Bukan Buaya atau Cicak (Renungan Natal)

Rabu, 30 Desember 2009

Oleh Mgr. Ignas Suharyo

Peristiwa kelahiran Yesus telah memberikan inspirasi yang amat kaya dalam berbagai bidang kreatif, seperti lukisan yang bermutu tinggi, lagu-lagu indah abadi, renungan-renungan yang menyentuh hati, dan buku-buku tebal yang mencoba mengurai misteri peristiwa ini. Ada juga cerita-cerita sederhana yang menantang refleksi. Berikut salah satu di antaranya.


Kata yang punya cerita, ketika Yesus lahir, malaikat mengadakan seleksi siapakah di antara binatang-binatang yang sebaiknya menemani Yesus yang terbaring di palungan. Yang pertama mengajukan diri adalah harimau. Ia berkata, öSayalah yang paling pantas menjaga Yesus. Siapa pun yang berani mendekat akan saya terkam dan saya cabik-cabik dengan kuku dan taring saya. Yesus akan aman.ö Malaikat menjawab, öYesus adalah Raja Damai. Kekerasan tidak sesuai dengan maksud kedatangan-Nya.ö

Selanjutnya majulah si kancil dan berkata, öBenar, kekerasan bukan cara beradab. Untuk menjaga supaya Ia aman, saya mempunyai jurus canggih, akan melakukan lobi-lobi dalam pertemuan-pertemuan rahasia; kalau perlu saya akan merekayasa supaya semua urusan lancar.ö Malaikat menjawab, öYesus adalah Raja Keadilan dan Kebenaran. Rekayasa dan sikap licik hanya akan menyakitkan hati-Nya.ö

Berikutnya majulah seekor burung merak dengan menunjukkan segala keindahannya. Ia berujar, öSayalah yang paling tepat ada di dekat Yesus. Saya akan menyiapkan penyambutan yang mewah meriah.ö Malaikat menjawab, öYesus adalah Raja yang sederhana dan rendah hati. Kemewahan dan gebyar-gebyar yang berlebihan jauh dari semangat hidup-Nya yang selalu dekat dengan orang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.ö

Selanjutnya majulah berbagai binatang lain menawarkan diri, seperti serigala, bulusùbuaya dan cicak tidak ada karena sedang mempunyai urusan lain. Semuanya tidak lolos seleksi. Sementara itu, malaikat melihat seekor keledai dan lembu yang diam tak menawarkan diri. Malaikat bertanya kepada mereka, öMengapa kalian tidak angkat bicara dan mengajukan diri menjadi pendamping Yesus?ö Keledai berkata, öSiapakah saya ini. Paling-paling saya hanya dapat membantu membawa beban.ö Lembu menyahut, öApalagi saya, paling-paling saya hanya dapat mengusir lalat dengan ekor saya.ö Kedua binatang ini lolos seleksi. Itulah sebabnya di goa-goa Natal, dekat palungan, sampai sekarang kedua binatang itu hadir.

Ketidakpercayaan publik

Pada akhir tahun 2004 Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Nota Pastoral berjudul öKeadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsaö. Dalam tulisan itu disebut berbagai hal yang baik yang telah dibangun oleh bangsa kita. Sementara itu, ditengarai pula bahwa ada tidak sedikit hal yang tidak baik, yakni munculnya tegangan-tegangan baru dalam badan-badan publik penyangga demokrasi, keraguan dan kegelisahan dalam sektor/komunitas bisnis, demikian pula kerisauan akan masa depan bangsa dan ketegangan dalam dan di antara komunitas masyarakat warga (no 7.2.).

Konstatasi ini tampak masih benar pula untuk saat ini, lima tahun sesudah Nota Pastoral itu dikeluarkan. Sekurang-kurangnya hal-hal itulah yang memberikan kesan mendominasi pemberitaan dalam sejumlah media massa. Keadaban publik belum banyak beranjak maju. Habitus baru yang diharapkan dapat mengembangkan kebaikan bersama, kejujuran, dan kepercayaan di antara masyarakat warga masih jauh dari yang dicita-citakan.

Yang paling tampil adalah rebutan kekuasaan, kepentingan, keserakahan yang tidak terpuji, dan kebohongan kepada publik dengan akibat semakin kuatnya ketidakpercayaan publik. Di tengah-tengah kenyataan hidup seperti inilah kelahiran Yesus dirayakan.

Rajin berbuat baik

Santo Paulus tidak menulis kisah mengenai kelahiran Yesus. Ia membahasakan peristiwa ini dengan pendek, öKarena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia, dengan menantikan pernyataan kemuliaan Juru Selamat kita, Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri yang rajin berbuat baikö (Tit 2:11-14).

Keledai dan sapiùyang mempunyai semangat hanya ingin berbuat baikùhadir di dekat palungan memberikan pesan kepada kita untuk berusaha selalu berbuat baik di tengah-tengah keadaan nyata masyarakat dan bangsa kita. Itulah pesan yang juga disampaikan oleh Pesan Natal Bersama PGI dan KWI, yaitu öuntuk senantiasa menyadari kebaikan Tuhan dan sendiri berbuat baik kepada sesama, yakni untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikanö. Dengan demikian, merayakan Natal antara lain berarti meneguhkan niatùbaik sebagai pribadi maupun dalam kebersamaanùuntuk selalu berbuat baik.

Mengakhiri renungan ini, saya kutip kata-kata indah Bunda Teresa, öSetiap kali kita tersenyum bersahabat kepada seseorang dan berbaik hati kepadanya, kita merayakan Natal. Setiap kali kita memberikan pengharapan kepada seseorang yang putus asa, kita merayakan Natal. Setiap kali kita memberikan kesempatan Yesus lahir kembali dengan membahagiakan orang lain, kita merayakan Natal.ö

Selamat hari raya Natal dan selamat rajin berbuat baik dan selamat menyambut Tahun Baru.

Ignas Suharyo, Uskup Koajutor Keuskupan Agung Jakarta
Kompas, 24 Desember 2009

Read More...

Gemakan NTT di Senayan

Selasa, 06 Oktober 2009

HARI Kamis, 1 Oktober 2009, 13 wakil rakyat NTT dilantik menjadi anggota DPR RI lima tahun ke depan. Ditambah dengan empat anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), maka ada 17 utusan rakyat NTT duduk di Senayan.

Sebagai wakil rakyat, tugas mereka terutama adalah bersuara. Bersuara melanjutkan aspirasi, harapan rakyat NTT lima tahun ke depan. Dalam arti tegas, para utusan rakyat NTT di pusat ini mesti bersuara nyaring.
Mengapa mesti nyaring? Bukan bermaksud mengecilkan para utusan lama di Senayan, tetapi rakyat NTT sudah tahu dan mengikuti dengan baik, seperti apa kiprah para wakil rakyatnya di pusat. Mereka tahu betul para periode lima tahun lalu, seperti apakah peran, kiprah dan citra diri para wakilnya di Senayan. Mereka paham benar, apakah aspirasi dan harapan warga NTT telah disuarakan di pusat.
Sudah dua kali rakyat memilih wakil rakyatnya secara langsung. Pilih nama calon. Secara politis, cara ini diyakini lebih menjamin partisipasi seluas-luasnya dari rakyat dalam menjalankan hak politik mereka.
Melalui partai politik, warga negara memilih para wakil rakyatnya menjalankan fungsi perutusannya di lembaga legislatif. Ada hubungan linear di antara rakyat sebagai warga negara, partai politik, dan para wakil rakyat.
Tugas pertama dan terpenting partai politik adalah mengidentifikasi kepentingan dan aspirasi rakyat dan menerjemahkannya menjadi program politik. Program-program politik ini selanjutnya diusulkan kepada DPR dan para wakil rakyat di sana akan berunding serta berdebat tentang bagaimana menerjemahkannya menjadi keputusan politik.
Seperti apakah program politik diterjemahkan para wakil rakyat untuk konteks kepentingan dan kebutuhan masyarakat NTT? Terasa jauh sekali membayangkan kiprah para wakil rakyat kita di Senayan sebelum-sebelumnya. Kepentingan NTT tenggelam, karena kalah nyaring dengan daerah lain. Kalah nyaring, mungkin karena salah orang yang dipilih dan kemudian dikirim ke pusat.
Meski begitu, di tengah memudarnya citra dan kepercayaan masyarakat terhadap para wakil rakyat, kita boleh menaruh ekspektasi di pundak 17 utusan NTT itu. Ekspektasi itu ada, terutama karena energi para utusan kita kali ini masih prima.
Mereka masih cukup kuat, sehat. Datang dari latar belakang pendidikan dan pengalaman yang kaya. Ada Lery Mboeik yang vokal berteriak tentang ketidakadilan. Kita harap teriakan itu terus bergema di Senayan.
Ada Eman Babu Eha, mantan birokrat, wakil bupati, penjabat bupati, yang tentu saja punya pengalaman dan wawasan luas tentang pemerintahan dan rakyat. Ada Fary Francis, pegiat LSM yang dekat dengan masalah-masalah akar rumput. Ada Beny Harman, yang reputasinya di pusat tidak perlu diragukan lagi.
Ada juga Paul Liyanto, yang lama berkiprah dalam urusan tenaga kerja NTT. Yang lain, kita yakin dengan porsi dan perhatiannya masing-masing, ikut membunyikan kepentingan NTT di Senayan. Banyak kepentingan NTT sepertinya tenggelam karena tidak diteriakkan.
Banyak yang bisa dan mesti diteriakkan di Senayan. Urusan tapal batas antara Indonesia dengan Timor Leste. Urusan pabrik semen yang tak kunjung selesai. Urusan krisis energi (listrik). Urusan isolasi wilayah.
Itu di darat. Di laut juga banyak. Pencurian ikan di perairan NTT dilakukan secara besar-besaran. Propinsi kepulauan yang telah lama diperjuangkan Pemerintah Propinsi NTT belum juga teralisasi.
Utusan itu kerjanya menyampaikan, melanjutkan amanat dari mereka yang mengutusnya. Tugasnya menyampaikan, melanjutkan amanat itu. Janggal dan ironis kalau utusan itu lebih banyak diam, duduk saja.
Empat juta rakyat NTT mengirim 17 orang utusannya ke pusat untuk bersuara, berteriak, menyalurkan aspirasi, harapan yang ada. Rakyat NTT tidak mengirim 17 utusannya untuk mengikuti ajang 'idol'.
Dengan energi baru yang lebih kuat, dengan kemampuan intelektual yang lebih memadai, dengan pengalaman yang jauh lebih kaya, rakyat NTT menitipkan satu saja pesan kepada 17 wakilnya di Senayan: Gemakan NTT di Senayan. Itu saja. *
Pos Kupang, Sabtu 3 Oktober 2009
Read More...

Unisono Para Wakil Rakyat

Jumat, 11 September 2009


SESAAT setelah memenangkan pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengatakan, "Kemenangan ini sendiri bukanlah perubahan yang kita kejar. Akan tetapi hanya sebuah peluang bagi kita untuk membuat perubahan tersebut."

