Politik Membaca Sastra

Jumat, 21 Agustus 2009

Oleh Andi Hayong

Barangkali judul ini kedengaran janggal karena bukankah sastra selalu diartikan sebagai pelayan politik. Politik dalam arti seluas-luasnya, menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Politik sebagai hakekat kehidupan manusia, sebagaimana dikatakan Aristoteles 'Man is by nature is political man.' Atau sebagaimana dilontarkan oleh Anthony Giddens bahwa politik tidak hanya dilihat secara emansipatorik (politics of life chances) tetapi juga sebagai politik kehidupan (politics of a life style).
Bila paradigma pertama mau menghapus eksploitasi dan penindasan maka model kedua lebih menekankan pada aktualisasi diri. (bdk. Anthony Giddens, Modernity and Self Identity-Self and Society in the Last Modern Age, Hlm. 209-231).
Kalau melihat politik dalam defenisi seperti ini maka dapat dikatakan bahwa pergulatan sastra Indonesia tak lepas dari sepak terjang dunia politik dalam arti luas itu. Hal yang juga diakui oleh Sapardi Djoko Damono bahwa sastra Indonesia sejak zaman penjajah selalu berbicara tentang kehidupan masyarakat, kritik sosial. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh maka paradigma berpikir, pola kultural yang hidup hingga saat ini tak lepas dari dunia sastra. La Galigo karya sastra besar, konon lariknya melampaui epos Mahabrata atau Illias dan Odeysey, yaitu 300 ribu larik, hidup dalam budaya Bugis semenjak abad awal Masehi dikatakan sebagai roh yang menjiwai hidup orang-orang Bugis (Lih. Majalah Tempo 14 April 2002). Dan sastra bila didefenisikan sebagai teks dalam pengertian Derrida bahwa tak ada yang hors-texte (di luar teks). Atau sebagaimana dikatakan Roland Barthes bahwa teks tidak cukup dipahami secara sintakmatik yang mengandaikan finalitas, komprehensif dan tertutup. Tetapi harus dilihat dalam logika metonimik yang lebih terbuka, tak berpusat, bukan hanya mengkonsumsi tetapi juga memproduksi maka tak bisa ditolak, sastra amat mengakar dalam hidup manusia. Ia amat dekat dengan pengalaman kerakyatan, pengalaman kehidupan. Bukankah kisah atau tokoh mitologis tiap daerah adalah kisah sastrawi turun temurun. Sebut saja, mitos Tangkuban Prahu, Nyi Roro Kidul, mitos padi yang hidup hampir di seluruh wilayah Indonesia dan seterusnya. Bila melihat sastra dalam paradigma seperti ini maka dapat dikatakan bahwa sastra sungguh menyentuh pengalaman kemanusiaan.
Tak henti-hentinya sastra mengangkat realitas pergulatan baik individu maupun masyarakat. Dari beberapa contoh di atas dapat dilihat betapa erat kaitan sastra sebagai kisah (narasi) dengan kehidupan. Bahkan novel-novel yang muncul hingga hari ini pun kuat bergema justru karena lokalitas pergulatan hidup yang ditampilkan. Pramoedya Ananta Toer dengan pengalaman revolusi kemerdekaan dan Pulau Buru. Ayu Utami bergema karena mengangkat lokalitas pengalaman Perabumulih. Demikian yang berlaku dengan Mangun Wijaya, Remy Silado, Dewi Lestari dan seterusnya. Jadi paradigma pertama tak diragukan lagi bahwa sastra 'pelayan politik'. Ia turut dalam jatuh bangun pergulatan kemanusiaan. Maka cukup beralasan kalau dikatakan bahwa sastra bak pelayan politik, sebagaimana filsafat di abad pertengahan sebagai 'ancilla fidei/theologia' (pelayan iman/teologi).
Namun format berpikir searah bahwa sastra sebagai hamba politik, hari-hari ini perlu dipertanyakan di tengah pergeseran paradigma berpikir (paradigm shift). Tuntutan bahwa sastra harus peduli dengan dunia kehidupan saja tidak cukup. Yang perlu juga diperhatikan bukan sekadar sastra yang melayani politik tetapi apakah masyarakat-politik sendiri mempunyai apreasiasi terhadap dunia sastra. Karena sebagaimana diakui oleh Taufiq Ismail, dunia sastra kita kurang lebih enam puluh tahun ditelantarkan. Sastra menjadi rima yang tak begitu memberi efek karena apreasiasi yang rendah terhadap sastra (Bdk. Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba, hlm. 207-211). Bila ditelisik lebih jauh situasi pengabaian ini juga karena kebijasanaan yang lebih berpihak pada pembangunan fisik alias kebijaksanaan teknokratik. Pembangunan yang dengan meminjam Habermas hanya berorientasi pada zweckrationalit t (rasionalitas-tujuan). Sehingga dunia sastra semenjak di bangku sekolah pun tak begitu mendapat tempat. Dunia sastra menjadi dunia asing, hanya banyolan murahan. Simak saja kata-kata Sudomo "Mahasiswa kalau ingin membanyol jangan di DPR tetapi di TIM." Kalau demikian TIM dianggap tempat membanyol yang tidak efektif (Bdk. Sapardi Djoko Damono, Politik Indonesia dan Sastra Hibrida, hlm. 101). Pengabaian pada dunia sastra sebenarnya membawa kepincangan yang cukup serius. Karena hal itu berarti pengkerdilan hakekat hidup mendasar manusia sebagai makluk reflektif.

