Sekali lagi, Pangan Lokal

Jumat, 28 November 2008

KETIDAKADILAN pangan yang terjadi di muka bumi ini secara sederhana dan jelas telah diungkap dalam bentuk komik pada buku "Food for Beginners" yang ditulis oleh Susan George dan Nigel Paige.
Keduanya menggambarkan secara gamblang betapa keserakahan, kehidupan yang tidak mengenal kata cukup, dan menganggap diri lebih berarti daripada yang lain telah mendorong manusia untuk ingin mendapatkan dan menguasai lebih dan lebih lagi.
Bahkan tidak jarang si kaya, orang-orang atau negara-negara maju yang menguasai lebih banyak pangan itu, justru lebih menghargai harkat binatang daripada harkat seorang manusia miskin.

Ketidakadilan pangan itu dewasa ini semakin terasa. Banyak warga masyarakat kita tidak mampu makan tiga kali sehari. Sudah begitu, makanan yang dikonsumsi juga rendah nilai gizi dan vitaminnya. Akibatnya, kondisi kesehatan warga tidak maju- maju.
Sejak beberapa dekade lalu, di Indonesia ketika revolusi hijau menjadi primadona, beras menjadi mahadewa yang mendapat perhatian begitu besar. Penggunaan bibit unggul, pestisida dan pupuk kimia serta jaringan irigasi dibangun untuk memacu produksi beras.
Hasilnya luar biasa. Tahun 1984, Pemerintah Indonesia mengumumkan sudah berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Sejak itulah, beras menjadi primadona bahan pangan dan meninggalkan bahan pangan lain. Masyarakat kita menjadi begitu dependen pada beras. Pangan direduksi hanya menjadi beras, pertanian diredukdi menjadi sistem sawah yang monokultur. Seterusnya cara pandang masyarakat kita tentang pangan adalah beras.
Adalah tekad duet Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon L Foenay, yang coba melawan arus besar ini. Sejak dilantik medio Juli lalu, duet ini gencar mengkampanyekan pangan lokal.
Ya, pangan lokal untuk menjawab masalah yang sering mendera rakyat NTT. Kultur warga NTT adalah petani lahan kering. Kondisi tanah umumnya di NTT adalah lahan kering, bukan sawah. Hampir semua daerah mengenal bahan pangan lokal yang menjadi ciri khasnya. NTT terkenal dengan megabiodiversitas (keanekaragaman hayati) yang amat tinggi. Lantas, kenapa kita terus didera kelaparan, kurang gizi, gizi buruk, kekurangan pangan?
Itu hanya terjadi karena kita, warga NTT, lupa kekayaan kita, lupa potensi kita sendiri dan selalu berkiblat ke luar, ke daerah lain. Betapa kita sudah sedemikian jauh melihat dan memandang sesuatu yang dari luar selalu lebih baik, lebih tinggi.
Akibatnya, apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita justru kita abaikan. Bumi NTT menghasilkan aneka ragam sumber pangan seperti kacang-kacangan (leguminosae), yang merupakan sumber protein dan jagung serta umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat.
Kita sepakat dan mendukung duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay. Kita dukung bahwa saatnya kembali ke diri kita masing-masing, melihat potensi yang ada pada alam kita. Ajakan untuk mengonsumsi pangan lokal kita dukung.
Tetapi, kembali ke pangan lokal tidak bisa hanya sebatas ajakan atau imbauan. Dia mesti diterjemahkan ke dalam agenda kerja pemerintah. Artinya pemerintah mesti mulai berpikir serius dengan merancang program, merumuskan aksi nyata agar rakyat NTT perlahan-lahan kembali ke pangan lokal.
Banyak hal mesti segera dilakukan pemerintah. Jika sejauh ini, kebijakan pertanian justru menjauhkan petani dari potensi lokal, maka pemerintah perlu segera mengubah kebijakan pertanian menjadi pertanian yang ramah petani, ramah lingkungan. Artinya kebijakan pertanian yang digagas adalah pertanian yang mampu membuat para petani betah tinggal di desanya.
Jika selama ini kebijakan pertanian cenderung bersifat seragam, maka pemerintah juga perlu segera mengubahnya. Kebijakan pertanian tidak boleh seragam, melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Apa yang menjadi kebijakan pusat atau propinsi tidak harus menjadi kebijakan kabupaten. Itu artinya, petani di setiap daerah diberi keleluasaan untuk menanam apa yang cocok dengan daerahnya.
Kebijakan pertanian juga harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti, dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Rasanya hanya dengan melibatkan petani di desa-desa, harapan kembali ke pangan lokal bisa terwujud. *

Pos Kupang, Kamis 27 November 2008


0 komentar:

Posting Komentar