AIDS di Flores Timur, Surga dan Dunia Bertemu

Senin, 27 Oktober 2008

Oleh Tony Kleden


CUACA
di salah satu ruangan Rumah Retret Susteran PRR Weri, Kamis (18/9/2008) lalu, sangat gerah. Meski di ketinggian, di tengah rimbunan jambu mete, jambu air dan kelapa, semua peserta tak kuasa menahan gerah. Panas luar biasa. Keringat bercucuran. Kipas angin tidak cukup. Dengan apa yang bisa dipakai, para peserta sibuk mengipas-ngipas badan.
Tetapi cuaca yang gerah itu tak ada bandingannya dengan hati yang gerah melihat data-data hasil survai yang dilakukan oleh PKBI NTT dan WVI Larantuka terkait dengan perilaku berisiko terhadap HIV-AIDS.


Beberapa dekade lalu, wajah Larantuka masih asli. Sekarang? Sudah banyak berubah. Sepuluh tahun lalu, Kota Larantuka relatif masih bersih dari urusan syawat liar. Kota Reinha masih menampakkan ciri dan citranya sebagai sebuah kota dengan tradisi Katolik yang kental.
Tak dinyana, dalam rentang waktu sepuluh tahun, seks telah tumbuh menjadi industri, meski tetap liar juga karena tidak diatur dalam sebuah perangkat aturan semacam peraturan daerah (Perda). Teringat kisah, beberapa tahun lalu petugas pemerintah di Kota Larantuka terbiasa main petak umpet dengan para pekerja seks. Kejar sana kejar sini. Tangkap sana tangkap sini. Usir sana usir sini.
Ketika seks menjadi salah satu segmen industri, dia tampil apik dan elegan. Jika sebelumnya urusan syawat bersifat jalanan, maka sekarang dia sudah mendapat kemasan menarik. Sudah punya merk dagang. Dia tidak lagi 'dipajang' di pinggir-pinggir jalan, tetapi sudah masuk ke kamar-kamar losmen. Transaksinya tidak lagi di tempat gelap, tetapi sudah di meja-meja pub dan karaoke. Konsumennya juga multisegmen. Dari anak-anak hingga orangtua. Dari pegawai kantoran hingga para nelayan.
Survai terhadap para remaja mengungkapkan bahwa 33,5 persen remaja yang sedang pacaran pernah melakukan hubungan seks. Yang mengejutkan, ada juga remaja yang berhubungan seks tidak cuma dengan teman atau pacarnya, tetapi juga pekerja seks. Perilaku seperti ini tentu saja berisiko. Tetapi yang jadi soal bukan cuma risiko itu sendiri, tetapi juga dan terutama rendahnya kapasitas pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi. Artinya, kebanyakan mereka sama sekali belum tahu apa dampaknya ketika berhubungan seks dengan seorang pekerja seks.
Posisi remaja perempuan justru lebih berisiko lagi. Remaja perempuan menghadapi dua ancaman sekaligus ketika memutuskan untuk melakukan hubungan seks saat dimabuk kasmaran dengan pacar. Risiko reproduksi seperti kehamilan sudah pasti bisa diperhitungkan. Namun hal yang sangat tidak terduga adalah risiko infeksi IMS dan bahkan HIV ketika pasangan seksual remaja puteri sesungguhnya berperilaku seks berisiko karena mempunyai pasangan seks lainnya yang adalah pekerja seks.
Survai itu juga memperlihatkan bahwa remaja di daerah pedesaan saat ini berada dalam sebuah situasi perilaku berisiko terhadap IMS dan HIV-AIDS. Kondisi ini akan semakin memburuk ketika tidak ada upaya intervensi program yang bisa meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran sehingga berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Pada tataran ini konsep pengembangan program remaja menjadi penting, dibutuhkan dan perlu didesain dengan mempertimbangkan karakteristik remaja.
Hal menarik dan mengejutkan lainnya dari survai itu adalah toleran dan permisifnya para pekerja tempat hiburan malam (PTHM) terhadap para tamu laki-laki. Menurut survai itu, bukan hal yang luar biasa kalau para para PTHM itu melayani para tamu untuk kebutuhan 'luar-dalam'. Kebutuhan luar menyangkut dunia. Yang dalam menyangkut surga. Di mana para PTHM malam itu melayani tamu? "Kami bisa melayani mereka di halaman-halaman dengan mematikan lampu," tutur John D Mangu menirukan jawaban para PTHM. Surga dan dunia menyatu di Kota Reinha.
Nah, apa yang harus dilakukan? Dalam workshop semua peserta terperangah dan prihatin. "Tetapi kita tidak bisa berhenti di sini. Ke depan, pemerintah mesti melakukan sesuatu yang berguna. SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait dengan HIV-AIDS silahkan mengajukan dana untuk sosialisasi," kata Wabup Flotim, Yosni Herin, ketika membuka workshop itu.
Kata kuncinya, cuma satu. Hadapi bersama. Maka yang dibutuhkan adalah intervensi secara terpadu stakeholder yang terlibat dalam urusan kemanusiaan ini. John Mangu dan Adi Lamury juga menegaskan pentingnya intervensi itu. "Dari wawancara kami, para responden meminta perlu sebuah intervensi pemberdayaan, pengetahuan dan keterampilan berperilaku secara aman, sehat dan bertanggung jawab. Isu HIV-AIDS sesungguhnya ada di permukaan masalah yang muncul karena tidak adanya basik pengetahuan pada remaja mengenai kesehatan reproduksi, kesehatan seksual, pendidikan budi pekerti, keterampilan menghargai tubuh sendiri dan orang lain, mental kepribadian dan berbagai aspek sosial budaya lainnya yang tidak secara sistematis diinternalisir kedalam proses tumbuh kembang remaja," kata John Mangu.
Itu saja kuncinya. Jika Pemkab Flotim di bawah duet Drs. Simon Hayon-Yosni Herin, S.Sos, mematok pembangunan sumber daya manusia sebagai fokus utama, niscaya HIV-AIDS tidak lagi sekadar isu, tetapi mesti dilihat sebagai masalah. Setuju? (habis)

Pos Kupang Jumat 24 Oktober 2008
Read More...

AIDS di Larantuka, Masuk 'Jalur Merah'

Oleh Tony Kleden

"SAYA
menganjurkan agar di Larantuka ada lokalisasi (pekerja seks)." Anjuran itu datang dari Frans Laja, salah seorang peserta workshop Rapid Assesment and Respons Terhadap Penularan HIV/AIDS di Rumah Retret Susteran PRR, Weri, Larantuka, Kamis (18/9/2008) lalu. Frans bukan sembarang peserta. Dia adalah pegiat LSM yang sudah lama berurusan dengan masalah HIV-AIDS. Karena itu, pastilah Frans dengan penuh kesadaran dan penuh pemahaman menyampaikan anjurannya.
Semua peserta terpana. Diam. Ada yang bahkan tergagap. Tak pernah menyangka akan datang anjuran seperti itu. Tak menyangka karena membayangkan reaksi besar warga Larantuka dan sekitarnya. Membangun lokalisasi di Kota Reinha? Gila!


