Mengenang Tallo, Melihat Kepastian

Kamis, 30 April 2009

Oleh Tony Kleden

HARI
Sabtu, 10 Maret 2007. Saya menemui Piet Alexander Tallo, S.H, di ruang kerjanya untuk suatu wawancara. Garis-garis ketuaan terlihat nyata di wajahnya. Tetapi semangatnya tetap prima. Seperti biasa, kata-katanya selalu jelas dan tegas. Kuat mengekspresikan apa yang ingin dikatakannya kepada lawan bicaranya.

Sekenanya saya mengganggunya, "Bapak menjadi gubernur pada waktu yang salah, yakni ketika Indonesia baru dilanda krisis moneter dengan imbas yang begitu jauh dan ketika pengungsi Timor Timur membanjiri NTT."
Beliau diam sejurus. "Ya, salib itu harus dihadapi, bukan untuk dihindari. Tetapi saya percaya, bersama semua warga NTT kita bisa keluar dari setiap masalah yang ada," jawabnya serius. Tidak berhenti di situ, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, "Dibanding dengan semua yang pernah menjadi kepala daerah di NTT, hanya bapaklah orang yang paling lama menjabat sebagai kepala daerah. Menjadi Bupati Timor Tengah Selatan sepuluh tahun, menjadi Wakil Gubernur NTT lima tahun dan dua periode menjadi Gubernur NTT. Berarti 25 tahun bapak menjabat kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keberuntungan apa yang membuat garis tangan bapak seperti itu?"
Sambil tersenyum, dia menjawab, "Semuanya sudah diatur Yang di Atas. Tidak ada yang kebetulan, semua orang punya jalan nasib sendiri-sendiri yang telah ditentukan. Saya sangat percaya itu." Dan, kami pun larut dalam dialog. Saat hendak pamit, beliau mengatakan, "Saya akan kontak kamu atau Dion (Dion DB Putra, Pemred Pos Kupang--Pen) kalau saya ingin ke Pos Kupang. Saya tidak mau kastau kapan saya pergi supaya jangan ada kesan formal."
Secara pribadi, saya kurang dekat dengan Piet Tallo. Bertemu langsung dengannya pun cuma tiga kali. Pertama awal 1999 di Ende, ketika beliau memperkenalkan program Tiga Batu Tungku saat mulai menjabat sebagai gubernur. Kedua di ruang kerjanya itu; dan ketiga saat beliau memenuhi janjinya mendatangi Pos Kupang, Kamis 30 Agustus 2007 siang.
Tetapi dari tiga pertemuan itu, dan kemudian mengikuti sepak terjangnya sebagai Bupati TTS, wakil gubernur dan Gubernur NTT, satu kesan kuat dari sosok Tallo yang tertangkap, yakni aktif berpikir dan berbuat. Tallo adalah pemimpin yang tidak bisa tinggal diam. Dia sangat aktif, baik aktif berpikir, juga aktif melakukan apa yang diikhtiarkannya.
Ketika memimpin TTS dua periode, boleh dibilang Tallo menjadi bupati primadona di NTT. Pada masanya, TTS menjadi kabupaten contoh di NTT untuk penerapan otonomi daerah. Sebuah polling nakal yang dibuat Pos Kupang tahun 1993 menempatkannya sebagai tokoh paling populer di NTT.
Sosok ini tidak bisa tenang, berpangku tangan saja. Dia akan sangat gerah dan gusar kalau rakyatnya duduk berpangku tangan saja. Di TTS, Piet Tallo dikenal sebagai bupati 'bertangan besi'. Dia tidak segan-segan menyumpal mulut rakyatnya dengan tanah kalau tidur 'melenggang kea' saja. Dia memimpin dengan 'tangan besi' karena ingin rakyatnya maju, keluar dari keterkungkungan. Dia ingin tampil sebagai sosok dengan semangat mesianik guna memberi asa bagi rakyatnya.
