50 Tahun NTT: Bersama Bangkit Menyongsong Asa

Sabtu, 23 Agustus 2008


Oleh : Tony Kleden

TANGGAL 20 Desember 1958, AS Pello yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen Koordinator Pemerintahan Nusa Tenggara meresmikan berdirinya Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Kupang ketika itu ditetapkan menjadi ibu kotanya.

Sebelumnya, wilayah Nusa Tenggara Timur (sekarang) yang meliputi Flores, Timor, Sumba dan pulau-pulau yang mengitarinya bergabung dalam Provinsi Sunda Kecil, yang kemudian berubah namanya menjadi Provinsi Nusa Tenggara. Berdasarkan UU No. 64/1958, Provinsi Nusa Tenggara terbagi dalam tiga daerah swatantra, yakni Daerah Swatantra Tingkat I Bali, Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan Daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok Pemerintahan Daerah kemudian menggantikan istilah daerah swatantra I menjadi provinsi, dan daerah swatantra II menjadi kabupaten. Meski begitu, peristiwa peresmian Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Timur oleh AS Pello pada tanggal 20 Desember 1958 dijadikan dan diterima sebagai hari lahir Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bersamaan dengan peresmian itu, diangkat William Johanis Lalamentik menjadi PJS Gubernur NTT. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Desember 1959, WJ Lalamentik dilantik menjadi gubernur pertama. Layar terkembang. Biduk NTT pun bergerak menantang badai, menyongsong hari esok.

Gubernur berganti rupa. Ditambah dengan Wang Suwandhi, S.H yang menjadi penjabat gubernur dua bulan lebih, maka sekarang NTT sudah dikendalikan delapan pengemudi. Masing-masing gubernur muncul dengan program, rencana dan targetnya.

Wajah NTT juga perlahan berubah. 'Ruang' NTT makin padat oleh bangunan dan jiwa-jiwa manusia yang menghuninya. Ruas jalan raya bertambah panjang, makin jauh meretas isolasi, menembus dusun dan desa. Laut makin ramai oleh kapal motor dan perahu nelayan. Udara tambah bising oleh deru pesawat terbang.
Usianya pun bertambah. Tahun ini, NTT 50 tahun usianya. Para pelaku sejarah yang membidani kelahirannya banyak yang sudah kembali ke haribaan bumi. Kita kenang jasa mereka. Yang masih hidup kian uzur. Kita hormati pengabdian mereka.

Tetapi gubernur yang berganti, wajah yang berubah dan usia yang bertambah, apakah itu telah membawa banyak kemaslahatan bagi 4,2 juta warga propinsi ini saat ini? Apakah wajah yang telah banyak berubah itu, berubah ke arah yang baik, mulus? Atau justru sebaliknya menjadi bopeng?

Apakah usia yang bertambah, di usia emas lagi, turut menjadikan kita lebih dewasa dalam tingkah pola dan atau perilaku kita? Atau justru sebaliknya semakin membuat kita tambah childish dan kemudian mengurung kita dalam sungkup kekerdilan agama, suku, etnis?

Apakah gubernur yang sudah delapan kali berganti itu merupakan top leaders yang satu spirit mengatur haluan menuju cita-cita? Ataukah sebaliknya masing- masingnya datang dan lebih ingin unjuk diri, pamerkan kebolehan dan asyik dengan diri sendiri, dengan suku sendiri, dengan kelompok sendiri?

Tahun ini, biduk NTT merengkuh usia emasnya. Bagaimana pun delapan gubernur yang tampil adalah anak kandung zamannya. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Serba kesulitan karena masih baru ketika itu di tangan Lalamentik menjadi mudah. Mottonya yang sangat terkenal adalah "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan."

El Tari tampil memompa semangat warga menyatakan jatidirinya sebagai warga di suatu propinsi dengan pertanian lahan kering menjadi ciri dominan. Pada masanya, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur digalakkan. Kita tahu, El Tari-lah yang mengajak warga bergotong royong membangun lapangan terbang di masing- masing kabupaten. Bukan berlebihan kalau El Tari yang kita kenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam" itu adalah Bapak Pembangunan NTT.