Melihat lebih jauh
Omongan seperti ini bukan khayalan filosofis tak mendasar namun dari dunia ilmu pengetahuan paling rigid pun kesadaran ini semakin mendapat tempat. Dunia ilmu rigorous pun tidak sok pasti, sebagai dunia yang sanggup menjelaskan segala sesuatu. Simak saja pengakuan Heisenberg pemenang nobel untuk fisika. "Ah tidak, saya tidak yakin teori itu betul." Karena ia percaya, hakekat kehidupan selalu lebih indah daripada segala rumus matematika dan fisika. Dan sebuah rumus agar sanggup berbicara tentang semesta harus didasari pada keindahan ini (Bdk. Mangun Wijaya. Manusia Pascamodern, Sains dan Tuhan, hlm. 102). Demikian juga orang macam Fritjof Capra, Geoffrey Chew, Prigogine dari kubu fisika baru, hari-hari ini lebih cenderung bicara tentang probabilitas ketimbang kepastian hitam-putih. Geoffrey Chew dengan pendekatan bootstrap tidak melihat alam itu sebagai balok-balok materi yang membeku tetapi sebagai jaringan dinamis dari peristiwa yang saling berhubungan. Demikian juga Capra melihat realitas dalam kerangka kesalinghubungan yang dinamis. Dan omongan seperti ini tidak bisa tidak menyentuh dan memberi bobot baru pada medan reflektif.
Maka patut dikatakan bahwa politik sebagai dunia yang berbenturan dengan kehidupan tak mungkin dibatasi pada ranah kepastian (ilmu pasti) tetapi harus sanggup memasuki medan reflektif sastrawi. Karena politik tidak sekadar perkara undang-undang, tata tertib tetapi harus sanggup melampaui segala kategori itu. Melihat politik tidak lagi dalam tataran fragmentaris-statis tetapi lebih sebagai medan holistik-dinamis. Maka tidak heran Bismarck berbicara tentang politik sebagai "Seni pemakaian kemungkinan nyata." Politik akhirnya bukan sekadar perkara benar-salah tetapi menjadi medan dialektika terus menerus. Sebagaimana dikatakan Franz Magnis Suseno manakala berbicara tentang demokrasi sebagai perjuangan politik universal dewasa ini. Ia mengakui bahwa demokrasi itu merupakan realitas yang bersifat, relatif, kontekstual dan dinamis (Franz Magnis-Suseno, 1998, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia, Jakarta). Ini sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan termasuk kehidupan politik tidak mungkin dilihat dalam kaca mata hitam putih. Karena hidup begitu kaya, ia sekaligus kontekstual dan universal, inderawi sekaligus rohaniah, pasti tetapi sekaligus dinamis.