Sesuatu yang selalu terkenang bagi siapa saja yang pernah kenal dekat dengannya adalah sikapnya yang pasti melihat realitas. Idiom tidak ada yang kebetulan di bawah kolong langit menjadi begitu simptomatik di mulut Tallo. Bahwa NTT terdiri dari keanekaragaman suku, budaya bukan merupakan sesuatu yang kebetulan. Bahwa geopolitik NTT kuat dicirikan oleh pertarungan antara Flores, Timor dan Sumba dan antara Katolik dan Protestan, juga bukan suatu kebetulan.
Tetapi di tangan Tallo, apa yang 'bukan kebetulan' itu diolah menjadi sumber kekuatan, modal sosial dan spirit budaya membangun NTT. Sikap, tingkah laku, pandangan hidup, kebiasaan masyarakat NTT sangat dihargainya sebagai modalitas meniti jembatan pembangunan di NTT. Dengan rumusan lain, Tallo menjadikan kekuatan sosial, budaya, adat NTT dan juga faktisitas yang faktual di NTT menjadi investasi paling penting membangun NTT. 'Membangun dengan apa yang ada pada rakyat' kemudian menjadi inti nukleus pemikiran Tallo.
Kekuatan historis kultural dan historis religius menjadi pendekatan ampuh yang dipakainya menyelesaikan setiap soal dan masalah. Agaknya, pengalamannya sepuluh tahun menjadi Bupati TTS dan lima tahun menjadi Wakil Gubernur NTT membuka matanya melihat kekuatan budaya NTT menjadi aset yang begitu dahsyat. Program Tiga Batu Tungku pada periode pertama kepemimpinannya menjadi gubernur (1998-2003) dan kemudian Tiga Pilar Pembangunan pada periode kedua (2003-2008), karena itu, boleh dilihat sebagai pengejawantahan sikap dan pandangannya itu.
Kristalisasi pandangannya, pola pendekatan yang dipakainya dan disain program pembangunan yang diterapkannya dapat dibaca sebagai upaya Tallo menjadikan NTT sebagai NTT yang sejati, bukan NTT dalam tiruan warna dan kacamata daerah lain. Dalam kata-katanya sendiri, "Kita harus mengembangkan kecerdasan masyarakat kita, meningkatkan mental dan sikap kerja. Kecerdasan yang berkembang, mentalitas yang penuh harapan, serta sikap kerja yang tangguh, semuanya adalah etos yang harus terus dimunculkan."
Hal lain yang menarik dari sosok Tallo adalah keramatnya angka tiga. Pasti tiga bukan kebetulan buat Tallo. Tiga Batu Tungku, Tiga Pilar Pembangunan, juga jelas bukan sekadar tiga. Dalam wawancara dengannya, Tallo memberi alasan mengapa programnya selalu tiga. "Tiga itu bagi saya adalah simbol Bapak, Anak dan Roh Kudus. Tiga juga punya nilai spiritual bagi saya. Ada iman, pengharapan dan kasih," kata Tallo.
Tampilnya Tallo di panggung politik NTT juga pasti bukan sebuah kebetulan sejarah. Dia tampil pada zamannya dan menjadi anak kandung zamannya ketika kondisi NTT hancur-hancurnya bersama Indonesia diterpa krisis moneter. Nasib NTT semakin parah, ketika arus besar warga Timor Timur mengalir ke NTT.
Hari Sabtu, 25 April 2009 menjelang pergantian hari, Piet Tallo menghembus nafas terakhir disaksikan istri dan anak-anaknya. "Sudah selesai Ver," katanya kepada Vera, putrinya. Nafasnya sudah selesai. Putus. Jasadnya telah dingin dan kaku. Hari ini tubuh fana itu dibaring berkalang tanah. Tetapi Piet Alexander Tallo mewariskan contoh bagaimana mesti menghidupi kehidupan. Karena itu bukan kebetulan kalau lakon hidupnya akan menggairahkan begitu banyak orang setelah kematiannya.
Si penyair Rainer Maria Rilke bukan sekadar merawak rambang ketika dia berteriak lantang, "Siapa pun yang dengan sungguh memahami dan merayakan kematian, pada saat itu juga memuliakan kehidupan. "Requiem aeternam dona ei, Domine.


