Mempertimbangkan Rendra

Senin, 17 Mei 2010

Oleh Bandung Mawardi

Kematian bukan argumentasi mutlak untuk menghormati tokoh. Rendra sampai hari ini tetap jadi pokok dan tokoh meski telah rampung dalam menjalani hidup di dunia. Rendra (7 November 1935 - 6 Agustus 2009) adalah tokoh penting dalam pelbagai wacana dan praktik seni, kekuasaan, dan kebudayaan. Setumpuk buku sastra telah jadi bukti perhatian Rendra terhadap pembentukan tradisi literasi. Puluhan pentas teater adalah kerja kultural untuk mewartakan kesadaran kritis atas kekuasaan dan kebudayaan. Sekian pidato atau orasi adalah aksi strategis untuk memikirkan secara intensif nasib Indonesia.

Kuasa Kata
Rendra untuk publik sastra merupakan tokoh fenomenal. Pembaharuan dalam puisi dan teater dilakukan Rendra dengan dalil merealisasikan daya hidup dan estetika kritis. Kehadiran Rendra menjadi bukti otoritas penyair untuk memberi arti dalam pasang surut biografi Indonesia. Rendra telah memberikan buku puisi Ballada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), dan Mencari Bapa (1997).
Puisi-puisi Rendra kental dengan kritik untuk rezim kekuasaan, birokratisasi, kapitalisme, globalisasi, dan praktik-praktik hidup membelenggu. Publik tentu masih ingat dengan puisi-puisi kontroversial Rendra tentang protes terhadap pembangunanisme, kebobrokan pendidikan, diskriminasi sosial, kuasa pasar dan negara, komodifikasi tradisi, dan marginalisasi kaum lemah. Rendra dengan lantang menuliskan puisi untuk menjadi kesaksian ulah rezim Orde Baru ketika melakukan pelemahan dan penundukkan terhadap gairah hidup rakyat: Aku mendengar suara/ jerit hewan terluka.// Ada orang memanah rembulan./ Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.// Orang-orang harus dibangunkan./ Kesaksian harus diberikan./ Agar kehidupan bisa terjaga.
Rendra tidak sungkan memasuki ranah sosial dan politik dengan puisi. Kuasa kata adalah senjata untuk menghadikran kebebasan dan daulat rakyat di hadapan kekuasaan. Idiom-idiom Rendra kerap jadi anutan pada masa itu dalam pelbagai gerakan sosial, seni, dan kultural. Puisi sanggup membuat orang sadar dengan hak dan berani melawan tirani. Rendra menjelma ikon untuk gairah hidup di Indonesia tanpa takut dengan penjara dan kematian. Puisi adalah ruh hidup dalam rumusan kata dan makna atas nama kebebasan manusia. Puisi adalah bahasa perjuangan. Otoritas Rendra dalam puisi membuat Sapardi Djoko Damono (1999) perlu memberi label bahwa perpuisiasn Indonesia telah menerima sihir Rendra dengan dialektika estetika dan kekuasaan.

