Kita Tidak Butuh 'Niat Akan'

Rabu, 24 September 2008


"SUMBA, Pulau Mandiri Energi." Begitu salah satu judul berita harian ini edisi Rabu (23/9/2008). Kita benar-benar terhibur dengan judul berita seperti ini. Harapan kita jelas. Di tengah krisis energi global sekarang ini, alternatif lain menjadi penting.

Tetapi kita juga perlu kritis dan mawas diri, sehingga tidak terbuai begitu saja. Apakah berita-berita seperti ini cuma hiburan, sebatas membuat hati kita tenang, ataukah memang benar-benar menyata dalam praksis?


Soalnya, sudah terlampau sering kita dihibur dengan kata-kata, dengan janji-janji manis. Banyak sudah perusahaan-perusahaan datang dan menebar janji. Banyak pemodal datang menebar pesona. Setelah itu, mereka pergi dan tidak kembali lagi.

Kita punya banyak contoh untuk itu. Ketika tanaman jarak disebut-sebut sebagai salah satu bahan bakar pengganti minyak bumi, warga digerakkan untuk menanam jarak. Di mana-mana jarak jadi bahan perbincangan. Dari rakyat kecil sampai pengusaha. Dari pegawai kecil hingga pengambil kebijakan.

Tetapi apa lacur? Setelah ditanam dan memberi hasil, warga kecewa karena tidak tahu mau diapakan biji-biji jarak. Mau jual? Harganya tidak ada. Cuma Rp 500,00/kg seperti yang terjadi di Kabupaten Alor. Tidak ada nilai ekonomisnya. Janji-janji yang ditebar sebelumnya tinggal janji.

Dulu di kawasan Mbay, ada pengusaha datang dan ingin membangun tambak garam. Sampai sekarang keinginan itu tinggal keinginan.

Sumba juga pernah direncanakan menjadi pusat hewan, pusat ubi kayu dan pusat- pusat yang lain. Tetapi sekali lagi, semua masih sebatas rencana dan janji.

Musim sekarang adalah musim tebar janji. Banyak pengusaha yang punya intensi khusus datang merendah di hadapan rakyat menarik simpati mereka dengan menebar janji-janji manis. Akan bangun ini, akan bangun itu. Akan beri ini, akan beri itu.

Dan, sudah lama kita dihibur dengan 'niat akan'. Tetapi sampai kapan? Karena itulah kita perlu kritis dan tidak boleh terbuai.

Membaca berita tentang rencana menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi membangkitkan seribu harapan. Betapa tidak. Kalau jadi, maka Sumba menjadi pulau mandiri energi pertama di Indonesia. Seluruh energi listrik di Sumba sepenuhnya akan dikerahkan oleh angin, air, matahari dan juga dari tumbuh-tumbuhan.

Luar biasa! Tetapi kapan? Apakah bisa? Atau cuma mimpi? Cuma omong bikin mulut enak? Kalau kata-kata ini dilontarkan General Manager PLN Kantor Wilayah NTT, Amir Rosyidin, maka kita boleh berharap.

Sudah pasti Amir Rosyidin lebih tahu dan paham, bagaimana kondisi energi listrik di daerah ini, juga di republik ini. Di mana-mana PLN sempoyongan menghadapi tuntutan kebutuhan yang terus meningkat dan di sisi lain semakin mahalnya harga bahan bakar minyak. Pemadaman bergilir sudah menjadi lazim di daerah ini. Warga sudah terbiasa dengan pemadaman yang terkadang mengagetkan.

Meski begitu, kita berharap Amir Rosyidin tidak menambah panjang daftar proyek atau 'niat akan' di daerah ini. Yang sudah berniat membangun 'PT Akan', biarlah mereka itu hilang ditelan waktu. Jangan lagi ditiru dan diulang kembali. Rakyat sudah sakit hati.

Kalau PLN ingin menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi, wujudkan niat itu melalui rencana aksi. Kita perlu dukung rencana itu kalau memang serius. Bicarakan dengan masyarakat, dengan pemerintah di Sumba. Diskusikan langkah apa yang harus dilakukan. Seperti apakan porsi perhatian pemerintah. Bagaimana wujud dukungan rakyat. Semuanya perlu dibicarakan bersama.