Pos Kupang, Rabu 29 April 2009

Read More...

Ubah Orientasi Budaya PNS

Jumat, 24 April 2009

ADA berita kurang enak dari Kabupaten Kupang dalam pekan ini, tepatnya Selasa (21/4/2009) lalu. Diberitakan bahwa terjadi insiden antara Bupati Kupang, Drs. Ayub Titu Eki, MS, Ph.D dengan Ketua Bappeda Kabupaten Kupang, Ir. Yutje Adoe.

Kedua belah pihak telah menyelesaikan insiden ini. Bupati Titu Eki menyebut kejadian ini sebagai sesuatu yang manusiawi dan karena itu telah diselesaikan dan dianggap tidak ada soal lagi. Meski begitu, kejadian itu dengan jelas memperlihatkan sesuatu yang bias dari praktek birokrasi di daerah ini.
Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali terjadi di NTT. Tiga tahun lalu, ketika Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon, merampingkan struktur birokrasi di Flotim, muncul resistensi begitu kuat dari pejabat yang tak bisa diakomodir dalam struktur pemerintahan. Kasus Larantuka bahkan sampai di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Di Timor Tengah Selatan (TTS), Bupati Paul Mella juga 'menurunkan' beberapa pejabat eselon II ke III. Kebijakan para kepala daerah seperti ini terjadi sebagai akibat dari penerapan PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Kebijakan penurunan eselon yang menimpa pejabat pemerintah sebenarnya tidak perlu terjadi jika dan hanya jika birokrasi bebas dan dijauhkan dari pengaruh politis. Di NTT, setiap kali musim pilkada, para pejabat pemerintah (PNS) yang sejatinya mesti netral ramai-ramai terlibat dan melibatkan diri dengan menjadi tim sukses calon kepala daerah tertentu. Ketika seorang pejabat pemerintah memutuskan mendukung dan menjadi tim sukses seorang calon kepala daerah, ketika itu juga dia tidak netral lagi.
Dampaknya bisa diduga. Kepala daerah terpilih akan mengakomodir tim suksesnya dalam kabinet pemerintahannya, lepas dari bagaimana bobot dan kemampuannya. Sebaliknya para pejabat yang bukan tim suksesnya akan ditendang jauh, meskipun mungkin lebih berkualitas dari pejabat yang diakomodir.
Ada banyak permainan bahasa yang kemudian dipakai para kepala daerah untuk 'melindungi' kebijakannya seperti ini. Tetapi sesungguhnya, kebijakan seperti ini tidak akan banyak membantu meningkatkan pelayanan publik. Padahal, birokrasi dan organ-organnya diadakan dengan satu maksud, yakni melayani publik. Itulah sebabnya, dalam terminologi asing pegawai negeri itu disebut civil servants (pelayan publik).
Terkait dengan kejadian-kejadian seperti ini, ada dua hal yang perlu kita kemukakan di ruang ini. Pertama, perlu ada gerakan netralitas birokrasi. Netralitas murni tentu mustahil. Karena bagaimana pun para pejabat yang ditunjuk dan dilantik mesti mendukung kepala daerah. Tetapi kita membutuhkan pejabat yang menomorsatukan pelayanan publik, bukan loyalitas kepala kepala daerah. Artinya, setiap pejabat pemerintah, dan juga para pegawai pemerintah, mestinya lebih takut kepada masyarakat ketimbang takut kepada kepala daerah.
Karena itu kita butuh perubahan sikap, tingkah laku dan orientasi budaya pegawai pemerintah mendukung netralitas birokrasi. Hanya birokrasi yang netral saja yang bisa menghasilkan pelayanan publik yang transparan, efektif, efisien, profesional dan akuntabel. Hanya birokrasi yang netral saja yang menciptakan good governance, pemerintahan yang berdasarkan hukum, kebijakan yang transparan, dan pemerintahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Good governance akan menciptakan hubungan yang memadai antara negara-masyarakat (state-society), yang menghargai keterlibatan rakyat dalam semua proses kebijakan politik. Birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintahan ke depan.
Kedua, kita ingin agar para kepala daerah menerapkan merit system dalam tubuh birokrasi. Merit system adalah proses promosi dan memanfaatkan pegawai pemerintah berdasarkan pada kapasitas mereka melaksanakan tugas, bukan terutama pada hubungan politis mereka dengan kepala daerah.
Implementasi merit system dapat mewujudkan transparansi dalam pembinaan karier. Selain itu akan terdapat kompetisi yang sehat di antara para pegawai pemerintah, sehingga tidak akan ada lagi kesan like or dislike dalam mempromosikan seorang pejabat menduduki suatu jabatan.
Kita butuh kepala daerah yang berani dan tegas menggunakan sistem ini sehingga mutu pelayanan kepada masyarakat terjamin. Artinya, setiap pejabat yang dipercayakan memegang suatu jabatan adalah pejabat yang telah lulus uji. Ujian bagi dia adalah kemampuan, kompetensi, integritas moral. Bukan sebaliknya kedekatan, keluarga, etnis atau suku. *
Pos Kupang, Sabtu 25 April 2009
Read More...

Ke Barat, Kok Ikut Timur?

Kamis, 23 April 2009

SUDAH rutin dilakukan setiap kepala daerah mengunjungi warganya setelah dilantik. Begitu juga halnya dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, awal April lalu ketika dua hari, tepatnya Kamis-Jumat (2-3/4/2009), mengunjungi Kabupaten Ende. Karena rutin, nyaris tak ada yang menarik dan penting lagi. Kunjungan kerja itu, karena itu, sering dinilai sebagai kunjungan balasan, pernyataan terima kasih karena telah terpilih menjadi kepala daerah.