Sebagai moderator, saya menangkap kegundahan para peserta itu. Saya membayangkan resistensi yang begitu hebat dari warga Larantuka. Saya teringat, sejauh ini PKBI NTT belum berani menempatkan ATM kondom di lokalisasi Karang Dempel (KD) Tenau, Kupang. Padahal, mesin itu sudah diresmikan penggunaannya tahun lalu oleh Gubernur NTT (ketika itu) Piet Tallo. Kepada para peserta saya juga menuturkan, ketika Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, baru melontarkan wacana untuk membangun rumah bordir di Kota Kupang, beragam reaksi muncul.
"Taruhan, warga Larantuka akan mati-matian menolak jika hendak dibangun lokalisasi di Larantuka. Kenapa? Kota ini adalah Serambi Vatikan. Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi seperti saat ini, dalam waktu sekejap seluruh dunia akan heboh manakala mendengar di Larantuka telah ada lokalisasi. Dari Larantuka ke Kupang. Dari Kupang ke Jakarta. Dari Jakarta entah ke mana lagi. Dan seterusnya dan seterusnya hingga sampai juga ke Kota Suci, Roma," saya coba memecahkan kebekuan.
Mungkin ide gila membangun sebuah lokalisasi di Kota Reinha. Tetapi ketika Frans mengajukan pendapatnya dengan penuh kesadaran, sudah tentu dia sudah melihat lebih jauh, telah menimbang untung ruginya apa yang bakal terjadi jika ada lokalisasi dan apa yang juga bakal datang jika tidak ada lokalisasi di Kota Reinha.
Hari itu, kepada para peserta dibeberkan hasil survai yang dilakukan atas kerja sama antara Wahana Visi Indonesia (WVI) ADP Larantuka dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Daerah NTT tentang perilaku berisiko terhadap bahaya HIV-AIDS. Survai itu dilakukan selama 14 hari di 12 desa binaan WVI Larantuka. Meski belum bisa dikatakan hasil itu menjelaskan seluruhnya tentang kondisi Flores Timur, tetapi survai itu kurang lebih telah mengungkap apa yang selama ini tak pernah terbayangkan. Banyak hal dan fakta terkuak ke permukaan.
Frans Laja, pria asal Manggarai yang meniti hidup di Tanah Nagi, mungkin gila. Tetapi Tanah Nagi butuh orang gila dengan ide-ide yang juga gila. Soalnya, hal ihwal tentang HIV-AIDS terkesan masih begitu baru di Flotim. Pemerintah belum menunjukkan perhatian serius, terutama dalam hal kebijakan anggaran. Tak ayal, Wakil Bupati Flotim, Yosni Herin, sering-sering mesti mencopot dana dari pos anggaran wakil bupati manakala turun ke desa melakukan sosialisasi.
Kalangan Dewan yang palu godamnya begitu berkuasa dalam mengatur alokasi dana juga sama jo. Workshop itu mestinya juga dihadiri kalangan Dewan. Undangan sudah disebar. Apesnya, yang datang cuma salah seorang wakil ketua. Itu pun hanya pada acara seremoni pembukaan. Padahal, kehadiran anggota DPRD sangat penting untuk memikirkan agenda yang berdampak begitu luas ini.
John D Mangu dan Adi Lamury dari PKBI NTT dalam pemaparan hasil survai itu menjelaskan panjang lebar tentang bahaya HIV-AIDS yang tidak lagi jauh, tetapi sudah datang. Untuk angka kasus HIV-AIDS, Flotim masih di bawah Kota Kupang, Kabupaten Belu dan Sikka. 'Baru' tiga belas menurut data resmi yang dikeluarkan KPAD Flotim. Tetapi Wakil Bupati Flotim, Yosni Herin, berani menyebut angka 26 pengidap.
Angka 13 dan 26 tentu berbeda. Tetapi angka ini menegaskan satu hal yang sama, yakni bahwa Flores Timur tidak lagi aman terhadap HIV-AIDS. Masalah HIV-AIDS tidak lagi masalah kecil dan karena itu luput dari perhatian. Dari pemaparan John Mangu dan Adi Lamury tertangkap kondisi tidak aman itu. Keduanya menjelaskan bagaimana rotasi para pekerja seks itu hingga tiba di Larantuka. Ada dua jalur masuk ke Larantuka. Jalur pertama, Kupang-Atambua-Kalabahi-Lewoleba-Larantuka. Jalur kedua, Surabaya-Labuan Bajo-Maumere-Larantuka. Dari jalur rotasi ini, jelas kalau Larantuka, Kota Reinha itu masuk dalam 'jalur merah' perjalanan para pekerja seks.
Berbeda dengan Flores Timur, pemerintah kabupaten di semua 'jalur merah' ini lebih respons dan tidak tinggal diam. Di Kota Kupang, ada puluhan LSM peduli HIV-AIDS. Pemkot Kupang juga telah menggagas Ranperda HIV-AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang sejauh ini adalah yang terbaik di NTT. Staf oke, sekretariat representatif, anggaran no problem. Dan, duet Dan Adoe-Dan Hurek punya konsern tinggi.
Di Belu, perhatian pemerintah, terutama dalam alokasi anggaran luar biasa. Dalam satu tahun anggaran, ratusan juta digelontorkan untuk sosialisasi. Wakil Bupati Belu, Greg Mau Bili, adalah pimpinan wilayah yang sangat paham dengan urusan HIV-AIDS.
Di Sikka, pemerintah juga lekas tanggap. Rumah Sakit TC Hillers sudah punya VCT (Voluntary Counseling and Testing). Para ODHA (orang dengan HIV-AIDS) juga punya wadah terorganisir dan mendapat perhatian pemerintah. Di Manggarai Barat, perlahan-lahan pemerintah menyadari epidemi ini sehingga semakin memberi perhatian. Lembata nyaris sama dengan Flores Timur. Belum banyak perhatian dan masih melihat masalah HIV-AIDS sebagai masalah remeh temeh.
Seperti di lampu merah, Pemkab Flotim tidak bisa lagi main-main di 'jalur merah'. Kurang awas, kualat akibatnya. Mau kualat? (bersambung)

Pos Kupang, Kamis 23 Oktober 2008
Read More...