Pada tanggal 1 Juli 1978 Ben Mboi dilantik menjadi gubernur setelah kendali NTT dipegang sementara waktu oleh Wang Suwandhi selama dua setengah bulan menyusul wafatnya Gubernur El Tari. Jiwa militer dalam dadanya menjadikan Ben Mboi sosok gubernur yang sangat disegani. Pada masanya para staf pemerintah siaga penuh. Ben Mboi terkenal dengan program operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM).

Ben Mboi turun, Hendrik Fernandez naik panggung. Sama seperti Ben Mboi yang juga berlatar pendidikan dokter, Fernandez tajam dalam analisa. Bak ahli bedah, Fernandez membedah aneka masalah di NTT dan mencari akarnya. Program Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) adalah jawaban atas aneka masalah NTT ketika itu.

Lima tahun memimpin, tahun 1993 Hendrik Fernandez digantikan Herman Musakabe. Meski seorang tentara aktif dengan pangkat Mayor Jenderal, penampilan Musakabe jauh dari sosok seorang tentara yang sering identik dengan yang 'keras-keras.' Musakabe berhati lembut, tutur katanya juga pelan dan halus. Karena sosoknya yang seperti itu, Musakabe dijuluki bapak yang baik hati. Bapak yang baik itu mengusung Tujuh Program Strategis Membangun NTT.

Latar belakangnya sebagai Komandan Sekoad agaknya menjadi alasan mengapa Musakabe merumuskan programnya yang lebih bersifat strategis itu. Pada masa Musakabe, orang NTT mulai kenal nikah massal. Musakabe jugalah yang memassalkan kain tenun ikat NTT hingga menjadi begitu prospektif seperti
sekarang ini.

Menduduki jabatan satu periode, Musakabe turun tahun 1998 dan digantikan Piet Alexander Tallo. Pengalamannya 10 tahun menjadi Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) menjadikan sosok Tallo sebagai figur yang dinanti-nantikan. Sayang, Tallo memegang kendali ketika reformasi berhembus di negeri ini yang membawa dampak yang jauh ke hampir semua sendi kehidupan. Bencana demi bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, datang silih berganti. Praktis, gaung program Tiga Batu Tungku (periode pertama) dan Tiga Pilar Pembangunan (periode kedua) melemah. Karena itu, banyak yang bilang Tallo menjadi gubernur pada waktu yang salah.

Tallo turun, Frans Lebu Raya naik pentas. Lebu Raya menjadi gubernur pertama melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Baru sebulan lalu Lebu Raya dilantik. Tetapi harapan di atas pundaknya begitu besar. Anggur Merah (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) menunggu pembuktian.

Masing-masing gubernur merancang programnya merujuk pada konteks historis pada masanya. Program-program yang dipatok, karena itu, mengartikulasikan jawaban terhadap aneka soal sekaligus harapan mendulang sukses.

Sudah 50 tahun NTT menjejak langkah, meniti riwayat perjalanannya. Inilah momentum penting untuk mengaca diri, melihat kembali tapak-tapak sejarahnya. Banyak sukses telah dituai. Gilang gemilang pembangunan nyata terlihat. Sejumlah prestasi juga terukir.


Di sisi lain, masih banyak target yang belum tercapai. Dalam banyak indikator pembangunan, kita masih jauh di belakang. Ekonomi kita mati suri. Pendidikan jeblok. Kesehatan terpuruk. Pemerintahan goyah.

Yang tersisa pada kita mungkin cuma harga diri. Tetapi harga diri itu sekaligus menjadi investasi paling penting untuk bangkit dan menyatakan keberadaan kita sebagai orang NTT. Saatnya kita bangkit. Mari, bersama kita bangkit. *

Pos Kupang edisi Sabtu 23 Agustus 2008 halaman 1

0 komentar:

Posting Komentar