Jangan hanya terima maskot

Kamis, 14 Februari 2008

KITA bangga dan gembira ketika membaca berita di media ini bahwa Sriwijaya Air membuka rute penerbangan ke Kupang. Bagaimanapun, keputusan ini sangat menggembirakan bagi pelayanan jasa angkutan udara.
Selain angkutan laut, angkutan udara sangat penting dan strategis buat propinsi kepulauan seperti NTT. Sudah sejak era tahun 1970-an kabupaten-kabupaten di NTT membangun lapangan terbang/bandar udara. Ketika itu, masyarakat secara gotong royong membangun lapangan terbang.
Semangat mereka tentu bukan sekadar agar pesawat terbang bisa masuk dan mereka bisa melihat wujud sii 'burung besi' itu. Lebih dari itu, upaya membuka lapangan terbang itu agar akses masyarakat ke luar dan masuk ke daerahnya menjadi lebih cepat, lebih gampang.
Tetapi, setelah era berganti era, dasawarsa berganti dasawarsa, armada penerbangan dan airline yang aktif di NTT, boleh dibilang, belum terlalu menggembirakan. Dari dulu, warga daerah ini lebih akrab dengan Merpati, baik itu yang komersial maupun yang bisnis. Armada swasta, harus diakui, agak resisten dan rentan membuka usahanya secara kontinu. Pelita Air, Bouraq adalah dua contoh airline swasta yang akhirnya angkat kaki dari NTT karena berbagai alasan.
Bukan maksud kita di sini untuk mengritik airline swasta yang senin-kamis masuk NTT. Yang mau kita kemukakan di sini adalah bagaimana sebenarnya perhatian, kepedulian, keberpihakan dan kebijakan pemerintah di daerah ini terhadap transportasi udara?
Harus diakui bahwa sejauh ini 13 lapangan terbang/bandara di NTT terlalu mahal untuk hanya didarati Merpati sekali sepekan, dua kali sepekan. Terlalu banyak keringat warga NTT tahun 1970-an jika semangat mereka membangun lapangan terbang hanya untuk didarati pesawat jenis cassa seminggu sekali dengan harga yang jauh di atas bayangan mereka. Terlalu mahal harga sebuah tiket pesawat untuk mereka yang telah berpeluh itu, jika peluh mereka itu hanya untuk kepentingan segelintir orang berduit dan satu dua pejabat pemerintah.
Nah, inilah keprihatinan yang mestinya ada juga pada benak pemerintah di daerah ini. Manejemen Trans Nusa sudah membuka jalan pikiran kita bahwa pesawat jenis ATR bisa mendarat di landasan pendek jika dibatasi penumpangnya. Yang kurang pada kita, terutama pemerintah, adalah tidak memikirkan untuk mendirikan perusahaan daerah yang bergerak pada transportasi udara.
Kita menangkap kesan bahwa pemerintah di daerah ini hanya sibuk dengan urusannya, tanpa pernah berpikir secara holistik untuk kepentingan umum seluruh masyarakat NTT. Egoisme masing-masing daerah terlihat sangat kentara. Padahal, jika semua pemerintah kabupaten bersatu hati, mengusung semangat yang sama membangun sektor transportasi udara, maka bukan hal yang terlalu mahal dan sulit untuk memiliki armada penerbangan.
Secara matematis, biaya pembangunan rumah jabatan gubernur dan pengembangan gedung DPRD NTT jauh lebih mahal dari harga sebuah pesawat jenis ATR. Mana yang lebih urgen dibutuhkan rakyat NTT saat ini? Pengembangan gedung DPRD NTT yang kelihatan masih juga sangat layak, atau kemudahan dalam akses transportasi udara?
Penting melontarkan ide ini karena belakangan kita sangat merasakan betapa sulit dan tidak pasti melakukan perjalanan dari Kupang menuju Flores. Tiket telah di tangan pun kemungkinan untuk tidak jadi terbang terbuka lebar. Dan, kondisi ini sepertinya dibiarkan begitu saja.
Kekurangan kita adalah membiarkan kondisi itu terus berjalan. Banyak kali kita tidak menyadari bahwa tindakan pembiaran terhadap segala yang kurang, tidak baik, tidak menguntungkan sebenarnya merupakan sesuatu yang tidak baik.
Mudah-mudahan kita tidak cuma bangga meresmikan dan menerima maskot airline yang masuk ke daerah ini. Kapan kita bisa berbangga dan menepuk dada sendiri ketika meresmikan airline milik sendiri? *
Pos Kupang, Kamis 13 April 2006 Read More...

Partai politik cuma tangga

SEJAK memasuki era reformasi, kita melihat banyak perubahan dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara, lahir begitu banyak produk peraturan yang mencoba mengatur roda pemerintahan menjadi semakin baik.
Kita melihat beberapa produk aturan yang terasa sangat nyata mengatur tentang kehidupan bernegara dan atau berpemerintahan. Sebut misalnya undang-undang tentang partai politik, undang-undang tentang pemerintahan daerah, berikut segala peraturan teknisnya.
Semua produk aturan itu pada galibnya bermuara pada satu tujuan, yakni supaya roda pemerintahan dapat berjalan pada rel yang benar, mengikuti aturan main yang berlaku. Dan, wajah birokrasi tampil elegan.
Yang menarik adalah bagaimana pengejawantahan peraturan itu pada tataran praksisnya. Kita melihat bahwa aneka peraturan itu mengalami banyak bias dalam pengejawantahannya. Salah satu yang sangat kentara dan nyata-nyata terlihat adalah pengaruh dan peran dominan partai politik dalam roda pemerintahan.
Menurut hakikatnya, partai politik itu cumalah anak tangga menuju ke tata pemerintahan yang lebih baik, demokratis dan bermartabat. Dia cuma medium, jalan untuk mengantar sejumlah orang meraih kursi kekuasaan. Idealnya, peran dan pengaruhnya jangan terlalu menonjol dalam roda pemerintahan.
Tetapi, kita melihat dalam prakteknya, peran dominan parpol begitu kentara. Para anggota legislatif dan eksekutif yang datang dari, melalui dan karena parpol nyata-nyata lebih berpaling pada parpol ketimbang pada rakyat. Anggota DPR (D) lebih segan, loyal dan takut pada parpol ketimbang pada konstituennya. Para kepala daerah juga sama. Lebih takut pada parpol yang memberinya tiket meraih kursi kekuasaan, ketimbang pada rakyat yang dilayaninya.
Ada benarnya kalau para anggota Dewan dan pejabat eksekutif loyal dan takut pada parpol. Lepas dari sisi buruknya, parpol telah memberi mereka tiket, menjadi kendaraan bagi mereka ke kursi Dewan dan kursi jabatan. Menyatunya parpol dengan pejabat eksekutif dan Dewan ibarat kuku dan daging. Ada hubungan batin antara mereka dengan parpol.
Di sisi yang lain, kita melihat hubungan batin itu lebih banyak mengakibatkan beban psikologis yang mendera. Hubungan batin itu kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang lebih pro partai ketimbang pro rakyat. Kepentingan-kepentingan parpol kemudian menjadi lebih dominan dalam setiap kebijakan.
Dari sinilah sebetulnya, cikal bakal lahir apa yang disebut sebagai korupsi birokrasi dan korupsi politik. Dan, sisi buruk ini kembali diperingatkan Ketua DPD Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) NTT, Drs. Simon Hayon. Seperti diberitakan harian ini, dalam pidato politiknya ketika membuka Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) PPDI NTT di Kupang, Kamis (30/3) lalu, Simon mengingatkan bahwa membasmi korupsi perlu dimulai dari parpol.
Sebagai seorang politisi kawakan yang telah malang melintang dalam jagad politik di daerah ini dan kemudian menjadi kepala daerah, setidak-tidaknya Simon Hayon punya pengalaman tentang bagaimana kentalnya korupsi politik dan korupsi birokrasi.
Kita mesti memberi apresiasi dan dukungan terhadap pendapatnya ini. Sebab 'warning' Simon ini terasa sangat tepat dan relevan di tengah buruknya citra partai politik di daerah ini. Bukan rahasia lagi buat kita kalau kaderisasi di partai sejauh ini belum memperlihatkan sisi profesionalisme. Rekrutmen pengurus partai juga dilakukan asal-asalan. Tak heran kalau banyak penumpang gelap di tengah jalan yang masuk partai dengan membawa serta perilaku dan watak aslinya yang cenderung tidak elegan untuk terjun di sebuah partai politik.
Ya, kita dukung pendapat Simon Hayon. Jika partai menjadi sarang korupsi, maka dari partailah upaya pembersihan itu dimulai. Jika partai cuma anak tangga menuju terwujudnya wajah birokrasi yang demokratis dan elegan, maka dia janganlah terlalu dominan berperan dalam rancang bangun tubuh birokrasi. *
Pos Kupang, Senin 3 April 2006 Read More...