Tetapi dari dua hari mengikuti kunjungan kerja Gubernur Frans Lebu Raya ke Ende, dan juga pengalaman mengikuti dan menyaksikan sejumlah kepala daerah mengunjungi rakyatnya, nyata terbaca banyak sisi lain yang menarik dan penting, lebih dari sekadar ucapan terima kasih.
Di Ende, sudah dari awal diingatkan bahwa medan menuju Kecamatan Maukaro, pesisir utara Ende mahaberat. Sepuluh tahun lalu, ketika melintasi jalur ini, kondisi jalan tidak jelek-jelek amat. Kendaraan masih bisa melaju di atas 60 km per jam. Kali ini? "Lihat, sekarang sudah mendung. Kalau hujan di utara, susah lewat," kata Benediktus Kadju, sopir Kadis Sosial Ende, yang kendaraannya kami tumpangi.
Benar, kijang inova hanya bisa melaju dengan kecepatan standar sampai di pertigaan Sokoria, Desa Ranokalo Selatan, Kecamatan Maurole. Pertigaan itu adalah persimpangan arah timur-barat-selatan. Timur ke Maumere, barat ke Mbay dan selatan ke Ende melalui Detusoko. Selepas itu, jalannya rusak minta ampun. Aspal tidak jelas lagi, bopeng di mana-mana. Lempung tanah dan tanah berlempung mengiris jantung jalan. Batu-batu sekepalan tangan, bahkan sebesar kepala manusia berceceran, beradu dengan roda-roda kendaraan. Di tempat yang berlubang, genangan air memekat. "Katanya, kemarin hujan," ujar Kadju, laki-laki separuh umur asal Mataloko, Ngada yang sekarang menjadi sopir Bupati Don Bosco Wangge, Bupati Ende yang dilantik 7 April lalu. Kendaraan dipacu dengan kecepatan di bawah standar. Tidak bisa cepat.
Pada beberapa lokasi, jalan menyusur bibir pantai. Pembatas jalan dengan air laut adalah tembok alami, yakni batu-batu yang tersusun dari mulanya. Bukan tembok dengan semen yang kokoh. Sejak beberapa tahun terakhir, abrasi mencubit pelan-pelan tembok alami itu. Hantaman ombak yang pecah di batu-batu melewati ruas jalan. Kalau sopir salah ukur, kendaraannya cemplung ke laut. Jalur ini benar-benar neraka bagi pengemudi.
Mestinya tidak parah, mengingat Kepala Dinas PU Ende, Agus Naga, adalah anak tanah dari Kampung Nabe, Maukaro. "Memang susah kalau Kadis PU bukan orang (berlatar belakang pendidikan) teknik," kata seorang pejabat dari propinsi. Agus Naga adalah Kadis PU bergelar sarjana hukum (SH). Satu-satunya Kadis PU di NTT yang bergelar SH. Padahal, masih banyak orang pintar dari Ende yang berlatar belakang sarjana teknik yang cocok dan tepat menduduki jabatan seperti Kadis PU. Mereka laku sebagai Kadis PU di Nagekeo, Manggarai Barat dan Lembata.
Sebenarnya, jarak tempuh dari Ende ke Maukaro tidak terlalu jauh, sekitar 95 km. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo. Tetapi akibat kondisi jalan yang buruk itulah, rute perjalanan mesti ke timur baru belok ke barat. Jika jalannya baik, Maukaro lebih dekat dan lebih cepat dicapai dari arah barat. Dari Ende menuju Bajawa, belok kanan di Nangapanda. Ikut arah barat, jarak tempuhnya cuma sekitar 60 km. "Tetapi dari Nangapanda tidak bisa lewat. Tidak ada kendaraan yang berani lewat," kata Kadju.
Konvoi kendaraan berangkat dari Ende pukul 13.00 Wita. Tiga jam anggota rombongan 'patah pinggang' di atas kendaraan. Lepas pukul 16.00 tiba di Desa Kebirangga, Maukaro. Kawasan pesisir utara Ende ini kaya hasil bumi. Di pinggir kiri jalan, jambu mete berdiri tegak. Pisang dan ubi terhampar. Cengkeh banyak. Jagung di kebun telah mengering. Siap panen.
Sepuluh tahun lalu, Humpus Grup menanam ubi aldira di kawasan ini. Hasilnya luar biasa. Sebatang ubi bisa menghasilkan 7-12 kg. Yang jadi soal ketika itu adalah pemasaran pasca panen. Karena rugi, warga menebas buang ubi-ubi aldira. Ketika itu ruas jalan relatif masih mulus. Licin. Bus-bus dari Maumere ke Bajawa atau Mbay sering ikut jalur ini. Berangkat ke Maukaro ikut Detusoko dan kembali melalui Nangapanda butuh waktu sekitar lima jam. Rute seperti itu mustahil sekarang. Tidak ada lagi bus dari Maumere ke arah barat ikut jalur utara. Sopir tak mau bawa kendaraannya ke jurang dan penumpangnya ke liang lahat. "Makanya kami malas pulang kampung karena jalan jelek itu," kata Maksi Biaedae, salah seorang anggota KPUD Kota Kupang sekarang. Maksi berasal dari Wolowae, perbatasan dengan Maukaro.
Kondisi jalan yang seperti itu, terang saja menghambat mobilitas manusia dan barang dari kawasan utara ke pasar-pasar. Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, meminta perhatian gubernur agar ruas jalan itu diperbaiki. "Kami minta agar ruas jalan dari Maukaro ke Ende bisa diperhatikan," kata Nis Laka, pria asal Semau, Kabupaten Kupang.
Di hadapan mosalaki, warga masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh agama, Gubernur Frans Lebu Raya menjelaskan panjang lebar tentang delapan agenda Pemda NTT dengan spirit Anggur Merah. Meski sektor pendidikan dan kesehatan menempati urutan satu dan dua, program pertanian dan perkebunan tetap menjadi sektor yang sangat vital, terutama untuk membangun kesadaran warga mengonsumsi pangan lokal yang tumbuh dari rahim tanahnya.
"Saya sudah lihat jalan dari Ende ke Maukaro. Jelek sekali. Tentu kita akan perhatikan ruas jalan ini. Memang mahal sekali bangun jalan. Untuk menghotmixkan satu kilometer jalan saja dibutuhkan dana Rp 1,2 miliar. Tetapi secara bertahap kita akan coba membangun ruas jalan ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Di Detusoko, secara berkelakar gubernur mengatakan kepada warga setempat, "Saya bilang Kadis Kimpraswil NTT, kau rugi tidak ikut saya ke Ende. Rugi apa? Rugi karena tidak lihat kondisi jalan yang jelek." Gubernur mengatakan, Kadis Kimpraswil NTT, Ir. Andre W Koreh, MT, telah berjanji akan segera turun ke Maukaro melihat langsung kondisi jalan itu. (bersambung)
Pos Kupang, Selasa 21 April 2009

