit -- tidak di- update. Entahlah ada anggaran rutin bulanan untuk operasional yang berarti juga di-update setiap saat.
Teringat keberadaan dan kiprah instansi semisal Balai Diklat, Dinas Infokom, Biro Humas, Badan Perpustakaan Negara, Penelitian dan Pengembangan kalau urusan meng-update informasi, memasukkan data-data di sebuah website sederhana saja tidak jalan-jalan. Jika seperti itu, bagaimana orang luar mau mengetahui dan mengikuti perkembangan NTT?
Kritikan dan saran juga dialamatkan kepada mental para PNS di NTT. Para 'abdi negara' ini lebih cenderung menampilkan diri sebagai 'abdi dalem' yang memposisikan diri sebagai tuan. "Di NTT yang kaya itu kan nomor satu PNS, nomor dua pedagang, nomor tiga yang orangtuanya di Jawa," kata Agus Toepoe.
Agus juga menyebut korupsi di kalangan PNS sebagai kebiasaan yang sudah dilumrahkan. "Kalau PNS mentalnya seperti ini, NTT tidak akan maju-maju. Saya minta bapak gubernur atasi masalah korupsi di NTT," pinta Agus Toepoe.
Di sektor pendidikan, Dr. Daniel Dhakidae menganjurkan agar Pemda NTT membangun sekolah dasar (SD) yang hebat dan bermutu. Anjuran ini sudah tentu datang dari keprihatinan betapa lulusan NTT dari tahun ke tahun selalu jeblok. "SD harus dibikin jadi yang terbaik. Pemerintah tidak perlu urus unversitas. Universitas itu tanggung jawab swasta," kata Daniel.
Mantan Kepala Litbang Harian Kompas ini mendasarkan pemikirannya pada asumsi bahwa jika pendidikan dasar tidak kuat, maka level pendidikan di atasnya akan mudah sekali rapuh.
Sementara Drs. Frans Meak Parera menganjurkan pemerintah berani membangun pusat kurikulum di NTT. Frans sangat gusar melihat wajah dan terutama mutu pendidikan di NTT saat ini. "Dulu sekolah-sekolah di NTT sangat bermutu dan terkenal. Sekarang tidak ada apa-apa lagi. Karena itu saya anjurkan agar dibangun pusat kurikulum di NTT. Ketika di Hokeng (Flores Timur), saya dengar banyak sekali dana Silpa, dana yang tidak bisa diserap dan harus dikembalikan ke pusat. Pakai saja dana itu untuk memperbaiki mutu pendidikan di NTT," kata Frans.
Frans juga menganjurkan agar pemerintah mesti segera membangun perpustakaan-perpustakaan dan menyiapkan buku- buku bacaan bermutu untuk menyelamatkan wajah pendidikan NTT yang terus dirundung durja.
Website yang out of date, kritikan terhadap etos PNS, harapan memperkuat SD dan membangun perpustakaan adalah hal-hal kecil dan terkesan sepele. Tetapi serpihan-serpihan kecil dan sederhana bisa mengukir sebuah prestasi besar dan luar biasa. (bersambung)

Pos Kupang 31 Oktober 2008
Read More...

Mereka Tanya Hal yang Sederhana (1)


Oleh Tony Kleden

SUDAH
bukan hal baru dan mengejutkan manakala mendengar dan membaca kritikan bernada minor tentang NTT. Miskin, melarat, busung lapar, gizi buruk, sangar-sangar adalah sederetan stigma yang paling menyakitkan di telinga.
Nama propinsi ratusan pulau nan indah ini pun diplesetkan aneh- aneh. Nasib Tidak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tergantung Tindakan. Di musim kemarau, saat Kota Kupang ramai dengan aksi bakar-membakar dan menyisahkan batu-batu cadas, NTT diplesetkan lagi menjadi Nona Tidur Telanjang.