Manusia Makluk Reflektif
Di atas telah sedikit dijabarkan bahwa manusia makluk reflektif. Pada bagian ini akan ditelusuri lebih jauh dimensi reflektif ini. Ada sekian banyak defenisi tentang manusia. Ia adalah homo faber, homo ludens, homo symbolicum, homo religiosus, dan berbagai kategori lainya. Di balik berbagai defenisi ini tidak bisa ditolak bahwa ia adalah mahkluk reflektif. Dimensi reflektif inilah yang membedakan ia dengan makluk lainnya. Dimensi ini juga yang memperlihatkan bahwa manusia itu unik. Dalam bahasa Jean-Paul Sartre, manusia itu tidak sekadar makluk l'tro en soi (ada pada dirinya sendiri, pengada yang tidak sadar diri) tetapi sekaligus l'tro pour soi (ada bagi dirinya sendiri, pengada yang sadar diri). L'tro pour soi ini yang khas manusia dan membuatnya berbeda dari makluk lainnya yang hanya berada ditataran l' tro en soi. Bila ditelaah lebih jauh maka lÆ tro pour soi ini merupakan wilayah reflektif yang memungkinkan manusia menyatakan 'ya' pada hidup (Nietzsche). Tataran reflektif ini memungkinkan segala kesadaran terpacu untuk terus bertumbuh. Namun, medan ini jangan dilihat sebagai ranah korelatif tunggal makna tetapi sebagai jaringan relasi open ended dan dinamis. Medan reflektif dalam paradigma ini harus dilihat dalam semangat fisika baru memandang realitas sebagai interdependence dan sekaligus interrelationship.
Demikian juga sastra yang mendasari diri pada dunia reflektif harus dilihat dalam model fisika baru tersebut. Hal yang sebenarnya dikatakan juga oleh Roland Barthes tentang sastra yang writing degree zero. Sastra yang sanggup mengosongkan diri (absence) dan membiarkan kekosongan itu menyergap manusia. Ia tidak dirayakan dalam gegap gempita agar manusia tidak jatuh dalam kebisingan yang membutakan dan hasutan yang riuh tanpa makna. Pada medan ini sastra memang bukan wilayah untuk mencari 'kepastian' tetapi sastra membuat manusia berani menggumuli hidup, kritis terhadap realitas kehidupan. Atau dengan memakai paradigma Fran ois Lyotard dalam melihat filsafat bahwa filsafat itu bukan berurusan dengan 'perkara' (Litige) tetapi 'sengketa' (diff rend), ia mengatakan bahwa bila perkara harus diputuskan oleh hakim, maka sengketa tidak pernah bisa selesai. Demikian juga tawaran penulis dalam melihat dunia sastra dan medan reflektif yang ada didalamnya bukan pada tataran 'perkara' tetapi pada tataran 'sengketa.' Sebagaimana juga dikatakan Budi Darma bahwa sastra bukanlah tulisan yang hanya dengan tindakan-tindakan jasmani yang mentakjubkan tetapi adalah karya yang berkelebat dengan sekian banyak pikiran. Maka amat naif manakala orang memperlakukan sastra sebagai 'perkara'.

