UU Pornografi, Moralitas Pribadi, dan Demokrasi

Selasa, 18 November 2008

Oleh: Otto Gusti Nd Madung

MENJUNGKIRBALIKKAN
nilai-nial! Adagium Friedrich Nietzsche ini mungkin merupakan ungkapan paling tepat untuk melukiskan Undang- Undang Pornografi/Pornoaks i. Undang-undang ini berambisi mengatur kesempurnaan moralitas manusia, yang sesungguhnya mustahil diurus negara, kecuali dalam rezim totaliter.

Ernst Wolfgang Böckenförde, mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Jerman, merumuskan secara tepat esensi sekaligus paradoks yang harus dihadapi negara demokratis modern: "Negara liberal-sekuler mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang tak dapat dijaminnya sendiri."


Paradoksi ini, demikian Böckenförde, harus diterima setiap negara sekuler yang mau meng-hargai dan menyelamatkan kebebasan individu. Sebuah negara demokratis modern hanya mungkin eksis secara legitimasi jika ia mampu menjamin dan melindungi kebebasan setiap warganya. Di satu sisi, kebebasan individu merupakan tujuan dan dasar keberadaan sebuah negara. Akan tetapi, di sisi lain inti dari kebebasan tersebut, yakni suara hati tidak pernah boleh dan tidak dapat diatur menurut norma-norma hukum positif. Sebab ketika negara lewat hukum positif masuk ke dalam ranah privat kebebasan suara hati, ia sesungguhnya telah menjadi totaliter.

Paradoksi yang dikemukakan Böckenförde di atas merupakan jalan yang telah dan tetap dilewati pemikiran dan praktik politik Eropa modern. Jalan ini telah mengantar mereka keluar dari konflik berdarah dan perang antara agama dan kelompok etnis yang, melanda Eropa pada abad ke-17. Hingga kini konsep negara liberal-sekuler tetap mampu menjaga perdamaian umum.

Kebebasan manusia terungkap lewat keputusan otonom dan atas pertimbangan suara hati yang tidak pernah boleh serta tidak dapat diintervensi oleh instansi luar. Kebebasan hanya dapat meregulasi dirinya dari dalam, dari substansi moral setiap individu dan homogenitas sebuah masyarakat. Bahaya totalitarisme mulai mengintip ketika negara, misalnya, lewat hukum positif mau mengatur suara hati dan virtus (keutamaan pribadi) warganya. Di sini, negara berambisi mengatur segala-galanya, termasuk cara berpikir dan moralitas warganya yang seharusnya mustahil dapat dilaksanakannya.

Ambisi negara tersebut menciptakan konflik dan membahayakan perdamaian umum, sebab ia menyangkal adanya pluralitas budaya, agama, tingkah laku, dan kebebasan berpikir dalam sebuah negara modern.

Diskriminatif


Negasi atas kenyataan pluralitas terjadi ketika di negeri ini para legislator di Senayan mau meregulasi urusan libido warga negara lewat penetapan Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i. Tidak perlu heran kalau undang-undang ini akan terus menuai kontroversi dan protes warga, seperti sudah ditunjukkan di beberapa wilayah di Indonesia. Sebab, ia bersifat diskriminatif dan tidak menghargai keanekaan budaya yang hidup di bumi Indonesia.

Separatisme sesungguhnya sudah berada di ambang pintu, sebab ia hanya mengadopsi ajaran dari agama tertentu dan harus ditaati oleh penganut agama atau kelompok budaya lain. Kelompok minoritas akan terus protes karena merasa ditindas dan budayanya tidak dihargai serta didominasi budaya mainstream. Undang-Undang Pornografi tidak hanya menciptakan separatisme dan membahayakan kesatuan bangsa, tapi akan merongrong dan merusak substansi demokrasi itu sendiri, yakni kebebasan individu dan otonomi yang sudah lama kita perjuangkan. Penolakan terhadap UU ini tidak lagi hanya terbatas pada kaum minoritas yang haknya dilecehkan, tapi menjangkau seluruh warga negara Indonesia yang punya komitmen dan mau memperjuangkan keberlangsungan proses demokratisasi.

Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i merupakan ungkapan totalitarisme negara dan musuh demokrasi. Maka harus ditolak! Di sini negara menjadi totaliter dengan mengintervensi ke dalam domain privat masalah moralitas pribadi warga negara. Negara demokratis modern, yang menghargai paham hak-hak asasi manusia tidak boleh mengintervensi kehidupan moral warganya sejauh pelanggaran atasnya tidak merugikan kesejahteraan umum. Negara tidak boleh membuat larangan semata-mata atas dasar pertimbangan mau menyempurnakan kerohanian pribadi seseorang. Persolan moralitas hanya menjadi masalah negara jika berhubungan dengan bonum commune atau kesejahteraan umum (Franz Magnis Suseno, 1999).

Sejarah pemikiran politik Eropa mengajarkan kita, apa yang terjadi ketika negara di abad pertengahan ingin mewujudkan tujuan ganda sekaligus, yakni menciptakan perdamaian (pax) dan keutamaan pribadi (virtus). Negara abad pertengahan tidak hanya punya wewenang membuat hukum, tapi juga mendidik dan mewajibkan warganya menjadi saleh dan bermoral. Dengan taat terhadap hukum bukan cuma perdamaian umum dapat dicapai, tapi orang-orang juga dibantu untuk menjadi saleh dan baik secara moral.

Negara dengan monopoli atas kebenaran menjadi totaliter, otoriter, dan intoleran. Konsep negara liberal sekuler ingin keluar dari persoalan ini dengan meninggalkan monopoli atas kebenaran dan membatasi diri pada tugas menjaga perdamaian umum (pax) dan menjamin keadilan lewat hukum positif.

Dengan cara ini, negara menyelamatkan dan menjaga kebebasan dan otonomi individu serta menjamin pluralitas budaya dan agama. Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia, pilihan nilai dan makna menjadi wacana khusus di bawah payung kebebasan beragama dan berpendapat.

Kemunduran

UU Pornografi/Pornoaks i adalah sebuah kemunduran historis dan menampilkan kerancuan cara berpikir. Ia ingin mengawinkan kembali tugas negara, yakni menjamin perdamaian serta kesejahteraan umum dan menjaga kesalehan serta moralitas pribadi warga, seperti pernah dipraktikkan di Eropa pada abad pertengahan. Hal ini tak mungkin dapat diwujudkan dalam sebuah negara modern, karena mengandaikan homogenitas budaya dan tatanan sosial yang monolitis. Sementara itu Indonesia ditandai dengan pluralitas budaya, suku, dan agama.

Persoalan pornografi tidak dapat diatur dengan undang- undang karena ia bersifat sangat subjektif. Hukum positif hanya berurusan dengan hal-hal umum. Absurditas UU ini mencapai kesempurnaannya ketika ia merumuskan definisi pornografi sebagai "materi seksualitas yang dibuat manusia dan dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".

Undang-Undang Pornografi hanya bisa mencapai tujuannya jika ia mampu mengontrol pikiran, menegasi kebebasan dan membangun sebuah negara panoptikum yang dapat mengontrol semuanya. Totalitas teknologi kekuasaan dan mekanisme kontrol ini hanya mungkin dalam sebuah negara totaliter. Maka, UU Pronografi/Pornoaks i harus kita tolak atas nama demokrasi dan martabat pribadi manusia yang otonom!

* Penulis adalah rohaniwan, staf pengajar pada STFK Ledalero dan pernah mengikuti program doktoral di bidang filsafat sosial pada Hochschule f r Philosophie M nchen, Jerman

"Let nothing disturb you, nothing frighten you, all things are
passing, God is unchanging. Patience gains all; nothing is
lacking to those who have God: God alone is sufficient."

(St.Teresa of Avila)

Suara Pembaruan, 17 Nov 2008

0 komentar:

Posting Komentar