Jangan mati rasa berbuat baik

TAK terbantahkan bahwa paling laknat saat ini adalah kemiskinan. Dia ibarat monster ganas yang bisa dengan gampang mencabut nyawa begitu banyak orang. Jika dicermati secara teliti, akan jelas kalau hulu dari banyak kasus kejahatan yang terjadi adalah realitas kemiskinan, si monster itu.
Jika diurut-urut, maka mata rantai kemiskinan cukup panjang. Ayah pukul istri karena tidak bisa menyiapkan makanan. Istri menjewer anaknya yang rewel meminta uang membeli buku. Anak mencuri uang temannya karena ditekan oleh guru di sekolah. Guru memanggil orangtua karena anaknya mencuri di sekolah. Malu karena anaknya mencuri di sekolah, orangtua kemudian memukul lagi si anak. Lingkaran sebab akibat ini bisa kita pakai untuk menjelaskan tentang mata rantai kemiskinan itu.
Kini kemiskinan itu telah menjadi demikian parah. Di daerah ini, kemiskinan itu juga menyata dalam bentuk dan modus lain. Di Sumba Timur, warga yang kekurangan bahan makanan menggadaikan kartu rumah tangga miskin (RTM) ke rentenir. Di Lewoleba -- dan di banyak tempat lain di propinsi ini --, kelaparan bakal mengancam warga. Banyak dan bertambahnya jumlah kepala keluarga (KK) miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan BBM adalah contoh nyata bahwa kemiskinan telah demikian menghantui warga di daerah ini.
Parahnya, instansi dan atau stakeholder yang berurusan dengan jalan keluar mengatasi kemelut warga ini juga turut menambah penderitaan warga. Ketika BLT yang banyak dikritik ini mulai dicairkan awal Desember tahun lalu, muncul banyak 'orang miskin baru'. Yang datang menerima bantuan itu mengenakan sepatu hak tinggi, gelang emas melingkar di tangan, anting berlian tergantung di telinga. Dan, banyak yang datang menggunakan sepeda motor pribadi. Apakah mereka itu miskin?
Contoh lain adalah raibnya dana sebesar Rp 900 juta bantuan gizi buruk di Kabupaten Alor. Seperti diberitakan harian ini edisi kemarin, dana sebesar itu diduga digelapkan oknum petugas BRI Kalabahi. Rasa-rasanya kita sesak nafas membaca warta dari Alor itu. Betapa teganya oknum yang tidak bertanggung jawab itu menggelapkan dana untuk anak-anak gizi buruk di kabupaten itu.
Kita tentu mesti berharap agar kasus ini segera ditangani aparat penyidik. Tetapi, yang ingin kita soroti di ruangan ini adalah betapa kita sudah mati rasa akan solidaritas, akan keprihatinan, akan kepedulian kita terhadap sesama kita, warga kebanyakan yang masih didera kemiskinan. Banyak dari antara kita begitu tega membiarkan penderitaan warga itu berlangsung. Sikap pembiaran itu menyata dalam banyak ragam bentuk: merampas hak mereka, mengaku diri miskin, mempersulit urusan yang melibatkan orang-orang kecil.
Dalam suatu masyarakat ketika sikap-sikap dan perilaku ini masih mekar bertumbuh, sulit mengharapkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Demikianlah warga masyarakat yang kekurangan, yang mestinya harus dibantu justru jadi sapi perah, justru menjadi ladang garapan.
Saat ini, mayoritas warga NTT berada dalam masa pra-Paskah. Tema utama pra-Paskah adalah pertobatan. Tepatlah kalau untuk orang Katolik, aksi puasa pembangunan tahun ini berbunyi "Budaya Bebas Korupsi." Ya, korupsi yang telah melilit bangsa ini tidak lagi sekadar penyakit. Dia telah mewujud dalam budaya, telah menjadi habit, dan karena itu dibanalisasi.
Untuk melawannya, perlu kerja keras. Tidak cuma menegakkan hukum, memeriksa orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana ini, menetapkan sejumlah banyak orang menjadi tersangka. Lebih jauh dari itu, yang paling dibutuhkan adalah perubahan sikap, perilaku, budaya.
Hanya dengan perubahan sikap, kita bisa memiliki kemauan untuk menumbuhkan solidaritas dengan mereka yang berkekurangan. Hanya dengan perubahan perilaku, kita bisa memiliki itikad untuk berbuat baik terhadap orang lain.
Kemiskinan sudah terlalu lama mendera kita, membuat kita terpuruk. Tetapi jika kita juga miskin berbuat baik, miskin solidaritas terhadap sesama warga kita yang berkekurangan, maka sebetulnya kita secara tidak sadar terus melanggengkan laknat yang bernama kemiskinan itu. Tegakah kita menyaksikan banyak warga daerah ini terus didera kemiskinan? Mudah-mudahan kita tidak mati rasa untuk berbuat baik. *
Pos Kupang, Kamis 16 Maret 2006 Read More...

Setelah seminar, apa?