Potret Negri Ini
Dengan demikian sastra bukan lagi ôdibacaö sebagai hiburan tetapi harus dilihat sebagai ajang memperluas kemungkinan-kemungkinan itu. Ia tidak sekadar 'pelayan' tetapi sebagai partner yang memperluas tindakan reflektif manusia. Dengan demikian sastra membuat politik yang cendrung mengikuti kategori hitam-putih (positivistik) agar lebih dinamis dan terbuka. Politik itu harus dijiwai dimensi reflektif sastrawi agar kekuasaannya yang sering mengedepankan kedamaian, situasi yang kondisif dalam satu kategori terbuka matanya. Sastra juga membuat politik yang terkadang super curiga, takut sehingga membuka peluang lahirnya otoritarianisme, diktaktor hingga totalitarianisme bisa keluar dari lingkaran setan ini. Sastra harus menjiwai kehidupan karena didalamnya tak ada kebenaran tunggal makna yang diimani. Sebagaimana hidup itu selalu lebih luas dari segala kepastian positivistik. Maka membaca sastra merupakan panggilan kemanusiaan, panggilan politik, karena di sana dimensi reflektif manusia diberi ruang untuk tumbuh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa manusia tidak hanya bergulat di medan fakta tetapi juga pada tataran reflektif alias medan makna.
Namun di negri ini pembodohan dan pengabaian aspek reflektif sulit dibongkar. Ini didasari pada pandangan bahwa dunia reflektif adalah 'milik' golongan atas. Orang bisa terkagum-kagum dengan sebuah pidato tanpa mengerti isinya. Demikian juga yang dikatakan Herbert Luethy manakala bicara tentang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa 'sintesis' yang meminjam "secara terang-terangan dan tanpa pandang bulu semua terminologi teknis dan abstraksi ideologis dari dunia modern dan nyaris tidak dimengerti, dalam hal bagian-bagiannya yang terbaru, bagi orang Indonesia pada umumnya, yang menyimak pidato-pidato resmi dengan ketakjuban lantaran tak mampu memahami" (Lih. Benedict R.O.G. Anderson, Bahasa Politik Indonesia, dalam Yudi latif/Idi Subandy Ibrahim (editor), Bahasa dan Kekuasaan, hlm. 124). Ini merupakan fenoma budaya yang sering dimanfaatkan para elit. Reflektivitas yang rendah atau juga pandangan bahwa reflektivitas itu hanya ômilikö golongan atas membuat kekuasaan itu semakin leluasa melakukan pembenaran tanpa kritik bahkan berubah menjadi rezim ideologis totaliter.
Di samping itu kalangan politisi pun masih cendrung melihat politik sebagai program jangka pendek. Politik dipahami sebagai kesempatan untuk menguasai. Politik bukan dihayati sebagai tempat pengabdian tetapi sebagai kesempatan. Maka tak heran Kwik Kian Gie mengatakan kalau negri ini banyak politikus tetapi sangat sedikit politikus yang negarawan. Politikus yang rela meninggalkan segala pamrih apapun termasuk keluarga, partai, agama dan sebagainya demi pengabadian total kepada manusia seluruhnya dan seutuhnya (Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, hlm. 4-5). Atau negri ini memang sungguh negri seolah-olah. Seolah-olah demokratis, seolah-olah beragama, seolah-olah beradab. Negri ini telah mengidap sekian penyakit kronis bahkan adalah penyakit itu sendiri. Negri ini sungguh terpuruk bahkan dunia pendidikan guna mempersiapakan manusia-manusia beradab pun telah tercemar dengan berbagai praktek mafioso. Maka tidak heran Ignas Kleden tidak percaya kalau cendekiawan Indonesia termasuk manusia-manusia 'elitis' di bidangnya.
Di sini penulis tidak berpretensi menjelaskan segala persoalan tetapi mau menunjukkan betapa politik yang hanya bermain di wilayah bannal akan selalu melahirkan pembodohan, penindasan. Sekian banyak persoalan yang terus menghantui karena pengabaian pada dunia reflektif sastrawi ini. Padahal dimensi inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya manusia ôutuhö. Maka pada tempatnya sastra tidak lagi 'dibaca' sekadar pelayan politik. Tetapi harus dibaca sebagai bagian penting kehidupan, bagian penting politik. Karena disanalah dimensi reflektif yang adalah hakekat hidup manusia meriap. Sehingga politik tidak terjerambab dalam ideologisasi yang mengorbankan manusia. Sebagaimana dikatakan Suyatna Anirun, sastra merupakan upaya memanusiakan ide-ide di tengah kecendrungan yang kuat untuk mengidekan manusia-manusia. *
Read More...

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Minggu, 02 Agustus 2009

Ignas Kleden

DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan
rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal
umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas
bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya
dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang
baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk
dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan.
Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak
termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.
Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo
mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang
keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi
pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam
kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara,
adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan
mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.
Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian
tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi
organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra
di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa
itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota
Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat
itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak
berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo
masih dipimpin oleh para ningrat.
Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul
kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”.
Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya
seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan
antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan
dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang
proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang
mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara
politik.
Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki
alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan
dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno,
memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil,
modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga
serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan
oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik
modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu
bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.
Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme
adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem
kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke
dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan
kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.
Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada
tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk
bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras
putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia
Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the
rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno
setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang
bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).
Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau
menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial.
Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam,
memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.
Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara
dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status
homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi
sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga
sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu
masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke
sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang
berbangsa.
Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik,
apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik
mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan
dalam perjuangan politik.
Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat
berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir
mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir
politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi
pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk
memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang
dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak
disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun
demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat
belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam
filsafat serta ilmu pengetahuan.
Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta
orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua
bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai
“Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan
Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan
di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor
Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi
Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia”
lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada
1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta
orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.
Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam
arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan
geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari
kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika”
dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari
Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.
R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata,
”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya.
Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan
kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut.
Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi
cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”
Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata
distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini
sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Read More...