n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (2)
Lihat Lagi Setelah El Tari


Oleh Tony Kleden

MELELAHKAN juga menjadi orang penting seperti kepala daerah. Butuh energi prima, tenaga ekstra joss, dan vitalitas tinggi untuk menjadi gubernur dengan wilayah luas seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Bayangkan, sebelum ke Ende, Kamis-Jumat (2-3/4/2009), Gubernur Frans Lebu Raya dua hari mengunjungi Pulau Sabu, Kabupaten Kupang. Berangkat ke calon kabupaten baru NTT itu, Selasa (31/3/2009), pada Rabu (1/4/2009) siang gubernur balik ke Kupang. Dari Bandara El Tari langsung ke Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan (TTS), mengunjungi ratusan anak sekolah setempat yang keracunan es potong. Kembali dari SoE pada Rabu lepas senja hari itu juga, Kamis pagi keesokan harinya gubernur ke Ende.
Fisik boleh kalah, tetapi semangat janganlah. Rakyat NTT pernah begitu berbangga ketika El Tari menjadi gubernur. Penuh semangat Bapak Pembangunan NTT itu mengunjungi begitu banyak warga di berbagai daerah di NTT. Naik kuda pun dilakukan El Tari demi mengunjungi rakyat.
Ketika mengambilalih kemudi, Ben Mboi juga menjejak begitu banyak desa di NTT. Tak lekang dari ingatan warga NTT kalau Ben Mboi datang, semua siaga satu. Ben Mboi tegas demi kemajuan rakyat. El Tari dan Ben Mboi jadi gubernur kala usia mereka baru kepala empat. Masih kuat-kuatnya.
Para pemimpin itu ke desa bukan terutama ingin tunjukkan otot- otot lengan mereka yang masih kuat. Mereka juga bukan bawa barang bantuan untuk rakyat di desa-desa. Dengan cara mereka sendiri, rakyat sangat tahu bagaimana mesti meniti dan melakoni sejarah hidup mereka. Yang paling mereka butuhkan adalah kunjungan, sapaan dari pemimpin. Rakyat sungguh rindu menyaksikan wajah pemimpinnya. Mereka tahu diri tidak akan dengan mudah menadah tangan. Pemimpin juga sadar tidak baik datang dan menaruh segepok rupiah atau sekilo beras, bak sinterkelas yang membagi-bagi permen untuk rakyat. Rakyat rela menyembelih ternak piaraan asal bisa makan bareng bersama pemimpin. Berjam-jam pung mereka rela duduk menunggu.
Bisa dimengerti kalau Camat Maukaro, Yohanes Nis Laka, begitu antusias menyambut Gubernur Frans Lebu Raya di Kebirangga, Kamis (2/4/2009) lalu. Warga yang berkumpul di halaman Kantor Camat Maukaro itu terlihat sangat sumringah. Mereka seolah tak percaya gubernur bisa datang dan mengunjungi mereka yang nun jauh di utara Flores, jauh dari lirikan pejabat dan kerlingan anggota Dewan yang telah mereka pilih.
Menurut Nis Laka, selama ini warga Maukaro hanya bisa menatap wajah semua Gubernur NTT melalui halaman-halaman koran. Tak heran, sapaan adat dari mosalaki setempat begitu kuat mengekspresikan kerinduan rakyat kecil dan sederhana akan wajah gubernur.
"Kami bangga karena meski jauh dan jalannya begitu rusak, bapak gubernur masih mau datang ke kecamatan kami. Kebanggaan kami adalah karena meski kecamatan ini baru berdiri lima tahun, bapak gubernur pertama mengunjungi kami di Maukaro, bukan ke kecamatan lain di Ende," kata Nis Laka.
Senada dengan Nis Laka, Camat Ndona, Petrus Mite, juga menyatakan hal yang sama. "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang lagi gubernur mengunjungi kami, warga di sini," kata Mite, Jumat (3/4/2009). Pada siang hari yang terik itu, gubernur mengunjungi warga di Kampung Kanakera, Ndona.
Kanakera sendiri lebih banyak didominasi pemeluk muslim. Dialog dengan gubernur berlangsung di Masjid Baiturrahman yang sementara direhab. Masjid ini cuma berjarak sekitar 150 meter dari Istana Uskup Ende. "Kalau mau belajar toleransi, datang ke Ndona," kata Mite bangga.
Di Wakuleu, Desa Mbuliwaralau Utara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, tua adat dan warga setempat terharu-haru menyambut gubernur. Meu Reu, mosalaki yang menyambut gubernur meneteskan air mata. Mengapa menangis? Menangis karena sudah lama tidak dikunjungi pemimpin.
Kepala Desa Mbuliwaralau Utara, Aloysius Wangge, juga mengatakan hal yang sama. "Kami terharu dan bangga, karena bapak gubernur hadir di tengah-tengah kami," kata Wangge. Saking bangganya, warga Wakuleu mendaulat gubernur menjadi anak adat di desa itu.
Di Detusoko, meski dingin malam menusuk tulang, warga Dusun Woloone, Desa Detusoko Barat setia menunggu gubernur. Di bawah tenda terpal, di tanah berbecek yang ditaburi dedak padi, warga berdialog dengan gubernur, menyampaikan isi hati dan harapan mereka. Mereka senang gubernur duduk berdialog dengan mereka. Lebih senang lagi gubernur gawi dengan mereka, sesuatu yang sangat langka buat mereka.
Di SMAK Syuradikara, para guru dan siswa antusias berdialog dengan gubernur. Mereka aktif bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Guru bertanya, siswa juga tak ketinggalan.
Kepada warga di semua tempat yang dikunjungi, Gubernur Lebu Raya menekankan kunjungan itu sebagai bagian dari tugas seorang pemimpin. "Saya ingin melihat langsung seperti apa kondisi warga, saya ingin menangkap dan menyerap langsung harapan dan aspirasi rakyat. Kondisi rakyat, harapan rakyat itu harus diterjemahkan menjadi program pemerintah. Memang pendapatan daerah kita masih sangat rendah dibandingkan dengan APBD kita. Karena itu pemerintah mesti pintar-pintar mengatur dana yang terbatas itu untuk begitu banyak sektor," urai gubernur di hadapan para siswa SMAK Syuradikara, Ende, Kamis (2/4/2009).
Pendapatan daerah boleh kecil. Rakyat belum sejahtera hidup. Tetapi kondisi serba terbatas itu jangan diperparah lagi oleh sulit dan jarangnya rakyat menatap langsung wajah pemimpinnya.
Tepat kata Camat Ndona, Petrus Mite, "Kami di sini senang sekali karena setelah El Tari, baru sekarang gubernur mengunjungi kami." (bersambung)
Pos Kupang, Rabu, 22 April 2009


