Di Ujung Rotan Ada Emas?

Senin, 29 Desember 2008

Oleh Tony Kleden

PEPATAH
tua 'di ujung rotan ada emas' sebenarnya sudah tidak cocok lagi dengan semangat zaman. Dulu sekali ketika kesadaran akan pentingnya sekolah belum kuat bertumbuh, anak-anak sekolah mesti dikejar, digotong ke sekolah. Mereka mesti terus menerus diyakinkan akan pentingnya sekolah mengubah nasib, mengubah garis tangan.
Itu sebabnya, kayu dan rotan adalah 'santapan wajib' untuk anak-anak bandel yang suka membolos. Tak heran, dulu banyak anak sekolah menderita luka di bibir, di telinga karena dijewer, bengkak di tangan dan betis kena hantaman kayu atau rotan.


Tetapi itu dulu, pada zaman baheula. Sekarang? Tidak banyak lagi praktek seperti itu terjadi. Tetapi bukan berarti tidak ada lagi. Di banyak sekolah di Kabupaten Sikka, tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak murid masih ada. Hasil monitoring yang dilakukan Aksi Cinta Kehidupan Maumere bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta membuktikan adanya tindak kekerasan itu.
Hasil penelitian di Sikka itu menunjukkan bahwa pola kekerasan yang dilakukan di sekolah masih dibenarkan jika itu dilaksanakan dalam konteks pembinaan terhadap siswa untuk mendisiplinkan siswa. Namun bila diteliti lebih jauh, ternyata terdapat banyak dampak negatif dari tindak kekerasan. Dampak negatif ini nyata dalam perkembangan mental dan emosional siswa yang cenderung merosot. Secara intelektual mungkin kelihatan baik, namun secara mental emosional siswa menjadi tertekan, ketakutan dan kehilangan kepercayaan diri yang berakibat pada merosotnya perkembangan mental dan emosional siswa.
Galibnya, tindak kekerasan itu tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga mengangkangi apa yang oleh pakar psikologi pendidikan, Benyamin Bloom, disebut sebagai taksonomi pendidikan, yakni membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatih keterampilan (conative domain). Rumusan Bloom berlaku semesta. Apa pun istilahnya, semua orang akan menjawab sama: sekolah bertugas mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan, dan berketerampilan.
Itulah ilham mengapa Pemkab Sikka bersama UNICEF Jakarta melakukan kajian mendalam melalui sebuah penelitian terhadap tindakan kekerasan dalam kondisi dan karakteristik budaya lokal dengan melakukan uji coba penerapan sekolah ramah anak di beberapa sekolah. Guna memperlancar pengembangan sekolah ramah anak ini, maka dibentuklah sebuah tim fasilitator kabupaten yang anggotanya dari pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Sikka, Bappeda Sikka, tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerhati pendidikan di Sikka yang didampingi oleh konsultan UNICEF Jakarta. Tim ini berjumlah 11 orang, yakni Thomas T Watun BSc, Rm. Kanis Mbani Pr, Anton Timu, Samuel Natet, Wilibrodus Woga, BA, Geradus M. Meang, Drs. Jamaludin Dik (alm), Rosa Helena Parera, Klotilde Maria, Stanis P. Pitang, dan GM Rajalewa.
Tim ini didampingi oleh Konsultan UNICEF Jakarta, yakni Agustina Hendriati dan Masdjudi. Dari pendampingan ini, tim berhasil menerbitkan sebuah Modul Sekolah Ramah. Hebatnya, modul ini kemudian diterbitkan menjadi buku pegangan secara nasional oleh Departemen Pendidikan Nasional untuk pengembangan sekolah ramah anak.