ITULAH pertanyaan yang terlintas dalam benak kita setelah membaca berita tentang seminar internasional di Kupang. Seperti diwartakan harian ini kemarin, seminar internasional itu melibatkan tiga negara, Australia, Timor Leste dan Indonesia (Pemerintah Kota Kupang).
Seminar ini mengangkat tiga isu utama, ekonomi, pendidikan dan pariwisata. Tiga tema ini merupakan tema-tema sangat penting dan urgen. Tetapi, yang memberi bobot lebih pada pertanyaan ini adalah harga seminar itu, yang mencapai Rp 200 juta, dan dampak atau hasilnya nanti. Dana sebesar itu merupakan dana yang tidak kecil untuk ukuran Kota Kupang. Dana itu ditanggung bersama oleh Pemerintah Kota Kupang dan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, masing-masing Rp 100 juta.
Pada galibnya kita mendukung rencana menggelar seminar itu. Karena bagaimana pun juga suatu agenda pembangunan, mestilah dimulai dari perencanaan yang matang dengan melihat banyak matra di dalamnya.
Tetapi, seperti kita maklumi dan ketahui bersama, hajatan-hajatan seperti seminar, diskusi, workshop dan semacamnya telah menjadi demikian biasa dan lazim. Hampir setiap hari selalu ada acara seperti ini. Kita sudah menemukan dan mendapat setumpuk rekomendasi, masukan, usul, saran atas banyak hal.
Tidak salah seminar diselenggarakan, diskusi digelar dan workshop dilakukan. Rekomendasi, usul, masukan itu juga penting dalam rangka memberi kita gambaran dan point of reference atas suatu masalah. Tetapi follow up-nya yang belum kita lihat.
Karena itu, kalau sekarang Pemerintah Kota Kupang berencana menggelar seminar bertaraf internasional, mungkin beberapa harapan dapat kita sampaikan di sini. Pertama, janganlah seminar itu cuma pro forma. Kita memandang sangat penting menggarisbawahi hal ini. Mengapa? Karena sebegitu sering selepas sebuah seminar, diskusi atau workshop, setumpuk rekomendasi dan masukan lalu dimasukkan dan mengendap di laci meja.
Jujur kita akui bahwa sangat jarang kita melihat sebuah perubahan terjadi menyusul sebuah seminar atau workshop. Lucunya, hampir saban tahun kita selalu menyaksikan seminar dengan tema yang sama didaur ulang, diselenggarakan lagi. Rekomendasinya juga tetap sama, masukannya ya... itu-itu juga.
Karena itu, harapan kita ialah semoga seminar internasional itu tidak sebatas pro forma, asal ada, asal bunyi, tanpa gema. Gema-gaungnya mesti bisa didengar dan ditangkap. Gemanya itu mengejawantah dalam action plan yang realiable (dapat direalisasikan) dan achievable (dapat dicapai).
Kedua, untuk konteks Kota Kupang, seminar ini harus dapat menaikkan pamor, menegaskan peran strategisnya di 'segitiga emas' di kawasan selatan ini. Menjalin kerja sama dengan Australia bukan hal yang baru lagi buat Pemerintah Kota Kupang. Sejak satu dekade lalu, Pemerintah Kota Kupang sudah merintis kerja sama dengan Pemerintah Palmerstone, Australia Utara.
Banyak dana telah dihabiskan dalam rangka kerja sama ini. Setumpuk action plan telah disepakati. Tetapi, sejauh ini kita belum melihat hasil nyata dari jalinan kerja sama ini. Mengapa ini bisa terjadi?
Tidak ada maksud kita di sini untuk mengritik Pemkot Kupang. Yang hendak kita gariskan di sini adalah bahwa hendaknya kerja sama itu benar-benar direalisasikan sehingga masyarakat kota ini memberi dukungan.
Dari tiga tema yang akan dibahas dalam seminar itu, sektor pariwisata agaknya bisa menjadi ikon hubungan antara Timor Leste dan Australia dengan Kota Kupang. Dengan tidak mengabaikan sektor pendidikan dan ekonomi, rasa-rasanya pariwisatalah yang lebih memberi warna hubungan antarnegara. Gerbang masuk ke suatu negara, saat ini adalah pariwisata. Maskot-maskot banyak negara menampilkan pesona pariwisata.
Jika pariwisata sudah demikian penting perannya menarik orang luar masuk ke suatu negara, maka kita berharap seminar internasional ini harus bisa menjadi momentum yang penting buat Pemkot Kupang merancang action plan, kiat nyata sehingga seminar itu tidak tinggal seminar. *
Pos Kupang, Selasa 28 Februari 2006 Read More...

Sampai kapan PNS jadi primadona?

MENURUT data, sebanyak 68.710 pelamar di NTT mengadu nasib mengikuti test calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD), Sabtu (11/2). Angka ini lebih banyak dari tahun lalu. Dan, dari tahun ke tahun, peserta test CPNSD cenderung meningkat.
Fenomena penerimaan CPNS di daerah ini memang selalu menarik untuk disimak. Pertama, pelaksanaan waktu test yang serentak menutup peluang peserta untuk 'bermain' di banyak tempat. Dulu, ketika ujian tidak dilakukan secara serempak, para peserta bisa mengikuti ujian di sejumlah daerah. Tidak lulus di satu daerah, pindah ke daerah lain. Tetapi sistem baru seperti sekarang ini menutup pintu bagi peserta yang suka berpetualang. Modus seperti ini juga akan semakin memberi peluang buat 'putera daerah'.
Kedua, meningkatnya angka peserta dari tahun ke tahun semakin menegaskan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) di daerah ini masih menjadi primadona. Boleh dibilang, sektor inilah yang menggerakkan roda perekonomian daerah ini. Sangat kentara di kota-kota kabupaten, dinamika dalam kota lebih banyak dilakoni para PNS. Angkutan kota penuh dengan PNS. Pengunjung pasar lebih banyak PNS. Pendek kata, PNS masih menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan. Jadilah, kota-kota di NTT adalah kota PNS.
Tetapi dua fenomena ini sekaligus juga membuka banyak perspektif dan sudut pandangan. Salah satu yang hendak kita sentil di sini adalah lemahnya usaha ekonomi skala kecil yang bisa menggerakkan roda ekonomi secara umum. Propinsi ini sudah 57 tahun usianya. Tetapi sepanjang usia itu, nasibnya tidak tentu.
Padahal, dari tahun ke tahun, tidak sedikit dana mengalir ke daerah ini. Di mana gerangan muara semua dana itu? Apakah yang salah sehingga sulit sekali ekonomi kita bergerak? Potensi kita punya. Ternak sapi, pernah menjadi primadona. Belakangan tenggelam dan diambilalih propinsi lain. Hasil laut kita punya. Tetapi lebih banyak dicuri. Hasil pertanian kita melimpah. Tetapi lebih banyak dinikmati propinsi lain. Pisang dari Flores kembali lagi ke Flores dalam bentuk kerupuk setelah diolah di Bali. Kita juga punya banyak potensi pariwisata. Tetapi mengapa wisatawan enggan ke sini?
Sementara itu tiap bulan, tiap tahun anggaran, eksekutif dan legislatif kita tak pernah alpa menganggarkan studi banding di tempat lain. Hasilnya apa?
Inilah beberapa variabel yang menjadi penyebab mengapa PNS masih menjadi sektor yang sangat menjanjikan. PNS jauh lebih menjanjikan karena memberi kepastian akan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, masuk akal kalau musim penerimaan CPNS adalah 'musim semi' yang paling dinanti-nantikan oleh pencari kerja.
Tetapi, pertanyaan besar sekarang adalah, sampai kapankah PNS menjadi primadona? Di Propinsi Kalimantan Timur, dari formasi yang disiapkan untuk CPNSD, yang melamar tidak sampai 50 persen. Sudah pasti, pencari kerja di sana tidak mau bertarung merebut status pegawai negeri, bukan karena pegawai negeri itu jelek. Sebaliknya, bagi mereka PNS kalah pamor dan kurang menjanjikan dibandingkan dengan profesi swasta. Dan, itu hanya mungkin terjadi kalau sektor iklim ekonomi riil, seperti usaha kecil dan menengah bergerak dengan semangat dan didukung oleh iklim usaha yang kondusif.
Kita sepakat bahwa pandangan terhadap dan memposisikan PNS sebagai sektor primadona harus segera ditinggalkan. Pemerintah, kita harapkan lebih giat lagi mendesain program di sektor ekonomi kecil. Tiap tahun ada dana PER (pemberdayaan ekonomi rakyat) bernilai miliaran rupiah. Dana ini ada di setiap kabupaten.
Mestinya dana ini bisa dimanfaatkan untuk mendongkrak usaha kecil menengah di setiap daerah. Pola-pola lama dalam penyaluran dana ini yang sarat kepentingan dan KKN hendaknya ditinggalkan. Sistem perizinan usaha yang berbelit dan selalu dikeluhkan, juga harus menjadi perhatian pemerintah.
Inilah beberapa hal yang perlu diperhatikan sehingga ke depan, PNS tidak lagi menjadi primadona. Sektor swasta seharusnya bisa bangkit dan menggeser arti penting PNS di daerah ini. *
Pos Kupang, 13 Februari 2006 Read More...

