Hormat kepada Kaum Perempuan

Selasa, 27 April 2010

DALAM bentangan sejarah muncul begitu banyak pandangan pincang tentang perempuan. Beberapa di antaranya kita sebutkan di sini. Menurut Plato, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.

Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal. "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya," tulis Nietzsche.
Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama.
Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek persetubuhan adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral". Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya.
Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa," kata Tertulianus.
Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian).
Sekarang, pandangan-pandangan minor seperti ini nyaris tak terdengar lagi. Tetapi praktek-praktek pelecehan dan bersifat merendahkan kaum perempuan masih terjadi dan terus terjadi. Dalam hampir semua sektor kehidupan, kaum perempuan masih diposisikan pada tempat nomor dua.
Di pabrik-pabrik, misalnya, gaji perempuan masih lebih kecil dari pria, meski porsi dan beban kerjanya sama. Di bidang politik, kita juga melihat betapa sulitnya nama perempuan menempati nomor urut satu dalam pemilihan legislatif. Di bidang pemerintahan juga sama. Perempuan yang bisa menduduki eselon II masih sangat terbatas.
Di rumah juga sama. Meski bersuamikan pria yang mengerti dengan pendidikan yang baik, para istri juga masih berkutat seputar sumur dan dapur. Banyak istri yang luang lingkupnya masih di wilayah domestik.
Pertanyaan pentingnya, mengapa semua ini masih terus terjadi? Ada pandangan yang mengatakan bahwa semuanya adalah normal, apa adanya. Sudah given, terberi. Sudah seperti itu. Tidak perlu dipersoalkan. Artinya, posisi perempuan yang terendahkan, terkebelakang bukan masalah. Dan, banyak perempuan juga menerima pandangan ini.
Tetapi pandangan ini ditentang arus besar yang namanya feminisme. Inti gerakan ini adalah perjuangan gender. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Tidak ada perbedaan. Perbedaan jenis kelamin adalah perbedaan yang sifatnya kodrati, yang memang tidak mungkin disamakan. Kita dukung perjuangan gender.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis perjuangan gender kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Kita dukung perjuangan gender sejauh itu diletakkan dalam kerangka menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kita dukung perjuangan gender asalkan itu tidak diidentikkan dengan peranan kodrati.
Di hari istimewa, 21 April yang kita rayakan sebagai Hari Kartini ini, pantaslah semua kita yang lahir dari rahim seorang perempuan memberi hormat dan penghargaan yang tinggi kepada semua perempuan. Selamat merayakan Hari Kartini kepada semua perempuan. *

Pos Kupang, 21 April 2010 Read More...

Dramaturgi Pemilu Kada

BAHWA politik itu penuh intrik dan ditaburi aneka kepentingan, semua sudah mafhum. Bahwa arena politik itu sesungguhnya merupakan arena perebutan kekuasaan, semua orang sudah tahu.
Tetapi kalau politik itu ditandai dengan dagelan tak lucu, agaknya semua mesti marah. Marah, karena itu tak lain berarti politik telah melenceng sangat jauh dari hakikat asalinya.

Hari-hari ini publik NTT disuguhi sebuah dagelan tak lucu di panggung pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada). Tahun ini ada enam kabupaten di NTT yang serentak menyelenggarakan pemilu kada. Sejauh ini tahapannya pada masing-masing kabupaten sudah tiba pada pendaftaran bakal calon.
Kita katakan dagelan tak lucu di atas panggung pemilu kada karena banyak partai politik yang tak lain merupakan pintu masuk para bakal calon kepala daerah membuka praktek jual beli kursi dan atau suara.
Di Flores Timur, seperti diberitakan harian ini edisi Rabu (17/3/2010), ditengarai ada partai yang mematok harga Rp 400 juta untuk satu kursi. Di kabupaten ini, satu calon membutuhkan lima kursi anggota legislatif untuk mendapat tiket menjadi calon. Hitung saja, kalau satu kursi dipatok Rp 400 juta. Seorang calon mesti mengeluarkan dana Rp 2 miliar untuk mendapat pintu.
Jika praktek ini sebatas dugaan dan wacana, syukur. Tetapi jika betul, celakalah praktek berdemokrasi di daerah ini. Flores Timur cumalah contoh kasus. Praktek ini telah menjadi jamak di NTT. Menurut selentingan, di Manggarai juga sama. Kursi partai juga dijual mahal kepada para bakal calon yang ingin maju.
Kita patut sedih. Karena ternyata partai politik tidak lebih dari lembaga lelang. Siapa yang ingin maju dalam even politik mesti menggadaikan sejumlah harta ke partai.
Praktek seperti ini juga secara jelas menunjukkan bahwa kita belum bebas dari praktek oligarki yang semasa orde baru begitu kental. Padahal salah satu agenda penting reformasi adalah mengembalikan praktek dan iklim demokrasi ke jalan yang benar, sehat, fair dan sebagaimana mestinya.
Semasa orde baru, praktek oligarki begitu kuatnya. Partisipasi rakyat dikebiri, sebaliknya penguasa bisa memobilisasi kekuatan di tubuh birokrasi dan militer untuk duduk di struktur partai. Jangan kaget, para ketua partai kebanyakan adalah mantan birokrat dan pensiunan militer.
Anehnya, meski orde baru sudah runtuh, praktek itu masih tetap ada. Para politisi partai sekarang terperangkap ke dalam kecenderungan oligarkis baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Jangan kaget, ketua partai ini dan itu adalah para mantan kepala daerah, mantan kepala dinas ini dan itu.
Alhasil, kesempatan bagi rakyat untuk menjadi faktor determinan dalam proses politik yang telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur masyarakat yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis yang direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi pro forma birokratis yang justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarkis dalam kehidupan partai politik.
Kasus Flores Timur adalah contoh yang sangat terang. Demi mengakomodasi figur partai, pimpinan partai yang tidak sehaluan dengan kehendak partai di tingkat atas, dipecat begitu saja.
Kalau seperti ini, apa sesungguhnya manfaat partai bagi rakyat? Menurut hakikatnya, partai politik itu cumalah anak tangga menuju ke tata pemerintahan yang lebih baik, demokratis dan bermartabat. Dia cuma medium, jalan untuk mengantar sejumlah orang meraih kursi kekuasaan.
Yang selalu jadi soal adalah mahalnya anak tangga itu bagi orang- orang yang berkehendak baik untuk menjadi pemimpin. Secara negatif, partai kerapkali menutup pintu bagi orang yang ingin berbuat baik melalui kursi kekuasaan. Jika terus seperti ini, maka hajatan pemilu kada cuma menjadi dramaturgi lima tahunan dengan lakon komedi bagi rakyat.
Read More...