Modul ini berisi pedoman pelatihan bagi guru, komite sekolah dan orangtua tentang penerapan sekolah ramah anak di sekolah. Dengan modul yang ada, tim ini menyelenggarakan pelatihan bagi guru, komite sekolah dan orangtua siswa tentang sekolah ramah anak pada 14 sekolah inti dan 40 sekolah imbas di lima gugus di Kabupaten Sikka. Sekolah-sekolah inti dari pengembangan sekolah ramah anak itu adalah SDI Iligetang, SDK Nelle 2, SDK Nogodue, SDK Wolofeo, SDN Gaikiu, SDN Manukako, SDI Ahuwair, SDK Wolometang, SDK Boganatar, SDK Kewapante, SDI Enakter, SDK Feondari, SDK Bola dan SDK Lela I.
Dari hasil monitoring pada 7 sekolah inti (SDI Iligetang, SDK Bola, SDI Nogodue, SDK Kewapante, SDK Nelle2, SDI Ahuwair, dan SDK Lela 1) ditemukan bahwa pihak sekolah telah mulai mengembangkan secara bertahap sekolah ramah anak ini.
Ada sejumlah hal yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengembangkan sekolah ramah anak ini. Di antaranya guru berusaha untuk bertindak tidak lagi sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi menjadi pembimbing kelas atau mata pelajaran. Guru juga mengurangi sebanyak mungkin nada perintah menjadi nada ajakan. Guru berusaha menghindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa dan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi. Guru menjauhkan sikap ingin 'menguasai' siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap tidak dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa. Tidak ada hukuman fisik atau gangguan.
Walaupun pada awalnya terasa sulit, tetapi pengembangan sekolah ramah anak ini membawa beberapa perubahan atau hasil positif. Hal positif itu antara lain peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berkurangnya tindak kekerasan terhadap anak, baik di sekolah maupun lingkungan keluarga, anak menjadi lebih percaya diri. Banyak siswa mulai berani menyampaikan pendapat dan atau pertanyaan di dalam kelas. Siswa juga menyadari dirinya sebagai peserta didik yang mempunyai hak-hak atas pendidikan di sekolah oleh karena kebebasan dan penghargaan yang diberikan sekolah dan orangtua kepada mereka. Siswa juga menjadi lebih percaya terhadap guru, sebaliknya guru menjadi sahabat yang menyenangkan bagi siswa.
Hal positif lainnya adalah menurunnya angka absensi siswa/ bolos sekolah. Siswa senang ke sekolah karena suasana sekolah yang bersahabat dan menyenangkan, menurunnya angka drop out. Suasana belajar juga menjadi menyenangkan atau tidak monoton dan membosankan. Anak juga berani menyatakan pendapat atau sikapnya tentang sesuatu hal dalam kesepakatan kelas, terutama menyangkut hal-hal yang tidak mereka sukai.
Kecuali hal-hal positif, sekolah ramah anak juga memperlihatkan sejumlah hal negatif. Misalnya pola perilaku dan sikap siswa cenderung nakal dan tidak mematuhi aturan yang sudah dibuat serta sering membantah perintah guru oleh karena kebebasan yang diberikan kepada siswa. Selain itu, siswa juga sering bolos sekolah, bahkan tidak ke sekolah berhari-hari. Siswa juga tidak mau membawa alat-tulis menulis ke sekolah dan menjadi malas belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Hal ini berakibat pada menurunnya prestasi dan kelulusan siswa pada setiap tahunnya.
Sekolah ramah anak. Kehadirannya mempunyai dua sisi. Positif, juga negatif. Supaya yang sisi negatif bisa ditekan ke titik nol, butuh sosialisasi secara kontinyu semua stakeholder yang terlibat dalam urusan pendidikan.
Secara prinsip, sekolah ramah anak perlu dihidupkan. Sekolah harus bisa memberikan rasa nyaman kepada peserta didik. Rasa nyaman itu hanya ada ketika rotan tidak dibawa guru ke sekolah. (habis)

