Ke Barat, Kok Ikut Timur?

Kamis, 23 April 2009

SUDAH rutin dilakukan setiap kepala daerah mengunjungi warganya setelah dilantik. Begitu juga halnya dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, awal April lalu ketika dua hari, tepatnya Kamis-Jumat (2-3/4/2009), mengunjungi Kabupaten Ende. Karena rutin, nyaris tak ada yang menarik dan penting lagi. Kunjungan kerja itu, karena itu, sering dinilai sebagai kunjungan balasan, pernyataan terima kasih karena telah terpilih menjadi kepala daerah.

Tetapi dari dua hari mengikuti kunjungan kerja Gubernur Frans Lebu Raya ke Ende, dan juga pengalaman mengikuti dan menyaksikan sejumlah kepala daerah mengunjungi rakyatnya, nyata terbaca banyak sisi lain yang menarik dan penting, lebih dari sekadar ucapan terima kasih.
Di Ende, sudah dari awal diingatkan bahwa medan menuju Kecamatan Maukaro, pesisir utara Ende mahaberat. Sepuluh tahun lalu, ketika melintasi jalur ini, kondisi jalan tidak jelek-jelek amat. Kendaraan masih bisa melaju di atas 60 km per jam. Kali ini? "Lihat, sekarang sudah mendung. Kalau hujan di utara, susah lewat," kata Benediktus Kadju, sopir Kadis Sosial Ende, yang kendaraannya kami tumpangi.
Benar, kijang inova hanya bisa melaju dengan kecepatan standar sampai di pertigaan Sokoria, Desa Ranokalo Selatan, Kecamatan Maurole. Pertigaan itu adalah persimpangan arah timur-barat-selatan. Timur ke Maumere, barat ke Mbay dan selatan ke Ende melalui Detusoko. Selepas itu, jalannya rusak minta ampun. Aspal tidak jelas lagi, bopeng di mana-mana. Lempung tanah dan tanah berlempung mengiris jantung jalan. Batu-batu sekepalan tangan, bahkan sebesar kepala manusia berceceran, beradu dengan roda-roda kendaraan. Di tempat yang berlubang, genangan air memekat. "Katanya, kemarin hujan," ujar Kadju, laki-laki separuh umur asal Mataloko, Ngada yang sekarang menjadi sopir Bupati Don Bosco Wangge, Bupati Ende yang dilantik 7 April lalu. Kendaraan dipacu dengan kecepatan di bawah standar. Tidak bisa cepat.
Pada beberapa lokasi, jalan menyusur bibir pantai. Pembatas jalan dengan air laut adalah tembok alami, yakni batu-batu yang tersusun dari mulanya. Bukan tembok dengan semen yang kokoh. Sejak beberapa tahun terakhir, abrasi mencubit pelan-pelan tembok alami itu. Hantaman ombak yang pecah di batu-batu melewati ruas jalan. Kalau sopir salah ukur, kendaraannya cemplung ke laut. Jalur ini benar-benar neraka bagi pengemudi.
Mestinya tidak parah, mengingat Kepala Dinas PU Ende, Agus Naga, adalah anak tanah dari Kampung Nabe, Maukaro. "Memang susah kalau Kadis PU bukan orang (berlatar belakang pendidikan) teknik," kata seorang pejabat dari propinsi. Agus Naga adalah Kadis PU bergelar sarjana hukum (SH). Satu-satunya Kadis PU di NTT yang bergelar SH. Padahal, masih banyak orang pintar dari Ende yang berlatar belakang sarjana teknik yang cocok dan tepat menduduki jabatan seperti Kadis PU. Mereka laku sebagai Kadis PU di Nagekeo, Manggarai Barat dan Lembata.
