"SUMBA, Pulau Mandiri Energi." Begitu salah satu judul berita harian ini edisi Rabu (23/9/2008). Kita benar-benar terhibur dengan judul berita seperti ini. Harapan kita jelas. Di tengah krisis energi global sekarang ini, alternatif lain menjadi penting.
Tetapi kita juga perlu kritis dan mawas diri, sehingga tidak terbuai begitu saja. Apakah berita-berita seperti ini cuma hiburan, sebatas membuat hati kita tenang, ataukah memang benar-benar menyata dalam praksis?
Soalnya, sudah terlampau sering kita dihibur dengan kata-kata, dengan janji-janji manis. Banyak sudah perusahaan-perusahaan datang dan menebar janji. Banyak pemodal datang menebar pesona. Setelah itu, mereka pergi dan tidak kembali lagi.
Kita punya banyak contoh untuk itu. Ketika tanaman jarak disebut-sebut sebagai salah satu bahan bakar pengganti minyak bumi, warga digerakkan untuk menanam jarak. Di mana-mana jarak jadi bahan perbincangan. Dari rakyat kecil sampai pengusaha. Dari pegawai kecil hingga pengambil kebijakan.
Tetapi apa lacur? Setelah ditanam dan memberi hasil, warga kecewa karena tidak tahu mau diapakan biji-biji jarak. Mau jual? Harganya tidak ada. Cuma Rp 500,00/kg seperti yang terjadi di Kabupaten Alor. Tidak ada nilai ekonomisnya. Janji-janji yang ditebar sebelumnya tinggal janji.
Dulu di kawasan Mbay, ada pengusaha datang dan ingin membangun tambak garam. Sampai sekarang keinginan itu tinggal keinginan.
Sumba juga pernah direncanakan menjadi pusat hewan, pusat ubi kayu dan pusat- pusat yang lain. Tetapi sekali lagi, semua masih sebatas rencana dan janji.
Musim sekarang adalah musim tebar janji. Banyak pengusaha yang punya intensi khusus datang merendah di hadapan rakyat menarik simpati mereka dengan menebar janji-janji manis. Akan bangun ini, akan bangun itu. Akan beri ini, akan beri itu.
Dan, sudah lama kita dihibur dengan 'niat akan'. Tetapi sampai kapan? Karena itulah kita perlu kritis dan tidak boleh terbuai.
Membaca berita tentang rencana menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi membangkitkan seribu harapan. Betapa tidak. Kalau jadi, maka Sumba menjadi pulau mandiri energi pertama di Indonesia. Seluruh energi listrik di Sumba sepenuhnya akan dikerahkan oleh angin, air, matahari dan juga dari tumbuh-tumbuhan.
Luar biasa! Tetapi kapan? Apakah bisa? Atau cuma mimpi? Cuma omong bikin mulut enak? Kalau kata-kata ini dilontarkan General Manager PLN Kantor Wilayah NTT, Amir Rosyidin, maka kita boleh berharap.
Sudah pasti Amir Rosyidin lebih tahu dan paham, bagaimana kondisi energi listrik di daerah ini, juga di republik ini. Di mana-mana PLN sempoyongan menghadapi tuntutan kebutuhan yang terus meningkat dan di sisi lain semakin mahalnya harga bahan bakar minyak. Pemadaman bergilir sudah menjadi lazim di daerah ini. Warga sudah terbiasa dengan pemadaman yang terkadang mengagetkan.
Meski begitu, kita berharap Amir Rosyidin tidak menambah panjang daftar proyek atau 'niat akan' di daerah ini. Yang sudah berniat membangun 'PT Akan', biarlah mereka itu hilang ditelan waktu. Jangan lagi ditiru dan diulang kembali. Rakyat sudah sakit hati.
Kalau PLN ingin menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi, wujudkan niat itu melalui rencana aksi. Kita perlu dukung rencana itu kalau memang serius. Bicarakan dengan masyarakat, dengan pemerintah di Sumba. Diskusikan langkah apa yang harus dilakukan. Seperti apakan porsi perhatian pemerintah. Bagaimana wujud dukungan rakyat. Semuanya perlu dibicarakan bersama.
Jika rencana itu benar-benar mau direalisasikan, kita yakin rakyat akan dengan penuh semangat mendukungnya. Yakinlah, bahwa untuk kepentingan dan kebutuhan mereka, rakyat akan mendukung setiap terobosan yang dilakukan.
PLN bisa membalikkan keraguan, apatisme dan juga pesimisme yang selama ini ada di hati rakyat. Menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi berarti PLN telah mampu membuktikan bahwa lembaga ini tidak seperti yang lain, yang cuma bisa menebar janji, dan karena itu lebih tampil sebagai 'PT Akan'. Dan, kita tidak lagi butuh 'PT Akan' yang cuma menebar 'niat akan' atau 'proyek akan'.