Pos Kupang, selasa 30 desember 2008
Read More...

Di Sekolah Banyak Babi, Anjing, Monyet

Oleh Tony Kleden

TERSERAH
mau percaya atau tidak. Nyatanya, toh ada sekolah yang tak punya daftar mata pelajaran baku, tak punya jadwal jam belajar resmi, tak punya kelas-kelas yang dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, tak menyelenggarakan ulangan atau ujian kolektif seperti yang lazim selama ini. Dan juga -- ini yang penting -- muridnya pun bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan bagaimana yang mereka anggap paling tepat dan sesuai untuk diri mereka.
Itulah Universitas Rockefeller di Kota New York. Apakah sekolah ini harus diragukan reputasi dan kualitas lulusannya? Jangan berburuk sangka. Universitas ini bukan sembangan, apalagi 'sekolah papan nama' seperti banyak di daerah ini. Punya reputasi karena statusnya jelas, bukan seperti banyak sekolah di daerah ini yang statusnya cuma terdengar.

Universitas ini adalah sekolah tempat berkumpulnya para pendekar dan jago-jago penemu kelas dunia. Dua lulusannya meraih Hadiah Nobel. Beberapa di antaranya yang punya nama beken misalnya Theodosius Dobzhansky, pengilham kelahiran ilmu rekayasa genetika modern. Juga Rene Dubos, si penyiasat pertama pemakaian antibiotika.
Sekolah-sekolah dengan gaya dan model seperti ini memang terkesan aneh di mata dan telinga publik. Tetapi kehadirannya, hasil lulusannya, sistem dan metode pengajarannya membongkar habis-habisan konsep, pemahaman, atau pandangan kita tentang apa yang sudah dari dulu disebut sebagai sekolah itu.
Sebegitu lama sekolah diterima sebagai tempat guru menjejali para murid dengan tetek bengek ilmu pengetahuan yang belum tentu menarik murid, belum tentu berguna secara praktis untuk hidup. Di sekolah, guru adalah kuasi dewa dan murid adalah 'hamba-hamba' sahaya yang hanya bisa setia mendengar dan mendengar tanpa banyak protes. Di sekolah, guru adalah sosok omnipotens yang mahatahu, dan sebaliknya murid adalah obyek yang tidak banyak tahu.
Akibat paling nyata yang masih begitu kasat mata hingga sejauh ini adalah anak-anak melihat sekolah sebagai 'neraka jahanam' yang menyiksa. Guru adalah sosok yang paling ditakuti. Di desa-desa, kondisi terberi seperti ini masih ada. Kondisi dan kesan tentang sekolah seperti ini juga masih terdapat di banyak sekolah di Kabupaten Sikka. Adalah Aksi Cinta Kehidupan yang ingin menghapus kesan itu. Bekerja sama denganYayasan TIFA Jakarta, Yayasan Aksi Cinta Kehidupan melakukan monitoring di sejumlah sekolah di Kabupaten Sikka.
Hasilnya? "Banyak sekolah belum menjadi sekolah ramah anak," kata Direktur Aksi Cinta Kehidupan, Lambert Dore Purek, kepada Pos Kupang, di Maumere, Senin (15/12/2008) lalu.
Lambert menjelaskan, monitoring itu dilakukan selama bulan Oktober-Desember 2008. Menurut Lambert, sebenarnya program sekolah ramah anak di Kabupaten Sikka telah dijalankan sejak tahun 2004. Program ini muncul atas inisiatif Koalisi Pencegahan Perlakuan Salah Terhadap Anak di Kabupaten Sikka dan Ende yang kemudian mendapat dukungan dari UNICEF, sebuah lembaga PBB yang berkomitmen membantu upaya Pemerintah Indonesia dalam menyukseskan program sekolah ramah anak.
Program ini dilatarbelakangi oleh adanya prototipe terhadap budaya NTT yang identik dengan kekerasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Salah satu cara yang diyakini masyarakat Sikka adalah mendisiplinkan anak melalui cara-cara kekerasan demi kebaikan si anak sendiri.
Kenyataan yang terjadi di sekolah-sekolah dasar di wilayah NTT umumnya dan di Kabupaten Sikka pada khususnya, jelas Lambert, menunjukkan bahwa masih sangat sering siswa diperlakukan secara kasar, entah secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Perlakuan kasar secara fisik, misalnya dipukul, ditendang, dijewer, ditampar, berlutut, diminta untuk membersihkan WC atau mengisi air di bak mandi, mencabut rumput di halaman sekolah. Sedangkan perlakuan kasar melalui kata-kata misalnya dimaki, dimarahi, disebut dengan nama binatang seperti babi, anjing, monyet.
Jika seorang anak terlambat masuk sekolah, ganjaran yang setimpal adalah sebuah tamparan. Atau saat anak tidak berseragam, anak dijewer. Beraneka tindakan kasar selalu saja dipakai oleh guru sebagai metode yang dinilai tepat untuk mendidik siswa di sekolah.
Kelihatannya tindakan pendisiplinan ini membuahkan hasil yang langsung dirasakan oleh anak. Misalnya anak menjadi penurut, tidak nakal lagi, tahu menghormati guru dan sebagainya. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, baik di bidang pengetahuan, khususnya psikologi perkembangan anak, maupun pembaharuan di bidang hukum terutama berkaitan dengan hak anak, maka model pendidikan dengan cara kekerasan perlu ditinjau kembali.
Di sisi lain, program ini juga dilatarbelakangi adanya Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan UU Perlindungan Anak. Dua perangkat aturan ini memandatkan segenap unsur masyarakat, termasuk guru, untuk memenuhi hak anak dan memastikan bahwa anak-anak dihindarkan dari tindakan-tindakan kekerasan. Kalau banyak guru masih memanggil murid dengan babi, anjing, monyet, maka sekolah masih dianggap sebagai neraka oleh murid.
Di tengah menguatnya kesadaran akan harga diri, harkat dan martabat manusia, yang ramah memang bukan hanya lingkungan, tetapi juga sekolah. Sekolah ramah peserta didik. Sekolah ramah anak. Mengapa tidak? (tony kleden/bersambung)


Pos Kupang, senin 29 desember 2008


Read More...

50 Tahun NTT, Memaknai Sejarah

Sabtu, 20 Desember 2008

HARI ini Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) genap 50 tahun usianya. Usia emas. Di mana-mana, usia emas selalu dirayakan secara istimewa.
Usia 50 tahun untuk NTT mestinya menjadi momentum penting dan istimewa. Momentum ini terlalu besar dan istimewa untuk tidak dirayakan. Kita tidak butuh perayaan yang bersifat gegap gempita, serba wah atau juga serba glamour.
Yang kita butuhkan adalah perayaan melihat kembali tapak-tapak perjalanan propinsi ini dalam konteks sejarahnya. Sejarah dalam konteks ini tidak semata sebagai (hi)storia, kisah belaka, tetapi juga dan terutama sejarah sebagai Geschichte.