Sebenarnya, jarak tempuh dari Ende ke Maukaro tidak terlalu jauh, sekitar 95 km. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo. Tetapi akibat kondisi jalan yang buruk itulah, rute perjalanan mesti ke timur baru belok ke barat. Jika jalannya baik, Maukaro lebih dekat dan lebih cepat dicapai dari arah barat. Dari Ende menuju Bajawa, belok kanan di Nangapanda. Ikut arah barat, jarak tempuhnya cuma sekitar 60 km. "Tetapi dari Nangapanda tidak bisa lewat. Tidak ada kendaraan yang berani lewat," kata Kadju.
Konvoi kendaraan berangkat dari Ende pukul 13.00 Wita. Tiga jam anggota rombongan 'patah pinggang' di atas kendaraan. Lepas pukul 16.00 tiba di Desa Kebirangga, Maukaro. Kawasan pesisir utara Ende ini kaya hasil bumi. Di pinggir kiri jalan, jambu mete berdiri tegak. Pisang dan ubi terhampar. Cengkeh banyak. Jagung di kebun telah mengering. Siap panen.
Sepuluh tahun lalu, Humpus Grup menanam ubi aldira di kawasan ini. Hasilnya luar biasa. Sebatang ubi bisa menghasilkan 7-12 kg. Yang jadi soal ketika itu adalah pemasaran pasca panen. Karena rugi, warga menebas buang ubi-ubi aldira. Ketika itu ruas jalan relatif masih mulus. Licin. Bus-bus dari Maumere ke Bajawa atau Mbay sering ikut jalur ini. Berangkat ke Maukaro ikut Detusoko dan kembali melalui Nangapanda butuh waktu sekitar lima jam. Rute seperti itu mustahil sekarang. Tidak ada lagi bus dari Maumere ke arah barat ikut jalur utara. Sopir tak mau bawa kendaraannya ke jurang dan penumpangnya ke liang lahat. "Makanya kami malas pulang kampung karena jalan jelek itu," kata Maksi Biaedae, salah seorang anggota KPUD Kota Kupang sekarang. Maksi berasal dari Wolowae, perbatasan dengan Maukaro.
Kondisi jalan yang seperti itu, terang saja menghambat mobilitas manusia dan barang dari kawasan utara ke pasar-pasar. Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, meminta perhatian gubernur agar ruas jalan itu diperbaiki. "Kami minta agar ruas jalan dari Maukaro ke Ende bisa diperhatikan," kata Nis Laka, pria asal Semau, Kabupaten Kupang.
Di hadapan mosalaki, warga masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, Gubernur Frans Lebu Raya menjelaskan panjang lebar tentang delapan agenda Pemda NTT dengan spirit Anggur Merah. Meski sektor pendidikan dan kesehatan menempati urutan satu dan dua, program pertanian dan perkebunan tetap menjadi sektor yang sangat vital, terutama untuk membangun kesadaran warga mengonsumsi pangan lokal yang tumbuh dari rahim tanahnya.
"Saya sudah lihat jalan dari Ende ke Maukaro. Jelek sekali. Tentu kita akan perhatikan ruas jalan ini. Memang mahal sekali bangun jalan. Untuk menghotmixkan satu kilometer jalan saja dibutuhkan dana Rp 1,2 miliar. Tetapi secara bertahap kita akan coba membangun ruas jalan ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Di Detusoko, secara berkelakar gubernur mengatakan kepada warga setempat, "Saya bilang Kadis Kimpraswil NTT, kau rugi tidak ikut saya ke Ende. Rugi apa? Rugi karena tidak lihat kondisi jalan yang jelek." Gubernur mengatakan, Kadis Kimpraswil NTT, Ir. Andre W Koreh, MT, telah berjanji akan segera turun ke Maukaro melihat langsung kondisi jalan itu. (bersambung)
Pos Kupang, Selasa 21 April 2009