Memaknai filosofi satu atap

UNTUK kesekian kalinya penanganan kasus korupsi kita sampaikan di ruang ini. Tidak ada maksud lain, seperti memojokkan, mendiskreditkan siapa pun, pihak mana pun juga, kecuali keinginan yang kuat agar kasus-kasus korupsi di daerah ini ditangani dengan serius.
Mengapa dengan serius? Tentu karena selama ini, ada kesan sangat kuat penanganan kasus korupsi di daerah ini dilakukan pro forma, hanya untuk menyenangkan rakyat, hanya supaya terlihat ada usaha penanganan. Di hampir semua kabupaten, jarang kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik ditangani. Jarang para pejabat di daerah ini masuk penjara karena korupsi. Yang memenuhi penjara hanyalah pegawai kecil yang sebetulnya menjadi kambing hitam, menjadi tumbal atasannya. Akibatnya, rakyat daerah ini memandang penegakan hukum sebagai sandiwara belaka. Mereka tidak percaya lagi dengan aparat penyidik hukum. Dalam benak mereka hukum adalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Kasih uang habis perkara (KUHP) adalah sinisme yang sangat memalukan.
Ke depan, kesan, pandangan, ketidakpercayaan rakyat terhadap hukum harus dipulihkan. Modus lama harus dibuang. Aparat penyidik mesti menempatkan hukum di atas segala-galanya. Dan, daerah ini bisa segera bersih dari virus-virus koruptor.
Warta di media ini kemarin membersitkan harapan itu. Jajaran penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan BPKP duduk bersama membahas penanganan kasus-kasus KKN di NTT. Hadir Kapolda, Kajati, para kapolres se-NTT, para kajari se-NTT, para kasat reskrim, juga utusan dari BPKP Perwakilan NTT.
Rapat yang disebut rapat koordinasi (Rakor) ini bermaksud menyamakan persepsi, melihat bersama dan yang lebih penting lagi, ingin bersama dalam satu atap menangani kasus-kasus korupsi. Satu atap, itulah filosofinya. Untuk konteks penanganan kasus korupsi di daerah ini, filosofi ini begitu bermakna. Kita coba melihat beberapa makna dan implikasi penting dari filosofi ini.
Pertama, korupsi di daerah ini telah menjadi kebiasaan, perilaku, watak yang inheren dalam diri para pihak yang berurusan dengan dana-dana publik. Sepertinya, mereka yang 'makan uang' itu tidak lagi menyadari bahwa apa actus makan uang itu merupakan sesuatu yang melanggar hukum, bertentangan dengan norma moral dan karena itu harus mendapat hukuman yang setimpal.
Boleh dibilang, di daerah ini korupsi telah dibanalisasi. Orang melakukannya karena hal itu telah menjadi suatu kebiasaan yang berlaku umum dan jamak di mana-mana. Karena merupakan sesuatu yang jamak, maka orang pun ramai-ramai melakukannya. Di tengah lingkungan seperti itu dan dengan integritas moral yang rendah, lama-kelamaan kesadaran bahwa korupsi merupakan suatu malum, aib menghilang. Nah, menghadapi perilaku koruptif seperti inilah, filosofi satu atap sangat urgen dan penting sebagai obat penangkalnya.
Kedua, dari dulu daerah ini terkenal miskin. Dana-dana pembangunan berasal dri pusat, dari daerah lain. Dari tahun ke tahun, pemerintah daerah ini, melalui rancangan anggaran pembangunan dan belanja daerah (RAPBD) mengajukan dana ke pusat. Semuanya berjalan normal dan rutin. Pusat, melalui prosedur tetap, mengucurkan dana setiap tahun. Selain dana pemerintah, juga mengalir dana-dana swasta, dana-dana yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Dalam setahun saja, NTT bisa kebanjiran dana Rp 3 - 4 triliun.
Tetapi pertanyaan yang selalu mengusik kita, mengapa dari tahun ke tahun kita tetap tertinggal? Meski terdengar lucu, tetapi plesetan NTT sebagai nusa tetap tertinggal, benar-benar menampar pipi kita, terutama pejabat pemerintah di daerah ini. Apa saja yang dilakukan? Apa yang salah? Mengapa kesalahan terus berulang dan berulang terus? Mengapa kita tetap miskin? Apakah memang kita sudah demikian tidak mampu untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan kita?
Salah satu sebab kita tidak maju-maju adalah virus korupsi yang telah menahun di daerah ini. Kita menyaksikan, virus itu seolah beranak pinak. Dari bapak menular ke ibu. Dari orangtua turun ke anak. Dan, tidak ada yang malu lagi memamerkan kendaraan mewah, rumah-rumah modern, perhiasan mahal. Padahal (maaf) cuma pegawai negeri.
Karena itulah, kita berpendapat bahwa filosofi satu atap dapat menjadi obat penawar melawan kebiasaan, sikap, perilaku koruptif seperti ini. Tidak ada maksud kita di sini untuk melecehkan siapa pun. Yang mau digugat dan diharapkan di sini adalah dukungan terhadap filosofi satu atap ini. Dengannya, semua kita berharap, semoga di masa depan, virus korupsi perlahan-lahan diberantas dan disembuhkan dari muka bumi NTT. *
Pos Kupang, 27 Januari 2006
------------------------- Read More...