Pembangunan Partisipatif, Jangan Cuma Pro Forma

UNDANG-UNDANG Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan cakrawala yang luar kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota, dalam melaksanakan otonomi secara utuh dan bulat.
Otonomi yang seluas-luasnya terlihat dari jumlah urusan yang diserahkan, di mana daerah diberikan seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal.
Dengan perubahan ini, bandul manejemen pemerintahan dan pembangunan bergeser dari model memusat (sentrifugal) menuju pada model memencar (sentripetal). Pergeseran ini mengakibatkan banyak hal yang sebelumnya sentralis sekarang menjadi desentralis. Sentralisasi menjadi desentralisasi.
Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.

Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.
Desentralisasi pembangunan mengharuskan dan mengandaikan pemerintah dan masyarakat daerah untuk merumuskan bersama konsep-konsep pembangunan. Masyarakat harus dilibatkan dalam merancang- bangun item-item pembangunan. Mereka tidak boleh diposisikan sebagai penonton saja. Mereka harus aktif.
Meski begitu, harus kita akui juga bahwa sejauh ini konsep desentralisasi pembangunan, bahkan juga otonomi daerah, mengalami begitu banyak distorsi. Pembangunan sebagai rekayasa sosial untuk mempercepat perubahan sosial, dari keadaan serba kurang menjadi lebih baik, seringkali menggunakan patokan-patokan yang tidak berbasis pada kondisi masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan.
Cermin kemajuan lebih sering diletakkan pada hal-hal di luar budaya masyarakat. Alhasil, yang muncul ialah bahwa tujuan pembangunan menjauhkan masyarakat dari dirinya sendiri. Banyak ironi terjadi. Masyarakat menjadi asing di tengah pembangunan yang dirancang atas namanya, didesain untuk kebutuhannya.
Dalam konteks ini, kita menyambut baik apa yang terjadi di Kabupaten Ngada. Seperti diwartakan harian ini akhir pekan lalu, Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea mengatakan bahwa dalam sistem pembangunan saat ini masyarakat menjadi penentu kebijakan, pelaksanaan dan perencanaan pembangunan.
Bupati Piet Nuwa mengatakan itu ketika membuka Musyawarah Kabupaten (Muskab) Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP) dalam rangka penangggulangan kemiskinan di Kabupaten Ngada, di Bajawa, Kamis (23/10/2008)
Sudah lama pembangunan dengan pola partisipatif digagas. Maksudnya apa? Maksudnya ialah masyarakat merancang sendiri item-item pembangunan sesuai kebutuhannya, sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, budaya serta lingkungannya.
Dengan pola partisipatif, masyarakat terlibat langsung. Dia turut merumuskan rencana pembangunan, ikut memikirkan format pembangunan. Ada asumsi yang terbangun dari model partisipatif, yakni bahwa dengan menjadi perancang sendiri, masyarakat akan lebih bertanggung jawab, lebih terlibat, punya sense of belonging terhadap hal ihwal tentang pembangunan.
Sebetulnya, model partisipatif ini bukan baru. Dia sudah lama diperkenalkan. Dan, rakyat juga sudah ikut memikirkan, turut terlibat dalam urusan pembangunan. Keterlibatan itu melalui musyawarah rencana pembangunan desa (musrengbangdes), musyawarah rencana pembangunan kelurahan (musrengbangkel) dan musyawarah rencana pembangunan kecamatan (musrengbangcam). Di kota-kota, bahkan keterlibatan warga sudah mulai dari tingkat RT dan RW.
Sejatinya semua bentuk partisipasi warga ini merupakan sesuatu yang sangat baik. Artinya, dengan merencanakan sendiri rakyat ikut menentukan prioritas-prioritas pembagunan yang mereka rasakan. Dengan cara seperti ini juga, masyarakat bisa merasa memiliki.
Tetapi, kita juga perlu waspada. Sebab, dalam praktek selama ini, apa yang disebut sebagai bentuk-bentuk keterlibatan rakyat itu cuma semu, cuma pro forma belaka. Musrengbangdes, musrengbangkel, musrengbangcam sudah sering digelar menjaring aspirasi dari bawah. Mencari prioritas-prioritas kebutuhan rakyat. Rakyat ikut merancang kebutuhan mereka dalam konteks pembangunan.
Tetapi, bukan hal baru kalau apa yang sudah dirancang bersama itu berulang, berulang dan terus berulang, tanpa pernah ada feed back, tanpa ada penjelasan mengapa ini belum, mengapa ini tidak. Kita harapkan, apa yang disebut sebagai pembangunan dengan pola partisipatif ini tidak sekadar omong-omong. *

Pos Kupang, Selasa 28 Oktober 2008
Read More...

Asam Timor, Potensi yang Terlupakan

Minggu, 19 Oktober 2008

Oleh Muhlis al Alawi

BERBAGAI
potensi dimiliki Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya sektor pertanian yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Di sektor ini TTS mempunyai jagung, padi hingga tanaman tumpang sari. Aneka tanaman ini telah membudaya untuk mencukupi kebutuhan pangan warga.
Tetapi TTS tidak cuma punya jagung, padi dan tanaman tumpang sari. Sudah sejak dulu Kabupaten Cendana Wangi ini memiliki asam. Asam sesungguhnya sangat prospektif. Sayang, sejauh ini pemerintah masih menganaktirikan asam. Rakyat dibiarkan sendiri memburu asam di hutan. Memburu, karena pohon asam di hutan tidak punya pemilik. Siapa saja bebas memetik dan atau memungut buahnya yang jatuh ke tanah.