Obama benar. Pemilihan umum, entah itu pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) atau untuk memilih kepala daerah, sebetulnya cuma anak tangga meniti jalan demokrasi. Partai-partai politik yang mengusung para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, karena itu juga, cuma pintu masuk.
Pikiran ini kita kemukakan di ruang ini terutama untuk coba membalikkan kesadaran kolektif kita yang telah tertanam sekian lama seolah-olah pemilu itu adalah puncak dan tujuan. Kemenangan dalam sebuah pemiliu lalu dianggap sebagai tujuan yang dikejar. Padahal, kemenangan dalam pemilihan umum, seperti kata Obama di atas, hanya sebuah peluang untuk membuat suatu perubahan.
Hari-hari ini, perhatian kita tercurah pada seremoni pelantikan anggota Dewan, para wakil rakyat yang menyandang predikat terhormat itu. Ada yang sudah dilantik. Yang lain belum. Menurut agenda, di NTT pelantikan anggota Dewan terakhir akan terjadi pada tanggal 3 September, yakni pelantikan anggota DPRD NTT dan anggota DPRD Flores Timur.
Kita tahu masih ada ganjalan-ganjalan dalam tahapan itu. Ada anggota Dewan yang sehari setelah dilantik langsung didemo karena diduga terlibat kasus amoral. Ada anggota Dewan terpilih yang mesti berurusan dengan polisi, baik karena ijazah palsu maupun karena terlibat dalam kasus kejahatan. Itu urusan hukum. Ada juga anggota Dewan yang tidak ikut dilantik karena masalah internal partai.
Sebagai konstituen, rakyat pemilih menaruh harapan sangat besar dan penuh pada anggota legislatif kali ini. Harapan itu begitu besar karena dengan partai peserta pemilu yang begitu banyak dengan calon legislatif yang juga sangat banyak, rakyat punya banyak pilihan. Pilihan mereka tidak lagi dibatasi oleh terlalu sedikitnya partai peserta pemilu dan calon legislatif.
Apa harapan rakyat pemilih? Pertama, anggota Dewan mesti tetap sadar akan tugas dan fungsinya sebagai penyalur lidah rakyat, penyalur suara rakyat di lembaga legislatif. Tugasnya terutama adalah berteriak, 'tukang teriak'. Meneriakkan aspirasi, harapan rakyat untuk didengar para pengambil kebijakan.
Kita tidak bermaksud menilai bahwa para wakil rakyat kita sebelumnya tidak berteriak. Yang kita maksudkan di sini adalah bahwa kesadaran akan jatidiri sebagai 'tukang teriak' itu mesti tetap dijaga dan dijaga secara konsisten. Kalau peran ini diperankan dan dijaga secara konsisiten, maka para wakil rakyat akan tahu di mana dan seperti apa posisinya dalam tatanan penyelenggaraan pemerintah.
Dalam praktek selama ini, kerap kali kita menangkap kesan, para wakil rakyat itu seolah-olah tukang stempel pemerintah. Apa yang dikatakan pemerintah, disain program pemerintah bulat-bulat disetujui tanpa banyak 'bertanya' kepada rakyat entahkah program pemerintah telah sesuai dengan kebutuhan rakyat. Karena itu, kita harapkan tidak terjadi perselingkuhan antara eksekutif (pemerintah) dengan para wakil rakyat (legislatif). Apalagi perselingkuhan itu untuk menggadaikan rakyat.
Kedua, karena tugasnya sebagai 'tukang teriak', maka para wakil rakyat itu mesti tahu benar apa yang terjadi di lapangan, apa yang menjadi harapan rakyat. Isi hati rakyat mesti diselami dengan baik. Hanya dengan mengetahui kondisi yang dihadapi rakyat, para wakil rakyat bisa berteriak dengan nada yang benar, sehingga tidak menghasilkan bunyi fals.
Banyak kali kita mendengar nada teriakan wakil rakyat itu fals oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Fals karena suara-suara yang diteriakkan itu banyak terkontaminasi oleh terlalu banyak kepentingan. Para wakil rakyat itu mestinya tampil sebagai paduan suara unisono (satu suara).
Karena itu kita harapkan para anggota Dewan kali ini mesti tetap tampil sebagai anggota paduan suara yang bernyanyi dalam nada dasar yang sama. Jangan ada yang tampil dengan nada dasar yang lain.
Ketiga, para wakil rakyat juga jangan suka memerankan drama dengan lakon komedi di atas panggung Dewan. Kalau toh harus dipentaskan, maka lakon yang mesti ditampilkan adalah lakon heroik.
Masih banyak harapan rakyat yang bisa kita kemukakan. Tetapi kali ini, cukup tiga poin ini yang ingin kemukakan. Tiba saatnya para wakil rakyat membuktikan komitmennya, mengejawantahkan janji kampanyenya. Rakyat menunggu bukti! *
Pos Kupang, Senin 31 Agustus 2009
Read More...

Sastra di Tengah Patronase Sosial

HUBUNGAN sastra dengan masyarakatnya memang rumit dan potensial menyembulkan perbedaan pendapat. Sastra bisa dinilai lantaran ada perangkat-perangkat aturan, konvensi, atau kode; dan antara perangkat yang satu dengan perangkat yang lain tak sama.

Selain itu, sastra juga punya sejumlah kemungkinan hubungan dengan struktur sosial masyarakat yang memunculkannya, ekspresi pandangan dunia atau ideologinya (Lucien Goldmann, 1977), dan juga konvensi estetikanya maupun mediasi kondisi produksinya (baik kondisi teknologis, kelembagaan, dan kondisi sosial dalam produksi seni) untuk bisa memahami dan menjelaskan fenomena sastra (Janet Wolff, 1982).

Ada anggapan bahwa sastra sebagaimana lembaga sosial yang sah dan punya konvensi yang menuntut kepatuhan terhadap sejumlah urusan demi tegaknya kesahan dan konvensinya. Pelanggaran terhadap konvensi sebuah lembaga sastra merupakan ancaman sebagaimana pelanggaran terhadap konvensi dalam sebuah lembaga masyarakat.

Ada hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dan masyarakatnya, misalnya puisi kita pada dekade awal 1900-an yang cenderung meninggalkan pola puisi lama atau tradisional demi menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru. Kecenderungan ini terucapkan dalam puisi Rustam Effendi, "Sarat-saraf saya mungkiri, untai rangkaian seloka lama, beta buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma".

Sastra juga dipandang sebagai sebuah model yang terbatas dari semesta yang tak terbatas. Sastra merupakan model dunia imajiner yang membonceng bahasa, baik dunia sosial, personal, individual, maupun hubungan antarindividu dan kemungkinan-kemungkinan hubungan yang lain. Contohnya, kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin pada 1968.

Cerpen ini dianggap melukai kepercayaan Muslim karena penggambaran unsur-unsur yang berkaitan dengan agama Islam di dalam cerpen itu. Akibatnya, HB Jassin, pemimpin majalah yang memuat cerpen itu, diadili dan dihukum, meski HB Jassin menyatakan gambaran dalam cerpen itu merupakan model dunia imajinasi. Tapi masyarakat seakan menganggap penggambaran dalam cerpen itu adalah dunia kenyataan itu sendiri.

Sastra pun mengembangkan rancangan khusus berupa bangunan penafsiran yang menuntut diperlakukan sebagaimana rancangan khususnya itu. Dengan kata lain, hubungan karya sastra dengan struktur sosial tidak muncul sebagaimana adanya dalam karya sastra, misalnya, novel Siti Nurbaya yang memuat masalah politik melalui tokoh Syamsul Bahri yang berperang untuk mencari kematiannya agar berjumpa dengan kekasihnya. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka karena motif Syamsul Bahri itu romantik dan bukan karena urusan yang politis.

Selain itu, sastra kerap dirundung pembatasan atau konvensi "bisu" dalam urusan mengungkap peristiwa-peristiwa atau gagasan-gagasan tertentu. Apa yang membuat sebuah teks dianggap sebagai karya sastra karena kecocokannya dengan ukuran tertentu yang bersifat ideologis, misalnya tak melanggar "stabilitas" politik kekuasaan dan "kesopanan" umum. Kasus pamflet Rendra dan puisi Widji Thukul merupakan contoh hubungan sastra dengan standardisasi sastra versi kekuasaan.

Selain hubungan-hubungan itu, untuk memahami kondisi sastra juga perlu memerhatikan urusan yang berkaitan dengan produksi seni, yaitu teknologi dan lembaga sosial.

Teknologi cetak dan teknologi komunikasi memengaruhi kesusastraan, misalnya maraknya penerbitan buku, internet (situs dan blogt) dan koran di Tanah Air setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang berefek pada produksi dan penyebaran karya sastra. Banyak pengarang yang tak lagi berhubungan dengan penerbit resmi karena teknologi cetak yang murah (komputer/fotokopi) dan teknologi komunikasi (internet). Hambatan penyaluran karya sastra makin menyingkir dengan adanya situs di internet, kantong sastra, dan toko buku di luar jaringan toko buku besar.

Selain teknologi, lembaga sosial di dalam kesenian pun punya peran penentu dalam urusan produksi sastra. Dewan kesenian, gedung kesenian, taman budaya, media sastra, kritikus, maupun komunitas sastra merupakan wujud lembaga sastra yang punya otoritas penilaian atau legitimasi. Dulu TIM dan majalah sastra Horison dianggap sebagai pusat legitimasi kesenian di negeri ini. Setiap seniman yang diundang tampil di TIM atau karyanya dimuat Horison dianggap sebagai seniman papan atas.

Lembaga sosial dalam kesenian punya selera estetik tertentu dan perannya bisa menjadi politis dalam penarikan anggotanya (rekruitmen). Zaman dulu, penguasa di Barat menyediakan pusat latihan seni (gilda) bagi seniman yang direkrut untuk memuja dirinya.

Di zaman modern, rekruitmen seniman terselenggara lebih longgar melalui sistem sekolah maupun pelatihan yang didanai oleh sponsor, misalnya Ubud Writers dan Readers Festival dan Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (Mastera). Secara sosiologis, dalam rekruitmen seniman ada faktor kekuatan sosial yang mendorong seseorang untuk bersekutu dengan kelompok tertentu untuk mengembangkan kerja atau karier kesenimanan.

Selain rekruitmen, lembaga sosial dalam kesenian juga menjalankan patronase, yaitu suatu hubungan di mana sang patron (pelindung) memberikan sesuatu ke pihak lain, misalnya sokongan material atau perlindungan ke seniman yang memungkinkan karya sang seniman diproduksi dan didistribusikan dalam lingkungan yang serba tak pasti dan bahkan penuh perseteruan, sedangkan sang seniman memberikan kesetiaannya kepada sang patron sebagai imbalannya, misalnya dengan penyesuaian selera ideologi atau estetikanya. Memang tak ada campur tangan langsung sang patron terhadap karya seni sang seniman, tapi ada seleksi tertentu dalam pemberian dana dapat mengindikasikan ideologi sang patron.

Menurut Edwar B Henning (1970), pengaruh patronase terjadi dalam tiga cara. Pertama, menarik seniman untuk bergabung melalui performa intelektual atau moral yang simpatik serta dukungan material. Kedua, stipulasi (persyaratan suatu kesepakatan yang harus dilaksanakan sang seniman). Ketiga, seleksi terhadap karya seni dilakukan oleh patron yang biasanya berasal dari kelompok ekonomi yang kuat dan dapat memengaruhi gaya seni sang seniman.

Patronase kesusastraan berperan penting dalam sejarah sastra Barat, misalnya patronase raja dan gereja abad XIV dan XV, patronase bangsawan pada abad XVI, dan patronase politik pada abad XVII. Mulai abad XVIII sistem patronase lenyap dan sastrawan menghadapi situasi baru yang menawarkan kebebasan lebih besar, tapi membuat sastrawan menerima tekanan hubungan pasar dan kerawanan ekonomik.

Pada abad XX hingga kini muncul patronase baru yang menggantikan hubungan patronase tradisional, misalnya pengarang menulis untuk koran, fotografer dipekerjakan oleh majalah, dan juga pengarang yang memperoleh dana dari lembaga pemerintah atau swasta dalam negeri maupun asing.

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Republika, Minggu, 02 September 2007
Read More...

Filsafat Membentuk Sikap Orang

Kamis, 10 September 2009



APA manfaat belajar filsafat? Filsafat itu cuma bikin apa yang sederhana jadi rumit dan ribet. Filsafat tidak punya nilai ekonomis untuk dipelajari. Begitulah kesan skeptis yang telah umum terdengar tentang filsafat. Tak heran, tak banyak yang menaruh minat pada bidang ini. Padahal sejatinya, filsafat boleh disebut sebagai ibu dari segala ilmu.



Sebelum lahir dan berkembang banyak ilmu seperti sekarang ini, filsafat sudah lama lahir, nun jauh di tempo dulu, pada zaman Aristoteles dan Socrates. Zaman ketika buku belum dikenal. Sebagai ibu dari segala ilmu, filsafat sangat kuat mewarnai setiap titian sejarah peradaban dunia ini. Jika ilmu lain bergulat dengan hal-hal praktis, filsafat berurusan dengan nilai. Dia tidak mengajarkan hal-hal teknis, keterampilan-keterampilan praktis, tetapi dia menanamkan nilai-nilai agar mereka yang terampil itu punya etika, punya rasa. Filsafat mengajarkan orang untuk teguh pada pendirian, tulus memperjuangkan keadilan dan berani menyatakan kebenaran. Prof. Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, coba mengungkapkan satu dua pikiran kecil tentang filsafat.

Pater adalah dosen pertama STFK Ledalero yang meraih gelar profesor. Seperti apa perasaan pater?
Perasaan yang pertama muncul adalah senang bahwa karya pengabdian saya dihargai dan dinilai tinggi. Tapi kerap juga perasaan senang ini bercampur rasa biasa-biasa saja, karena jabatan ini sebenarnya sudah diharapkan jauh lebih dulu diperoleh, kalau sungguh dipertimbangkan karya pengabdian dan banyak publikasi yang pernah saya buat. Tapi pada umumnya saya merasa senang dan puas bahwa saya akhirnya bisa mencapai jabatan tertinggi dalam dunia akademik.