Tempatkan hukum pada tempatnya

PEMERIKSAAN terhadap sejumlah pejabat publik di negeri ini mulai gencar dilakukan setelah reformasi berhembus sejak delapan tahun lalu. Banyak pejabat dan koruptor di republik ini telah meringkuk di balik jerugi besi, lembaga pemasyarakatan.
Di Nusa Tenggara Timur juga kita saksikan sejumlah banyak pejabat publik diperiksa, ditahan, dipenjarakan karena terlibat kasus korupsi. Sebetulnya, dalam konteks penciptaan pemerintahan yang good and clean, langkah hukum seperti ini normal-normal, biasa-biasa saja. Karena memang seperti itulah wajah negara hukum. Sepertilah itulah hukum ditegakkan secara benar dan konsisten.
Di negara-negara lain, tegaknya hukum membawa perubahan kehidupan masyarakat yang luar biasa. Sebut misalnya Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Cina. Negara-negara ini terlihat begitu cepat maju dan berkembang karena lebih bersih dari virus korupsi. Hukum di negara-negara ini ditempatkan pada tempatnya yang semestinya dan dipraktekkan secara benar. Tidak ada urusan dengan politik. Hukum sebagai hukum diperlukan untuk menciptakan keadilan.
Karena itu, langkah aparat penyidik di NTT, baik itu aparat kejaksaan maupun polisi memanggil, memeriksa, menahan, memperkarakan dan menghukum para pejabat yang terlibat kasus korupsi, juga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Langkah hukum itu memang perlu diapresiasi sebagai sebuah gebrakan. Tetapi mestinya, kita juga tidak perlu 'membaca' langkah itu secara berlebihan, seolah-olah sangat luar biasa.
Dalam konteks hukum, penetapan mantan Bupati Flores Timur, Felix Fernandez, menjadi tersangka, misalnya, adalah sesuatu yang biasa sekali. Begitu juga dengan Bupati Kupang, Bupati Timor Tengah Selatan, atau juga beberapa mantan anggota dan anggota (aktif) legislatif di daerah ini menjadi tersangka. Tidak ada yang luar biasa dari langkah hukum yang ditunjukkan aparat penyidik. Normal-normal saja kalau mereka itu ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian disidangkan dan mungkin juga divonis penjara.
Kita akui, sebegitu sering kita membaca langkah dan tahapan proses hukum dengan kacamata lain, bukan kacamata hukum. Kacamata yang paling laku dipakai adalah politik dan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan).
Jika kita tidak menggunakan kacamata hukum melihat semua proses hukum, tentu saja yang kita tangkap dari seluruh proses itu jauh membias. Proses hukum kemudian ditafsir secara politis bahwa si A dari suku ini ingin menjatuhkan si B dari suku itu. Yang kemudian terjadi adalah semua kita mulai membentengi diri dalam gheto suku kita yang sempit. Semangat pluralisme yang mulai kuat mengarus di tingkat dunia justru akhirnya menjauh dari kita.
Tentu kita tidak mengharapkan akibat-akibat seperti ini terjadi. Juga di daerah ini, terkait dengan langkah hukum para penyidik memeriksa para pejabat publik. Kita sepakat dengan pernyataan gubernur kita, Piet A Tallo, S.H seusai diperiksa di Polda NTT, Selasa (17/1) lalu. "Ini saya tunjukkan bagaimana sebagai warga negara yang baik mentaati aturan hukum yang berlaku di negara kita ini. Juga kalian para wartawan, jangan berlindung di balik profesi. Kalau ada masalah berani ndak datang ke kantor polisi untuk diperiksa." Begitu kata gubernur kesayangan dan kebanggaan kita.
Pemeriksaan Gubernur Tallo berikut pernyataannya sebagaimana kita kutip di atas, tidak hanya menghapus kecurigaan dan keraguan banyak pihak, tetapi juga memperlihatkan sebuah sikap gentle, kemauan baik, ketaatan seorang warga negara yang baik terhadap proses hukum.
Banyak hal yang bisa dan harus kita petik dari proses pemeriksaan ini. Pertama, bagi aparat penyidik, sikap gentle Gubernur Tallo mestinya bisa melecut semangat untuk lebih serius lagi menegakkan hukum di daerah ini. Seorang gubernur saja rela, mau dan ikhlas untuk diperiksa, apalagi para pejabat yang berada di bawahnya, seperti bupati, sekretaris daerah, kepala dinas. Juga siapa pun warga yang patut diduga bersalah secara hukum harus diperiksa.
Kedua, bagi kita semua, warga propinsi ini dan juga para pejabat publik. Teladan yang baik telah ditunjukkan oleh gubernur kita. Kita mestinya mencontohi sikap gubernur kita untuk siap diperiksa jika memang diduga melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Ketiga, dalam konteks penciptaan pemerintahan yang good and clean, kita memang mesti menempatkan hukum pada tempatnya yang benar, sehingga tidak terjadi bias dalam penerapannya. *
Pos Kupang, Kamis 19 Januari 2006
------------------------ Read More...

Dukung langkah hukum purna bakti

HARI-HARI ini kita disuguhkan dengan berita, terutama di media ini, tentang dana purna bakti dengan sudut pandangnya masing-masing.
Di Sikka, purna bakti menjadi kasus yang tengah diusut kejaksaan. Sejumlah mantan anggota Dewan dan staf birokrasi telah diperiksa. Di Lembata, kalangan eksekutif dan Dewan tengah berjuang menjustifikasi pemberian dana purna bakti ini. Di Flores Timur, mantan anggota Dewan malu-malu menerima dana bantuan itu, meski dibenarkan oleh aturan yang ditetapkan oleh mereka sendiri.
Di kabupaten lain, ada yang tengah diusut dan dalam proses penyidikan. Yang lain lagi masih diam-diam. Kalau di Lembata dan Flotim, dana purna bakti itu dilegalkan melalui perangkat aturan, yakni peraturan daerah (Perda), maka di Sikka, sebagaimana pengakuan Ketua DPRD Sikka, AM Keupung, pemberian dana purna bakti itu tidak punya dasar hukum. Artinya, DPRD Sikka periode lalu tahu dan penuh sadar bahwa pemberian 'uang sirih pinang' itu tidak beralasan.
Kita sudah terlanjur mengerti bahwa di negara ini, kalangan Dewan datang dari partai politik. Partai politik mengutus mereka, melalui medium pemilihan umum ke lembaga terhormat, parlemen. Ada keyakinan bahwa para anggota Dewan yang terpilih itu mengemban misi menyuarakan suara para konstituennya.
Karena itulah kita mengerti kalau Harold Lasswell merumuskan definisi politik sebagai who gets what, when, and how" (siapa mendapat apa, kapan dan dengan cara seperti apa). Mestinya, dalam konteks praksis politik, para anggota Dewan itu adalah sedikit orang yang memenangkan pemilihan pada waktu yang tepat melalui cara yang juga benar.
Nah, kita menyaksikan sendiri, betapa ideal seperti ini sangat jauh di awang-awang. Harapan akan sebuah praksis politik yang benar adalah harapan yang utopis belaka. Dana purna bakti, keterlibatan anggota Dewan dalam melobi proyek, adalah contoh soal tentang biasnya praksis politik yang diperankan kalangan anggota Dewan kita di daerah ini.
Moralitas dan etika yang dianut kalangan anggota Dewan kita rupanya adalah 'mumpung terpilih, ya... memperkaya dirilah'. Menjustifikasi pemberian dana purna bakti melalui perda yang tanpa public hearing, boleh dibilang, merupakan pengejawantahan moralitas seperti ini.
Publik di daerah ini paham bahwa kalau ada dasar hukumnya, maka dana purna bakti itu sah-sah saja. Tetapi yang disoroti adalah perilaku dan etika politik para wakil rakyat itu. Bukan legal-ilegalnya dana itu.
Di tengah kemiskinan rakyat NTT, kita sulit menerima kalau kalangan Dewan kita sibuk menyusun aturan menjustifikasi opsi 'menggemukkan badan' sendiri. Kita berpandangan bahwa gaji seorang anggota Dewan berikut tunjangan ini dan itu telah lebih dari cukup untuk hidup di NTT.
Nah, dalam konteks ini, kita mendukung dan menaruh harapan aparat penyidik untuk menyelidiki, menyidik dan menuntaskan kasus-kasus dana purna bakti di NTT. Langkah nyata telah dilakukan di Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Sikka. Di Kabupaten Kupang prosesnya sudah sampai di meja hijau. Di Kota Kupang, berkasnya masih seperti bola pimpong. Di Sikka, kejaksaan tengah berkonsentrasi.
Banyak pelajaran sebetulnya yang dapat kita petik dari biasnya praksis politik yang dipertontonkan di daerah ini. Bagaimana mesti mengatasinya? Salah satunya yang paling mungkin adalah membenahi pola, mekanisme dan sistem rekrutmen kader partai di dapur partai.
Bukan berita baru lagi kalau di negara ini korupsi terbesar dilakukan oleh partai politik. Ada pendapat yang menjelaskan bahwa kondisi itu sangat mungkin terjadi karena kalangan anggota partai yang direkrut adalah para pencari kerja yang bertahun-tahun tidak pernah memegang uang dalam jumlah banyak, tidak pernah menikmati fasilitas yang lumayan. Itulah sebabnya ketika mendapat gaji dan tunjangan ini dan itu, mendapat fasilitas lengkap, mereka tergagap-gagap dan bingung menggunakannya.
Ya, partai politiklah yang memegang kuncinya. Harapan kita agar waktu-waktu mendatang partai politik di daerah ini bisa lebih profesional merekrut kader-kadernya. Mudah-mudahan, mereka yang menjadi anggota Dewan, wakil rakyat di daerah ini bukan penumpang gelap yang naik di tengah jalan. *
Pos Kupang, Rabu 11 Januari 2006 Read More...