Menjelang musim panen, yakni Agustus, September dan Oktober warga ramai-ramai masuk keluar hutan memburu asam. Saking banyaknya, jangan pernah menyangka bahwa warga akan naik ke pohon lalu menjatuhkan buahnya. Tidak. Mereka lebih memungut buah yang sudah jatuh ke tanah. Buah itu lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual kepada pengepul.
Siklus mencari, mengumpul dan menjual asam ke pengepul sudah jadi tradisi. Sudah lazim dan berjalan setiap tahun. Meski sudah lazim dan dilakonkan ramai-ramai oleh warga di desa dan kampung, hal itu belum berhasil memberi inspirasi kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk mengembangkan asam menjadi komoditas primadona. Beruntung, pohon asam tidak rewel seperti tanaman yang lain. Di hutan-hutan pohon asam tumbuh alamiah. Kokoh berdiri. Tidak perlu dirawat.
Tetapi melihat potensi dan prospeknya yang lumayan, mestinya pemerintah bisa memikirkan untuk melipatgandakan fungsi asam sehingga lebib berdaya guna. Harganya memang terbilang murah. Cuma Rp 600,00 hingga Rp 1.000,00/kg. Tetapi kalau pemerintah bisa menjadikan asam sebagai komoditas massal dan diusahakan secara massal, tak sulit menghitung berapa duit yang diraup warga. Apalagi, asam bukan cuma daging buahnya yang bermanfaat. Biji asam juga dicari untuk diolah menjadi zat pewarna untuk industri tekstil.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan TTS, Drs. Daniel Dede, yang saat diwawancarai masih menjabat, mengatakan, setiap tahun TTS dapat memproduksi asam sebanyak 2.000 hingga 3.000 ton. Bila warga menjual asam ke pengusaha di Kota SoE, maka akan mendapatkan harga setiap kilogramnya Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00. Sementara bila biji asam diolah menjadi tepung bisa dihargai dengan Rp 7.000,00/kg.
Kendati demikian, kata Dede, untuk mengubah biji asam menjadi tepung dibutuhkan teknologi mesin pengolahnya. Selain itu, sebelum dipasarkan ke perusahaan tekstil tepung itu harus memenuhi standar mutu internasional. Dede menegaskan mutu tepung biji asam dari TTS memiliki kualitas paling baik.
Konon, biji dan daging buah asam dari Timor memiliki kualitas yang unggul dibandingkan dengan asam lainnya di Indonesia. Di pasaran, pengusaha besar di Jawa lebih memilih asam daratan Timor untuk diolah menjadi makanan ringan, minuman ringan dan bahan komestik.
"Tepung yang terbuat dari biji asam saat ini sangat dicari perusahaan tekstil untuk pewarna kain. Untuk Indonesia, tepung biji asam masih didatangkan dari India lantaran ketiadaan tepung biji asam di tanah air. Makanya, bila TTS dapat menyuplai setidaknya sepuluh ton tepung biji asam, maka kabupaten ini akan kebanjiran investor perusahaan tekstil. Dan tentunya industri ini akan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat TTS," kata Dede.
Untuk merancang ke arah industri rumah tangga, lanjut Dede, pihaknya terlebih dahulu akan mengoptimalkan bantuan mesin pengolah biji asam menjadi tepung tahun ini. Bila berhasil, tahun berikutnya Disperindag akan melakukan pengadaan biji asam dan sekaligus mesin pengelolaanya.
Tak beda dengan Dede, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan TTS, Drs. Urias Sanam, yang dikonfirmasi melalui Kasi Rehabilitasi dan Pengkayaan Hutan, Chris Koenunu, S.Hut mengatakan pohon asam bisa berbuah dalam usia lima tahun. Selain mudah membudidayakannya, menanam pohon asam tidak memerlukan perawatan ekstra layaknya tanaman lainnya. Ibarat tinggal menabur bijinya saja, maka tanaman itu bisa tumbuh hingga besar.
Dalam catatan Dishutbun TTS, produksi asam tujuh tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2001, produksi asam isi sebanyak 792 ton, tahun 2002, 487,5 ton, tahun 2003 sebanyak 4.635 ton, tahun 2004, 3.261 ton, tahun 2005, 3.174 ton, tahun 2006, 3.287 ton dan tahun 2007 sebanyak 5.535 ton.
Menurut Koenunu hampir seluruh daratan di TTS ditumbuhi pohon asam. Namun pohon asam itu tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya unsur kesengajaan pemilik tanah menanamnya. Koenunu menyebutkan daerah penghasil asam terbesar berada di Kecamatan Kualin, Kolbano, Boking, Toianas, Amanuban Selatan, Mollo Utara, Mollo Tengah dan Mollo Barat.
Nah, tidak ada salahnya bila asam timor dapat dijadikan sebagai aset yang paling berharga untuk menambah pendapatan warga. Bila saja pemerintah memprogramkan penanaman asam secara massal, maka di saat musim kemarau warga tak lagi gigit jari menunggu berbagai bantuan pangan dari pihak luar lantaran kekurangan pangan. Terlebih lagi, bila pemerintah serius, maka dengan sentuhan teknologi perkebunan dan pertanian dapat memungkinkan satu pohon asam berbuah dua hingga tiga kali dalam setahun. Alhasil, warga pemilik pohon asam pun dapat berbesar hati. Rupiah pun dapat diraup warga saat musim panen tiba. Dan, untuk menghindari gejolak turunnya harga pada saat musim panen maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membeli asam milik masyarakat.
Timor Tengah Selatan pernah berjaya karena cendana. Kini secara ekonomis, cendana telah punah. Kabupaten ini juga pernah harum namanya karena buah apel. Kini, apel SoE tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Kabupaten dingin ini juga punya nama besar karena jeruk keproknya. Tetapi TTS tidak hanya punya itu. Dia punya asam dengan kualitas sangat baik. Cepat atau lambat, asam akan melambungkan nama Timor Tengah Selatan. *

Pos Kupang, Minggu 19 Oktober 2008
Read More...

Dicari, 'Gudang Ternak' Sapi di Pulau Timor

Oleh Julianus Akoit

DUA atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang). Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.

Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali. Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.
Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.
Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).
Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.
Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.
Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.
Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.
"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu. Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa. "Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.
Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi jantan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun
1970. "Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.
Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat. Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.
Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.
Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.
Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga.
Pos Kupang, Sabtu 18 Oktober 2008

Read More...

Pengusaha Jakarta Tanya Fasilitas di NTT

Senin, 13 Oktober 2008

JAKARTA, PK---Sejumlah pengusaha di Jakarta menanyakan fasilitas pendukung jika mereka ingin berinvestasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menanyakan fasilitas seperti dermaga, jalan raya dan insentif usaha. Pemerintah NTT menjamin fasilitas itu jika pengusaha ingin menanamkan modalnya di NTT.
Pertanyaan itu diajukan sejumlah pengusaha Jakarta dalam pertemuan dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, di Restaurant Pulau Dua, Jakarta, Jumat (10/10/2008) malam. Pertemuan ini digagas gubernur dan Institut Leimena, Jakarta. Gubernur didampingi beberapa pimpinan instansi lingkup Pemda NTT. Sedangkan dari Institut Leimena hadir antara lain Jakob Tobing dan beberapa pengurus. Sementara pengusaha Jakarta yang hadir antara lain Cakra Ciputra dari Grup Ciputra, Edwin Suryajaya dari grup Suryajaya, Albert Salim (putra Sudomo Salim) dan beberapa yang lain.