Sejarah sebagai historia adalah sejarah sebagai kejadian yang pernah ada di masa lampau. Sedangkan sejarah sebagai Geschichte maksudnya sejarah menjadi sesuatu yang hidup dan mempengaruhi kita, sejarah sebagai suatu makna yang bisa ditafsir dalam konteks hari ini.
Momentum 50 tahun NTT mesti juga kita tempati dalam konteks itu. Sebagai historia, 50 tahun adalah waktu panjang bagi NTT menapaki sejarahnya. Sudah tentu dalam rentang waktu itu banyak kisah telah direnda, banyak tonggak telah dipancang.
Telah begitu banyak pihak terlibat dan memberi andil dalam tapak-tapak perjalanan daerah ini. Tercatat sudah delapan gubernur memimpin daerah ini. Masing-masing dengan program unggulannya.
William Johanis Lalamentik tampil sebagai peletak dasar di awal tualang propinsi ini. El Tari menggantikan dan menjadi Bapak Pembangunan NTT. Di masanya, isolasi wilayah dibuka. Ben Mboi melanjutkan tonggak pembangunan yang telah diretas El Tari.
Setelah sepuluh tahun, Ben Mboi digantikan oleh Hendrik Fernandez. Di bawah Fernandez, membangun desa menjadi sebuah gerakan penting. Lima tahun, Herman Musakabe menggantikan Fernandez. Si ahli strategi ini tampil dengan Tujuh Program Strategis. Meski cuma lima tahun, tetapi Musakabe meninggalkan sejumlah aset berharga. GOR Flobamor, Arena Promosi Kerajinan Fatululi, Aula El Tari, memassalnya tenun ikat.
Musakabe digantikan Piet A Tallo. Piet Tallo tampil ketika terjadi perubahan peta politik secara nasional. Di tingkat lokal, Tallo juga mesti mengelola dan menangani arus pengungsi warga Timor Timur. Praktis selama sepuluh tahun di bawah Tallo, NTT lebih banyak berurusan dengan soal dan masalah.
Tahun ini, kendali NTT dipegang Frans Lebu Raya. Banyak harapan dinantikan dari Lebu Raya yang berduet dengan Esthon L Foenay.
Delapan gubernur ini adalah nakhoda yang masing-masing tampil pada masanya. Mereka adalah pelaku sejarah, yang melalui caranya telah menulis sejarah, stori bagi daerah ini.
Tetapi kalau sejarah mesti juga dilihat sebagai Geschichte. Maka ketika sejarah 50 tahun NTT dilihat dalam terang Geschichte, maka sejarah itu harus bisa memberi sesuatu yang bermakna. Dia tidak boleh tinggal diam dalam dokumentasi. Juga tidak boleh selesai dalam memoria.
Sebaliknya dia mesti menjadi terang untuk merefleksi, melihat kembali riwayat sejarah itu sendiri. Entahkah 50 tahun usianya setelah mekar dan lepas dari propinsi induk Sunda Kecil dulu, rakyat daerah ini telah mereguk banyak manfaatnya? Entahkah ikhtiar, harapan dari pemekaran dulu sudah bergaung dan memberi kemalahatan bagi warga daerah ini? Jangan-jangan pemekaran, pelepasan diri dari Sunda Kecil dulu adalah sebuah pemekaran yang gagal?
Kita tidak ingin momentum 50 tahun ini berlalu begitu saja. Kita sadar dan paham, gema gaung momentum 50 tahun ini tidak cukup besar. Sepi-sepi saja. Pemerintah propinsi mencoba menggemakan momentum ini dengan menyelenggarakan pameran makanan tradisional.
Kita pandang baik acara ini. Tetapi rasanya terlalu kecil dan kurang bergema. Mengapa? Karena warga daerah ini tidak diajak melihat diri, mengaca diri, merefleksi diri. Warga daerah ini tidak diajak untuk bertanya diri, sejauh mana dan sekuat apa kesadaran akan jati diri sebagai orang NTT tumbuh dan hidup? Jangan-jangan banyak dari antara kita lupa kalau kita ini orang NTT. Jangan-jangan kita lebih kental dan kuat menyadari diri dalam cermin ke-kita-an kita yang sempit.
Momentum 50 tahun NTT harus kita tempatkan dalam historia sekaligus juga Geschichte. Di antara dua makna ini, kita lebih mampu menghayati momentum emas NTT. Hidup NTT. Jayalah Nusaku. *
Pos Kupang, Sabtu 20 Desember 2008
Read More...

Sekali lagi, Pangan Lokal

Jumat, 28 November 2008

KETIDAKADILAN pangan yang terjadi di muka bumi ini secara sederhana dan jelas telah diungkap dalam bentuk komik pada buku "Food for Beginners" yang ditulis oleh Susan George dan Nigel Paige.
Keduanya menggambarkan secara gamblang betapa keserakahan, kehidupan yang tidak mengenal kata cukup, dan menganggap diri lebih berarti daripada yang lain telah mendorong manusia untuk ingin mendapatkan dan menguasai lebih dan lebih lagi.
Bahkan tidak jarang si kaya, orang-orang atau negara-negara maju yang menguasai lebih banyak pangan itu, justru lebih menghargai harkat binatang daripada harkat seorang manusia miskin.