Kesederhanaan sebagai kebajikan Natal

HARI Raya Natal, akhirnya datang lagi untuk dirayakan. Seperti telah lazim, banyak persiapan dilakukan menyongsong Natal tahun ini. Tetapi, jika kita kritis dan cermat merenung dan membaca tanda-tanda zaman sepanjang tahun ini, ada begitu banyak peristiwa, kejadian, kasus dan semacamnya yang membuat kita miris merayakan Natal tahun ini.
Di aras nasional, begitu banyak gejolak terjadi. Banjir di sejumlah tempat. Lebih dari seratus kepala daerah, baik kabupaten/kota maupun propinsi dilakukan dengan riak dan dinamikanya. Harga bahan bakar minyak yang melangit dengan dampak ikutannya yang tidak kecil. Aksi kekererasan terus berlangsung.
Di aras lokal, kita juga menyaksikan berbagai kejadian di daerah ini. Kelaparan melanda sejumlah kabupaten. Gizi buruk, gizi kurang terjadi hampir merata sebagai akibat rawan pangan. Demam berdarah dan diare terjadi di mana-mana. Bencana alam juga terjadi di beberapa tempat.
Semua peristiwa itu, aneka kejadian itu, bagaimanapun juga, menegaskan ketidakberdayaan kita di hadapan Sang Empunya hidup. Betapa rapuhnya kita saat banjir datang menerjang. Betapa lemahnya kita ketika sengatan matahari tak mau kompromi dengan tanaman di kebun dan ladang petani.
Nah, di tengah segala macam kejadian dan bencana itu kita merayakan Natal tahun ini. Karena itu, rasanya tepat kalau aneka peristiwa itu kita lihat sebagai koinsidensi yang tepat dengan makna Natal. Artinya, sambil tetap mengingat damai sebagai kandungan maknanya yang telah umum, pesan kesederhanaan, ketakberdayaan, kehinadinaan dapat kita lihat sebagai makna lain dari Natal.
Mungkin terlalu fatalis berpikiran seperti itu. Tetapi, sejarah keselamatan manusia bermula dari kandang hewan yang sederhana. Bayi Yesus tidak lahir di atas tempat tidur beralaskan sprei yang putih bersih dan steril.
Tidak! Allah memilih kesederhanaan untuk menyatakan kemahabesaranNya. Di kandang hewan, dengan disaksikan hewan dan gembala-gembala di padang, dan di tengah malam yang dingin menusuk, Verbum caro est (Sabda menjadi daging).
Bagi orang Kristen, peristiwa Natal bermakna penyelamatan dan karena itu dirayakan spesial. Tetapi bagi setiap bangsa, peristiwa Natal mengajarkan satu kebajikan hakiki, yakni kesederhanaan. Karena itu, kesederhanaan sekali lagi tepat kalau dimaknai sebagai suatu kebajikan. Ya, kesederhanaan dalam banyak hal. Dalam hidup, dalam perilaku, dalam pola tingkah dan dalam sikap hidup.
Allah yang mahabesar, yang kuat kuasa, yang tremendum et fascinosum, memilih cara dan modus manusia yang lemah dan tak berdaya dalam kesederhanaan. Tetapi kesederhanaan itu membawa kepenuhan keselamatan manusia secara paripurna. Karena itu peristiwa Natal semestinya harus mampu membangkitkan kesadaran setiap orang untuk lahir kembali dari sikap, perilaku lama yang penuh kesombongan dan kecongkakan.
Untuk konteks kita di NTT, kesederhanaan terasa sangat tepat dan relevan untuk menjadi suatu kebajikan Natal. Ada banyak alasan, mengapa kesederhanaan harus bisa menjadi kebajikan yang dapat kita pegang.
Pertama, kita merasa bahwa meski sudah memasuki usianya yang 47 tahun, propinsi ini tidak maju-maju. Kita seakan berjalan di tempat. Ekonomi kita tidak maju dan bergeliat. Bantuan langsung tunai (BLT) tanpa sadar telah menjadi dana siluman yang membawa halusinasi buat kita.
Pendidikan kita seret. Sudah tujuh gubernur memimpin derah ini. Tetapi hasil yang kita petik, ya... ketidakberhasilan. Sektor kesehatan kita juga parah. Busung lapar, gizi buruk, kurang gizi, diare, demam berdarah, malaria sudah menjadi merk penyakit daerah ini. Rupanya kita sepakat bahwa kegagalan itu akibat sikap kita, para pemimpin kita yang tidak lagi konsern terhadap rakyat.
Kedua, kita melihat praktek KKN, terutama korupsi, telah begitu menggurita. Banyak pejabat publik sudah kehilangan rasa malu ketika memamerkan inventaris pribadi akibat korupsi. Meski berpenghasilan rendah, tapi bergaya hidup elitis. Usia sudah 47 tahun, tetapi perilaku masih seperti anak-anak. Itulah masalah kita sebenarnya.
Mudah-mudahan raja yang lahir sebagai bayi miskin di kandang hewan mampu membangkitkan kesadaran buat kita untuk belajar tahu diri menjadi lebih sederhana. Selamat Hari Raya Natal. *
Pos Kupang, Sabtu 24 Desember 2005 Read More...