Para pengusaha ini menanyakan gambaran fasilitas pendukung untuk usaha berskala besar jika mereka ingin menginvestasi modalnya di NTT. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sederhana, tetapi sangat menentukan dan mempengaruhi kelancaran investasi.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Gubernur Frans Lebu Raya menjelaskan, fasilitas pendukung sebetulnya tidak terlalu jelek, seperti yang mungkin dibayangkan selama ini. "Kita di NTT punya satu kawasan industri yang kita sebut Kawasan Industri Bolok. Kawasan ini dekat dengan dermaga. Jalan ke dermaga juga cukup baik," kata Gubernur Lebu Raya meyakinkan para pengusaha itu.
Meski masih terbatas dan minim, Gubernur Lebu Raya mengajak para pengusaha untuk ringan langkah datang dan berinvestasi di NTT. Gubernur mengatakan, investasi itu ada untung dan ruginya. Mungkin ada kerugian dari sisi bisnis, tetapi juga ada untung secara sosial. "Saya mengajak siapa saja yang berkemauan baik untuk tolong bangun NTT ke depan. Kalau Ciputra bangun hotel di mana-mana, saya tunggu Ciputra bangun hotel di NTT," tantang Gubernur Lebu Raya.
Gubernur menyatakan kegembiraannya atas antusiasme para pengusaha yang hadir dalam pertemuan itu. "Malam ini kita sudah berkumpul. Ini langkah awal, dan harus ada follow up-nya. Pertemuan malam ini tidak boleh sampai di sini saja. Saya tunggu di Kupang," kata Gubernur Lebu Raya.
Dalam pertemuan itu gubernur memetakan kondisi sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya NTT. Menurut gubernur, meski NTT masih tergolong miskin, tetapi sesungguhnya ada banyak potensi yang bisa digarap.
Kepada para para pengusaha itu, gubernur menegaskan, lima tahun ke depan, sektor utama yang akan dikembangkan adalah pertanian. "Dan salah satu produk unggulan sektor pertanian yang akan dikembangkan adalah jagung," tegas gubernur.
Saat ini, kata gubernur, pemerintah masih mendisain program penanaman jagung sebagai produk unggulan di NTT. Menurut gubernur, sektor pertanian menjadi sektor prioritas karena 81,83 persen penduduk NTT adalah petani. "Karena itu, industri yang dibangun harus menomorsatukan pertanian," tegasnya. (len)


Pos Kupang, Selasa 13 Oktober 2008


Read More...

Mutasi, Bukan untuk Balas Jasa

PEKAN lalu diberitakan di media ini dan beberapa media lokal lain di NTT tentang rencana mutasi para pejabat. Dalam konstelasi birokrasi, setelah ajang perebutan kursi kekuasaan, hal ihwal mengenai mutasi pejabat menjadi wacana dominan. Di mana-mana orang membicarakan mutasi. Siapa menjabat apa, siapa yang dipakai, siapa yang tergusur.
Bagaimana pun juga mutasi adalah hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya. Yang bikin mutasi jadi istimewa adalah para pejabat pemerintah. Ada dua kelompok kepentingan yang biasanya bertarung. Pertama adalah kepentingan pejabat yang tergusur. Kedua, kepentingan pejabat yang ingin naik, ingin dipromosi, ingin dipakai.
Semestinya pertarungan kepentingan ini tidak perlu terjadi. Mengapa? Karena urusan kekuasaan adalah urusan politik, sementara urusan jabatan adalah urusan karier yang lebih mengandalkan kinerja.
Kekuasaan dan jabatan birokrasi adalah dua hal yang berbeda. Di Indonesia, kekuasaan dan jabatan menjadi begitu rapat bersaudara. Rapatnya dua hal ini dapat dimengerti karena hampir setiap keputusan selalu melalui mekanisme politik dan karena itu sering bersifat, bernuansa dan sarat politis.
Itu sebabnya, para pejabat pemerintah sering ikut bermain dalam ajang politik praktis dengan mendukung seorang calon kepala daerah. Harapannya jelas, semoga calon dukungannya menang pemilihan, jabatannya tetapi langgeng atau sekurang-kurangnya dipromosi.
Padahal, undang-undang telah melarang keras para pegawai pemerintah dan para pejabat birokrasi terlibat politik praktis. Para PNS dilarang mendukung seorang calon dalam pentas politik perebutan kekuasaan. Karena itu juga harus diterima sebagai sesuatu yang masuk akal juga kalau pejabat yang tidak mendukung calon yang memenangkan pertarungan akan tergusur, tidak dipakai, bahkan dinon-jobkan.
Saat ini di lingkup Pemprop NTT, banyak pejabat mulai dari eselon II hingga III tidak tenang. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak. Gelisah, resah memikirkan posisi masing-masing. Banyak yang mulai mengkalkulasi, menghitung jasa-jasanya. Banyak yang mulai bergerilya, cari muka, merapat ke sentral kekuasaan.
Sementara pejabat yang jagonya kalah mulai mengkampanyekan isu ini dan itu. Macam-macam isinya. Keluarga, suku, agama, kedekatan adalah tema isu yang selalu dimainkan.
Sejatinya birokrasi terpisah secara tegas dari politik. Pejabat pemerintah, para pegawai pemerintah mestinya tidak bergantung pada siapa yang menjadi kepala pemerintahan, siapa yang sedang berkuasa. Semua pejabat telah mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing (Tupoksi).
Para pejabat, para PNS ibarat mur kecil dalam keseluruhan kendaraan birokrasi. Pengemudinya adalah pejabat yang memenangkan pertarungan politik. Mestinya, dalam konstelasi pemerintahan yang sehat, kepala pemerintah dan para pejabat birokrasi bersinsergi membangun satu kekuatan. Sinergi yang baik hanya mensyaratkan relasi yang harmonis, kerja sama yang kompak dan dukungan yang solid.
Karena itu terkait dengan mutasi di lingkup Pemprop NTT, kita harapkan agar duet Frans-Esthon menomorsatukan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan seluruh rakyat NTT, bukan kepentingan satu dua pejabat yang mengaku-ngaku telah berjasa menghantar Frans-Esthon ke kursi kekuasaan.
Kita yakin Frans-Esthon dengan mottonya Anggur Merah (anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) tetap menomorsatukan kepentingan yang jauh lebih besar. Wujudnya adalah memilih para pejabat pemerintahan yang menggerakkan roda organisasi melalui suatu mekanisme terukur semisal fit and proper test. Tegasnya, mutasi bukan ajang dan momentum balas jasa. Pejabat yang dipilih juga diberi target yang jelas. Jika gagal memenuhi target, jangan sungkan-sungkan memberhentikannya.
Kepada para pejabat juga perlu kita ingatkan jangan sekali-kali terlibat dalam urusan politik praktis dengan mendukung ini dan itu. Sebab, calon yang terpilih adalah juga manusia dengan kelemahan dagingnya. Dia bisa menggusur siapa saja yang tidak sehaluan dengannya, menjadi musuhnya dalam pentas pertarungan pilkada. Sikap yang paling bijak adalah tetap bekerja memperlihatkan kinerja, etos dan spririt yang membanggakan. *


Pos Kupang, Selasa 13 Oktober 2008
Read More...