Panggung
Kerja kultural Rendra pun hadir di panggung teater sebagai tindakan untuk memunculkan kesadaran publik atas masa lalu dan masa depan Indonesia. Teater jadi jalan bagi kaum urakan untuk pemenuhan daulat manusia. Teater pembebasan dan penyadaran dari Rendra secara reflektif mengusung tema-tema sosial dan politik dalam sensitivitas Orde Baru. Kritik jadi alasan penguasa memenjarakan dan melarang pertunjukan-pertunjukan teater Rendra. Bahasa reprsesif penguasa tak bisa membuat Rendra mandek atau mundur. Puluhan naskah dipentaskan dalam keberanian dan pamrih meruntuhkan bayang-bayang ketakutan atas kekuasaan.
Rendra pun mementaskan Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Oidipus Sang Raja, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Panembahan Reso, Sekda, Kisah Perjuangan Suku Naga, Bip Bop, Menunggu Godot, Lysistrata, Kasidah Barzanji, Perampok, Buku Harian Seorang Pencopet, dan lain-lain. Garapan-garapan Rendra menebar sihir pada publik tapi jadi ancaman untuk stabilitas politik. Teater telah jadi ungkapan kritis Rendra dalam membaca dan menilai nasib orang Indonesia dan sekian kebobrokan dalam pengelolaan negara. Teater adalah pemberontakan atau subversi dengan politik makna estetika. Eksplisitas pemberontakan itu kentara ketika Rendra pulang dari negeri Amerika Serikat (1967) untuk belajar teater. Sejak itu ruh pemberontakan dalam teater susah dipadamkan meski oleh penguasa lalim.
Rendra menjelma ikon teater modern Indonesia. Putu Wijaya (2000) menjuluki Rendra sebagai idiom baru teater Indonesia. Rendra jadi contoh sosok dengan ikhtiar menggedor, menerobos, menonjok tembok beku. Teater telah jadi perayaan publik untuk melontarkan kritik dan melakukan refleksi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam tegangan kekuasaan dan kebudayaan. Teater mazhab Rendra sampai hari tetap jadi titik penting dari keberanian publik teater mengusung tema-tema kritik sosial politik sebagai bahasa resistensi.

Wacana
Rendra dalam wacana intelektual Indonesia memberi sebuah risalah penting dan kritis terhadap posisi intelektual dalam dominasi negara. Risalah itu disampaikan dalam pidato penerimaan penghargaan dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975. Rendra mengungkapkan idiom fenomenal: "cendekiawan berumah di angin." Idiom ini pun dihadapkan pada rezim kekuasaan. Rendra pada masa itu menggugat tentang orang-orang dewan karena tampak tak memiliki kepekaan dan kesangupan mengurusi demokrasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, demokrasi politik, pembentukan keadilan sosial, dan demokrasi pendidikan. Gugatan itu terus menemukan sambungan sampai hari ini tapi jarang menemui jawaban memuaskan.
Biografi intelektual kritis itu mengantarkan Rendra pada pergulatan wacana-wacana besar. Rendra dengan intensif mengajukan tawaran gagasan dalam tema daulat rakyat, kebebasan seni, menggairahkan tradisi, kesadaran ekologis, pembelaan HAM, revitalisasi negara maritim, dan pendidikan pembebasan. Rendra tidak sekadar memberi khotbah tapi masuk ke panggung politik dengan jejaring dengan tokoh-tokoh intelektual, LSM, seniman, ulama, pengusaha, dan aktivis HAM.
Rendra ketika tua belum kehilangan spirit pembebasan dan pemberontakan. Peristiwa Reformasi mencatat bahwa Rendra menjadi bab penting dalam penyadaran politik dan kebudayaan. Orasi dan aksi dilakukan dengan antusias untuk memberi arti pada ruh dan tubuh Indonesia. Rendra hadir dengan Sajak Bulan Mei 1998 sebagai kontribusi signifikan atas estetika politik Indonesia. Reformasi jadi momentum puisi dan politik bertemu dalam integrasi menyelamatkan Indonesia.
Rendra telah tamat. Warisan-warisan Rendra masih terbuka untuk tafsir dan aksi. Inilah saat untuk publik Indonesia mempertimbangkan Rendra. Pokok dan tokoh ini adalah ikon pemberontakan dengan pamrih untuk realisasi daulat manusia dan daulat rakyat. Ikhtiar membaca kembali kata-kata Rendra mungkin memberi gairah konstruktif untuk membenahi "rumah Indonesia" ketimbang mendengarkan retorika politik picisan dari penguasa dan pendamba kekuasaan. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Agustus 2oo9)
Read More...

Homo Fabula

Oleh Bandung Marwadi

Ben Okri (1997) mengungkapkan bahwa menulis dalam sejarah peradaban manusia merupakan tindakan emansipatoris. Penulis tak lelah untuk mengisahkan apa saja sebagai manifestasi dan representasi lakon manusia. Ben Okri pun mengakui manusia adalah homo fabula (makhluk pengisah). Peran sebagai homo fabula membuat manusia sadar bahwa dunia ini rimbun oleh pelbagai kisah.