Korupsi sebagai patologi narsisme

DUA hari berturut-turut ini bersejarah. Tanggal 9 Desember kemarin diperingati sebagai Hari Antikorupsi sedunia. Sementara pada hari ini, 10 Desember, kita peringati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM).
Terasa memang, resonansi peringatan dua hari khusus ini tidak bergema dan bergaung. Beda sekali dengan peringatan-peringatan hari-hari bersejarah lain, yang tidak cuma menyita banyak perhatian, tetapi juga menelan banyak dana untuk acara seremoninya. Mungkin karena itulah, kontras rasanya jika kita mesti 'meledakkan' peringatan Hari Antikorupsi.
Tetapi, kita merasa tetap urgen di sini mengartikulasikan kembali makna peringatan dua hari bersejarah ini. Korupsi, tentu bertentangan dengan HAM. Dia melanggar etika yang umum dianut. Dia merusakkan sendi-sendi kehidupan yang layak, yang baik, yang diikhtiarkan, yang jadi impian umum. In sensu stricto, korupsi merupakan malum dari suatu bonum, kekurangan dari suatu kebaikan.
Peringatan Hari Antikorupsi hari ini terasa demikian bermakna dan penting kalau kita tarik perilaku corrupt itu ke konteks kita di daerah ini. Beberapa waktu terakhir, beberapa pejabat penting, yang merupakan master mind setiap kebijakan publik, diperiksa dalam kasus dugaan korupsi. Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) ditetapkan menjadi tersangka. Bupati dan Wakil Bupati Kupang juga ditetapkan sebagai tersangka. Walikota Kupang bersama mantan anggota Dewan setempat juga diperiksa. Beberapa pejabat di Kota Kupang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Itu di lingkup pemerintah. Di luar pemerintah, beberapa pihak yang mengelola dana bantuan juga diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka. Meski belakangan, kita sangat ragu dan sangsi akan keseriusan aparat hukum mengantar para tersangka itu ke hotel pro deo, toh pemeriksaan sebagai tersangka itu sendiri sudah memberikan image yang sangat buruk.
Para tersangka itu, boleh bermuka tebal, tetapi jati dirinya sebagai seorang subyek otonom, apalagi seorang figur publik, hancur berantakan. Jargon seperti 'makan uang' buat telinga kita masih sangat menyakitkan. Hukuman fisik di penjara mungkin bisa dihindari ketika penegakan hukum di republik masih sebatas dagelan dan setiap aktornya bisa dibayar dengan segepok rupiah. Tetapi hukuman sosial tidak bisa dihindari. Dan, jangan lupa saat ini banyak orang stres bukan karena siksaan fisik, tetapi akibat siksaan psikologis-sosial. Orang miskin yang tidak makan satu hari masih bisa 'mengangkat muka', ketimbang orang kaya yang kenyang tetapi dicibir di lingkungannya.
Banyak teori sudah menjelaskan tentang watak orang yang suka 'makan uang' itu. Banyak sudut pandang telah dijelaskan. Semua penjelasan itu, setiap teori itu, boleh diringkas dalam satu tali simpul: koruptor adalah orang yang telah jatuh dalam narsisme.
Ya, narsisme. Artinya orang yang hanya melihat dirinya, berkonsentrasi pada dirinya, seolah-olah dunia di luar dirinya, lingkungan sosial di luar dirinya tidak ada. Dia begitu mendewa-dewakan dirinya. Dia khawatir kalau dirinya tidak oke. Dia menyamakan dirinya dengan salah satu aspek parsial dari dirinya. Entah hartanya, entah kemasyhurannya, dan entah apa lagi yang terkait dengan dirinya.
Patologi narsisme, tentu saja sangat bertentangan dengan hakikat kemanusiaan. Ketika seseorang hanya mengagung-agungkan aspek parsial dari dirinya, ketika itu juga dia merendahkan martabat kemanusiaannya. Karena dia seakan mengidentikkan dirinya dengan apa yang ada padanya, berapa simpanannya, berapa kapling tanahnya, berapa unit kendaraan mewah di rumah, berapa banyak rumah miliknya, dan seterusnya dan seterusnya.
Rasanya tidak terlalu keliru buat kita untuk mengatakan bahwa banyak dari antara pemimpin kita di daerah ini, juga orang-orang yang doyan memarjinalkan kemiskinan warga daerah ini untuk kepentingan terselubung, kita sebut sebagai orang-orang yang telah jatuh dalam patologi narsisme.
Suara mereka nyaring di ruang rapat untuk mendatangkan investor. Proposal mereka berhalaman-halaman berisi seribu satu kekurangan, kemiskinan, ketidakberdayaan warga daerah ini guna meluluhkan hati donatur. Tetapi ketika dana itu datang, yang pertama dalam benak mereka adalah 'saya makan berapa, apa lagi yang harus dibeli sebagai kekayaan pribadi?' Kita memang mesti sedih. *
Pos Kupang, Sabtu 10 Desember 2005 Read More...