Politik dan Janji

Sabtu, 04 Oktober 2008


Oleh Dr. Paul Budi Kleden, SVD



Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores


POLITIK dan janji, dua hal yang berkaitan erat. Tanggapan dan pemahaman orang atas relasi keduanya ternyata sangat tergantung pada situasi dan kepentingan politis. Hal ini menjadi nyata secara khusus ketika kita sedang berhadapan dengan momentum pemilihan umum, entah legislatif ataupun eksekutif. Banyak paket calon gubernur dan wakil gubernur yang menjual janji di mana-mana dan pada berbagai kesempatan. Para caleg yang namanya sudah terdaftar pada daftar calon sementara mulai masuk keluar rumah dan kampung untuk memperkenalkan diri sembari memberi janji. Janjinya bisa macam-macam, mulai dari kemudahan bagi seseorang untuk lulus dalam tes PNS sampai membangun jalan dan memasang jaringan air. Ada yang berjanji memperjuangkan pemekaran wilayah atau menyediakan pendidikan gratis.

Namun ada pula calon bupati dan wakil bupati yang tampil pada kesempatan kampanye dengan pernyataan: "Kami tidak membuat janji." Pernyataan seperti ini memang terdengar tampan untuk menangkal pendapat, bahwa para politisi rajin mengobral janji. Ungkapan ini dipandang perlu di tengah satu situasi, tatkala tidak sedikit orang menulis dan mengangkat suara mengingatkan para warga untuk tidak memilih politisi yang membuat janji. Para politisi dinilai sebagai pembuat janji yang tidak patut dipercaya. Janji politik identik dengan kebohongan. Maka, untuk meyakinkan para pemilih akan kejujuran sebagai satu bukti keluhuran akhlaknya, sang politisi memilih untuk tidak menjanjikan apa-apa. Benarkah demikian?


Kalau kita memperhatikan apa yang dikatakan para politisi di atas, sesungguhnya pernyataan mereka adalah serangkaian janji. Pernyataan 'tidak membuat janji', adalah rumusan lain dari sebuah janji bahwa orang akan bekerja secara sungguh-sungguh. Kalimat yang menyusul, entah secara implisit atau eksplisit setelah pernyaatan: "Kami tidak membuat janji", adalah: "Kami adalah pekerja keras dan akan terus bekerja keras. Kami tidak akan mengecewakan rakyat." "Kami tidak membuat janji" identis dengan pernyataan: "Kami tidak akan mengingkari janji." Acuannya? Pada para pemimpin politis lain yang dipandang telah mengecewakan rakyat dengan mengkhianati janjinya sendiri. "Mereka itu suka mengingkari janji dan telah membuat kamu kecewa. Kami tidak seperti mereka. Mereka tidak bisa dipercaya. Maka pilihlah kami." Jelas, ini adalah sebuah janji.

Pada hakikatnya, politik tanpa janji adalah politik yang buruk. Politik tanpa janji akan terperosok menjadi sebuah pragmatisme, yang tidak memiliki pandangan jauh dan hanya berkutat dengan apa yang ada di depan batang hidung. Pragmatisme membenarkan sebuah praktik politik tanpa moral.

Bukan hanya itu. Politik tanpa janji sebenarnya tidak patut disebut sebagai politik. Ada beberapa alasan untuk menggarisbawahi hal di atas. Pertama, tanpa janji tidak akan ada visi. Tanpa visi orang tidak memiliki arah dalam berlangkah. Visi adalah janji yang disampaikan seorang calon pemimpin kepada para warga berkaitan dengan kondisi ideal yang menjadi sasaran akhir kepemimpinannya. Apa hakikat sebuah visi, kalau bukan sebuah janji? Dengan menyampaikan visi, seorang calon pemimpin menunjukkan sasaran yang hendak dicapai apabila orang memilih dirinya. Politik dibutuhkan karena orang menghendaki perubahan. Dan perubahan tanpa visi dan janji adalah sebuah perjalanan dalam kebutaan dan kekelaman.

Kedua, tanpa membuat janji, seorang pemimpin tidak akan dapat dinilai secara pribadi. Setiap penilaian membutuhkan rujukan. Ke mana rujukan harus dicari dalam sebuah penilaian pribadi kalau bukan pada janji sang pemimpin sendiri? Tanpa janji seorang pemimpin akan menjadi sewenang-wenang, karena dia tidak dapat diikat pada satu norma. Kalau demikian, janji adalah dasar bagi pertanggungjawaban pelaksanaan kekuasaan yang demokratis. Seorang diktatur memang tidak perlu berjanji kepada siapa pun, sebab dia memang tidak merasa perlu mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada siapa juga. Karena alasan ini, maka di dalam sebuah demokrasi, sumpah jabatan disebut juga sebagai janji.

Memperhatikan pertimbangan di atas, maka janji politik adalah hal yang niscaya dalam sebuah demokrasi. Malah dapat dikatakan, seorang pemimpin tanpa janji sama buruknya dengan seorang pemimpin yang kemudian mengingkari janji. Kekecewaan karena pengingkaran janji dapat membuat orang meragukan demokrasi sebagai mekanisme yang tepat bagi pemilihan pemimpin. Dan tanpa janji, proses demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah dimulai, dan jika tidak pernah dimulai, maka proses tidak ada pula tidak pernah dapat dikoreksi. Ingkar janji membuat orang kecewa dengan demokrasi, tanpa janji orang membawa demokrasi ke jurang otoritarianisme.

Jika memang janji adalah bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses politik yang demokratis, maka yang menjadi pertanyaan adalah janji manakah itu? Pertanyaan ini penting, sebab ternyata tidak semua janji politik membawa kemajuan bagi demokrasi. Soalnya bukan ada atau tidaknya janji, melainkan kualitas janji.

Hemat saya, ada beberapa kriteria yang dapat disebutkan berkaitan kadar demokratis dari sebuah janji politik. Pertama, keberakaran dalam realitas. Janji politik sejatinya bertolak dari pengenalan dan penguasaan yang baik akan situasi sekarang. Janji adalah sebuah cita-cita ideal, namun yang ideal tidak haruslah menjadi lawan dari yang real. Semakin intensif seseorang mengenal dan menguasai situasi masyarakat yang real, maka semakin meyakinkan pula janji yang disampaikannya. Janji politik yang tidak bertolak dari realitas akan terdengar sebagai mimpi murahan, dan mimpi murahan tidak memiliki daya transformatif.

Relasi dengan realitas sekarang merupakan satu keniscayaan dalam janji politik, sebab politik tidak berurusan dengan apa yang turun dari langit ke bumi, melainkan bergumul dengan masalah bagaimana menumbuhkan bumi menuju langit. Visi yang dilukiskan di dalam sebuah janji politik merupakan sebuah proyeksi, yakni apa yang dilemparkan dari sini ke masa depan. Hal ini berbeda dari sebuah prolepsis, yakni masa depan yang memancarkan dirinya ke tengah situasi sekarang bagai mentari pagi yang memantulkan berkas-berkas sinarnya di cakrawala.