Jika rencana itu benar-benar mau direalisasikan, kita yakin rakyat akan dengan penuh semangat mendukungnya. Yakinlah, bahwa untuk kepentingan dan kebutuhan mereka, rakyat akan mendukung setiap terobosan yang dilakukan.

PLN bisa membalikkan keraguan, apatisme dan juga pesimisme yang selama ini ada di hati rakyat. Menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi berarti PLN telah mampu membuktikan bahwa lembaga ini tidak seperti yang lain, yang cuma bisa menebar janji, dan karena itu lebih tampil sebagai 'PT Akan'. Dan, kita tidak lagi butuh 'PT Akan' yang cuma menebar 'niat akan' atau 'proyek akan'.

Mudah-mudahan, PLN benar-benar mewujudkan rencana besarnya menjadikan Sumba sebagai pulau mandiri energi pertama di Indonesia. *


Salam Pos Kupang edisi Kamis 25 September 2008




Read More...

Anggaran Pro Poor, Masih Jauuuhh.....

Senin, 15 September 2008

Anggaran Pro Poor, Masih Jauuuhh.....

Oleh Tony Kleden

UNTUK
waktu yang lama, anggaran publik selalu jadi soal, tidak terkecuali propinsi dan kabupaten/kota di daerah ini. Saban tahun dana DAU dan DAK berikut dana- dana stimulan lain digelontorkan dari mana-mana masuk ke daerah ini. Itu belum termasuk dana-dana dari donatur-donatur yang disalurkan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Untuk Propinsi NTT (termasuk kabupaten/kota) tahun 2008 ini mengalir dana senilai Rp 10.704.315.917.000 (sepuluh triliun tujuh ratus empat miliar tiga ratus lima belas juta sembilan ratus tujuh belas ribu rupiah). Dana itu masuk dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dari pemerintah pusat dengan sumber dana APBN. Jumlah ini mengalami kenaikan 20,88 persen dari nilai DIPA tahun 2007 yaitu Rp 9.205.700.000.000 (sembilan triliun dua ratus lima miliar tujuh ratus juta rupiah)


Total nilai tersebut merupakan akumulasi DIPA untuk instansi vertikal kementerian/lembaga di daerah sebanyak 206 DIPA senilai Rp 2.983.185.171.000, DIPA tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota berjumlah 263 dengan nilai Rp 435.814.261.000 dan DIPA dekonsentrasi untuk SKPD propinsi berjumlah 59 DIPA dengan nilai Rp 699.994.322.000. Sisanya adalah DIPA dana alokasi umum (DAU) Rp 5.576.348.163.000 dan DIPA dana alokasi khusus (DAK) Rp 1.008.974.000.000.

NTT juga dihujani dana pihak ketiga yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Terdapat 221 LSM lokal (tercatat di Sekretariat Bersama Bappeda NTT) dan beberapa badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkiprah di wilayah NTT. Tahun 2007 saja, sejak Januari hingga September, diketahui bahwa jumlah dana bantuan luar negeri yang dikucurkan untuk masyarakat NTT yang dikelola LSM-LSM mencapai Rp 139.478.387.205. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan sektor pariwisata, pendidikan, pertanian, kelautan, kesehatan, pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Mencengangkan menyimak angka-angka ini. Bayangannya, dengan dana senilai itu batu juga bisa jadi lumut di daerah-daerah yang kekurangan air seperti di Kota Kupang. Anak-anak sekolah tidak perlu berhimpit-himpit seperti karung raskin di gudang ketika mesti mendengar pelajaran di kelas di hampir semua kabupaten.

Sayang, bayangan itu adalah bayangan bodoh. Nyatanya, urusan dana tidak satu garis lurus dengan bayangan itu. Tetapi, satu hal jelas dan nyata, yakni bahwa perbaikan nasib, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti 'si punguk merindukan bulan'. Beras raskin datang dan datang terus. Makin hari makin banyak orang yang mengaku miskin. Saat menerima dana bantuan langsung tunai (BLT) telah menjadi salah satu musim paling menyenangkan di daerah ini.

Sementara di sisi lain, seorang pejabat bisa melakukan perjalanan dinas melebihi hitungan hari dalam sebulan. Satu bulan bisa melakukan perjalanan dinas 45 hari. Ada juga yang bahkan pada saat yang sama berada di dua daerah berbeda untuk perjalanan dinas.