n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (2)
Lihat Lagi Setelah El Tari


Oleh Tony Kleden

MELELAHKAN juga menjadi orang penting seperti kepala daerah. Butuh energi prima, tenaga ekstra joss, dan vitalitas tinggi untuk menjadi gubernur dengan wilayah luas seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Bayangkan, sebelum ke Ende, Kamis-Jumat (2-3/4/2009), Gubernur Frans Lebu Raya dua hari mengunjungi Pulau Sabu, Kabupaten Kupang. Berangkat ke calon kabupaten baru NTT itu, Selasa (31/3/2009), pada Rabu (1/4/2009) siang gubernur balik ke Kupang. Dari Bandara El Tari langsung ke Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS), mengunjungi ratusan anak sekolah setempat yang keracunan es potong. Kembali dari SoE pada Rabu lepas senja hari itu juga, Kamis pagi keesokan harinya gubernur ke Ende.
Fisik boleh kalah, tetapi semangat janganlah. Rakyat NTT pernah begitu berbangga ketika El Tari menjadi gubernur. Penuh semangat Bapak Pembangunan NTT itu mengunjungi begitu banyak warga di berbagai daerah di NTT. Naik kuda pun dilakukan El Tari demi mengunjungi rakyat.
Ketika mengambilalih kemudi, Ben Mboi juga menjejak begitu banyak desa di NTT. Tak lekang dari ingatan warga NTT kalau Ben Mboi datang, semua siaga satu. Ben Mboi tegas demi kemajuan rakyat. El Tari dan Ben Mboi jadi gubernur kala usia mereka baru kepala empat. Masih kuat-kuatnya.
Para pemimpin itu ke desa bukan terutama ingin tunjukkan otot- otot lengan mereka yang masih kuat. Mereka juga bukan bawa barang bantuan untuk rakyat di desa-desa. Dengan cara mereka sendiri, rakyat sangat tahu bagaimana mesti meniti dan melakoni sejarah hidup mereka. Yang paling mereka butuhkan adalah kunjungan, sapaan dari pemimpin. Rakyat sungguh rindu menyaksikan wajah pemimpinnya. Mereka tahu diri tidak akan dengan mudah menadah tangan. Pemimpin juga sadar tidak baik datang dan menaruh segepok rupiah atau sekilo beras, bak sinterkelas yang membagi-bagi permen untuk rakyat. Rakyat rela menyembelih ternak piaraan asal bisa makan bareng bersama pemimpin. Berjam-jam pung mereka rela duduk menunggu.
Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, begitu antusias menyambut Gubernur Frans Lebu Raya di Kebirangga, Kamis (2/4/2009) lalu. Warga yang berkumpul di halaman Kantor Camat Maukaro itu terlihat sangat sumringah. Mereka seolah tak percaya gubernur bisa datang dan mengunjungi mereka yang nun jauh di utara Flores, jauh dari lirikan pejabat dan kerlingan anggota Dewan yang telah mereka pilih.
Menurut Nis Laka, selama ini warga Maukaro hanya bisa menatap wajah semua Gubernur NTT melalui halaman-halaman koran. Tak heran, sapaan adat dari mosalaki setempat begitu kuat mengekspresikan kerinduan rakyat kecil dan sederhana akan wajah gubernur.
"Kami bangga karena meski jauh dan jalannya begitu rusak, bapak gubernur masih mau datang ke kecamatan kami. Kebanggaan kami adalah karena meski kecamatan ini baru berdiri lima tahun, bapak gubernur pertama mengunjungi kami di Maukaro, bukan ke kecamatan lain di Ende," kata Nis Laka.
Senada dengan Nis Laka, Camat Ndona, Petrus Mite, juga menyatakan hal yang sama. "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang lagi gubernur mengunjungi kami, warga di sini," kata Mite, Jumat (3/4/2009). Pada siang hari yang terik itu, gubernur mengunjungi warga di Kampung Kanakera, Ndona.
Kanakera sendiri lebih banyak didominasi pemeluk muslim. Dialog dengan gubernur berlangsung di Masjid Baiturrahman yang sementara direhab. Masjid ini cuma berjarak sekitar 150 meter dari Istana Uskup Ende. "Kalau mau belajar toleransi, datang ke Ndona," kata Mite bangga.
Di Wakuleu, Desa Mbuliwaralau Utara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, tua adat dan warga setempat terharu-haru menyambut gubernur. Meu Reu, mosalaki yang menyambut gubernur meneteskan air mata. Mengapa menangis? Menangis karena sudah lama tidak dikunjungi pemimpin.
Kepala Desa Mbuliwaralau Utara, Aloysius Wangge, juga mengatakan hal yang sama. "Kami terharu dan bangga, karena bapak gubernur hadir di tengah-tengah kami," kata Wangge. Saking bangganya, warga Wakuleu mendaulat gubernur menjadi anak adat di desa itu.
Di Detusoko, meski dingin malam menusuk tulang, warga Dusun Woloone, Desa Detusoko Barat setia menunggu gubernur. Di bawah tenda terpal, di tanah berbecek yang ditaburi dedak padi, warga berdialog dengan gubernur, menyampaikan isi hati dan harapan mereka. Mereka senang gubernur duduk berdialog dengan mereka. Lebih senang lagi gubernur gawi dengan mereka, sesuatu yang sangat langka buat mereka.
Di SMAK Syuradikara, para guru dan siswa antusias berdialog dengan gubernur. Mereka aktif bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Guru bertanya, siswa juga tak ketinggalan.
Kepada warga di semua tempat yang dikunjungi, Gubernur Lebu Raya menekankan kunjungan itu sebagai bagian dari tugas seorang pemimpin. "Saya ingin melihat langsung seperti apa kondisi warga, saya ingin menangkap dan menyerap langsung harapan dan aspirasi rakyat. Kondisi rakyat, harapan rakyat itu harus diterjemahkan menjadi program pemerintah. Memang pendapatan daerah kita masih sangat rendah dibandingkan dengan APBD kita. Karena itu pemerintah mesti pintar-pintar mengatur dana yang terbatas itu untuk begitu banyak sektor," urai gubernur di hadapan para siswa SMAK Syuradikara, Ende, Kamis (2/4/2009).
Pendapatan daerah boleh kecil. Rakyat belum sejahtera hidup. Tetapi kondisi serba terbatas itu jangan diperparah lagi oleh sulit dan jarangnya rakyat menatap langsung wajah pemimpinnya.
Tepat kata Camat Ndona, Petrus Mite, "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang gubernur mengunjungi kami." (bersambung)
Pos Kupang, Rabu, 22 April 2009