Birokrat bukan aristokrat

MULA pertama ketika mulai diperkenalkan, birokrasi dimaksudkan terutama untuk menggantikan sistem pemerintahan aristokrasi. Merujuk pada etimologinya, aristos (paling baik), krateo (memerintah), paham aristokrat sendiri bermaksud baik.
Pemerintahan aristokrat berarti pemerintahan oleh orang-orang yang paling baik, baik moral maupun intelektual. Untuk konteks zamannya, paham ini dapat diterima.
Tetapi lama-kelamaan, golongan yang disebut sebagai yang paling baik dan intelektual itu merujuk pada golongan bangsawan, raja-raja, pangeran-pangeran. Penyimpangan justru mulai terjadi ketika golongan ini mendapat perlakuan istimewa dan mempunyai hak-hak khusus yang berbeda dengan warga kebanyakan.
Paham ini kemudian runtuh. Hampir semua negara modern di dunia saat ini sudah meninggalkan paham ini. Sebabnya, paham ini tidak cukup kondusif mewujudkan masyarakat madani. Sebagai gantinya, paham demokrasi dipilih. Sejauh ini, lepas dari sisi kurangnya, demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling baik, mendekati ke arah yang dicita-citakan bersama.
Itu pada tataran teoretis. Masalah yang dihadapi sekarang terkait dengan pemerintahan demokrasi adalah prakteknya yang justru tidak demokratis.
Kita menyaksikan sendiri, banyak pejabat pemerintahan sekarang memperlihatkan perilaku sikap dan kepemimpinan yang tidak mencerminkan semangat demokrasi. Wajah birokasi pun terlihat bopeng dan bolong di mana-mana. Pejabat bermental raja dan feodal, pegawai berwatak korup.
Dampaknya, banyak kita saksikan sekarang. Korupsi tumbuh subur. Birokrasi melayani birokrat. Banyak yang menjadi pegawai pemerintah karena kolusi, bukan karena seleksi. Profesionalisme sangat jauh dari staf pemerintah. Itu sebagian dari antara pembiasan yang terjadi.
Mental dan perilaku seperti inilah yang juga tertangkap dari kekecewaan dan kegeraman Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Senin (28/11). Saat membuka rapat kerja (Raker) para kepala daerah tentang HIV/AIDS, Gubernur Tallo kecewa karena banyak kepala daerah tidak hadir.
Seperti diberitakan harian ini edisi kemarin, cuma tiga kabupaten yang dihadiri bupatinya, empat kabupaten dihadiri wakil bupatinya. Selebihnya cuma mengirim asisten dan kepala dinas. Bahkan ada yang cuma mengirim kepala bagian.
Kita tidak menggugat dangkalnya persepsi dan rendahnya konsern para kepala daerah itu tentang masalah HIV/AIDS yang tengah dibahas di Hotel Kristal. Tidak! Kita memang harus mengakui masih begitu banyak kepala daerah, banyak pejabat yang -- maaf saja -- belum paham masalah yang sudah menjadi epidemi dunia ini. Mungkin saja ada kepala daerah yang tidak tahu apa itu HIV/AIDS, bagaimana penularannya dan hal-ihwal seputar HIV/AIDS.
Yang mau kita sentil di sini adalah mental dan sikap para pejabat -- utamanya pada kepala daerah kita di NTT -- yang sepertinya tidak lagi menghargai yang namanya rapat kerja, yang namanya rapat koordinasi guna mencari jalan terhadap aneka soal, menemukan titik simpulnya dan kemudian membangun komitmen bersama.
Kita melihat dan menangkap kesan sangat kuat bahwa para pejabat kita sekarang ini lebih asyik dengan urusannya sendiri. Lebih doyan jalan-jalan ke tempat lain atas nama studi banding dan lobi ini dan itu. Kita juga menyaksikan dan turut merasakan betapa para pejabat birokrat kita telah berubah visi, dari melayani masyarakat kepada melayani diri sendiri.
Kita melihat banyak instansi pemerintah yang dibentuk tidak untuk melayani kebutuhan masyarakat, tetapi justru untuk melayani kebutuhan birokrasi. Lambatnya urusan kartu tanda penduduk, yang katanya sudah komputerized, adalah satu contoh kecil saja yang mencerinkan buruknya pelayanan birokrasi kita. Di luar negeri, pegawai pemerintah itu disebut public servant. Kata servant itu, dari akar katanya dalam bahasa Latin berarti melayani.
Pemandangan yang kita lihat dan pengalaman yang kita rasakan sekarang sangat kontras. Pegawai pemerintah menjadi tuan, para pejabat menjadi raja. Rakyat yang mestinya dilayani, berbalik menjadi hamba-hamba yang datang bersujud, menyembah dan meminta 'sedekah' yang namanya pelayanan publik. Dan, itu hanya terjadi karena pejabat birokrat kita masih memegang paham aristokrat. *
Pos Kupang, Rabu 30 November 2005 Read More...

Jangan 'booming'-kan bom

BERITA tentang bom belakangan menjadi booming di tanah air. Media cetak dan elektronik mengalokasikan banyak space untuk berita tentang bom. Banyak sudut pandang dibidik, diulas, ditulis, dibahas dan diwacanakan.
Dari sisi jurnalistik, booming berita itu sah-sah saja dan sekaligus memperlihatkan kelebihan para jurnalis menggemparkan dan 'menceritakan' cerita tentang suatu obyek berita.
Tetapi, ada sisi lain juga yang menarik dari booming bom itu. Di Kupang, Selasa (8/11) lalu, CS, seorang bocah menelepon ke Flobamora Mall menginformasikan bahwa bom akan segera meledak di pusat perbelanjaan itu. Bocah usia enam tahun itu kemudian ditangkap dan diperiksa polisi.
Di Lewoleba, seorang bapak yang pusing kesulitan uang karena anaknya masuk rumah sakit mengancam meledakkan rumah sakit. Bapak yang malang itu kemudian dibekuk dan ditahan polisi. Hari Rabu (16/11) malam, dua orang mahasiswa di Kota Kupang ditangkap dan ditahan karena menulis ancaman bom melalui surat.
Tiga contoh ini mengatakan banyak hal dan membawa banyak pesan buat kita. Kita coba melihat dua yang lebih tangible.
Pertama, dampak buruk dari berita -- utamanya televisi -- kelihatannya sudah overdosis dan kontraproduktif. Pengakuan CS bahwa aksinya itu hanya mau meniru apa yang dilihatnya di televisi membelalakkan mata kita.
Kita sepakat bahwa sajian televisi kita sekarang ini sangat berbahaya buat anak-anak. Setiap siang dan malam hari, ketika anak-anak berada di rumah dan belum tidur, televisi menyajikan berita-berita keras menyangkut pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan tema-tema kekerasan lainnya dengan begitu jelas.
Tak ada yang menyangkal kalau berita-berita ini sangat berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan anak-anak. Ada yang menduga, televisi cenderung seperti itu karena owner-nya adalah para pedagang. Karena itu, sisi bisnis lebih mendominasi.
Selama sisi bisnis masih mendominasi tampilan televisi yang kemudian menomorduakan sisi pendidikan, rasanya tidak ada pilihan lain bagi para orangtua untuk lebih selektif memilih program televisi untuk anak-anak.
Kedua, bom menjadi media paling jitu untuk mengancam orang atau pihak lain. Kasus bapak yang malang di Lewoleba sangat nyata menjelaskan maksud kita di sini.
Kita mengerti dan mungkin juga prihatin dengan kondisi bapak itu. Anaknya harus masuk rumah sakit sementara dia kesulitan uang membiayai pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Rupanya karena depresi, dia memilih mengancam meledakkan rumah sakit.
Lepas dari kesulitan dan depresi yang barangkali menimpanya, juga lepas dari keprihatinan kita, aksi bapak itu harus dikritik. Kita mengerti kesulitannya. Tetapi kita tidak bisa menerima kalau kesulitan itu dilampiaskan melalui cara-cara yang justru menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan buat orang lain.
Kita berpandangan bahwa aksi peledakan bom, juga teror bom, merupakan aksi-aksi yang tidak bisa dibenarkan. Kita kutuk aksi itu, karena begitu banyak korban tewas, begitu banyak orang kehilangan pekerjaan. Banyak pelayanan umum menjadi terganggu karena bom. Kita juga kurang sepakat kalau ada yang iseng-iseng menebar bom.
Ya, bom menjadi media yang lagi booming untuk menebar teror, iseng sekalipun. Bom telah menjadi booming di tanah air. Hampir saban hari kita menyaksikan teror bom di televisi, kita membacanya di surat kabar, kita mendengarnya di radio. Konyolnya, booming bom itu juga kita 'manfaatkan' untuk kepentingan sesat dan kontraproduktif.
Karena itu kita harapkan agar semua kita tidak latah menebar teror lewat media apa saja. Entah itu surat, telepon, SMS dan media lainnya. Sebab dampaknya sungguh sangat meresahkan semua pihak, mengganggu ketenangan dan kenyamanan kita semua.
Penderitaan kita saat ini, terutama menyusul kenaikan harga BBM semakin berat. Banyak orang tidak tahan menghadapi penderitaan itu dan memilih bunuh diri. Janganlah kita, meski iseng sekalipun menambah berat beban derita dan kuk yang ada pada pundak kita itu lagi dengan menebar isu bohong dan menyesatkan. Orangtua kita harapkan juga agar lebih dewasa mendidik anak-anaknya, sehingga tidak terulang lagi insiden si bocah CS. *
Pos Kupang 19 November 2005 Read More...

Read More...