n Kunjungan Kerja Gubernur ke Ende (3)
Moni, Sedari Dulu Riwayatmu

Oleh Tony Kleden

TANGGAL 12 Juli 1997. Masih hangat dalam memori saya. Sepasang suami istri asal Belanda terkaget-kaget menyaksikan danau tiga warna, Kelimutu. Berdiri di bibir danau kembar, merah dan biru, keduanya tak berkedip menyaksikan keajaiban yang terbentang di depan mata.
"Amazing!" Jawab sang istri ketika ditanya kesannya tentang Kelimutu. Waktu itu, Tiwu Telu itu masih masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Di senja usia, suami istri itu tuntas membayar rindu yang lama terpendam.
Tetapi mereka cuma semalam menginap di Sao Ria Bungalow, Moni. Pagi-pagi ke Kelimutu menyaksikan keindahan danau itu. Setelah itu turun kembali ke Moni, ikat koper, check out dan angkat kaki. Tidak ada yang menarik lagi selain Kelimutu.
Itu kondisi 12 tahun lalu. Sekarang obyek wisata itu telah ditata lumayan baik. Arus kunjungan makin meningkat. Pemasukan membaik. Tetapi hampir semua unit bungalow di Sao Ria Bungalow di Moni kok tambah hancur? Dua belas tahun lalu kondisinya masih sangat baik. Yang punya komputer bisa kerja di kamar. Ada meja, ada kursi. Dari restoran bisa telepon ke mana saja.
Awal April tahun ini, kemudahan-kemudahan itu tidak ada lagi. Cas HP yang low saja tidak mudah. Kursi dan meja tidak ada. Di kamar mandi, air dari kran berwarna coklat. Keruh. Mau sikat gigi? Tak berani, kecuali pakai air kemasan. Mau akses internet dari kamar? Wou, impossible! Tak mungkin. Sao Ria Bungalow, Moni bukan yang dulu lagi. Hampir semua dari 16 unit bungalow yang ada terkesan tidak terawat. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini adalah kondisi standar dan vital untuk industri tanpa asap bernama pariwisata. Wisatawan asing itu kalau ke hotel atau penginapan, yang dia cek pertama adalah kamar mandi/wc.
Kondisi seperti ini juga diakui Kepala Taman Nasional (TN) Kelimutu, Gatot Soebiantoro. Gatot tidak bisa berbuat banyak karena sebagai pengelola dan penanggung jawab TN Kelimutu, pihaknya tidak ada urusan dengan penginapan di Sao Ria Bungalow, Moni. Sao Ria Bungalow milik Pemkab Ende dan dikelola Dinas Pariwisata Ende.
Camat Kelimutu, Wellem Nubatonis, juga mengakui kondisi yang sama. Nubatonis mengatakan, air bersih yang jadi masalah di kawasan Kelimutu. Selama ini air di bungalow-bungalow dan rumah-rumah warga, kata Nubatonis, dialirkan langsung dari mata air tanpa melalui bak penampung. "Karena itu kalau musim hujan air kotor dan berlumpur," kata Nubatonis.
Menurut Nubatonis, pihak TN Kelimutu sudah sering mengajukan ke Pemerintah Kabupaten Ende untuk membangun bak penampung dan penyaring, tetapi belum juga direalisasi. "Tetapi tahun ini, pihak TN Kelimutu telah siap membangun sebuah bak penampung sekaligus penyaring," kata Nubatonis.