Ketidakadilan pangan itu dewasa ini semakin terasa. Banyak warga masyarakat kita tidak mampu makan tiga kali sehari. Sudah begitu, makanan yang dikonsumsi juga rendah nilai gizi dan vitaminnya. Akibatnya, kondisi kesehatan warga tidak maju- maju.
Sejak beberapa dekade lalu, di Indonesia ketika revolusi hijau menjadi primadona, beras menjadi mahadewa yang mendapat perhatian begitu besar. Penggunaan bibit unggul, pestisida dan pupuk kimia serta jaringan irigasi dibangun untuk memacu produksi beras.
Hasilnya luar biasa. Tahun 1984, Pemerintah Indonesia mengumumkan sudah berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Sejak itulah, beras menjadi primadona bahan pangan dan meninggalkan bahan pangan lain. Masyarakat kita menjadi begitu dependen pada beras. Pangan direduksi hanya menjadi beras, pertanian diredukdi menjadi sistem sawah yang monokultur. Seterusnya cara pandang masyarakat kita tentang pangan adalah beras.
Adalah tekad duet Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon L Foenay, yang coba melawan arus besar ini. Sejak dilantik medio Juli lalu, duet ini gencar mengkampanyekan pangan lokal.
Ya, pangan lokal untuk menjawab masalah yang sering mendera rakyat NTT. Kultur warga NTT adalah petani lahan kering. Kondisi tanah umumnya di NTT adalah lahan kering, bukan sawah. Hampir semua daerah mengenal bahan pangan lokal yang menjadi ciri khasnya. NTT terkenal dengan megabiodiversitas (keanekaragaman hayati) yang amat tinggi. Lantas, kenapa kita terus didera kelaparan, kurang gizi, gizi buruk, kekurangan pangan?
Itu hanya terjadi karena kita, warga NTT, lupa kekayaan kita, lupa potensi kita sendiri dan selalu berkiblat ke luar, ke daerah lain. Betapa kita sudah sedemikian jauh melihat dan memandang sesuatu yang dari luar selalu lebih baik, lebih tinggi.
Akibatnya, apa yang sebenarnya menjadi kekuatan kita justru kita abaikan. Bumi NTT menghasilkan aneka ragam sumber pangan seperti kacang-kacangan (leguminosae), yang merupakan sumber protein dan jagung serta umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat.
Kita sepakat dan mendukung duet Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay. Kita dukung bahwa saatnya kembali ke diri kita masing-masing, melihat potensi yang ada pada alam kita. Ajakan untuk mengonsumsi pangan lokal kita dukung.
Tetapi, kembali ke pangan lokal tidak bisa hanya sebatas ajakan atau imbauan. Dia mesti diterjemahkan ke dalam agenda kerja pemerintah. Artinya pemerintah mesti mulai berpikir serius dengan merancang program, merumuskan aksi nyata agar rakyat NTT perlahan-lahan kembali ke pangan lokal.
Banyak hal mesti segera dilakukan pemerintah. Jika sejauh ini, kebijakan pertanian justru menjauhkan petani dari potensi lokal, maka pemerintah perlu segera mengubah kebijakan pertanian menjadi pertanian yang ramah petani, ramah lingkungan. Artinya kebijakan pertanian yang digagas adalah pertanian yang mampu membuat para petani betah tinggal di desanya.
Jika selama ini kebijakan pertanian cenderung bersifat seragam, maka pemerintah juga perlu segera mengubahnya. Kebijakan pertanian tidak boleh seragam, melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Apa yang menjadi kebijakan pusat atau propinsi tidak harus menjadi kebijakan kabupaten. Itu artinya, petani di setiap daerah diberi keleluasaan untuk menanam apa yang cocok dengan daerahnya.
Kebijakan pertanian juga harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti, dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan. Rasanya hanya dengan melibatkan petani di desa-desa, harapan kembali ke pangan lokal bisa terwujud. *

Pos Kupang, Kamis 27 November 2008


Read More...

UU Pornografi, Moralitas Pribadi, dan Demokrasi

Selasa, 18 November 2008

Oleh: Otto Gusti Nd Madung

MENJUNGKIRBALIKKAN
nilai-nial! Adagium Friedrich Nietzsche ini mungkin merupakan ungkapan paling tepat untuk melukiskan Undang- Undang Pornografi/Pornoaks i. Undang-undang ini berambisi mengatur kesempurnaan moralitas manusia, yang sesungguhnya mustahil diurus negara, kecuali dalam rezim totaliter.

Ernst Wolfgang Böckenförde, mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Jerman, merumuskan secara tepat esensi sekaligus paradoks yang harus dihadapi negara demokratis modern: "Negara liberal-sekuler mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang tak dapat dijaminnya sendiri."