Gambaran faktual seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa makin hari makin jauh jarak kesejahteraan antara mayoritas warga dengan segelintir orang yang mengaku abdi rakyat. Dana-dana yang datang bagai air bah, karena itu, perlu juga dipertanyakan seperti apa maslahatnya untuk rakyat.

Sebuah studi dan penelitian menarik dilakukan oleh Yayasan Aksi Cinta Kehidupan, Maumere bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta. Studi itu mengambil fokus pada anggaran di sektor kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Sikka. Apakah anggaran dua sektor yang selalu jadi primadona kampanye para calon kepala daerah di seluruh pelosok negeri ini telah bertindih tepat dengan kebutuhan rakyat Sikka? Apakah derajat kesehatan warga Sikka semakin terdongkrak naik sebagai hasil langsung dari adanya dana-dana itu? Apakah mutu pendidikan anak-anak Sikka semakin meroket? Apakah guru-guru di pelosok-pelosok Sikka semakin enteng menjejak langkah?

Hasil penelitian yang diseminarkan di Hotel Benggoan 3, Maumere Jumat (5/9/2008) pekan lalu, itu mengungkapkan apa sebaliknya. Satu saja kesimpulan kuat yang dapat ditarik dari seminar itu, yakni bahwa anggaran pemerintah belum pro rakyat, belum pro poor. Pemerintah lebih banyak menganggarkan dana untuk kepentingan yang tidak memihak masyarakat. Anggaran bukan diperuntukan mengikuti kegiatan atau kebutuhan masyarakat, namun sebaliknya kebutuhan atau kegiatan pembangunan itu yang harus disesuaikan dengan dana yang tersedia.

Anggaran di dua sektor ini lebih banyak dihabiskan untuk belanja tidak langsung seperti belanja pegawai, belanja keperluan kantor dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak terkait langsung dengan kebutuhan rakyat jauh lebih besar.

Pada tahun 2007, misalnya, alokasi anggaran yang langsung berhubungan dengan urusan pendidikan sangat rendahm hanya 5,26 persen. Sedangkan pada tahun 2008 naik sedikit saja, cuma menjadi 6,04 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemkab Sikka belum maksimal memenuhi kewajibannya terhadap pemenuhan hak warga atas pendidikan. Hal ini menunjukkan adanya persoalan disorientasi arah penenuhan hak atas pendidikan yagn mengarah kepada ketimpangan akses layanan pendidikan di Sikka.

Hal lain yang juga telah berlaku jamak adalah belanja untuk pegawai yang selalu ada di setiap jenis program dan kegiatan pendidikan. Setiap program yang menyentuh langsung dengan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan masih terselip belanja pegawai, seperti honor PNS dalam kepanitiaan atau kegiatan. Ambil contoh kepanitiaan pelaksanaan UAS/UAN. Pada kegiatan ini selalu dialokasikan anggaran untuk pegawai, padahal mereka digaji untuk urusan seperti itu.

Sikka adalah locus penelitian. Tetapi dari pengalaman, apa yang terbaca di Sikka adalah soal yang sama dengan di kabupaten lain. Dan, itu tak lain berarti bahwa anggaran untuk pro poor memang masih jauh dari harapan.


Pos Kupang, Senin 15 September 2008

Read More...

Kita Selalu Gagal Kelola Fasilitas Publik

Sabtu, 13 September 2008

PEKAN lalu, harian ini beberapa kali memberitakan ihwal KMP Pulau Sabu milik Pemprop NTT. Nada dasar beritanya sama, yakni belum optimal, belum maksimal dan atau tidak beroperasinya angkutan laut itu.

Diberitakan bahwa kapal dengan rute Teluk Gurita, Atambua-Kalabahi, Alor dan Teluk Gurita-Kiser itu tidak lagi beroperasi. Pihak pengelola mengatakan, kenyataan itu terjadi akibat ketiadaan bahan bakar minyak (BBM).


Kita tidak ingin menuduh pengelola di sini. Tetapi kita hendak menggugat optimalisasi kapal itu untuk kemaslahatan masyarakat NTT. Sesungguhnya, dengan wilayah yang luas lautan lebih luas dari luas daratan, laut semestinya menjadi andalan kita. Semboyan 'jales veva jaha mahe' (di laut kita jaya) agaknya cuma sebatas semboyan dan terus menjadi klasik dan pudar.