Gatot Soebiantoro mengatakan, pihaknya terus dan terus membenahi aset TN Kelimutu. Dalam setahun pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan RI mengalokasikan dana Rp 4-5 miliar. "Dana itu untuk seluruh operasional TN Kelimutu dan gaji para staf," kata Gatot, pria asal Jombang, Jawa Timur. Dia menambahkan, ada 48 staf TN Kelimutu yang saban hari berurusan dengan aset ini. "Di lapangan (di Kelimutu) ada tiga puluh orang," katanya. Gatot enggan menjawab ketika ditanya berapa dana dari ABPD Ende untuk TN Kelimutu.
Sejak tahun 2005, kata Gatot, tren kunjungan ke Kelimutu menggembirakan. Gatot menyebut grafik kunjungan wisatawan itu naik dari angka 8.000 ke 15 ribu orang/tahun. Dia melukiskan, pada peak season, dalam sehari wisatawan yang berkunjung bisa mencapai seribu orang.
Berapa pemasukan dari aset ini? Tidak ada apa-apanya dibanding dengan alokasi dana Rp 4 - 5 milir dari pusat. Dalam setahun, kata Gatot, pemasukan dari tiket baru mencapai Rp 150 juta. Tiket untuk wisatawan asing Rp 20.000/orang/sekali kunjungan. Sedangkan bagi wisatawan lokal, Rp 2.000/orang/sekali kunjungan. "Banyak wisatawan asing minta agar tiketnya dinaikkan karena terlalu murah. Tetapi kita belum naikkan. Fokus kita adalah pembenahan dan peningkatan pelayanan dulu," kata Gatot.
Yang menggembirakan, kata Gatot, adalah telah terjadi pergeseran wisata. Saat ini, kata Gatot, daya tarik wisata perlahan-lahan bergeser dari obyek yang artifisial siatnya kepada yang obyek alami sifatnya. Karena itu, kata Gatot, belakangan pihaknya mengajak masyarakat mengintegrasikan obyek wisata Danau Kelimutu dengan obyek wisata alam dan budaya setempat.
"Kalau dulu, turis itu setelah dari Kelimutu langsung ke Moni dan pulang. Sekarang kita belokkan rute kembalinya mereka dari Kelimutu. Wisatawan akan kita belokkan ke perkampungan dan kebun-kebun warga menyaksikan aset budaya dan tumbuh- tumbuhan khas Kelimutu. Kita juga mulai menggalakkan wisata tracking," kata Gatot.
Dengan cara ini efek gandanya diperoleh masyarakat. "Pemasukan Rp 150 juta itu hanya dari penjualan tiket. Nah, kalau wisata budaya dan alam juga kita genjot, maka masyarakat akan mendapat efek gandanya," kata Gatot.
Dia menyebut aneka tarian dan atraksi yang mulai dijual, seperti karapan babi, tarian di Nggela dan Wologai. Semuanya agar uang wisatawan tidak hanya dibelanjakan untuk membeli tiket, tetapi juga untuk menyaksikan atraksi budaya daerah setempat.
Departemen Kehutanan telah menjadikan Kelimutu sebagai Taman Nasional. Seluruh tanggung jawab pengelolaan aset ini berada di pemerintah pusat. Tetapi tanggung jawab politis, tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral rasanya lebih banyak berada di tangan Pemerintah Kabupaten Ende dan warga setempat. Jika ada tiga tanggung jawab ini, niscaya Moni terus dikenang, diceritakan kepada lebih banyak orang lagi dan keajaiban Kelimutu disaksikan lebih banyak orang lagi. (habis)
Pos Kupang, Jumat, 24 April 2009
Read More...