Homo fabula melahirkan kisah dengan sekian dalil dan pamrih. Peradaban-peradaban manusia di Asia, Eropa, Afrika, atau Amerika memiliki homo fabula sebagai tanda progresivitas dengan nostalgia dan utopia. Kisah-kisah kuno masih mendapati jalan pewarisan dan kisah-kisah untuk hari esok masih kiblat untuk lekas dikisahkan. Kisah-kisah abadi masih jadi referensi untuk membaca arus dan alur peradaban manusia dalam olahan fakta dan fiksi. Kisah-kisah pemula memang cenderung mitologis tapi mengandung tanda-tanda faktual atas lakon kehidupan manusia.
Manusia pengisah dalam menciptakan kisah memiliki anutan dan prosedur sesuai dengan latar mitologi, teologi, estetika, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah-kisah ada menjelma sebagai realisasi dan representasi manusia untuk membaca diri, dunia, hidup, dan alam. Membaca membutuhkan jalan atau perantaraan. Kisah menempatkan diri untuk mengantarkan manusia pada ikhtiar mencari-menemukan makna dengan alegori, metafora, atau simbol. Kisah pun menemukan peran signifikan dalam pergulatan hidup manusia.
Kisah lahir dan bergerak dari dan untuk apa saja. Pelbagai hal mungkin diusung dalam kisah untuk orientasi pluralisitik. Manusia mungkin melakukan identifikasi dalam pelbagai konteks tafsir untuk menemukan relevansi kisah dengan laju zaman dan kompleksitas peristiwa hidup. Kisah tidak menjadi artefak. Kisah tak mati ketika ada keterlibatan manusia untuk masuk dan keluar dalam ambang batas dunia fakta-fiksi. Kisah selalu menjadi hidup dalam resepsi dan interpretasi.
Kisah adalah cerita tentang peristiwa atau riwayat dalam kehidupan manusia. Bagus Takwin (2007) mengungkapkan: "Setiap manusia adalah pembuat kisah yang di dalamnya ia jadip peran utama. Kisah itu bernama Diri, sebuah pusat aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat pelbagai daya dari luar ikut menyumbang bagian cerita untuk melengkapinya. Dengan memahami kisah itu, kita dapat memahami bahwa diri setiap orang terhubung dengan diri orang lain. setiap orang dapat memahami dirinya melalui dan di dalam keterlibatan dengan orang lain." Manusia adalah makhluk pembuat dan pembaca kisah.
Kisah tidak sekadar mencipta dan mengumbar fantasi atau imajinasi. Kisah itu memiliki awal dan akhir pada manusia. Kisah memiliki substansi atas nama manusia meski dalam narasi memunculkan perkara-perkara di luar diri manusia. Simbolisme dan imaji memiliki tarikan pada manusia sebagai pusat. Pernik-pernik atau instrumen dalam kisah menjadi bumbu dan ekpresi untuk pencapaian hasrat-hasrat manusia.
Kisah menemukan titi-titik sambungan dari masa lalu sampai hari ini. Kisah dalam kultur lisan dan tulisan adalah proses progresivitas dengan mengandung risiko. Tulisan sebagai realisasi dan representasi manusia memberi risiko untuk parameter peradaban modern. Risiko substansial adalah tulisan memberi reduksi dan godaan untuk pelemahan ingatan manusia. Tulisan menjelma dalam bentuk fisik sebagai acuan untuk ingatan. Mekanisme ingatan dalam tradisi lisan pun mengalami godaan. Kisah sebagai olahan fakta-fiksi pun menjadi pelik dan dilematis. Imajinasi jadi pertaruhan untuk melahirkan dan meresepsi kisah.