Apa makna gelar ini bagi pater secara pribadi?
Secara pribadi saya merasa bahwa pengabdian saya yang total dan murni sejak dulu ternyata dinilai dan dihargai tinggi juga oleh Pemerintah RI. Saya merasa gelar ini punya makna besar untuk saya, baik sebagai bukti pengabdian dan karya ilmiah- akademik yang saya emban selama ini, maupun sebagai tantangan ke depan untuk berkiat lebih dalam pengabdian terhadap umat, rakyat dan bangsa. Tantangan yang cukup besar bagi saya khusus dalam pengabdian di dunia akademik ialah bahwa di satu sisi pengabdian saya harus meluas, tetapi di sisi yang lain kesehatan saya tidak terlalu mengizinkan saya untuk berbuat demikian. Saya mengalami sakit tenggorokan sejak hampir 10 tahun yang lalu, yang rupanya tidak ada kemungkinan menjadi lebih baik. Mungkin karena terlalu banyak berkata-kata dengan suara keras ketika mengajar. Ini kesulitan bagi kami yang biasa mengajar dan berkata-kata. Toh, dengan tenaga dan keadaan yang ada, saya coba bekerja secara maksimal.


Maknanya untuk STFK Ledalero?
Ketika menanti begitu lama untuk mendapat jabatan akademik yang lebih tinggi, saya kerap berkata dalam hati, ya, ini sama sekali kurang penting untuk saya yang sudah bertekad untuk mengabdi dengan tulus, melayani dengan kasih dan bekerja dengan tekun di bawah motto mengabdi tanpa pamrih. Namun ini tentu amat penting bagi lembaga atau sekolah tinggi seperti STFK Ledalero. Gelar ini sudah mengangkat nama STFK di mata Pemerintah RI, terutama menyangkut pelbagai kelengkapan administratif untuk suatu perguruan tinggi. Kredit point akan naik, dan kemungkinan membuka program studi lain atau program S2 filsafat, misalnya, sudah mungkin. Untuk program S2 filsafat kalau sudah ada seorang profesor dan sekitar 4 doktor dalam filsafat sudah bisa sekali. Juga tentu ada banyak keuntungan lainnya dalam kaitan dengan akreditasi sekolah atau institusi. Seorang profesor yang duduk dalam jabatan struktural PT akan memberi banyak makna untuk PT itu.


Apa yang akan pater lakukan dengan gelar itu bagi kemajuan STFK Ledalero?
Gelar ini tentu amat penting bagi STFK. Dalam proses pelaksanaan program S2 Teolori dan Filsafat, kehadiran guru besar ini amat penting. Dengan pengabdian yang lebih luas (tidak hanya terbatas pada STFK, Seminari Tinggi atau SVD), pamor STFK semakin besar. Ini juga tentu demi kebaikan para alumni yang tersebar di seluruh dunia. Lembaga STFK akan semakin kuat, dan kita harapkan agar ke depan lebih banyak guru besar lagi yang tampil dari STFK. Barangkali dengan adanya guru besar, suara kita menjadi lebih menggema ke atas, khusus dalam urusan-urusan menyangkut kepentingan sekolah tinggi, juga banyak PTS lainnya di wilayah kita. Namun untuk kemajuan sekolah tinggi ini tentu memerlukan banyak dukungan dan kerja sama antara para dosen, seluruh anggota sivitas akademika, dan badan pengelola sekolah tinggi ini sendiri. Singkatnya, tentu ada banyak program demi kemajuan STFK ke depan.


Di STFK Ledalero sebetulnya begitu banyak dosen dengan kualifikasi yang sangat baik. Banyak doktor tamatan luar negeri yang mengabdi puluhan tahun. Tetapi kenapa baru pater yang meraih gelar ini?
Benar. Ada banyak dosen yang sudah menyandang gelar doktor sekian lama. Bahkan banyak yang menjadi dosen saya dulu. Ada sejumlah dosen istimewa yang berpindah ke tempat kerja lain dan ada yang sudah lebih dahulu menghadap Tuhan. Saya juga tahu ada banyak yang jauh lebih hebat dan memiliki kualitas yang amat bagus. Namun mungkin baik, saya berikan sedikit latar belakang historis dari semua urusan ini. Urusan menyangkut jabatan akademik setahu saya baru dimulai awal tahun 1990-an di STFK. Dan ada beberapa dosen, termasuk saya, yang dilihat sebagai kelinci percobaan untuk urusan ini. Menghimpun pelbagai data dan informasi tentang studi, karya, dan lain-lain juga bukannya hal yang mudah. Kebetulan saya punya file dan arsip pribadi yang amat lengkap waktu itu sehingga dalam waktu singkat, sekitar tahun 1995 saya mendapat gelar lektor. Dua tahun setelah itu diproses lagi dan sekitar tahun 1999/2000, saya sudah mendapat gelar lektor kepala (Madya). Dan dari segi kredit point lagi sedikit saja sudah bisa diproses untuk mendapat gelar guru besar. Namun lihat saja waktu, .sekian banyak tahun baru bisa dicapai gelar ini. Ini pun amat merepotkan. Berapa kali STFK harus mengirim laporan dan bukti jurnal yang sama ke Denpasar karena katanya tidak diterima. Ini amat mengherankan kami, tapi begitulah. Andaikan STFK ini adalah sekolah negeri, rupanya sudah berlimpah guru besar yang ia hasilkan. Di Ledalero, sudah lebih dari 20 dosen yang memiliki gelar akademik, mulai dari asisten ahli sampai lektor kepala. Namun sebagai anggota tarikat religius atau praja, kerap kita berpindah tempat kerja atau juga dipinjamkan untuk lembaga-lembaga lain dalam tarikat atau juga keuskupan. Masih ada cukup banyak lektor dan kita harapkan para dosen itu cukup serius menghimpun hasil karya dan pengabdiannya untuk diproses ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, untuk urusan menghimpun semua data, bukti kerja, karya pengabdian, dan lain-lain bukannya suatu urusan yang mudah, dan tentu juga perlu ketekadan pribadi untuk itu. Saya yang pertama, tapi saya yakin dalam waktu yang tidak lama akan muncul juga yang lain-lain. Kita beruntung sekarang karena ada penerbit di kampus sendiri sehingga sejumlah dosen bisa mengatur penerbitan bukunya. Andaikan mengurusnya itu dari penerbit luar, rupanya amat sedikit dosen yang bisa menerbitkan karyanya. Rupanya kami lahir lebih dahulu, dan musti mengusahakan penerbitan itu ke mana-mana seperti Obor, Kanisius, Ende, Pustaka Karya Publ, Cerdas Pustaka, Jakarta, LPBAJ, Penerbit Ledalero, dan lain-lain.


Apakah pater melihat atau punya kesan bahwa gelar itu tidak penting untuk dikejar para dosen di Ledalero?
Saya merasa gelar-gelar akademik itu amat penting di Ledalero demi STFK. Karena itu hal ini diperjuangkan selalu. Proses penjenjangan jabatan akademik juga menjadi acara rutin di sekretariat, hanya saja kita memohon kesediaan dosen untuk menyiapkan semua kelengkapannya dan bekerja sama dengan para pegawai di kantor sekretariat. Kendati ada dosen yang tidak peduli banyak dengan ini, kami dari staf selalu mengusahakan agar semua urusan ini bisa berjalan lancar. Dalam waktu dekat sejumlah dosen luar biasa kami juga akan diangkat menjadi dosen tetap agar dimulai urusan-urusan proses penjenjangan akademik ini. Tuntutan-tuntutan dalam dunia akademik semakin banyak dan karena itu gelar-gelar akademik, terutama gelar guru besar, juga menjadi amat penting.

Pater meraih guru besar dalam bidang filsafat. Sudah berapa lama pater mengajar filsafat di Ledalero?
Saya mengajar filsafat di STFK sejak September 1988. Selain di Ledalero, saya juga pernah diminta mengajar di St. Peter's College di Kuching Malaysia tahun 1998. Ketika itu saya mengajar dua mata kuliah filsafat dalam bahasa Inggris. Selain itu menjadi dosen tamu atau luar biasa untuk Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Nama saya terdaftar sebagai dosen filsafat manusia dalam jurusan psikologi.

Sudah berapa banyak buku yang pater tulis?
Buku asli ada delapan, terjemahan sembilan, sekitar 10 artikel dalam karya editorial (buku-buku), beberapa kata pengantar untuk beberapa buku; menulis di Jurnal Ledalero dan Melintas (jurnal filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung), Majalah Kebudayaan Basis, Psikologi Anda, VOX, Editor, dan opini-opini pada majalah-majalah dan koran-koran lokal.
Ledalero telah menghasilkan lulusan begitu banyak, baik yang jadi imam maupun awam.


Menurut pater, apakah lulusan Ledalero itu sudah mewarnai kehidupan masyarakat, khususnya di NTT?

Secara sepintas saya menjawab ya. Berapa banyak alumni kita yang bekerja di pelbagai sektor pelayanan di propinsi kita, mulai dari pekerjaan yang paling sederhana sampai pada yang paling elit, di sana ada lulusan Ledalero. Kebanyakan bekerja sebagai guru dan pendidik, jurnalis dan wartawan, pegiat-pegiat LSM, aktivis, tokoh-tokoh pemerintahan, wakil rakyat, dan lain-lain. Terutama bisa dihitung berapa banyak pastor, biarawan yang berkarya di seluruh NTT. Dan hampir semua mereka amat aktif di tengah umat dan masyarakat. Mereka memberi pikiran-pikiran yang baru dan baik, mereka bertindak dan berlaku baik, mereka memiliki pengaruh. Ini semua karena mereka mendapat pendidikan dan pembentukan yang baik, mereka menjadi kreatif dan inovatif dalam karya mereka. Tanpa disadari, ini merupakan hasil dari studi-studi mereka di STFK yang menjadikan mereka orang yang berpikir dan refleksif dan bisa hidup dan menyesuaikan diri mereka dengan pelbagai situasi hidup. Tentu tidak semua berhasil demikian, tapi pada umumnya tamatan-tamatan Ledalero punya nama di tengah umat dan masyarakat NTT.


Orang bilang, filsafat tidak relevan lagi untuk dipelajari? Bagaimana pendapat pater?
Pernyataan ini hanya datang dari orang yang masih kuat menganut pandangan yang tidak benar dan realistis tentang filsafat. Dengan kata lain, orang-orang ini masih memiliki prasangka yang kuat terhadap filsafat. Padahal hakikat filsafat sebagai ilmu adalah berpikir dan berefleksi. Dengan berpikir atau berefleksi orang secara sadar menghadapkan dirinya dengan realitas sekitarnya. Dan itu berarti lewat berpikir orang dapat mengamati dunianya secara kreatif dan terbuka, dan bisa mengolah dan mengembangkan dunia-realitasnya dengan mudah. Dengan berpikir dia membentuk dalam dirinya suatu sikap dan pada gilirannya terungkap dalam tingkah laku dan tata cara hidup. Dan, ada banyak sekali pertanyaan mendasar dan asasi yang tidak bisa dijawabi oleh pelbagai ilmu lain kecuali melalui filsafat. Dan di sini peran filsafat tidak bisa digantikan oleh ilmu-ilmu lain.


Menurut pater, di mana tempat dan peran filsafat di tengah menguatnya ilmu-ilmu terapan?
Filsafat tampil di sana dengan fungsi kritis dan secara mendalam bisa meneropong atau mencermati apa yang ada dalam ilmu-ilmu terapan. Filsafat bisa membuat analisis tentang ilmu-ilmu terapan secara radikal dan ini pada gilirannya akan sangat membantu dan memperkuat ilmu-ilmu terapan, tidak hanya lewat analisis verbal, melainkan juga yang bisa terungkap dalam sikap dan tingkah laku seorang ilmuwan praktis atau terapan. Dan karena itu kendati ilmu-ilmu positif juga ilmu-ilmu terapan semakin menjauhkan diri dari filsafat, orang tetap bisa berfilsafat dalam dan tentang ilmu-ilmu itu.


Dari pengamatan pater, seperti apa sebetulnya relevansi filsafat bagi kehidupan masyarakat di NTT?
Filsafat itu berakar dalam hidup dan berkaitan amat erat dengan hidup dan kehidupan kita. Karena itu filsafat selalu relevan untuk siapa saja dari kelompok apa saja. Kalau filsafat dilihat sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup, jelas semua kita miliki, dan semua kita boleh-- dalam satu arti -- disebut sebagai filsuf. Orang-orang NTT punya filsafat berpikir yang khusus, yaitu bagaimana dia melihat dunianya, sesamanya manusia dan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan atau Yang Mutlak dalam hidupnya. Dengan kata lain, bagaimana orang NTT melihat dunianya, bagaimana dia menanggapi dunianya, bagaimana dia berpikir tentang dunianya, dan bagaimana dia juga membangun dunianya itu menurut pola pikir dan pola tingkahnya sendiri. Ini yang disebut sebagai filsafat berpikir orang NTT. Namun filsafat sebagai ilmu masih kurang popular di tengah masyarakat kita di NTT. Di mana-mana terdapat prasangka terhadap filsafat, bahwa filsafat adalah ilmu yang amat sukar, bahwa filsafat adalah permainan akal yang mempersulit apa yang sebenarnya gampang dan mudah, bahwa filsafat adalah ilmu yang dapat digunakan untuk memanipulasi perkataan dan pikiran orang, dan lain-lain. Ini semua adalah prasangka dan pandangan yang tidak benar tentang filsafat. (tony kleden)


Read More...