Paradoksi ini, demikian Böckenförde, harus diterima setiap negara sekuler yang mau meng-hargai dan menyelamatkan kebebasan individu. Sebuah negara demokratis modern hanya mungkin eksis secara legitimasi jika ia mampu menjamin dan melindungi kebebasan setiap warganya. Di satu sisi, kebebasan individu merupakan tujuan dan dasar keberadaan sebuah negara. Akan tetapi, di sisi lain inti dari kebebasan tersebut, yakni suara hati tidak pernah boleh dan tidak dapat diatur menurut norma-norma hukum positif. Sebab ketika negara lewat hukum positif masuk ke dalam ranah privat kebebasan suara hati, ia sesungguhnya telah menjadi totaliter.

Paradoksi yang dikemukakan Böckenförde di atas merupakan jalan yang telah dan tetap dilewati pemikiran dan praktik politik Eropa modern. Jalan ini telah mengantar mereka keluar dari konflik berdarah dan perang antara agama dan kelompok etnis yang, melanda Eropa pada abad ke-17. Hingga kini konsep negara liberal-sekuler tetap mampu menjaga perdamaian umum.

Kebebasan manusia terungkap lewat keputusan otonom dan atas pertimbangan suara hati yang tidak pernah boleh serta tidak dapat diintervensi oleh instansi luar. Kebebasan hanya dapat meregulasi dirinya dari dalam, dari substansi moral setiap individu dan homogenitas sebuah masyarakat. Bahaya totalitarisme mulai mengintip ketika negara, misalnya, lewat hukum positif mau mengatur suara hati dan virtus (keutamaan pribadi) warganya. Di sini, negara berambisi mengatur segala-galanya, termasuk cara berpikir dan moralitas warganya yang seharusnya mustahil dapat dilaksanakannya.

Ambisi negara tersebut menciptakan konflik dan membahayakan perdamaian umum, sebab ia menyangkal adanya pluralitas budaya, agama, tingkah laku, dan kebebasan berpikir dalam sebuah negara modern.

Diskriminatif


Negasi atas kenyataan pluralitas terjadi ketika di negeri ini para legislator di Senayan mau meregulasi urusan libido warga negara lewat penetapan Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i. Tidak perlu heran kalau undang-undang ini akan terus menuai kontroversi dan protes warga, seperti sudah ditunjukkan di beberapa wilayah di Indonesia. Sebab, ia bersifat diskriminatif dan tidak menghargai keanekaan budaya yang hidup di bumi Indonesia.

Separatisme sesungguhnya sudah berada di ambang pintu, sebab ia hanya mengadopsi ajaran dari agama tertentu dan harus ditaati oleh penganut agama atau kelompok budaya lain. Kelompok minoritas akan terus protes karena merasa ditindas dan budayanya tidak dihargai serta didominasi budaya mainstream. Undang-Undang Pornografi tidak hanya menciptakan separatisme dan membahayakan kesatuan bangsa, tapi akan merongrong dan merusak substansi demokrasi itu sendiri, yakni kebebasan individu dan otonomi yang sudah lama kita perjuangkan. Penolakan terhadap UU ini tidak lagi hanya terbatas pada kaum minoritas yang haknya dilecehkan, tapi menjangkau seluruh warga negara Indonesia yang punya komitmen dan mau memperjuangkan keberlangsungan proses demokratisasi.

Undang-Undang Pornografi/Pornoaks i merupakan ungkapan totalitarisme negara dan musuh demokrasi. Maka harus ditolak! Di sini negara menjadi totaliter dengan mengintervensi ke dalam domain privat masalah moralitas pribadi warga negara. Negara demokratis modern, yang menghargai paham hak-hak asasi manusia tidak boleh mengintervensi kehidupan moral warganya sejauh pelanggaran atasnya tidak merugikan kesejahteraan umum. Negara tidak boleh membuat larangan semata-mata atas dasar pertimbangan mau menyempurnakan kerohanian pribadi seseorang. Persolan moralitas hanya menjadi masalah negara jika berhubungan dengan bonum commune atau kesejahteraan umum (Franz Magnis Suseno, 1999).

Sejarah pemikiran politik Eropa mengajarkan kita, apa yang terjadi ketika negara di abad pertengahan ingin mewujudkan tujuan ganda sekaligus, yakni menciptakan perdamaian (pax) dan keutamaan pribadi (virtus). Negara abad pertengahan tidak hanya punya wewenang membuat hukum, tapi juga mendidik dan mewajibkan warganya menjadi saleh dan bermoral. Dengan taat terhadap hukum bukan cuma perdamaian umum dapat dicapai, tapi orang-orang juga dibantu untuk menjadi saleh dan baik secara moral.

Negara dengan monopoli atas kebenaran menjadi totaliter, otoriter, dan intoleran. Konsep negara liberal sekuler ingin keluar dari persoalan ini dengan meninggalkan monopoli atas kebenaran dan membatasi diri pada tugas menjaga perdamaian umum (pax) dan menjamin keadilan lewat hukum positif.