Kita akui bahwa sejauh ini, laut belum serius kita sentuh, belum maksimal kita garap. Orang-orang kita di pantai membelakangi laut dan menghadap ke gunung. Artinya, bagi orang kita di daerah ini laut bukan tempat ideal dan prospektif menenun benang hidup. Benang hidup hanya bisa ditenun di darat dengan mengolah tanah.

Tidak ada-apa. Tetapi mestinya, laut harus juga sudah mulai dilirik. Dengan cara apa? Sudah banyak! Pemerintah propinsi sudah sejak beberapa tahun lalu mengkampanyekan gerakan masuk laut (Gemala).

Memang Gemala belum banyak geliatnya. Tetapi sebagai wacana, dia sudah mulai ramai. Kita harapkan dari wacana itu kemudian lahir langkah-langkah nyata bagaimana menggarap laut.

Tetapi untuk kita di NTT, laut tidak cuma menyediakan potensi yang layak digarap. Laut juga menjadi pemisah sekaligus penghubung antar-pulau di daerah ini.

Nah, sebagai satu kesatuan yang telah lama mengikat diri dalam satu teritori, yakni Propinsi NTT, niscaya jembatan penghubung antar-kita harus benar-benar baik dan kondusif. Sudah 20-an tahun PT ASDP menyediakan sejumlah kapal feri melayari pulau- pulau di daerah ini. Meski banyak keluhan, toh kita juga perlu berterima kasih atas jasa PT ASDP.

Beriringan dengan armada feri yang disiapkan PT ASDP, Pemerintah Propinsi NTT juga menyediakan layanan jasa angkutan laut. KMP Pulau Sabu adalah satu kapal yang dibeli oleh Pemprop NTT dengan maksud membantu memperlancar angkutan laut. Kapal itu dikelola oleh Perusahaan Daerah (PD) Flobamor. Setiap tahun dianggarkan dana operasional untuk kapal itu. Tidak kecil dana bantuan yang dianggarkan dalam APDB itu.

Tetapi apa lacur? Menurut warta di harian ini pekan lalu, saat ini KMP Pulau Sabu tidak beroperasi dan 'bersembunyi' di Atapupu, Belu. Mengapa? Karena tidak ada BBM.

Kita mungkin memahami alasan itu, tetapi tidak bisa memakluminya. Mengapa? Karena kapal itu disubsidi. Angkutan-angkutan yang disubsidi, lazimnya dimaksudkan untuk membantu publik. Dia tidak ada urusan dengan serba kekurangan, terutama kekurangan dana operasional. Justru kekurangan itu ditalangi melalui subsidi. Karena itu tidak benar kalau KMP Pulau Sabu tidak beroperasi karena tidak ada BBM.

Tetapi pengelolaan KMP Pulau Sabu sekaligus juga menunjukkan betapa kita selalu gagal mengelola fasilitas untuk publik. Pengalaman menjelaskan dengan lugas, hampir semua perusahaan daerah (PD) di daerah ini tidak pernah menuai sukses. Perusahaan- perusahaan itu lebih tampil sebagai 'setan penghisap' anggaran APDB.

Neraca rugi adalah laporan tahunan yang sudah lazim. Meski begitu, pemerintah terkesan lamban sekali memperbaikinya sehingga tampil menguntungkan dan memberi manfaat berganda buat rakyat.

Kembali ke KMP Pulau Sabu. Barangkali baik kalau pengelolaan keuangan kapal itu diaudit. Seperti apa manfaat kapal itu bagi rakyat NTT? Seperti apa peruntukan dana subsidi bagi operasional kapal itu digelontorkan? Entahkah telah digunakan dengan benar? Atau jangan-jangan lebih banyak masuk ke kantong oknum-oknum pemeras.

Kita tidak ingin rakyat yang sudah susah ini tambah susah lagi. Juga sangat tidak etis jika di atas penderitaan rakyat itu, segelintir oknum pemeras tega memamerkan keserakahannya. Kita harapkan pemerintah propinsi segera memikirkan bagaimana KMP Pulau Sabtu, dan juga aset-aset bergerak milik pemerintah, dimanfaatkan sebesar- besarnya demi kemaslatahan rakyat NTT.

Semboyan jales veva jaha mahe, mudah-mudahan semakin bergeliat di laut. *

Salam Pos Kupang Edisi Selasa 9 September 2008
Read More...