Politik Membaca Sastra

Jumat, 21 Agustus 2009

Oleh Andi Hayong

Barangkali judul ini kedengaran janggal karena bukankah sastra selalu diartikan sebagai pelayan politik. Politik dalam arti seluas-luasnya, menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Politik sebagai hakekat kehidupan manusia, sebagaimana dikatakan Aristoteles 'Man is by nature is political man.' Atau sebagaimana dilontarkan oleh Anthony Giddens bahwa politik tidak hanya dilihat secara emansipatorik (politics of life chances) tetapi juga sebagai politik kehidupan (politics of a life style).
Bila paradigma pertama mau menghapus eksploitasi dan penindasan maka model kedua lebih menekankan pada aktualisasi diri. (bdk. Anthony Giddens, Modernity and Self Identity-Self and Society in the Last Modern Age, Hlm. 209-231).
Kalau melihat politik dalam defenisi seperti ini maka dapat dikatakan bahwa pergulatan sastra Indonesia tak lepas dari sepak terjang dunia politik dalam arti luas itu. Hal yang juga diakui oleh Sapardi Djoko Damono bahwa sastra Indonesia sejak zaman penjajah selalu berbicara tentang kehidupan masyarakat, kritik sosial. Bahkan bila ditelusuri lebih jauh maka paradigma berpikir, pola kultural yang hidup hingga saat ini tak lepas dari dunia sastra. La Galigo karya sastra besar, konon lariknya melampaui epos Mahabrata atau Illias dan Odeysey, yaitu 300 ribu larik, hidup dalam budaya Bugis semenjak abad awal Masehi dikatakan sebagai roh yang menjiwai hidup orang-orang Bugis (Lih. Majalah Tempo 14 April 2002). Dan sastra bila didefenisikan sebagai teks dalam pengertian Derrida bahwa tak ada yang hors-texte (di luar teks). Atau sebagaimana dikatakan Roland Barthes bahwa teks tidak cukup dipahami secara sintakmatik yang mengandaikan finalitas, komprehensif dan tertutup. Tetapi harus dilihat dalam logika metonimik yang lebih terbuka, tak berpusat, bukan hanya mengkonsumsi tetapi juga memproduksi maka tak bisa ditolak, sastra amat mengakar dalam hidup manusia. Ia amat dekat dengan pengalaman kerakyatan, pengalaman kehidupan. Bukankah kisah atau tokoh mitologis tiap daerah adalah kisah sastrawi turun temurun. Sebut saja, mitos Tangkuban Prahu, Nyi Roro Kidul, mitos padi yang hidup hampir di seluruh wilayah Indonesia dan seterusnya. Bila melihat sastra dalam paradigma seperti ini maka dapat dikatakan bahwa sastra sungguh menyentuh pengalaman kemanusiaan.
Tak henti-hentinya sastra mengangkat realitas pergulatan baik individu maupun masyarakat. Dari beberapa contoh di atas dapat dilihat betapa erat kaitan sastra sebagai kisah (narasi) dengan kehidupan. Bahkan novel-novel yang muncul hingga hari ini pun kuat bergema justru karena lokalitas pergulatan hidup yang ditampilkan. Pramoedya Ananta Toer dengan pengalaman revolusi kemerdekaan dan Pulau Buru. Ayu Utami bergema karena mengangkat lokalitas pengalaman Perabumulih. Demikian yang berlaku dengan Mangun Wijaya, Remy Silado, Dewi Lestari dan seterusnya. Jadi paradigma pertama tak diragukan lagi bahwa sastra 'pelayan politik'. Ia turut dalam jatuh bangun pergulatan kemanusiaan. Maka cukup beralasan kalau dikatakan bahwa sastra bak pelayan politik, sebagaimana filsafat di abad pertengahan sebagai 'ancilla fidei/theologia' (pelayan iman/teologi).
Namun format berpikir searah bahwa sastra sebagai hamba politik, hari-hari ini perlu dipertanyakan di tengah pergeseran paradigma berpikir (paradigm shift). Tuntutan bahwa sastra harus peduli dengan dunia kehidupan saja tidak cukup. Yang perlu juga diperhatikan bukan sekadar sastra yang melayani politik tetapi apakah masyarakat-politik sendiri mempunyai apreasiasi terhadap dunia sastra. Karena sebagaimana diakui oleh Taufiq Ismail, dunia sastra kita kurang lebih enam puluh tahun ditelantarkan. Sastra menjadi rima yang tak begitu memberi efek karena apreasiasi yang rendah terhadap sastra (Bdk. Agus R. Sarjono, Sastra dalam Empat Orba, hlm. 207-211). Bila ditelisik lebih jauh situasi pengabaian ini juga karena kebijasanaan yang lebih berpihak pada pembangunan fisik alias kebijaksanaan teknokratik. Pembangunan yang dengan meminjam Habermas hanya berorientasi pada zweckrationalit t (rasionalitas-tujuan). Sehingga dunia sastra semenjak di bangku sekolah pun tak begitu mendapat tempat. Dunia sastra menjadi dunia asing, hanya banyolan murahan. Simak saja kata-kata Sudomo "Mahasiswa kalau ingin membanyol jangan di DPR tetapi di TIM." Kalau demikian TIM dianggap tempat membanyol yang tidak efektif (Bdk. Sapardi Djoko Damono, Politik Indonesia dan Sastra Hibrida, hlm. 101). Pengabaian pada dunia sastra sebenarnya membawa kepincangan yang cukup serius. Karena hal itu berarti pengkerdilan hakekat hidup mendasar manusia sebagai makluk reflektif.

Melihat lebih jauh
Omongan seperti ini bukan khayalan filosofis tak mendasar namun dari dunia ilmu pengetahuan paling rigid pun kesadaran ini semakin mendapat tempat. Dunia ilmu rigorous pun tidak sok pasti, sebagai dunia yang sanggup menjelaskan segala sesuatu. Simak saja pengakuan Heisenberg pemenang nobel untuk fisika. "Ah tidak, saya tidak yakin teori itu betul." Karena ia percaya, hakekat kehidupan selalu lebih indah daripada segala rumus matematika dan fisika. Dan sebuah rumus agar sanggup berbicara tentang semesta harus didasari pada keindahan ini (Bdk. Mangun Wijaya. Manusia Pascamodern, Sains dan Tuhan, hlm. 102). Demikian juga orang macam Fritjof Capra, Geoffrey Chew, Prigogine dari kubu fisika baru, hari-hari ini lebih cenderung bicara tentang probabilitas ketimbang kepastian hitam-putih. Geoffrey Chew dengan pendekatan bootstrap tidak melihat alam itu sebagai balok-balok materi yang membeku tetapi sebagai jaringan dinamis dari peristiwa yang saling berhubungan. Demikian juga Capra melihat realitas dalam kerangka kesalinghubungan yang dinamis. Dan omongan seperti ini tidak bisa tidak menyentuh dan memberi bobot baru pada medan reflektif.
Maka patut dikatakan bahwa politik sebagai dunia yang berbenturan dengan kehidupan tak mungkin dibatasi pada ranah kepastian (ilmu pasti) tetapi harus sanggup memasuki medan reflektif sastrawi. Karena politik tidak sekadar perkara undang-undang, tata tertib tetapi harus sanggup melampaui segala kategori itu. Melihat politik tidak lagi dalam tataran fragmentaris-statis tetapi lebih sebagai medan holistik-dinamis. Maka tidak heran Bismarck berbicara tentang politik sebagai "Seni pemakaian kemungkinan nyata." Politik akhirnya bukan sekadar perkara benar-salah tetapi menjadi medan dialektika terus menerus. Sebagaimana dikatakan Franz Magnis Suseno manakala berbicara tentang demokrasi sebagai perjuangan politik universal dewasa ini. Ia mengakui bahwa demokrasi itu merupakan realitas yang bersifat, relatif, kontekstual dan dinamis (Franz Magnis-Suseno, 1998, Mencari Sosok Demokrasi, Gramedia, Jakarta). Ini sekaligus menunjukkan bahwa kehidupan termasuk kehidupan politik tidak mungkin dilihat dalam kaca mata hitam putih. Karena hidup begitu kaya, ia sekaligus kontekstual dan universal, inderawi sekaligus rohaniah, pasti tetapi sekaligus dinamis.

Manusia Makluk Reflektif
Di atas telah sedikit dijabarkan bahwa manusia makluk reflektif. Pada bagian ini akan ditelusuri lebih jauh dimensi reflektif ini. Ada sekian banyak defenisi tentang manusia. Ia adalah homo faber, homo ludens, homo symbolicum, homo religiosus, dan berbagai kategori lainya. Di balik berbagai defenisi ini tidak bisa ditolak bahwa ia adalah mahkluk reflektif. Dimensi reflektif inilah yang membedakan ia dengan makluk lainnya. Dimensi ini juga yang memperlihatkan bahwa manusia itu unik. Dalam bahasa Jean-Paul Sartre, manusia itu tidak sekadar makluk l'tro en soi (ada pada dirinya sendiri, pengada yang tidak sadar diri) tetapi sekaligus l'tro pour soi (ada bagi dirinya sendiri, pengada yang sadar diri). L'tro pour soi ini yang khas manusia dan membuatnya berbeda dari makluk lainnya yang hanya berada ditataran l' tro en soi. Bila ditelaah lebih jauh maka lÆ tro pour soi ini merupakan wilayah reflektif yang memungkinkan manusia menyatakan 'ya' pada hidup (Nietzsche). Tataran reflektif ini memungkinkan segala kesadaran terpacu untuk terus bertumbuh. Namun, medan ini jangan dilihat sebagai ranah korelatif tunggal makna tetapi sebagai jaringan relasi open ended dan dinamis. Medan reflektif dalam paradigma ini harus dilihat dalam semangat fisika baru memandang realitas sebagai interdependence dan sekaligus interrelationship.
Demikian juga sastra yang mendasari diri pada dunia reflektif harus dilihat dalam model fisika baru tersebut. Hal yang sebenarnya dikatakan juga oleh Roland Barthes tentang sastra yang writing degree zero. Sastra yang sanggup mengosongkan diri (absence) dan membiarkan kekosongan itu menyergap manusia. Ia tidak dirayakan dalam gegap gempita agar manusia tidak jatuh dalam kebisingan yang membutakan dan hasutan yang riuh tanpa makna. Pada medan ini sastra memang bukan wilayah untuk mencari 'kepastian' tetapi sastra membuat manusia berani menggumuli hidup, kritis terhadap realitas kehidupan. Atau dengan memakai paradigma Fran ois Lyotard dalam melihat filsafat bahwa filsafat itu bukan berurusan dengan 'perkara' (Litige) tetapi 'sengketa' (diff rend), ia mengatakan bahwa bila perkara harus diputuskan oleh hakim, maka sengketa tidak pernah bisa selesai. Demikian juga tawaran penulis dalam melihat dunia sastra dan medan reflektif yang ada didalamnya bukan pada tataran 'perkara' tetapi pada tataran 'sengketa.' Sebagaimana juga dikatakan Budi Darma bahwa sastra bukanlah tulisan yang hanya dengan tindakan-tindakan jasmani yang mentakjubkan tetapi adalah karya yang berkelebat dengan sekian banyak pikiran. Maka amat naif manakala orang memperlakukan sastra sebagai 'perkara'.