Dengan cara ini, negara menyelamatkan dan menjaga kebebasan dan otonomi individu serta menjamin pluralitas budaya dan agama. Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia, pilihan nilai dan makna menjadi wacana khusus di bawah payung kebebasan beragama dan berpendapat.

Kemunduran

UU Pornografi/Pornoaks i adalah sebuah kemunduran historis dan menampilkan kerancuan cara berpikir. Ia ingin mengawinkan kembali tugas negara, yakni menjamin perdamaian serta kesejahteraan umum dan menjaga kesalehan serta moralitas pribadi warga, seperti pernah dipraktikkan di Eropa pada abad pertengahan. Hal ini tak mungkin dapat diwujudkan dalam sebuah negara modern, karena mengandaikan homogenitas budaya dan tatanan sosial yang monolitis. Sementara itu Indonesia ditandai dengan pluralitas budaya, suku, dan agama.

Persoalan pornografi tidak dapat diatur dengan undang- undang karena ia bersifat sangat subjektif. Hukum positif hanya berurusan dengan hal-hal umum. Absurditas UU ini mencapai kesempurnaannya ketika ia merumuskan definisi pornografi sebagai "materi seksualitas yang dibuat manusia dan dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat".

Undang-Undang Pornografi hanya bisa mencapai tujuannya jika ia mampu mengontrol pikiran, menegasi kebebasan dan membangun sebuah negara panoptikum yang dapat mengontrol semuanya. Totalitas teknologi kekuasaan dan mekanisme kontrol ini hanya mungkin dalam sebuah negara totaliter. Maka, UU Pronografi/Pornoaks i harus kita tolak atas nama demokrasi dan martabat pribadi manusia yang otonom!

* Penulis adalah rohaniwan, staf pengajar pada STFK Ledalero dan pernah mengikuti program doktoral di bidang filsafat sosial pada Hochschule f r Philosophie M nchen, Jerman

"Let nothing disturb you, nothing frighten you, all things are
passing, God is unchanging. Patience gains all; nothing is
lacking to those who have God: God alone is sufficient."

(St.Teresa of Avila)

Suara Pembaruan, 17 Nov 2008

Read More...

Buku Baru: Memetakan Kebebasan

Senin, 17 November 2008

Oleh Paul Budi Kleden

KEBEBASAN
tidak hanya merupakan sebuah tema yang menarik untuk dibicarakan. Dia tampaknya demikian berharga sehingga banyak orang, secara pribadi atau kelompok, berjuang untuk merebut atau mempertahankannya.

Perjuangan untuk memperoleh kebebasan selalu berhadapan dengan kekuatan yang dinilai membelenggu dan menjajah. Dari perspektif penguasa politik yang menjajah, setiap bentuk upaya pembebasan adalah tindakan subversif.

Para penguasa agama tidak jarang menilai ungkapan kebebasan itu sebagai heresi yang harus diperangi. Mereka semua tahu, cara paling efektif untuk melindungi diri dari tindakan subversif adalah memanipulasi proses pemikiran, menyeragamkan cita rasa, dan mengontrol pengartikulasian kehendak dan gagasan. Menguasai manusia berarti mengendalikan dua kapasitas dasarnya, pikiran, dan kehendak.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa indoktrinasi seintensif apa pun ternyata tidak sanggup mendiamkan secara total suara kebebasan, dan kekerasan seekstensif apa pun tidak mampu menutup rapat segala sumber gagasan alternatif. Semuanya itu memang mengondisikan manusia, tetapi tidak berdaya untuk menghentikan dinamika kebebasan. Kalau demikian, di mana tepatnya sumber terdalam kebebasan yang tidak tunduk pada pendiktean penguasa dan tidak tercekik oleh lengan kekuasaan itu?

Berpikir untuk kebebasan

Nikolay Berdiayev, seorang filsuf Rusia abad ke-20, membuat refleksi yang radikal mengenai kebebasan. Radikal, karena dia tidak terutama berbicara metode dan strategi untuk membebaskan diri dari dan menggunakan kebebasan untuk sesuatu atau seseorang. Lebih dari itu, yang direfleksikannya adalah dasar terdalam dan sifat hakiki dari kebebasan. Bagi Berdiayev kebebasan adalah yang pertama dan dasar terakhir dari segala sesuatu, dan karena itu dia bersifat kreatif bagi semua yang memberinya ruang untuk mengungkapkan dirinya dan subversif di mana orang hendak memenjarakannya. Dengan buku Kebebasan Kreatif karya Dr Paul Klein, ditampilkan pemikiran kreatif Berdiayev untuk para pembaca Indonesia. Mungkin ini adalah karya pertama yang secara eksklusif memperkenalkan Berdiayev dalam bahasa Indonesia.