Mudah-mudahan, PLN benar-benar mewujudkan rencana besarnya menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi pertama di Indonesia. *
Tetapi kita juga perlu kritis dan mawas diri, sehingga tidak terbuai begitu saja. Apakah berita-berita seperti ini cuma hiburan, sebatas membuat hati kita tenang, ataukah memang benar-benar menyata dalam praksis?
Soalnya, sudah terlampau sering kita dihibur dengan kata-kata, dengan janji-janji manis. Banyak sudah perusahaan-perusahaan datang dan menebar janji. Banyak pemodal datang menebar pesona. Setelah itu, mereka pergi dan tidak kembali lagi.
Kita punya banyak contoh untuk itu. Ketika tanaman jarak disebut-sebut sebagai salah satu bahan bakar pengganti minyak bumi, warga digerakkan untuk menanam jarak. Di mana-mana jarak jadi bahan perbincangan. Dari rakyat kecil sampai pengusaha. Dari pegawai kecil hingga pengambil kebijakan.
Tetapi apa lacur? Setelah ditanam dan memberi hasil, warga kecewa karena tidak tahu mau diapakan biji-biji jarak. Mau jual? Harganya tidak ada. Cuma Rp 500,00/kg seperti yang terjadi di Kabupaten Alor. Tidak ada nilai ekonomisnya. Janji-janji yang ditebar sebelumnya tinggal janji.
Dulu di kawasan Mbay, ada pengusaha datang dan ingin membangun tambak garam. Sampai sekarang keinginan itu tinggal keinginan.
Sumba juga pernah direncanakan menjadi pusat hewan, pusat ubi kayu dan pusat- pusat yang lain. Tetapi sekali lagi, semua masih sebatas rencana dan janji.
Musim sekarang adalah musim tebar janji. Banyak pengusaha yang punya intensi khusus datang merendah di hadapan rakyat menarik simpati mereka dengan menebar janji-janji manis. Akan bangun ini, akan bangun itu. Akan beri ini, akan beri itu.
Dan, sudah lama kita dihibur dengan 'niat akan'. Tetapi sampai kapan? Karena itulah kita perlu kritis dan tidak boleh terbuai.
Membaca berita tentang rencana menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi membangkitkan seribu harapan. Betapa tidak. Kalau jadi, maka Sumba menjadi pulau mandiri energi pertama di Indonesia. Seluruh energi listrik di Sumba sepenuhnya akan dikerahkan oleh angin, air, matahari dan juga dari tumbuh-tumbuhan.
Luar biasa! Tetapi kapan? Apakah bisa? Atau cuma mimpi? Cuma omong bikin mulut enak? Kalau kata-kata ini dilontarkan General Manager PLN Kantor Wilayah NTT, Amir Rosyidin, maka kita boleh berharap.
Sudah pasti Amir Rosyidin lebih tahu dan paham, bagaimana kondisi energi listrik di daerah ini, juga di republik ini. Di mana-mana PLN sempoyongan menghadapi tuntutan kebutuhan yang terus meningkat dan di sisi lain semakin mahalnya harga bahan bakar minyak. Pemadaman bergilir sudah menjadi lazim di daerah ini. Warga sudah terbiasa dengan pemadaman yang terkadang mengagetkan.
Meski begitu, kita berharap Amir Rosyidin tidak menambah panjang daftar proyek atau 'niat akan' di daerah ini. Yang sudah berniat membangun 'PT Akan', biarlah mereka itu hilang ditelan waktu. Jangan lagi ditiru dan diulang kembali. Rakyat sudah sakit hati.
Kalau PLN ingin menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi, wujudkan niat itu melalui rencana aksi. Kita perlu dukung rencana itu kalau memang serius. Bicarakan dengan masyarakat, dengan pemerintah di Sumba. Diskusikan langkah apa yang harus dilakukan. Seperti apakan porsi perhatian pemerintah. Bagaimana wujud dukungan rakyat. Semuanya perlu dibicarakan bersama.
Jika rencana itu benar-benar mau direalisasikan, kita yakin rakyat akan dengan penuh semangat mendukungnya. Yakinlah, bahwa untuk kepentingan dan kebutuhan mereka, rakyat akan mendukung setiap terobosan yang dilakukan.
PLN bisa membalikkan keraguan, apatisme dan juga pesimisme yang selama ini ada di hati rakyat. Menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi berarti PLN telah mampu membuktikan bahwa lembaga ini tidak seperti yang lain, yang cuma bisa menebar janji, dan karena itu lebih tampil sebagai 'PT Akan'. Dan, kita tidak lagi butuh 'PT Akan' yang cuma menebar 'niat akan' atau 'proyek akan'.
Mudah-mudahan, PLN benar-benar mewujudkan rencana besarnya menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi pertama di Indonesia. *
Salam Pos Kupang edisi Kamis 25 September 2008