Potret Negri Ini
Dengan demikian sastra bukan lagi ôdibacaö sebagai hiburan tetapi harus dilihat sebagai ajang memperluas kemungkinan-kemungkinan itu. Ia tidak sekadar 'pelayan' tetapi sebagai partner yang memperluas tindakan reflektif manusia. Dengan demikian sastra membuat politik yang cendrung mengikuti kategori hitam-putih (positivistik) agar lebih dinamis dan terbuka. Politik itu harus dijiwai dimensi reflektif sastrawi agar kekuasaannya yang sering mengedepankan kedamaian, situasi yang kondisif dalam satu kategori terbuka matanya. Sastra juga membuat politik yang terkadang super curiga, takut sehingga membuka peluang lahirnya otoritarianisme, diktaktor hingga totalitarianisme bisa keluar dari lingkaran setan ini. Sastra harus menjiwai kehidupan karena didalamnya tak ada kebenaran tunggal makna yang diimani. Sebagaimana hidup itu selalu lebih luas dari segala kepastian positivistik. Maka membaca sastra merupakan panggilan kemanusiaan, panggilan politik, karena di sana dimensi reflektif manusia diberi ruang untuk tumbuh. Ini sekaligus menunjukkan bahwa manusia tidak hanya bergulat di medan fakta tetapi juga pada tataran reflektif alias medan makna.
Namun di negri ini pembodohan dan pengabaian aspek reflektif sulit dibongkar. Ini didasari pada pandangan bahwa dunia reflektif adalah 'milik' golongan atas. Orang bisa terkagum-kagum dengan sebuah pidato tanpa mengerti isinya. Demikian juga yang dikatakan Herbert Luethy manakala bicara tentang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai sebagai bahasa 'sintesis' yang meminjam "secara terang-terangan dan tanpa pandang bulu semua terminologi teknis dan abstraksi ideologis dari dunia modern dan nyaris tidak dimengerti, dalam hal bagian-bagiannya yang terbaru, bagi orang Indonesia pada umumnya, yang menyimak pidato-pidato resmi dengan ketakjuban lantaran tak mampu memahami" (Lih. Benedict R.O.G. Anderson, Bahasa Politik Indonesia, dalam Yudi latif/Idi Subandy Ibrahim (editor), Bahasa dan Kekuasaan, hlm. 124). Ini merupakan fenoma budaya yang sering dimanfaatkan para elit. Reflektivitas yang rendah atau juga pandangan bahwa reflektivitas itu hanya ômilikö golongan atas membuat kekuasaan itu semakin leluasa melakukan pembenaran tanpa kritik bahkan berubah menjadi rezim ideologis totaliter.
Di samping itu kalangan politisi pun masih cendrung melihat politik sebagai program jangka pendek. Politik dipahami sebagai kesempatan untuk menguasai. Politik bukan dihayati sebagai tempat pengabdian tetapi sebagai kesempatan. Maka tak heran Kwik Kian Gie mengatakan kalau negri ini banyak politikus tetapi sangat sedikit politikus yang negarawan. Politikus yang rela meninggalkan segala pamrih apapun termasuk keluarga, partai, agama dan sebagainya demi pengabadian total kepada manusia seluruhnya dan seutuhnya (Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, hlm. 4-5). Atau negri ini memang sungguh negri seolah-olah. Seolah-olah demokratis, seolah-olah beragama, seolah-olah beradab. Negri ini telah mengidap sekian penyakit kronis bahkan adalah penyakit itu sendiri. Negri ini sungguh terpuruk bahkan dunia pendidikan guna mempersiapakan manusia-manusia beradab pun telah tercemar dengan berbagai praktek mafioso. Maka tidak heran Ignas Kleden tidak percaya kalau cendekiawan Indonesia termasuk manusia-manusia 'elitis' di bidangnya.
Di sini penulis tidak berpretensi menjelaskan segala persoalan tetapi mau menunjukkan betapa politik yang hanya bermain di wilayah bannal akan selalu melahirkan pembodohan, penindasan. Sekian banyak persoalan yang terus menghantui karena pengabaian pada dunia reflektif sastrawi ini. Padahal dimensi inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya manusia ôutuhö. Maka pada tempatnya sastra tidak lagi 'dibaca' sekadar pelayan politik. Tetapi harus dibaca sebagai bagian penting kehidupan, bagian penting politik. Karena disanalah dimensi reflektif yang adalah hakekat hidup manusia meriap. Sehingga politik tidak terjerambab dalam ideologisasi yang mengorbankan manusia. Sebagaimana dikatakan Suyatna Anirun, sastra merupakan upaya memanusiakan ide-ide di tengah kecendrungan yang kuat untuk mengidekan manusia-manusia. *
Read More...

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Minggu, 02 Agustus 2009

Ignas Kleden

DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan
kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan
rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari
waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal
umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas
bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya
dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang
baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk
dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan.
Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak
termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.
Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo
mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang
keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi
pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam
kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara,
adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan
mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.
Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian
tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi
organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra
di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa
itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota
Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat
itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak
berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo
masih dipimpin oleh para ningrat.
Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul
kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”.
Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya
seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan
antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan
dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang
proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang
mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara
politik.
Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki
alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan
dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno,
memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil,
modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga
serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan
oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik
modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu
bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.
Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme
adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem
kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke
dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan
kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.
Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada
tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk
bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras
putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia
Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the
rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno
setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang
bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).
Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau
menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial.
Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam,
memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.
Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara
dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status
homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi
sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga
sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu
masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke
sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang
berbangsa.
Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik,
apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik
mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan
dalam perjuangan politik.
Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat
berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir
mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir
politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi
pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk
memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang
dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak
disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun
demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat
belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam
filsafat serta ilmu pengetahuan.
Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta
orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua
bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai
“Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan
Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan
di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor
Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi
Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia”
lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada
1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta
orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.
Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam
arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan
geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari
kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika”
dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari
Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.
R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata,
”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya.
Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan
kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut.
Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi
cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”
Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata
distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini
sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.
*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi.
Read More...

Pangan dan Hukum SPITZ

Kamis, 16 Juli 2009

Oleh Tony Kleden

SALAH satu bencana kelaparan terparah di Eropa terjadi pada tahun 1846 - 1850 di Irlandia. Ladang kentang yang merupakan makanan pokok warga gagal panen akibat hama. Kejadian itu jelas merupakan bencana alam. Tetapi kematian sekitar 2 juta orang akibat kelaparan itu jelas bukan sekadar bencana alam.


Selama bencana kelaparan itu, sebenarnya ada cukup makanan untuk memberi makan dua kali jumlah penduduk yang berjumlah 8 juta orang. Tetapi ekspor besar-besaran bahan makanan mulai dari gandum, oat, barley (jenis gandum yang dipakai untuk membuat bir), ternak, telur dan mentega berlangsung terus. Gandum dan barley dianggap sebagai hasil bumi perdagangan dan hanya ditanam untuk ekspor. Petani Irlandia tidak pernah memakannya karena mereka hanya bekerja untuk tuan tanah.
Sampai sekarang, di negara-negara berkembang pun para petani masih juga belum beruntung nasibnya. Sungguh sangat ironis, para petani yang adalah penghasil pangan manusia adalah kelompok pertama yang menderita kelaparan. Tentu banyak sebab dan alasan mengapa kaum petani dalam sejarahnya selalu berada pada posisi kurang beruntung, meski -- sekali lagi-- mereka adalah produsen pangan dunia. Kelaparan, gizi buruk, gizi kurang, nyatanya, lebih banyak menimpa para petani.
Tetapi pengalaman Irlandia dan fakta di negara-negara berkembang membuka mata kita bahwa persoalan kecukupan pangan, masalah gizi buruk lebih disebabkan oleh sesat pikir dan salah urus ketimbang karena kemiskinan atau infrastruktur yang tidak memadai.
Lapar, kelaparan, karena itu, seolah telah menjadi hal yang biasa buat kebanyakan orang, termasuk warga NTT. Hampir saban tahun, berita kelaparan menghiasi halaman surat kabar dan layar televisi. Mengapa kelaparan itu kerap menjadi pengalaman faktual di daerah ini? Apakah memang kelaparan itu bagian yang niscaya buat kita? Apakah kita, karena itu, hanya bisa berpasrah diri dan menerima kelaparan, paceklik sebagai kondisi yang given?
Buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur diterbitkan tidak terutama untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Tetapi buku ini hadir dengan pandangan, perspektif, pemikiran dan jalan lain untuk soal yang sama, yakni ihwal tentang pangan, tentang kelaparan, tentang pertanian, tentang gizi buruk itu.
Lima puluh tahun dalam judul buku ini disengajakan dengan maksud memberi tekanan bahwa propinsi ini tahun lalu telah menjejak langkahnya di usianya yang ke-50 tahun. Usia emas. Belum tua, sebenarnya. Tetapi rasanya sudah terlalu lama untuk tetap dalam kondisi periferal akibat deraan kelaparan dan kemiskinan.
Ada banyak gagasan, sumbangan ide, alternatif pemikiran tersaji dalam buku yang, menurut rencana, akan diluncurkan berbarengan dengan diskusi tentang pangan lokal di Kupang, Selasa (14/7/2009) pekan depan. Beragam gagasan, setumpuk ide, sejumlah pemikiran alternatif semuanya bermuara pada satu harapan, yakni kekurangan pangan janganlah menjadi masalah yang masif di daerah ini.
Harapan ini sangat penting dan vital. Karena telah sekian lama kita didera dan dikerangkeng dalam pola pikir yang melihat bahwa kelaparan dan kemiskinan adalah bagian hakiki dan inheren, yang seolah telah menjadi suratan tangan kita. Pola pemikiran ini kemudian melemahkan semangat dan membutakan mata kita untuk melihat jalan lain di tengah apa yang telah biasa itu. Dalam deraan pemikiran seperti ini kita kemudian mulai cenderung mempersalahkan iklim, musim kering, topografi, curah hujan dan lingkungan yang dinilai tidak kondusif.
Apakah alam memang salah? Alam tidak pernah salah. Kita juga tidak pernah salah dilahirkan di dan menjadi orang NTT. Yang salah adalah ketidakmampuan kita menyesuaikan diri dengan alam, dengan iklim, dengan musim kering, dengan topografi.
Sikap mempersalahkan iklim dan musim ini bisa dijawab dengan hukum SPITZ. Untuk mereka yang suka mempersalahkan iklim dan musim kering, Pierre Spitz memperkenalkan model yang mengaitkan dampak dari musim kering yang menimpa petani dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sendiri. Hukum Spitz sendiri berbunyi demikian: Dalam sistem ekonomi kapitalis, upaya pemenuhan kebutuhan sendiri cenderung menjadi hilang atau tak berarti (Self Provisioning Intensity Tends to Zero/SPITZ).
Aksentuasi dari hukum ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat industri, secara praktis hampir-hampir tidak ada lagi petani yang membuat roti sendiri dari tepung yang diolah sendiri. Mereka lebih suka menjual gandum hasil kebun mereka lalu membeli roti dari toko. Begitu juga dengan hasil pertanian yang lain. Dengan kata lain, para petani ini secara total telah hidup di sebuah dunia serba uang.
Kita bukan hidup di negara atau daerah industri. Tetapi efek hukum SPITZ sepertinya telah menerpa kita. Buktinya, pangan lokal yang ada banyak pada kita, tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan kita sendiri. Perilaku kita sama dengan 'masyarakat malas' di negara industri, menjual hasil kebun dan membeli barang-barang toko yang sejatinya diimpor dari luar. Penduduk desa memanen dan menjual pisang untuk kemudian membeli pisang goreng dan molen. Asam terbuang-buang di hutan di pedalaman Timor, dibiarkan begitu saja. Tetapi lidah kita sangat doyan dengan manisan asam dari Surabaya di toko dan mal. Bertruk-truk pisang dari Flores menuju Bali dan Surabaya, kemudian balik lagi ke Flores dalam bentuk keripik pisang. Jagung di desa-desa banyak dan dibiarkan sampai rusak. Tetapi anak-anak sekolah kita sangat gemar mengunyah emping jagung dari Surabaya. Ubi kayu, kestela dan talas kita berlimpah, tetapi roti telah menjadi simbol modernisme yang ditunjukkan kepada setiap tamu yang datang ke rumah. Di Flores, alpukat jadi makanan babi karena tidak bisa dipasarkan. Tetapi kalau ke Jakarta, kita suka menikmati jus alpukat dari Israel yang kurus- kurus.
Ubi, jagung, talas, pisang, kelapa, kestela, alpukat adalah tanaman khas kita yang bisa diolah jadi bahan makanan kita. Tetapi itu sepertinya sulit dilakukan. Mengapa? Karena pangan telah kita reduksi hanya menjadi beras. Pertanian direduksi menjadi sistem sawah yang monokultur. Dan, tanpa kita sadari sepenuhnya sistem pangan dalam keseharian kita kini didominasi oleh gandum dan hasil gandum. Tak aneh, petani sekarang 'memanen' raskin di kantor lurah dan desa. Konyol!
Hukum SPITZ sangat kuat kita anut. Tidak percaya? Sumbangan bahan makanan untuk anak-anak di daerah ini yang mengalami kekurangan gizi diberikan dalam bentuk biskuit yang tidak diproduksi di sini. Makanan ringan (snak) yang kita santap setiap kali rehat suatu acara lebih banyak mengandung gandum ketimbang bahan lokal.
Maka ketika duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay mengajak seluruh warga daerah ini kembali ke pangan lokal, kita merasa seolah kembali ke jati diri sendiri, kembali menjadi orang NTT, kembali menjejakkan kaki di bumi NTT yang telah menyediakan sejumlah pangan lokal yang khas daerah ini.
Nah, seperti apa pangan lokal itu, apa saja kandungan nilai gizinya, bagaimana mesti menggalakkan warga daerah ini untuk kembali ke pangan lokal, bisa Anda temukan dalam buku ini. Belum tuntas memang, tetapi sekurang-kurangnya buku ini telah menyadarkan Anda dan siapa saja yang membacanya untuk tidak terjebak dalam hukum SPITZ. Sebaliknya buku ini semakin kuat mengasah spiritual capital Anda untuk dengan bangga dan lantang mengatakan, saya orang NTT. *
Pos Kupang, Sabtu 11 Juli 2009
Read More...