Kisah dalam peradaban tulis menjadi perayaan tanpa titik. Manusia menulis kisah dengan gairah: positif atau negatif. Perayaan itu mendapati dukungan dari teknologi dan sistem penerbitan modern. Kisah dalam bentuk tulisan pun menjadi tanda dari lakon manusia untuk pelbagai peristiwa dan perkara. Penerbitan kisah dalam peradaban modern ini melimpah dan susah untuk dikumpulkan dalam pola homogen. Heterogenitas dan pluralitas adalah takdir untuk perayaan kisah pada abad dan zaman modern.
Siapa saja pasti susah untuk melakukan pendataan utuh atas kelahiran dan publikasi kisah-kisah dalam bentuk puisi, novel, cerpen, atau drama. Gudang kisah tentu sesak untuk menampung totalitas kisah dari Leo Tolstoy, Agatha Cristie, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Orhan Pamuk, Putu Wijaya, Marga T, Sartre, Lu Hsun, Tagore, Kahlil Gibran, Remy Sylado, Milan Kundera, James Joyce, Y.B. Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Kho Ping Ho, Suparto Broto, Goethe, Shakespeare, Umberto Eco, Nadjib Mahfoudz, Salman Rushdie, Coetzee, Naipul, Abdullah bin Abdulkadir Munsji, Ronggowarsito, Amy Tan, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain. Kisah-kisah dari manusia pengisah itu ada untuk mendedahkan tentang manusia. Kisah-kisah itu selalu belum sampai pada tafsir paripurna.
Kisah-kisah itu memiliki nasib sendiri-sendiri. Pujian dan cacian jadi kelumrahan. Kontroversi pun tak luput memberi catatan untuk nasib kisah. Kontroversi muncul dengan pelbagai argumentasi dari teologi, politik, etnis, nasionalisme, ideologi, atau etika. Kontroversi itu menadakan bahwa manusia pun belum usai sebagai makhluk kontroversi. Pelarangan atas buku jadi kelumrahan. Fatwa mati atau hukuman untuk manusia pengisah jadi tradisi. Peringatan pada pembaca untuk tidak membaca jadi tanda seru atas pemasungan hak. Nasib kisah, manusia pengisah, dan pembaca jadi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tak selesai.
Kisah-kisah dalam bentuk tulisan adalah sisi lain dari progresivitas peradaban modern. Kisah-kisah pun lahir dan dipublikasikan melalui medium teknologi modern. Film jadi medium kisah. Kaset jadi medium kisah. Radio dan televisi pun cerewet menghadirkan kisah. Pelbagai kisah mulai mencari-menemukan bentuk untuk realisasi dan representasi manusia. Kisah dalam bentuk tulisan mulai mendapati godaan dan ancaman.
Kehadiran pelbagai medium kisah memberi efek dan risiko. Kultur membaca perlahan mengalami reduksi karena umat manusia merasa khusuk dan tekun menikmati kisah melalui televisi atau internet. Kisah terus ada tapi mekanisme untuk menikmati kisah mengalami pemutakhiran atau pencanggihan. Tanda tanya dan tanda seru mulai menjadi perkara pelik untuk memerkarakan kisah.
Mediamorfosis jadi fakta mutakhir. Proses peralihan medium seperti jadi peringatan untuk menilai godaan kisah bagi manusia. Nasib kisah hari ini jadi pertaruhan peradaban manusia. Masihkah manusia pada hari ini mengimani dan mengamini diri sebagai homo fabula atau manusia pengisah? Pertanyaan ini mudah menemukan jawaban tapi susah memberikan eksplanasi paripurna. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (9 Agustus 2oo9)
Diposkan oleh Kabut Institut di 19:01
Label: Esai
Read More...