Pengenalan dan penguasaan akan realitas masyarakat meliputi beberapa aspek. Pertama adalah aspek permasalahan dan tantangan. Permasalahan dan tantangan dapat berupa kondisi alam, situasi masyarakat atau perkembangan sistem politik dan ekonomi yang sedang terjadi. Kondisi geografis tertentu misalnya hanya memungkinkan tanaman pertanian atau perdagangan jenis tertentu. Situasi masyarakat yang dikondisikan oleh adat kebudayaan dan pendidikan yang diperoleh membatasi bidang yang dapat dijadikan unggulan. Sementara sistem politik dan ekonomi yang ditentukan oleh pusat-pusat kekuasaan global mempersempit ruang bagi inisiatif-inisiatif lokal. Sebuah janji politik akan dapat dipercaya kalau mempertimbangkan berbagai situasi ini.

Aspek kedua adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki satu masyarakat yang hidup di satu wilayah. Kondisi geografis yang hingga kini diukur berdasarkan orientasi pada pusat-pusat ekonomi dan politik tertentu, dapat dialiharahkan sehingga dapat menjadi atau menciptakan satu pusat baru yang menjanjikan peluang-peluang perkembangan baru pula. Perubahan pola baca letak geografis ini telah menjadikan China sebuah pusat perekonomian dunia yang sekurang-kurangnya dapat bersaing dengan Amerika dan Eropa. Situasi pendidikan dan kebudayaan masyarakat dapat menjadi sebuah kekuatan besar untuk perkembangan ekonomi dan politik seandainya pengalaman dan pengetahuan masyarakat diangkat untuk menjadi rujukan dalam berpolitik, dan rasa percaya diri masyarakat ditingkatkan sehingga mereka dapat menentukan sendiri selera makan dan pakaiannya sendiri tanpa didikte oleh program pemerintah dan dominasi media massa. Sebuah janji politik akan sanggup menggalang kekuatan masyarakat apabila dia menyingkapkan potensi yang mereka.

Janji politik yang bertolak dari pengenalan dan pengetahuan yang baik situasi aktual dari masyarakat akan sanggup menjadi basis buah program politik yang dapat dipertanggungjawabkan. Janji seperti ini realistis serentak menantang, realistis, sebab dia mencerminkan situasi real satu masyarakat pada tempat dan dalam waktu tertentu. Janji seperti ini bukan sebuah candu bagi masyarakat. Tetapi janji ini juga menantang, karena dia menunjukkan apa yang sebenarnya dapat diwujudkan apabila para warga bersungguh-sungguh. Dia membuka mata warga untuk melihat potensi, yang akan tinggal sebagai kemungkinan, apabila tidak pernah diolah dengan ketelatenan yang dipandu oleh pemikiran yang kritis.

Kriteria kedua adalah pelibatan warga. Sebuah janji politik bernilai demokratis, apabila dia menunjukkan peran para warga dan sang pemimpin itu sendiri. Demokrasi memerlukan pemimpin, namun pemimpin yang demokratis tidak menjadikan dirinya satu-satunya penentu kondisi masyarakat. Yang berjanji adalah seorang pemimpin, namun dia bukan tukang sulap dalam sebuah demokrasi. Model pemimpin sebagai tukang sulap sebenarnya merendahkan derajat warga sebagai pemilik kedaulatan. Di dalam janjinya mesti menjadi jelas partisipasi warga masyarakat.

Partisipasi rakyat bisa dilihat baik dalam rangka proses pengambil keputusan publik, pelaksanaan dan kontrol atas pelaksanaan maupun penikmatan hasil keputusan publik. Politik bukan hanya soal pendistribusian proyek dan pemerataan pembangunan. Lebih dari itu, politik mesti mengarah kepada pelibatan warga dalam memikirkan apa yang hendak dilaksanakan dalam kehidupan bersama. Sebab itu, janji politik yang demokratis bukan terutama soal rencana membangun rumah sakit, dermaga atau perguruan tinggi, melainkan satu proses demokratis yang memberikan ruang lebih luas dan kesempatan lebih banyak kepada para warga untuk mengartikulasikan kepentingannya. Semakin luas peluang partisipasi warga yang diungkapkan dalam sebuah janji politik, semakin tinggi pula kadar demokratis dari janji tersebut.

Yang dapat disebut sebagai kriteria ketiga dari sebuah janji politik yang demokratis adalah kaitannya dengan pembuat janji. Sebuah janji yang demokratis memperhitungkan dan menghargai warga masyarakat sebagai subyek yang mempunyai nurani dan pikiran. Dengan nurani dan pikiran tersebut warga sanggup mengukur korelasi antara pribadi politisi dengan janji yang dibuatnya. Tentu saja di dalam demokrasi tidak boleh ada terlampau banyak regulasi yang membatasi partisipasi seseorang untuk memperebutkan kekuasaan. Namun kualitas diri orang yang menampilkan diri atau ditampilkan dalam ajang perebutan kekuasaan menunjukkan tingkat penghargaan terhadap warga satu masyarakat. Menampilkan seorang pencuri untuk ikut dalam ajang perebutan kekuasaan dapat dibaca sebagai ungkapan pandangan yang merendahkan masyarakat. Masyarakat dipandang bodoh sehingga mudah diarahkan untuk apa saja, termasuk memilih pemimpin yang sangat patut diragukan kualitas dan kredibilitasnya.

Demikian pula, seorang politisi yang dikenal luas sebagai koruptor, namun berani tampil dan membuat janji politik untuk memberantas korupsi secara tuntas, sebenarnya sedang merendahkan masyarakat calon pemilih.

Bobot sebuah janji politik tidak terlepas dari kualitas demokratis yang dimiliki dan pernah ditunjukkan pembuat janji itu. Jika orang tersebut telah membuktikan diri sebagai pribadi yang memang setia pada janjinya, maka janji politisnya memang patut mendapat dipercaya. Seorang yang suka dan gampang mengingkari janji, memang tidak pantas dipercaya.
Politik memang tidak pernah bebas dari janji. Dan para politisi selalu membuat janji, diakui atau tidak. Menjadi tanggung jawab warga adalah menilai janji tersebut. *

Pos Kupang, Sabtu 4 Oktober 2008

Read More...