Mengenang Tallo, Melihat Kepastian

Kamis, 30 April 2009

Oleh Tony Kleden

HARI
Sabtu, 10 Maret 2007. Saya menemui Piet Alexander Tallo, S.H, di ruang kerjanya untuk suatu wawancara. Garis-garis ketuaan terlihat nyata di wajahnya. Tetapi semangatnya tetap prima. Seperti biasa, kata-katanya selalu jelas dan tegas. Kuat mengekspresikan apa yang ingin dikatakannya kepada lawan bicaranya.

Sekenanya saya mengganggunya, "Bapak menjadi gubernur pada waktu yang salah, yakni ketika Indonesia baru dilanda krisis moneter dengan imbas yang begitu jauh dan ketika pengungsi Timor Timur membanjiri NTT."
Beliau diam sejurus. "Ya, salib itu harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Tetapi saya percaya, bersama semua warga NTT kita bisa keluar dari setiap masalah yang ada," jawabnya serius. Tidak berhenti di situ, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, "Dibanding dengan semua yang pernah menjadi kepala daerah di NTT, hanya bapaklah orang yang paling lama menjabat sebagai kepala daerah. Menjadi Bupati Timor Tengah Selatan sepuluh tahun, menjadi Wakil Gubernur NTT lima tahun dan dua periode menjadi Gubernur NTT. Berarti 25 tahun bapak menjabat kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keberuntungan apa yang membuat garis tangan bapak seperti itu?"
Sambil tersenyum, dia menjawab, "Semuanya sudah diatur Yang di Atas. Tidak ada yang kebetulan, semua orang punya jalan nasib sendiri-sendiri yang telah ditentukan. Saya sangat percaya itu." Dan, kami pun larut dalam dialog. Saat hendak pamit, beliau mengatakan, "Saya akan kontak kamu atau Dion (Dion DB Putra, Pemred Pos Kupang--Pen) kalau saya ingin ke Pos Kupang. Saya tidak mau kastau kapan saya pergi supaya jangan ada kesan formal."
Secara pribadi, saya kurang dekat dengan Piet Tallo. Bertemu langsung dengannya pun cuma tiga kali. Pertama awal 1999 di Ende, ketika beliau memperkenalkan program Tiga Batu Tungku saat mulai menjabat sebagai gubernur. Kedua di ruang kerjanya itu; dan ketiga saat beliau memenuhi janjinya mendatangi Pos Kupang, Kamis 30 Agustus 2007 siang.
Tetapi dari tiga pertemuan itu, dan kemudian mengikuti sepak terjangnya sebagai Bupati TTS, wakil gubernur dan Gubernur NTT, satu kesan kuat dari sosok Tallo yang tertangkap, yakni aktif berpikir dan berbuat. Tallo adalah pemimpin yang tidak bisa tinggal diam. Dia sangat aktif, baik aktif berpikir, juga aktif melakukan apa yang diikhtiarkannya.
Ketika memimpin TTS dua periode, boleh dibilang Tallo menjadi bupati primadona di NTT. Pada masanya, TTS menjadi kabupaten contoh di NTT untuk penerapan otonomi daerah. Sebuah polling nakal yang dibuat Pos Kupang tahun 1993 menempatkannya sebagai tokoh paling populer di NTT.
Sosok ini tidak bisa tenang, berpangku tangan saja. Dia akan sangat gerah dan gusar kalau rakyatnya duduk berpangku tangan saja. Di TTS, Piet Tallo dikenal sebagai bupati 'bertangan besi'. Dia tidak segan-segan menyumpal mulut rakyatnya dengan tanah kalau tidur 'melenggang kea' saja. Dia memimpin dengan 'tangan besi' karena ingin rakyatnya maju, keluar dari keterkungkungan. Dia ingin tampil sebagai sosok dengan semangat mesianik guna memberi asa bagi rakyatnya.
Sesuatu yang selalu terkenang bagi siapa saja yang pernah kenal dekat dengannya adalah sikapnya yang pasti melihat realitas. Idiom tidak ada yang kebetulan di bawah kolong langit menjadi begitu simptomatik di mulut Tallo. Bahwa NTT terdiri dari keanekaragaman suku, budaya bukan merupakan sesuatu yang kebetulan. Bahwa geopolitik NTT kuat dicirikan oleh pertarungan antara Flores, Timor dan Sumba dan antara Katolik dan Protestan, juga bukan suatu kebetulan.
Tetapi di tangan Tallo, apa yang 'bukan kebetulan' itu diolah menjadi sumber kekuatan, modal sosial dan spirit budaya membangun NTT. Sikap, tingkah laku, pandangan hidup, kebiasaan masyarakat NTT sangat dihargainya sebagai modalitas meniti jembatan pembangunan di NTT. Dengan rumusan lain, Tallo menjadikan kekuatan sosial, budaya, adat NTT dan juga faktisitas yang faktual di NTT menjadi investasi paling penting membangun NTT. 'Membangun dengan apa yang ada pada rakyat' kemudian menjadi inti nukleus pemikiran Tallo.
Kekuatan historis kultural dan historis religius menjadi pendekatan ampuh yang dipakainya menyelesaikan setiap soal dan masalah. Agaknya, pengalamannya sepuluh tahun menjadi Bupati TTS dan lima tahun menjadi Wakil Gubernur NTT membuka matanya melihat kekuatan budaya NTT menjadi aset yang begitu dahsyat. Program Tiga Batu Tungku pada periode pertama kepemimpinannya menjadi gubernur (1998-2003) dan kemudian Tiga Pilar Pembangunan pada periode kedua (2003-2008), karena itu, boleh dilihat sebagai pengejawantahan sikap dan pandangannya itu.
Kristalisasi pandangannya, pola pendekatan yang dipakainya dan disain program pembangunan yang diterapkannya dapat dibaca sebagai upaya Tallo menjadikan NTT sebagai NTT yang sejati, bukan NTT dalam tiruan warna dan kacamata daerah lain. Dalam kata-katanya sendiri, "Kita harus mengembangkan kecerdasan masyarakat kita, meningkatkan mental dan sikap kerja. Kecerdasan yang berkembang, mentalitas yang penuh harapan, serta sikap kerja yang tangguh, semuanya adalah etos yang harus terus dimunculkan."
Hal lain yang menarik dari sosok Tallo adalah keramatnya angka tiga. Pasti tiga bukan kebetulan buat Tallo. Tiga Batu Tungku, Tiga Pilar Pembangunan, juga jelas bukan sekadar tiga. Dalam wawancara dengannya, Tallo memberi alasan mengapa programnya selalu tiga. "Tiga itu bagi saya adalah simbol Bapak, Anak dan Roh Kudus. Tiga juga punya nilai spiritual bagi saya. Ada iman, pengharapan dan kasih," kata Tallo.
Tampilnya Tallo di panggung politik NTT juga pasti bukan sebuah kebetulan sejarah. Dia tampil pada zamannya dan menjadi anak kandung zamannya ketika kondisi NTT hancur-hancurnya bersama Indonesia diterpa krisis moneter. Nasib NTT semakin parah, ketika arus besar warga Timor Timur mengalir ke NTT.
Hari Sabtu, 25 April 2009 menjelang pergantian hari, Piet Tallo menghembus nafas terakhir disaksikan istri dan anak-anaknya. "Sudah selesai Ver," katanya kepada Vera, putrinya. Nafasnya sudah selesai. Putus. Jasadnya telah dingin dan kaku. Hari ini tubuh fana itu dibaring berkalang tanah. Tetapi Piet Alexander Tallo mewariskan contoh bagaimana mesti menghidupi kehidupan. Karena itu bukan kebetulan kalau lakon hidupnya akan menggairahkan begitu banyak orang setelah kematiannya.
Si penyair Rainer Maria Rilke bukan sekadar merawak rambang ketika dia berteriak lantang, "Siapa pun yang dengan sungguh memahami dan merayakan kematian, pada saat itu juga memuliakan kehidupan. "Requiem aeternam dona ei, Domine.


Pos Kupang, Rabu 29 April 2009

Read More...

Ubah Orientasi Budaya PNS

Jumat, 24 April 2009

ADA berita kurang enak dari Kabupaten Kupang dalam pekan ini, tepatnya Selasa (21/4/2009) lalu. Diberitakan bahwa terjadi insiden antara Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, MS, Ph.D dengan Ketua Bappeda Kabupaten Kupang, Ir. Yutje Adoe.

Kedua belah pihak telah menyelesaikan insiden ini. Bupati Titu Eki menyebut kejadian ini sebagai sesuatu yang manusiawi dan karena itu telah diselesaikan dan dianggap tidak ada soal lagi. Meski begitu, kejadian itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu yang bias dari praktek birokrasi di daerah ini.
Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi di NTT. Tiga tahun lalu, ketika Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon, merampingkan struktur birokrasi di Flotim, muncul resistensi begitu kuat dari pejabat yang tak bisa diakomodir dalam struktur pemerintahan. Kasus Larantuka bahkan sampai di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Di Timor Tengah Selatan (TTS), Bupati Paul Mella juga 'menurunkan' beberapa pejabat eselon II ke III. Kebijakan para kepala daerah seperti ini terjadi sebagai akibat dari penerapan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Kebijakan penurunan eselon yang menimpa pejabat pemerintah sebenarnya tidak perlu terjadi jika dan hanya jika birokrasi bebas dan dijauhkan dari pengaruh politis. Di NTT, setiap kali musim pilkada, para pejabat pemerintah (PNS) yang sejatinya mesti netral ramai-ramai terlibat dan melibatkan diri dengan menjadi tim sukses calon kepala daerah tertentu. Ketika seorang pejabat pemerintah memutuskan mendukung dan menjadi tim sukses seorang calon kepala daerah, ketika itu juga dia tidak netral lagi.
Dampaknya bisa diduga. Kepala daerah terpilih akan mengakomodir tim suksesnya dalam kabinet pemerintahannya, lepas dari bagaimana bobot dan kemampuannya. Sebaliknya para pejabat yang bukan tim suksesnya akan ditendang jauh, meskipun mungkin lebih berkualitas dari pejabat yang diakomodir.
Ada banyak permainan bahasa yang kemudian dipakai para kepala daerah untuk 'melindungi' kebijakannya seperti ini. Tetapi sesungguhnya, kebijakan seperti ini tidak akan banyak membantu meningkatkan pelayanan publik. Padahal, birokrasi dan organ-organnya diadakan dengan satu maksud, yakni melayani publik. Itulah sebabnya, dalam terminologi asing pegawai negeri itu disebut civil servants (pelayan publik).
Terkait dengan kejadian-kejadian seperti ini, ada dua hal yang perlu kita kemukakan di ruang ini. Pertama, perlu ada gerakan netralitas birokrasi. Netralitas murni tentu mustahil. Karena bagaimana pun para pejabat yang ditunjuk dan dilantik mesti mendukung kepala daerah. Tetapi kita membutuhkan pejabat yang menomorsatukan pelayanan publik, bukan loyalitas kepala kepala daerah. Artinya, setiap pejabat pemerintah, dan juga para pegawai pemerintah, mestinya lebih takut kepada masyarakat ketimbang takut kepada kepala daerah.
Karena itu kita butuh perubahan sikap, tingkah laku dan orientasi budaya pegawai pemerintah mendukung netralitas birokrasi. Hanya birokrasi yang netral saja yang bisa menghasilkan pelayanan publik yang transparan, efektif, efisien, profesional dan akuntabel. Hanya birokrasi yang netral saja yang menciptakan good governance, pemerintahan yang berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Good governance akan menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat (state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan politik. Birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan.
Kedua, kita ingin agar para kepala daerah menerapkan merit system dalam tubuh birokrasi. Merit system adalah proses promosi dan memanfaatkan pegawai pemerintah berdasarkan pada kapasitas mereka melaksanakan tugas, bukan terutama pada hubungan politis mereka dengan kepala daerah.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. Selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat di antara para pegawai pemerintah, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang pejabat menduduki suatu jabatan.
Kita butuh kepala daerah yang berani dan tegas menggunakan sistem ini sehingga mutu pelayanan kepada masyarakat terjamin. Artinya, setiap pejabat yang dipercayakan memegang suatu jabatan adalah pejabat yang telah lulus uji. Ujian bagi dia adalah kemampuan, kompetensi, integritas moral. Bukan sebaliknya kedekatan, keluarga, etnis atau suku. *
Pos Kupang, Sabtu 25 April 2009
Read More...

Ke Barat, Kok Ikut Timur?