n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (3)
Moni, Sedari Dulu Riwayatmu

Oleh Tony Kleden

TANGGAL 12 Juli 1997. Masih hangat dalam memori saya. Sepasang suami istri asal Belanda terkaget-kaget menyaksikan danau tiga warna, Kelimutu. Berdiri di bibir danau kembar, merah dan biru, keduanya tak berkedip menyaksikan keajaiban yang terbentang di depan mata.
"Amazing!" Jawab sang istri ketika ditanya kesannya tentang Kelimutu. Waktu itu, Tiwu Telu itu masih masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Di senja usia, suami istri itu tuntas membayar rindu yang lama terpendam.
Tetapi mereka cuma semalam menginap di Sao Ria Bungalow, Moni. Pagi-pagi ke Kelimutu menyaksikan keindahan danau itu. Setelah itu turun kembali ke Moni, ikat koper, check out dan angkat kaki. Tidak ada yang menarik lagi selain Kelimutu.
Itu kondisi 12 tahun lalu. Sekarang obyek wisata itu telah ditata lumayan baik. Arus kunjungan makin meningkat. Pemasukan membaik. Tetapi hampir semua unit bungalow di Sao Ria Bungalow di Moni kok tambah hancur? Dua belas tahun lalu kondisinya masih sangat baik. Yang punya komputer bisa kerja di kamar. Ada meja, ada kursi. Dari restoran bisa telepon ke mana saja.
Awal April tahun ini, kemudahan-kemudahan itu tidak ada lagi. Cas HP yang low saja tidak mudah. Kursi dan meja tidak ada. Di kamar mandi, air dari kran berwarna coklat. Keruh. Mau sikat gigi? Tak berani, kecuali pakai air kemasan. Mau akses internet dari kamar? Wou, impossible! Tak mungkin. Sao Ria Bungalow, Moni bukan yang dulu lagi. Hampir semua dari 16 unit bungalow yang ada terkesan tidak terawat. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini adalah kondisi standar dan vital untuk industri tanpa asap bernama pariwisata. Wisatawan asing itu kalau ke hotel atau penginapan, yang dia cek pertama adalah kamar mandi/wc.
Kondisi seperti ini juga diakui Kepala Taman Nasional (TN) Kelimutu, Gatot Soebiantoro. Gatot tidak bisa berbuat banyak karena sebagai pengelola dan penanggung jawab TN Kelimutu, pihaknya tidak ada urusan dengan penginapan di Sao Ria Bungalow, Moni. Sao Ria Bungalow milik Pemkab Ende dan dikelola Dinas Pariwisata Ende.
Camat Kelimutu, Wellem Nubatonis, juga mengakui kondisi yang sama. Nubatonis mengatakan, air bersih yang jadi masalah di kawasan Kelimutu. Selama ini air di bungalow-bungalow dan rumah-rumah warga, kata Nubatonis, dialirkan langsung dari mata air tanpa melalui bak penampung. "Karena itu kalau musim hujan air kotor dan berlumpur," kata Nubatonis.
Menurut Nubatonis, pihak TN Kelimutu sudah sering mengajukan ke Pemerintah Kabupaten Ende untuk membangun bak penampung dan penyaring, tetapi belum juga direalisasi. "Tetapi tahun ini, pihak TN Kelimutu telah siap membangun sebuah bak penampung sekaligus penyaring," kata Nubatonis.