Letakkan Gereja pada Tempatnya

Selasa, 04 Mei 2010

MASALAH politik pada galibnya adalah masalah kekuasaan. Dengan kekuasaan orang dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Sebaliknya tanpa kekuasaan, orang harus menerima kehendak orang lain. Maka perebutan kekuasaan itu menjadi sangat penting bila orang ingin kehendaknya ditaati orang lain. Orang yang berkuasa akan cenderung memaksakan kehendaknya.

Itu sebabnya ketika berbicara tentang politik, filsuf Perancis, JJ Rousseau, berbicara tentang 'kehendak umum' dan 'kehendak khusus'. Hanya pemerintahan yang mencerminkan kehendak umum yang memiliki keabsahan.
Antara kehendak dan kekuasaan terdapat korelasi yang sangat erat. Kita jadi mengerti mengapa mereka yang bertarung merebut kekuasaan atau yang ingin mempertahankan kekuasaan akan menggunakan banyak cara dan jalan. Kehendak khusus orang yang bertarung itu bahkan mampu mengeliminasi segala etika dan pranata politik.
Para petarung itu bisa buta, tidak melihat lagi seperti apa pranata politik yang harus dihormati. Kemelut di KPU Flores Timur adalah contoh soal betapa kuatnya korelasi antara kehendak khusus dari orang yang bertarung dengan kekuasaan yang ingin direbut atau dipertahankan.
Dalam konteks seperti ini kita menangkap pesan pastoral Uskup Manggarai, Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr. Dalam surat gembalanya (Pos Kupang, 4/2/2010), Mgr. Hubert meminta agar para petarung di panggung Pemilu Kada Manggarai dan Manggarai Barat tidak memanfaatkan gereja sebagai panggung politik.
Boleh jadi gereja di Manggarai dan Manggarai Barat telah dimanfaatkan oleh mereka yang ingin bertarung merebut kekuasaan. Gereja dimanfaatkan karena suara institusi ini dianggap paling dapat dipercaya. Kita sepakat bahwa suara kenabian gereja masih kuat menembus ruang batin warga gereja. Suara hirarki dalam gereja, bagi umat bak suara emas yang lebih mudah didengar dan dituruti.
Keunggulan gereja ini dalam praksis politik di daerah ini sering dimanfaatkan oknum-oknum yang ingin bertarung dalam perebutan kekuasaan. Para petarung berlomba-lomba mendekati istana uskup dan halaman pastoran meminta restu. Berkat seorang uskup untuk seorang calon kemudian ditafsir sebagai dukungan gereja kepada si penerima berkat.
Padahal, sampai sekarang sikap gereja terhadap urusan politik tegas dan jelas: netral. Gereja tidak terlibat langsung dalam dukung-mendukung calon kepala daerah, calon anggota legislatif. Gereja tidak diutus untuk mencari kekuasaan politik guna menunjang panggilannya. Apa yang dilakukan gereja dalam konteks politik tak lebih dari imbauan agar orang tetap sadar akan kebebasannya dalam menentukan pilihan politik.
Karena itulah kita mesti mendukung imbauan Uskup Hubert. Kita mesti dukung karena beberapa alasan lain. Pertama, agar tidak terjadi perpecahan dalam diri anggota gereja sendiri. Dalam Pemilu Kada Manggarai dan Manggarai Barat, mereka yang bertarung adalah juga warga gereja. Sebagai institusi yang berdiri di atas semua kepentingan, kita tidak ingin melihat gereja menjadi arena pertarungan para warganya.
Kedua, kita dukung imbauan itu juga agar para klerus, imam, biarawan/ti tidak ikut terlibat secara langsung dalam politik praktis. Kita memahami sikap sejumlah klerus yang resah melihat tata dunia yang melempem jauh dari harapan akibat para pemimpin politik menjalankan kekuasaan politik jauh dari pranata politik. Kita akui banyak ketidakadilan sosial terjadi di tangan seorang penguasa politik yang cenderung arogan.
Banyak anggota klerus tidak bisa menahan diri untuk ikut bersuara. Kita mengerti kondisi batin itu. Tetapi kita harapkan para klerus tetap pada jalannya, tetap pada posisinya, tetap bersikap netral. Sikap ini telah ditegaskan Paus Paulus VI ketika menerbitkan pedoman hidup kaum religius Evangelica Testificatio (1971). Dalam salah satu bagian dari pedoman itu, Paus Paulus VI menegaskan agar klerus tidak boleh melakukan tindakan politis untuk memperjuangkan ketidakadilan sosial.
Jelaslah, gereja, para klerus mesti netral dan berdiri di atas semua orang, di atas mereka yang ikut bertarung di panggung politik. Para petarung juga kita ingatkan untuk tidak mementaskan drama politik di atas panggung gereja. *
Pos Kupang, 5 Mei 2010
Read More...