Kamis, 23 April 2009

SUDAH rutin dilakukan setiap kepala daerah mengunjungi warganya setelah dilantik. Begitu juga halnya dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, awal April lalu ketika dua hari, tepatnya Kamis-Jumat (2-3/4/2009), mengunjungi Kabupaten Ende. Karena rutin, nyaris tak ada yang menarik dan penting lagi. Kunjungan kerja itu, karena itu, sering dinilai sebagai kunjungan balasan, pernyataan terima kasih karena telah terpilih menjadi kepala daerah.

Tetapi dari dua hari mengikuti kunjungan kerja Gubernur Frans Lebu Raya ke Ende, dan juga pengalaman mengikuti dan menyaksikan sejumlah kepala daerah mengunjungi rakyatnya, nyata terbaca banyak sisi lain yang menarik dan penting, lebih dari sekadar ucapan terima kasih.
Di Ende, sudah dari awal diingatkan bahwa medan menuju Kecamatan Maukaro, pesisir utara Ende mahaberat. Sepuluh tahun lalu, ketika melintasi jalur ini, kondisi jalan tidak jelek-jelek amat. Kendaraan masih bisa melaju di atas 60 km per jam. Kali ini? "Lihat, sekarang sudah mendung. Kalau hujan di utara, susah lewat," kata Benediktus Kadju, sopir Kadis Sosial Ende, yang kendaraannya kami tumpangi.
Benar, kijang inova hanya bisa melaju dengan kecepatan standar sampai di pertigaan Sokoria, Desa Ranokalo Selatan, Kecamatan Maurole. Pertigaan itu adalah persimpangan arah timur-barat-selatan. Timur ke Maumere, barat ke Mbay dan selatan ke Ende melalui Detusoko. Selepas itu, jalannya rusak minta ampun. Aspal tidak jelas lagi, bopeng di mana-mana. Lempung tanah dan tanah berlempung mengiris jantung jalan. Batu-batu sekepalan tangan, bahkan sebesar kepala manusia berceceran, beradu dengan roda-roda kendaraan. Di tempat yang berlubang, genangan air memekat. "Katanya, kemarin hujan," ujar Kadju, laki-laki separuh umur asal Mataloko, Ngada yang sekarang menjadi sopir Bupati Don Bosco Wangge, Bupati Ende yang dilantik 7 April lalu. Kendaraan dipacu dengan kecepatan di bawah standar. Tidak bisa cepat.
Pada beberapa lokasi, jalan menyusur bibir pantai. Pembatas jalan dengan air laut adalah tembok alami, yakni batu-batu yang tersusun dari mulanya. Bukan tembok dengan semen yang kokoh. Sejak beberapa tahun terakhir, abrasi mencubit pelan-pelan tembok alami itu. Hantaman ombak yang pecah di batu-batu melewati ruas jalan. Kalau sopir salah ukur, kendaraannya cemplung ke laut. Jalur ini benar-benar neraka bagi pengemudi.
Mestinya tidak parah, mengingat Kepala Dinas PU Ende, Agus Naga, adalah anak tanah dari Kampung Nabe, Maukaro. "Memang susah kalau Kadis PU bukan orang (berlatar belakang pendidikan) teknik," kata seorang pejabat dari propinsi. Agus Naga adalah Kadis PU bergelar sarjana hukum (SH). Satu-satunya Kadis PU di NTT yang bergelar SH. Padahal, masih banyak orang pintar dari Ende yang berlatar belakang sarjana teknik yang cocok dan tepat menduduki jabatan seperti Kadis PU. Mereka laku sebagai Kadis PU di Nagekeo, Manggarai Barat dan Lembata.
Sebenarnya, jarak tempuh dari Ende ke Maukaro tidak terlalu jauh, sekitar 95 km. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo. Tetapi akibat kondisi jalan yang buruk itulah, rute perjalanan mesti ke timur baru belok ke barat. Jika jalannya baik, Maukaro lebih dekat dan lebih cepat dicapai dari arah barat. Dari Ende menuju Bajawa, belok kanan di Nangapanda. Ikut arah barat, jarak tempuhnya cuma sekitar 60 km. "Tetapi dari Nangapanda tidak bisa lewat. Tidak ada kendaraan yang berani lewat," kata Kadju.
Konvoi kendaraan berangkat dari Ende pukul 13.00 Wita. Tiga jam anggota rombongan 'patah pinggang' di atas kendaraan. Lepas pukul 16.00 tiba di Desa Kebirangga, Maukaro. Kawasan pesisir utara Ende ini kaya hasil bumi. Di pinggir kiri jalan, jambu mete berdiri tegak. Pisang dan ubi terhampar. Cengkeh banyak. Jagung di kebun telah mengering. Siap panen.
Sepuluh tahun lalu, Humpus Grup menanam ubi aldira di kawasan ini. Hasilnya luar biasa. Sebatang ubi bisa menghasilkan 7-12 kg. Yang jadi soal ketika itu adalah pemasaran pasca panen. Karena rugi, warga menebas buang ubi-ubi aldira. Ketika itu ruas jalan relatif masih mulus. Licin. Bus-bus dari Maumere ke Bajawa atau Mbay sering ikut jalur ini. Berangkat ke Maukaro ikut Detusoko dan kembali melalui Nangapanda butuh waktu sekitar lima jam. Rute seperti itu mustahil sekarang. Tidak ada lagi bus dari Maumere ke arah barat ikut jalur utara. Sopir tak mau bawa kendaraannya ke jurang dan penumpangnya ke liang lahat. "Makanya kami malas pulang kampung karena jalan jelek itu," kata Maksi Biaedae, salah seorang anggota KPUD Kota Kupang sekarang. Maksi berasal dari Wolowae, perbatasan dengan Maukaro.
Kondisi jalan yang seperti itu, terang saja menghambat mobilitas manusia dan barang dari kawasan utara ke pasar-pasar. Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, meminta perhatian gubernur agar ruas jalan itu diperbaiki. "Kami minta agar ruas jalan dari Maukaro ke Ende bisa diperhatikan," kata Nis Laka, pria asal Semau, Kabupaten Kupang.
Di hadapan mosalaki, warga masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, Gubernur Frans Lebu Raya menjelaskan panjang lebar tentang delapan agenda Pemda NTT dengan spirit Anggur Merah. Meski sektor pendidikan dan kesehatan menempati urutan satu dan dua, program pertanian dan perkebunan tetap menjadi sektor yang sangat vital, terutama untuk membangun kesadaran warga mengonsumsi pangan lokal yang tumbuh dari rahim tanahnya.
"Saya sudah lihat jalan dari Ende ke Maukaro. Jelek sekali. Tentu kita akan perhatikan ruas jalan ini. Memang mahal sekali bangun jalan. Untuk menghotmixkan satu kilometer jalan saja dibutuhkan dana Rp 1,2 miliar. Tetapi secara bertahap kita akan coba membangun ruas jalan ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Di Detusoko, secara berkelakar gubernur mengatakan kepada warga setempat, "Saya bilang Kadis Kimpraswil NTT, kau rugi tidak ikut saya ke Ende. Rugi apa? Rugi karena tidak lihat kondisi jalan yang jelek." Gubernur mengatakan, Kadis Kimpraswil NTT, Ir. Andre W Koreh, MT, telah berjanji akan segera turun ke Maukaro melihat langsung kondisi jalan itu. (bersambung)
Pos Kupang, Selasa 21 April 2009

n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (2)
Lihat Lagi Setelah El Tari


Oleh Tony Kleden

MELELAHKAN juga menjadi orang penting seperti kepala daerah. Butuh energi prima, tenaga ekstra joss, dan vitalitas tinggi untuk menjadi gubernur dengan wilayah luas seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Bayangkan, sebelum ke Ende, Kamis-Jumat (2-3/4/2009), Gubernur Frans Lebu Raya dua hari mengunjungi Pulau Sabu, Kabupaten Kupang. Berangkat ke calon kabupaten baru NTT itu, Selasa (31/3/2009), pada Rabu (1/4/2009) siang gubernur balik ke Kupang. Dari Bandara El Tari langsung ke Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS), mengunjungi ratusan anak sekolah setempat yang keracunan es potong. Kembali dari SoE pada Rabu lepas senja hari itu juga, Kamis pagi keesokan harinya gubernur ke Ende.
Fisik boleh kalah, tetapi semangat janganlah. Rakyat NTT pernah begitu berbangga ketika El Tari menjadi gubernur. Penuh semangat Bapak Pembangunan NTT itu mengunjungi begitu banyak warga di berbagai daerah di NTT. Naik kuda pun dilakukan El Tari demi mengunjungi rakyat.
Ketika mengambilalih kemudi, Ben Mboi juga menjejak begitu banyak desa di NTT. Tak lekang dari ingatan warga NTT kalau Ben Mboi datang, semua siaga satu. Ben Mboi tegas demi kemajuan rakyat. El Tari dan Ben Mboi jadi gubernur kala usia mereka baru kepala empat. Masih kuat-kuatnya.
Para pemimpin itu ke desa bukan terutama ingin tunjukkan otot- otot lengan mereka yang masih kuat. Mereka juga bukan bawa barang bantuan untuk rakyat di desa-desa. Dengan cara mereka sendiri, rakyat sangat tahu bagaimana mesti meniti dan melakoni sejarah hidup mereka. Yang paling mereka butuhkan adalah kunjungan, sapaan dari pemimpin. Rakyat sungguh rindu menyaksikan wajah pemimpinnya. Mereka tahu diri tidak akan dengan mudah menadah tangan. Pemimpin juga sadar tidak baik datang dan menaruh segepok rupiah atau sekilo beras, bak sinterkelas yang membagi-bagi permen untuk rakyat. Rakyat rela menyembelih ternak piaraan asal bisa makan bareng bersama pemimpin. Berjam-jam pung mereka rela duduk menunggu.
Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, begitu antusias menyambut Gubernur Frans Lebu Raya di Kebirangga, Kamis (2/4/2009) lalu. Warga yang berkumpul di halaman Kantor Camat Maukaro itu terlihat sangat sumringah. Mereka seolah tak percaya gubernur bisa datang dan mengunjungi mereka yang nun jauh di utara Flores, jauh dari lirikan pejabat dan kerlingan anggota Dewan yang telah mereka pilih.
Menurut Nis Laka, selama ini warga Maukaro hanya bisa menatap wajah semua Gubernur NTT melalui halaman-halaman koran. Tak heran, sapaan adat dari mosalaki setempat begitu kuat mengekspresikan kerinduan rakyat kecil dan sederhana akan wajah gubernur.
"Kami bangga karena meski jauh dan jalannya begitu rusak, bapak gubernur masih mau datang ke kecamatan kami. Kebanggaan kami adalah karena meski kecamatan ini baru berdiri lima tahun, bapak gubernur pertama mengunjungi kami di Maukaro, bukan ke kecamatan lain di Ende," kata Nis Laka.
Senada dengan Nis Laka, Camat Ndona, Petrus Mite, juga menyatakan hal yang sama. "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang lagi gubernur mengunjungi kami, warga di sini," kata Mite, Jumat (3/4/2009). Pada siang hari yang terik itu, gubernur mengunjungi warga di Kampung Kanakera, Ndona.
Kanakera sendiri lebih banyak didominasi pemeluk muslim. Dialog dengan gubernur berlangsung di Masjid Baiturrahman yang sementara direhab. Masjid ini cuma berjarak sekitar 150 meter dari Istana Uskup Ende. "Kalau mau belajar toleransi, datang ke Ndona," kata Mite bangga.
Di Wakuleu, Desa Mbuliwaralau Utara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, tua adat dan warga setempat terharu-haru menyambut gubernur. Meu Reu, mosalaki yang menyambut gubernur meneteskan air mata. Mengapa menangis? Menangis karena sudah lama tidak dikunjungi pemimpin.
Kepala Desa Mbuliwaralau Utara, Aloysius Wangge, juga mengatakan hal yang sama. "Kami terharu dan bangga, karena bapak gubernur hadir di tengah-tengah kami," kata Wangge. Saking bangganya, warga Wakuleu mendaulat gubernur menjadi anak adat di desa itu.
Di Detusoko, meski dingin malam menusuk tulang, warga Dusun Woloone, Desa Detusoko Barat setia menunggu gubernur. Di bawah tenda terpal, di tanah berbecek yang ditaburi dedak padi, warga berdialog dengan gubernur, menyampaikan isi hati dan harapan mereka. Mereka senang gubernur duduk berdialog dengan mereka. Lebih senang lagi gubernur gawi dengan mereka, sesuatu yang sangat langka buat mereka.
Di SMAK Syuradikara, para guru dan siswa antusias berdialog dengan gubernur. Mereka aktif bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Guru bertanya, siswa juga tak ketinggalan.
Kepada warga di semua tempat yang dikunjungi, Gubernur Lebu Raya menekankan kunjungan itu sebagai bagian dari tugas seorang pemimpin. "Saya ingin melihat langsung seperti apa kondisi warga, saya ingin menangkap dan menyerap langsung harapan dan aspirasi rakyat. Kondisi rakyat, harapan rakyat itu harus diterjemahkan menjadi program pemerintah. Memang pendapatan daerah kita masih sangat rendah dibandingkan dengan APBD kita. Karena itu pemerintah mesti pintar-pintar mengatur dana yang terbatas itu untuk begitu banyak sektor," urai gubernur di hadapan para siswa SMAK Syuradikara, Ende, Kamis (2/4/2009).
Pendapatan daerah boleh kecil. Rakyat belum sejahtera hidup. Tetapi kondisi serba terbatas itu jangan diperparah lagi oleh sulit dan jarangnya rakyat menatap langsung wajah pemimpinnya.
Tepat kata Camat Ndona, Petrus Mite, "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang gubernur mengunjungi kami." (bersambung)
Pos Kupang, Rabu, 22 April 2009


n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (3)
Moni, Sedari Dulu Riwayatmu