Hukum dan Harmoni Masyarakat

Kamis, 16 April 2009

DALAM tata kehidupan bersama, aturan hukum memainkan peranan yang sangat penting. Sulit dibayangkan suatu masyarakat tanpa adanya seperangkat aturan hukum yang mengatur. Masyarakat tanpa hukum adalah masyarakat rimba yang ganas, yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak, menonorsatukan emosi ketimbang rasio.

Secara intrinsik hukum sekurang-kurangnya mempunyai dua tujuan. Pertama, hukum melindungi manusia terhadap keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Hukum merumuskan secara obyektif, yaitu atas cara yang tidak tergantung dari rasa suka atau tidak suka, apa yang dilakukan atau dihindari manusia.
Kedua, hukum menciptakan suatu suasana pasti di antara manusia. Sebab ada aturan dan norma yang berlaku dan bersifat wajib.
Jika kedua tujuan hukum ini dipahami dan diterima serta dihayati dalam praktek hidup, niscaya akan terdapat harmoni dalam tata kehidupan bersama. Sayang, apa yang ada dalam tataran ideal, umumnya mentah dalam praktek. Dalam praktek sekian sering hukum dipandang sebagai batu sandungan. Maka yang terlihat dalam proses hidup bermasyarakat adalah legalisme, kemunafikan dan kepicikan. Akibat lanjutannya lebih jelek lagi. Hukum bukan cuma tidak ditaati, tetapi dipermainkan seenak perut.
Dalam kerangka berpikir seperti ini kita coba melihat kekisruhan yang terjadi di Kota Maumere, Sikka. Dari warta di harian ini edisi Selasa (3/3/2009), kita baca tentang aksi penertiban yang dilakukan Satpol PP Sikka dengan para pedagang yang dikategori liar. Para pedagang liar ini berjualan di lokasi yang bukan tempatnya. Mereka berjualan di emperan toko, di tikungan- tikungan jalan. Dalam aksi penertiban, Selasa (3/3/2009) pagi, juga nyaris terjadi kericuhan antara para penjual ikan dengan petugas.
Sudah lama urusan pedagang, urusan pasar dan urusan tertib menertibkan akrab dengan Kota Maumere. Hari ini tertibkan pedagang, besok tertibkan babi dan kambing yang berkeliaran bebas di tengah kota, dari toko ke toko membaur dengan manusia. Bahkan, pernah terjadi, salah seorang pejabat pemerintah pimpin aksi pengejaran ternak-ternak liar yang berkeliaran liar di tengah kota.
Kita prihatin juga dengan pemerintah setempat yang hampir saban bulan menguras energi dan memeras keringat untuk menertibkan apa yang perlu ditertibkan karena melanggar. Kita prihatin karena di milenium tiga ini, tata cara, pola hidup ala kota belum terlihat di Maumere. Wajah Kota Maumere akhirnya kuat mencerminkan suasana perkampungan, yang jauh dari kesan modern, bersih, tertib yang semuanya menjadi ciri sebuah kota modern.
Di Sikka, sebetulnya pemkab setempat telah menerbitkan Perda No. 10/2007 Tentang Ketertiban Umum. Dalam perda ini diatur banyak hal menyangkut ketertiban umum. Sudah tentu perda ini lahir pertama-tama sebagai respons atas kondisi ketidaktertiban yang ada di tengah masyarakat.
Karena itu, adalah janggal dan aneh kalau perda itu kembali dilanggar warga. Sikap warga yang melanggar aturan yang dibutuhkannya sendiri sekaligus menjadi titik lemah dari ketaatan warga setempat terhadap aturan.
Di mana-mana di dunia ini, hukum dan aturan ada demi kepentingan manusia. Dia perlu ada agar terjadi harmoni di tengah masyarakat. Dia mesti ada agar harmoni tidak berubah menjadi disharmoni. Boleh jadi ada sisi kurang dari suatu perangkat hukum. Tetapi keberadaannya secara intrinsik telah bisa menjadi jaminan adanya harmoni di tengah masyarakat.
Sudah sejak dulu, Maumere tenar ke luar propinsi. Namanya menggema meninggalkan kota lain di NTT. Nama Maumere bahkan lebih tenar dari Kupang. Itu karena seabrek prestasi, juga karena sejumlah tokoh penting lahir dari rahim Sikka. Tahun 1988, Tahun Maria Nasional digelar di Maumere. Setahun kemudian, 1989, mendiang Paus Johannes Paulus II, menjejak kaki di bumi Sikka.
Kita sengaja menyebut sejarah nostalgik ini dengan satu harapan, semoga pola pikir dan modus vivendi warga Sikka dan Maumere khususnya, mencerminkan gaya hidup orang kota, yang mengerti aturan, mengerti ketertiban dan kepentingan umum. Warga kota yang baik adalah warga yang taat aturan, tertib hukum, punya solidaritas dengan tetangga, menghargai dan mengerti kepentingan orang lain dan bukan cuma ingat diri, hanya minta dimengerti, apatis dengan kepentingan umum, cuek dengan sesama yang lain. *
Pos Kupang, 5 Maret 2009
Read More...