Rada lucu dan menjengkelkan mendengar plesetan seperti itu. Galibnya, plesetan itu cuma melemahkan spirit, mematikan semangat dan memasung daya kreasi.
Niat menghilangkan aneka stigma seperti itulah yang mendorong Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon L Foenay, M.Si, membuang langkah ke Jakarta, Jumat- Sabtu (10-11/2008) lalu. Hari Jumat (10/10/2008) malam di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Gubernur Lebu Raya bertemu dengan sejumlah pengusaha yang dihimpun Institut Leimena, Jakarta. Dari Institut Leimena hadir antara lain Jakob Tobing dan beberapa pengurus.
Akrab suasana malam itu. Meja-meja bundar terisi penuh. Sekitar 30-an orang hadir. Lebih banyak dari Jakarta. Mereka adalah para pengusaha dengan feeling bisnis tajam. Mereka mewakili grup-grup bisnis yang punya nama beken di negara ini. Dari Grup Ciputra hadir Cakra Ciputra, putra Ciputra. Edwin Suryajaya dari Grup Suryajaya. Albert Salim dari Salim Grup dan beberapa yang lain.
Di hadapan para pengusaha itu Gubernur Lebu Raya membeberkan kondisi NTT, memetakan potensi-potensi yang ada dan menunjukkan peluang-peluang bisnis yang bisa ditangkap.
Menurut Gubernur Lebu Raya, sudah terlalu lama NTT dikesankan sebagai daerah yang serba kurang. Kurang ini, kurang itu. Lemah ini, lemah itu. Kesan yang kemudian berubah menjadi mitos adalah miskin. NTT terlanjur identik dengan kemiskinan. "Saya sudah minta kepada warga NTT agar stigma miskin itu dihentikan. Tidak boleh lagi omong NTT miskin. Sebab stigma itu tidak ada nilai positifnya, cuma melemahkan semangat untuk bangkit, untuk bangun. NTT masih banyak potensi yang butuh sentuhan, butuh perhatian," kata Gubernur Lebu Raya.
Di laut NTT kaya raya. Ikan, teripang, rumput laut, mutiara. Apalagi sepertiga luas NTT adalah lautan. Anehnya, kata gubernur, melaut belum terlalu mentradisi di NTT. Warga asli NTT yang turun ke laut cuma segelintir nelayan di Flores Timur, Lembata, Rote, Ende. Selebihnya datang dari Bugis, Makassar, Buton, Kendari dan menetap di NTT. Mereka ini yang lebih bernyali membelah ombak di perairan NTT hingga menjadi kaya raya. "Banyak orang NTT biar tinggal di pinggir pantai, tetapi membelakangi laut," kata gubernur.
Di darat NTT kaya mineral. Emas, barit, mangaan, semen, panas bumi. Apa yang tidak ada di NTT? "Nah, karena itu pertemuan malam ini sangat berarti. Saya ajak semua kita dalam ruangan ini mari bantu NTT, mari bersama-sama bangun NTT. Pemerintah siap membantu, siap memperlancar segala urusan. Ciputra bangun hotel di mana-mana, saya tunggu Hotel Ciputra di NTT," tantang Gubernur Lebu Raya.
Selepas gubernur membeberkan kondisi NTT berikut potensi yang laik garap, sejumlah pertanyaan terlontar dari kalangan pengusaha Jakarta. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sederhana saja. Apakah di NTT ada pelabuhan peti kemas? Bagaimana kondisi jalan raya menuju pelabuhan? Ada hotel yang baik dan representatif? Bagaimana jalur teleponnya? Itulah beberapa pertanyaan yang diajukan dalam pertemuan itu.
Sederhana? Mungkin ya. Tetapi untuk pengusaha, fasilitas seperti ini adalah vital. Vital karena akan sangat menentukan maju mundurnya suatu aktivitas industri. Mimpi kita umumnya di langit ketuju. Konsentrasi kita adalah bangunan-bangunan besar, proyek-proek mercusuar. Kita lupa yang kecil-kecil, yang sederhana-sederhana, tetapi vital. Sekali lagi vital.
Terkenang Kawasan Industri (KI) Bolok dengan seorang 'manejer' beberapa tahun lalu. Teringat Kapet Mbay, nun beberapa dekade lampau. Terbayang pabrik Semen Kupang hari- hari ini. Terusik dengan Perusahaan Daerah Flobamor yang lebih banyak didonor dana dari APBD, tanpa banyak mendonor.
Seberapa berhasil aset-aset ini memberi maslahat untuk warga NTT? Cerobong pabrik Semen Kupang mengepul sejak masa Ben Mboi. Kapet Mbay sejak Herman Musakabe. KI Bolok sejak Piet A Tallo. Tetapi situasi dan kondisi tidak membaik. Aset-aset ini lebih banyak hanya punya nama besar, ketimbang manfaatnya.
Maka ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan substansial dari para pengusaha Jakarta, rasanya NTT masih sangat jauh dari bayangan para pemodal di negeri ini. Propinsi yang telah menyumbang begitu banyak tokoh intelektual buat negeri ini, mengirim begitu banyak rohaniwan ke begitu banyak negara di dunia terkesan masih begitu tertinggal dan sama sekali tidak masuk agenda ekspansi usaha para pemodal.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Gubernur Lebu Raya menjelaskan, fasilitas pendukung sebetulnya tidak terlalu jelek. NTT tidak terlalu jeleklah seperti yang didengar. Apa yang dibayangkan selama ini sebagai kurang, tidak semuanya benar. "Kita di NTT punya satu kawasan industri yang kita sebut Kawasan Industri Bolok. Kawasan ini dekat dengan pelabuhan. Pelabuhan ini juga bisa untuk pelabuhan peti kemas. Kondisinya cukup bagus. Ada hotel berbintang dengan fasilitas standar," kata Gubernur Lebu Raya meyakinkan para pengusaha itu.
Gubernur Lebu Raya memahami kegundahan, keraguan dan kecemasan para pengusaha itu menanam modalnya di NTT. Karena itu berkali-kali gubernur meminta perhatian lebih para pengusaha Jakarta untuk berani menanam modalnya di NTT. Investasi, kata gubernur kepada para pengusaha itu, ada untung dan ruginya. "Mungkin ada kerugian dari sisi bisnis, tetapi juga ada untung secara sosial. Karena itu saya mengajak siapa saja yang berkemauan baik untuk tolong bangun NTT ke depan. Berikan perhatian lebih untuk NTT," ajak Gubernur Lebu Raya.
Ruangan Restoran Pulau Dua, Jakarta malam itu aram-temaram. Ikan bakar, minuman ringan, buah-buahan sudah lenyap separuh. Berpindah tempat, dari meja ke perut. Tetapi pertemuan malam itu tidak boleh berhenti di situ. Harapan tetap perlu dilambungkan. "Malam ini kita sudah berkumpul. Ini langkah awal, dan harus ada follow up-nya. Pertemuan malam ini tidak boleh sampai di sini saja. Saya tunggu di Kupang," kata Gubernur Lebu Raya. (bersambung)

Pos Kupang, Kamis 30 Oktober 2008
Read More...