Oleh Tony Kleden

TANGGAL 12 Juli 1997. Masih hangat dalam memori saya. Sepasang suami istri asal Belanda terkaget-kaget menyaksikan danau tiga warna, Kelimutu. Berdiri di bibir danau kembar, merah dan biru, keduanya tak berkedip menyaksikan keajaiban yang terbentang di depan mata.
"Amazing!" Jawab sang istri ketika ditanya kesannya tentang Kelimutu. Waktu itu, Tiwu Telu itu masih masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Di senja usia, suami istri itu tuntas membayar rindu yang lama terpendam.
Tetapi mereka cuma semalam menginap di Sao Ria Bungalow, Moni. Pagi-pagi ke Kelimutu menyaksikan keindahan danau itu. Setelah itu turun kembali ke Moni, ikat koper, check out dan angkat kaki. Tidak ada yang menarik lagi selain Kelimutu.
Itu kondisi 12 tahun lalu. Sekarang obyek wisata itu telah ditata lumayan baik. Arus kunjungan makin meningkat. Pemasukan membaik. Tetapi hampir semua unit bungalow di Sao Ria Bungalow di Moni kok tambah hancur? Dua belas tahun lalu kondisinya masih sangat baik. Yang punya komputer bisa kerja di kamar. Ada meja, ada kursi. Dari restoran bisa telepon ke mana saja.
Awal April tahun ini, kemudahan-kemudahan itu tidak ada lagi. Cas HP yang low saja tidak mudah. Kursi dan meja tidak ada. Di kamar mandi, air dari kran berwarna coklat. Keruh. Mau sikat gigi? Tak berani, kecuali pakai air kemasan. Mau akses internet dari kamar? Wou, impossible! Tak mungkin. Sao Ria Bungalow, Moni bukan yang dulu lagi. Hampir semua dari 16 unit bungalow yang ada terkesan tidak terawat. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini adalah kondisi standar dan vital untuk industri tanpa asap bernama pariwisata. Wisatawan asing itu kalau ke hotel atau penginapan, yang dia cek pertama adalah kamar mandi/wc.
Kondisi seperti ini juga diakui Kepala Taman Nasional (TN) Kelimutu, Gatot Soebiantoro. Gatot tidak bisa berbuat banyak karena sebagai pengelola dan penanggung jawab TN Kelimutu, pihaknya tidak ada urusan dengan penginapan di Sao Ria Bungalow, Moni. Sao Ria Bungalow milik Pemkab Ende dan dikelola Dinas Pariwisata Ende.
Camat Kelimutu, Wellem Nubatonis, juga mengakui kondisi yang sama. Nubatonis mengatakan, air bersih yang jadi masalah di kawasan Kelimutu. Selama ini air di bungalow-bungalow dan rumah-rumah warga, kata Nubatonis, dialirkan langsung dari mata air tanpa melalui bak penampung. "Karena itu kalau musim hujan air kotor dan berlumpur," kata Nubatonis.
Menurut Nubatonis, pihak TN Kelimutu sudah sering mengajukan ke Pemerintah Kabupaten Ende untuk membangun bak penampung dan penyaring, tetapi belum juga direalisasi. "Tetapi tahun ini, pihak TN Kelimutu telah siap membangun sebuah bak penampung sekaligus penyaring," kata Nubatonis.
Gatot Soebiantoro mengatakan, pihaknya terus dan terus membenahi aset TN Kelimutu. Dalam setahun pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan RI mengalokasikan dana Rp 4-5 miliar. "Dana itu untuk seluruh operasional TN Kelimutu dan gaji para staf," kata Gatot, pria asal Jombang, Jawa Timur. Dia menambahkan, ada 48 staf TN Kelimutu yang saban hari berurusan dengan aset ini. "Di lapangan (di Kelimutu) ada tiga puluh orang," katanya. Gatot enggan menjawab ketika ditanya berapa dana dari ABPD Ende untuk TN Kelimutu.
Sejak tahun 2005, kata Gatot, tren kunjungan ke Kelimutu menggembirakan. Gatot menyebut grafik kunjungan wisatawan itu naik dari angka 8.000 ke 15 ribu orang/tahun. Dia melukiskan, pada peak season, dalam sehari wisatawan yang berkunjung bisa mencapai seribu orang.
Berapa pemasukan dari aset ini? Tidak ada apa-apanya dibanding dengan alokasi dana Rp 4 - 5 milir dari pusat. Dalam setahun, kata Gatot, pemasukan dari tiket baru mencapai Rp 150 juta. Tiket untuk wisatawan asing Rp 20.000/orang/sekali kunjungan. Sedangkan bagi wisatawan lokal, Rp 2.000/orang/sekali kunjungan. "Banyak wisatawan asing minta agar tiketnya dinaikkan karena terlalu murah. Tetapi kita belum naikkan. Fokus kita adalah pembenahan dan peningkatan pelayanan dulu," kata Gatot.
Yang menggembirakan, kata Gatot, adalah telah terjadi pergeseran wisata. Saat ini, kata Gatot, daya tarik wisata perlahan-lahan bergeser dari obyek yang artifisial siatnya kepada yang obyek alami sifatnya. Karena itu, kata Gatot, belakangan pihaknya mengajak masyarakat mengintegrasikan obyek wisata Danau Kelimutu dengan obyek wisata alam dan budaya setempat.
"Kalau dulu, turis itu setelah dari Kelimutu langsung ke Moni dan pulang. Sekarang kita belokkan rute kembalinya mereka dari Kelimutu. Wisatawan akan kita belokkan ke perkampungan dan kebun-kebun warga menyaksikan aset budaya dan tumbuh- tumbuhan khas Kelimutu. Kita juga mulai menggalakkan wisata tracking," kata Gatot.
Dengan cara ini efek gandanya diperoleh masyarakat. "Pemasukan Rp 150 juta itu hanya dari penjualan tiket. Nah, kalau wisata budaya dan alam juga kita genjot, maka masyarakat akan mendapat efek gandanya," kata Gatot.
Dia menyebut aneka tarian dan atraksi yang mulai dijual, seperti karapan babi, tarian di Nggela dan Wologai. Semuanya agar uang wisatawan tidak hanya dibelanjakan untuk membeli tiket, tetapi juga untuk menyaksikan atraksi budaya daerah setempat.
Departemen Kehutanan telah menjadikan Kelimutu sebagai Taman Nasional. Seluruh tanggung jawab pengelolaan aset ini berada di pemerintah pusat. Tetapi tanggung jawab politis, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral rasanya lebih banyak berada di tangan Pemerintah Kabupaten Ende dan warga setempat. Jika ada tiga tanggung jawab ini, niscaya Moni terus dikenang, diceritakan kepada lebih banyak orang lagi dan keajaiban Kelimutu disaksikan lebih banyak orang lagi. (habis)
Pos Kupang, Jumat, 24 April 2009
Read More...

Hukum dan Harmoni Masyarakat

Kamis, 16 April 2009

DALAM tata kehidupan bersama, aturan hukum memainkan peranan yang sangat penting. Sulit dibayangkan suatu masyarakat tanpa adanya seperangkat aturan hukum yang mengatur. Masyarakat tanpa hukum adalah masyarakat rimba yang ganas, yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak, menonorsatukan emosi ketimbang rasio.

Secara intrinsik hukum sekurang-kurangnya mempunyai dua tujuan. Pertama, hukum melindungi manusia terhadap keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Hukum merumuskan secara obyektif, yaitu atas cara yang tidak tergantung dari rasa suka atau tidak suka, apa yang dilakukan atau dihindari manusia.
Kedua, hukum menciptakan suatu suasana pasti di antara manusia. Sebab ada aturan dan norma yang berlaku dan bersifat wajib.
Jika kedua tujuan hukum ini dipahami dan diterima serta dihayati dalam praktek hidup, niscaya akan terdapat harmoni dalam tata kehidupan bersama. Sayang, apa yang ada dalam tataran ideal, umumnya mentah dalam praktek. Dalam praktek sekian sering hukum dipandang sebagai batu sandungan. Maka yang terlihat dalam proses hidup bermasyarakat adalah legalisme, kemunafikan dan kepicikan. Akibat lanjutannya lebih jelek lagi. Hukum bukan cuma tidak ditaati, tetapi dipermainkan seenak perut.
Dalam kerangka berpikir seperti ini kita coba melihat kekisruhan yang terjadi di Kota Maumere, Sikka. Dari warta di harian ini edisi Selasa (3/3/2009), kita baca tentang aksi penertiban yang dilakukan Satpol PP Sikka dengan para pedagang yang dikategori liar. Para pedagang liar ini berjualan di lokasi yang bukan tempatnya. Mereka berjualan di emperan toko, di tikungan- tikungan jalan. Dalam aksi penertiban, Selasa (3/3/2009) pagi, juga nyaris terjadi kericuhan antara para penjual ikan dengan petugas.
Sudah lama urusan pedagang, urusan pasar dan urusan tertib menertibkan akrab dengan Kota Maumere. Hari ini tertibkan pedagang, besok tertibkan babi dan kambing yang berkeliaran bebas di tengah kota, dari toko ke toko membaur dengan manusia. Bahkan, pernah terjadi, salah seorang pejabat pemerintah pimpin aksi pengejaran ternak-ternak liar yang berkeliaran liar di tengah kota.
Kita prihatin juga dengan pemerintah setempat yang hampir saban bulan menguras energi dan memeras keringat untuk menertibkan apa yang perlu ditertibkan karena melanggar. Kita prihatin karena di milenium tiga ini, tata cara, pola hidup ala kota belum terlihat di Maumere. Wajah Kota Maumere akhirnya kuat mencerminkan suasana perkampungan, yang jauh dari kesan modern, bersih, tertib yang semuanya menjadi ciri sebuah kota modern.
Di Sikka, sebetulnya pemkab setempat telah menerbitkan Perda No. 10/2007 Tentang Ketertiban Umum. Dalam perda ini diatur banyak hal menyangkut ketertiban umum. Sudah tentu perda ini lahir pertama-tama sebagai respons atas kondisi ketidaktertiban yang ada di tengah masyarakat.
Karena itu, adalah janggal dan aneh kalau perda itu kembali dilanggar warga. Sikap warga yang melanggar aturan yang dibutuhkannya sendiri sekaligus menjadi titik lemah dari ketaatan warga setempat terhadap aturan.
Di mana-mana di dunia ini, hukum dan aturan ada demi kepentingan manusia. Dia perlu ada agar terjadi harmoni di tengah masyarakat. Dia mesti ada agar harmoni tidak berubah menjadi disharmoni. Boleh jadi ada sisi kurang dari suatu perangkat hukum. Tetapi keberadaannya secara intrinsik telah bisa menjadi jaminan adanya harmoni di tengah masyarakat.
Sudah sejak dulu, Maumere tenar ke luar propinsi. Namanya menggema meninggalkan kota lain di NTT. Nama Maumere bahkan lebih tenar dari Kupang. Itu karena seabrek prestasi, juga karena sejumlah tokoh penting lahir dari rahim Sikka. Tahun 1988, Tahun Maria Nasional digelar di Maumere. Setahun kemudian, 1989, mendiang Paus Johannes Paulus II, menjejak kaki di bumi Sikka.
Kita sengaja menyebut sejarah nostalgik ini dengan satu harapan, semoga pola pikir dan modus vivendi warga Sikka dan Maumere khususnya, mencerminkan gaya hidup orang kota, yang mengerti aturan, mengerti ketertiban dan kepentingan umum. Warga kota yang baik adalah warga yang taat aturan, tertib hukum, punya solidaritas dengan tetangga, menghargai dan mengerti kepentingan orang lain dan bukan cuma ingat diri, hanya minta dimengerti, apatis dengan kepentingan umum, cuek dengan sesama yang lain. *
Pos Kupang, 5 Maret 2009
Read More...