Gatot Soebiantoro mengatakan, pihaknya terus dan terus membenahi aset TN Kelimutu. Dalam setahun pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan RI mengalokasikan dana Rp 4-5 miliar. "Dana itu untuk seluruh operasional TN Kelimutu dan gaji para staf," kata Gatot, pria asal Jombang, Jawa Timur. Dia menambahkan, ada 48 staf TN Kelimutu yang saban hari berurusan dengan aset ini. "Di lapangan (di Kelimutu) ada tiga puluh orang," katanya. Gatot enggan menjawab ketika ditanya berapa dana dari ABPD Ende untuk TN Kelimutu.
Sejak tahun 2005, kata Gatot, tren kunjungan ke Kelimutu menggembirakan. Gatot menyebut grafik kunjungan wisatawan itu naik dari angka 8.000 ke 15 ribu orang/tahun. Dia melukiskan, pada peak season, dalam sehari wisatawan yang berkunjung bisa mencapai seribu orang.
Berapa pemasukan dari aset ini? Tidak ada apa-apanya dibanding dengan alokasi dana Rp 4 - 5 milir dari pusat. Dalam setahun, kata Gatot, pemasukan dari tiket baru mencapai Rp 150 juta. Tiket untuk wisatawan asing Rp 20.000/orang/sekali kunjungan. Sedangkan bagi wisatawan lokal, Rp 2.000/orang/sekali kunjungan. "Banyak wisatawan asing minta agar tiketnya dinaikkan karena terlalu murah. Tetapi kita belum naikkan. Fokus kita adalah pembenahan dan peningkatan pelayanan dulu," kata Gatot.
Yang menggembirakan, kata Gatot, adalah telah terjadi pergeseran wisata. Saat ini, kata Gatot, daya tarik wisata perlahan-lahan bergeser dari obyek yang artifisial siatnya kepada yang obyek alami sifatnya. Karena itu, kata Gatot, belakangan pihaknya mengajak masyarakat mengintegrasikan obyek wisata Danau Kelimutu dengan obyek wisata alam dan budaya setempat.
"Kalau dulu, turis itu setelah dari Kelimutu langsung ke Moni dan pulang. Sekarang kita belokkan rute kembalinya mereka dari Kelimutu. Wisatawan akan kita belokkan ke perkampungan dan kebun-kebun warga menyaksikan aset budaya dan tumbuh- tumbuhan khas Kelimutu. Kita juga mulai menggalakkan wisata tracking," kata Gatot.
Dengan cara ini efek gandanya diperoleh masyarakat. "Pemasukan Rp 150 juta itu hanya dari penjualan tiket. Nah, kalau wisata budaya dan alam juga kita genjot, maka masyarakat akan mendapat efek gandanya," kata Gatot.
Dia menyebut aneka tarian dan atraksi yang mulai dijual, seperti karapan babi, tarian di Nggela dan Wologai. Semuanya agar uang wisatawan tidak hanya dibelanjakan untuk membeli tiket, tetapi juga untuk menyaksikan atraksi budaya daerah setempat.
Departemen Kehutanan telah menjadikan Kelimutu sebagai Taman Nasional. Seluruh tanggung jawab pengelolaan aset ini berada di pemerintah pusat. Tetapi tanggung jawab politis, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral rasanya lebih banyak berada di tangan Pemerintah Kabupaten Ende dan warga setempat. Jika ada tiga tanggung jawab ini, niscaya Moni terus dikenang, diceritakan kepada lebih banyak orang lagi dan keajaiban Kelimutu disaksikan lebih banyak orang lagi. (habis)
Pos Kupang, Jumat, 24 April 2009

0 komentar:

Posting Komentar