Tenun Ikat, Aset Budaya NTT Bernilai Ekonomis

Oleh Alfred Dama

SUATU
hari di bulan Maret 2008. Dalam sebuah acara di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, berkumpul ratusan warga desa setempat. Warga dari beberapa tetangga di Kecamatan Bola dan sekitarnya juga hadir. Sekelompok anak muda, pria dan wanita, juga tampak. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok menyaksikan kampanye salah satu pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sikka periode 2008-2013.
Yang menarik, meskipun Desa Ipir berada jauh dan terpencil dari Maumere, Ibu kota Kabupaten Sikka, jarak itu tidak mengurangi niat anak muda di desa ini untuk tampil modis dan dendi. Para remaja datang mengenakan jelana jeans berbaju keluaran dan model terbaru dari toko. Gaya mereka pun mengikuti tren yang sedang berkembang. Sementara itu pada kelompok lainnya, sekelompok wanita juga datang ke tempat itu. Mereka hanya mengenakan kain sarung.

Sekilas tampak kuat perbedaan penampilan antara yang kelompok orangtua dan anak muda. Anak muda memilih pakaian-pakaian jadi yang modis, sementara orangtua masih mempertahankan tradisi dengan busana tradisional daerah setempat. Meski tampak sepele, ini sekaligus menunjukkan pergeseran budaya, dari budaya tradisional ke budaya modern dalam urusan memakai pakaian.
Pemandangan di Desa Ipir sebenarnya juga terjadi desa-desa lain di NTT. Para pemuda dan gadis desa zaman sekarang sudah mulai enggan mengenakan kain tenun ikat. Mereka lebih memilih busana jadi buatan pabrik dari bahan dan model yang trendi. Bila ini berlangsung terus, bukan tidak mungkin suatu saat tidak ada lagi yang mencintai dan karena itu mengenakan pakaian berbahan dasar tenun ikat.
Di tengah-tengah serbuan pakaian jadi buatan pabrik ke NTT, tenun ikat sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Bahkan, perancang busana kenamaan, Ramli, pernah memamerkan busana rancangannya berbahan tenun ikat NTT dalam acara peragaan busana di Jakarta dengan melibatkan para peragawati dan peragawan kenamaan di Jakarta. Jelas, tenun ikat juga bisa dijadikan tren mode busana di tingkat nasional. Hanya saja, menurut Ramli, bahan tenun ikat NTT, perlu diperhalus lagi.
Di dunia internasional, tenun ikat NTT khususnya para penenun tradisional dari Kecamatan Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara pernah meraih Penghargaan Pangeran Claus (Prince Claus Award) dari Pemerintah Belanda tahun 2004.
Di tingkat propinsi, warga NTT mesti berterima kasih kepada Herman Musakabe. Adalah Musakabe, yang ketika menjadi Gubernur NTT, menjadikan tenun ikat pakaian seragam para PNS. Gebrakan Musakabe ini terus bertahan hingga sekarang. Hasilnya, tenun ikat melambung pasarnya. Ibu-ibu di desa-desa menjadikan tenun ikat lebih dari sekadar keterampilan. Tenun ikat meningkat menjadi home industry.
Seperti diungkapkan penulis buku Pesona Tenun Flobamora, Erny Tallo, masing-masing daerah di NTT memiliki motif dan teknik menenun sendiri-sendiri. Teknik menenun itu bisa digolongkan ke dalam tiga cara, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun lotis. Ketiga teknik yang diwariskan secara turun-temurun ini menghasilkan jenis kain yang berbeda-beda dengan beragam motif, sesuai dengan yang berkembang di daerah asalnya.
Sayang, potensi budaya tenun ikat ini berangsur hilang. Lihat saja di desa-desa dan kampung-kampung kita. Jarang terlihat anak muda tekun menenun. Yang sibuk menenun adalah generasi senja, sementara yang muda-muda tak terlihat menenun. Mereka lebih sibuk dengan HP di tangan, ber-SMS ria, tertawa dan senyum sendiri di depan HP.
Kita butuh terobosan. Kita butuh langkah berani, terutama dari pemerintah, bagaimana menunjukkan kepada anak muda sekarang bahwa tenun ikat punya nilai ekonomis tinggi. Bagaimana caranya? Herman Musakabe sudah membuka jalan dan menetapkan hari Kamis setiap minggu menjadi hari tenun ikat untuk PNS. Sekarang era otonomi daerah. Mestinya para kepala daerah lebih leluasa mengatur ihwal pemerintahan, termasuk dalam urusan pakaian seragam. Kalau Herman Musakabe sudah berhasil dengan PNS pada hari Kamis, mengapa tidak ada kepala daerah yang mewajibkan anak sekolah mengenakan seragam tenun ikat?
Tak sulit membayangkan berapa rupiah yang dapat dituai para pengrajin tenun ikat jika saja para PNS dan anak sekolah di seluruh NTT sekali seminggu mengenakan motif tenun ikat sebagai seragam. Mari kita menghitung. Saat ini jumlah PNS di NTT sekitar 22 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk karyawan honorer, bank dan lembaga keuangan non bank yang juga wajib mengenakan busana motif daerah NTT. Lalu, jumlah anak sekolah, dari TK hingga SLTA 250 ribu. Andaikata satu lembar kain tenun ikat harganya Rp 350 ribu, berapa duit yang dibelanjakan untuk tenun ikat? Puluhan miliar rupiah duit akan masuk ke rumah-rumah pengrajin di desa-desa dan kampung-kampung.
Bila saja pemerintah juga mencoba menambah frekuensi pemakaian motif tenun ikat dari satu hari menjadi dua hari seminggu, maka dana yang mengalir ke desa dan kampung itu menjadi berlipat-lipat. Dan, itu adalah dana riil, bukan dana proyek ini dan itu yang kadang-kadang cuma telihat plang nama proyek sementara hasil proyeknya suram-suram.
Sesama warga dari Jawa begitu fanatik dengan batik. Banyak dari kita juga telah jatuh cinta dengan batik. Sah-sah saja. Tetapi mengapa orientasi kita selalu ke luar, seolah-olah yang dari luar lebih baik dari yang ada pada kita? Mengapa yang ada pada kita cenderung kita posisikan sebagai nomor dua, kurang tren, kurang populer? Mengapa kita begitu bergairah menomorsatukan produk luar, begitu bersemangat mempopulerkan buatan luar?
Kita punya tenun ikat yang sangat unik. Setiap daerah di NTT bahkan mempunyai motif dan corak sendiri. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat kita semakin menarik. Pesona motif dan ragam hias diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, mengandung nilai filosofis yang diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya.
Saatnya kita harus mengalihkan tenun ikat dari sekadar kerajinan individu kepada industri. Batik maju dan menembus pasar dunia karena menjadi industri. Batik telah identik dengan Jawa. Jika harus bermimpi, maka mimpi paling indah kita saat ini adalah tenun ikat NTT punya hak cipta dan punya merk dagang sendiri. *

Pos Kupang, Sabtu 4 Oktober 2008
Read More...