Berdiayev berpikir dan hidup sebagai seorang yang bebas dan kreatif. Hidup dan kerangka berpikirnya bukanlah sebuah dualisme. Apa yang direfleksikan dan ditulisnya dalam sekian banyak buku adalah pengalaman, pengamatan, dan perjuangan pribadinya untuk menjadi bebas dan kreatif. Baginya, filsafat bukanlah sesuatu yang melulu bersifat akademis dan platonis.

Karena eratnya kaitan antara biografi dan sejarah pemikiran ini, sangat tepat bahwa Paul Klein memperkenalkan biografi Berdiayev dalam napas yang sama dengan memperkenalkan beberapa gagasan kunci Berdiayev. Hemat saya, membaca bab pertama buku sudah sangat memberikan inspirasi. Dia berhasil merangkai kehidupan dan argumen filosofis, sebab memang sudah menjadi prinsip Berdiayev, bahwa hidupnya terabdi untuk filsafat. Hidup yang seperti itu diresapi oleh filsafat dan dapat menghadirkan sebuah filsafat.

Negara monster

Pengalaman manusia ditandai oleh apa yang disebut sebagai keterasingan atau pengasingan. Apa yang dirasakan dalam hati dan dipikirkan di kepala ternyata diungkapkan keluar dalam bentuk yang tidak memadai. Eksteriorisasi dan obyektivasi dipakai untuk menyatakan pengasingan ini. Eksteriorisasi adalah proses menampilkan keluar apa yang ada pada kedalaman. Pengungkapan ini menggunakan perangkat yang sudah ada di dalam sejarah dan masyarakat. Dalam kenyataan, apa yang ada di dalam sejarah dan masyarakat telah terkena obyektivasi, yakni belenggu mengobyekkan atau membendakan keberadaan. Oleh sebab itu, apa pun yang kita ungkapkan keluar selalu terjerat dalam obyektivasi. Jelas bahwa obyektivasi bermuara pada ketidakbebasan.

Obyektivasi adalah hilangnya kebebasan, yang dialami pada beberapa tingkatan, yakni pada tataran dunia dan sejarah, pada tataran pribadi dan pada tataran kolektif. Bentuk obyektivasi kolektif yang paling kuat adalah negara. Negara telah menjadi instrumen yang menindas dan mengalienasi manusia. Walaupun sebenarnya merupakan struktur yang paling rendah setelah pribadi dan agama, tetapi karena memiliki aparat yang kuat, negara berhasil menjadikan dirinya sebagai institusi kedaulatan yang berkuasa penuh dan dilegitimasi untuk menuntut kepatuhan mutlak dari para warga. Baginya 'negara adalah yang paling kejam dari segala monster, dan manusia mulai di mana negara berhenti' (hal 109).

Berdiayev pun tidak lupa menyoroti obyektivasi yang terjadi di dalam agama. Figur inkuisitor agung dalam Dua Bersaudara Karamasov karya Dostojewsky, baginya, adalah simbol yang secara tepat melukiskan kiprah Gereja yang telah mengingkari ajaran Yesus. Gereja telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang membelenggu manusia karena lebih memerhatikan hukum dan moral ketimbang pesan pembebasan.

Membebaskan

Sebagaimana pergumulan untuk menjadi pribadi yang bebas dan membangun masyarakat yang bebas selalu merupakan perjuangan panjang yang dipenuhi kegagalan dan keberhasilan, demikian pun bangunan pemikiran Berdiayev tentang kebebasan adalah sebuah konstruksi yang dirancang selama hidupnya, dengan tingkat kejelasan dan kekaburan yang bervariasi. Kebebasan adalah sebuah tantangan yang tidak gampang untuk dihidupi dan tidak mudah untuk dipikirkan. Namun, kita harus memikirkannya, sebab pemikiran adalah satu bentuk pertanggungjawaban.

Salah satu jargon yang sering digunakan Berdiayev adalah 'primat kebebasan'. Manusia tidak boleh dipaksakan untuk apa pun dan dengan alasan apa pun, termasuk oleh dan untuk kebenaran. "Suatu kebenaran yang dipaksakan, atas namanya saya harus melepaskan kebebasan, bukanlah kebenaran melainkan cobaan iblis..." (hal 140). Karena posisinya yang ultim tersebut, maka kebebasan pun dipakai untuk menakar dan menilai segala sesuatu, tidak terkecuali kebenaran. Itu berarti, sesuatu hanya dapat disebut sebagai kebenaran kalau dia membebaskan. "Kebenaran dikenal dalam dan melalui kebebasan" (hal 26).

Kebebasan jugalah yang menjadi takaran untuk menilai kebenaran sebuah agama. Tuhan bukanlah nama lain dari aturan dan hukum, bukan personifikasi dari keharusan dan norma. Tuhan adalah penjamin, pelindung, dan pemenuh kebebasan manusia. Agama yang benar adalah agama yang membebaskan. Untuk mengalami kebebasan seperti ini, Berdiayev yakin bahwa manusia mesti menjadi semakin mistis. Kedalaman mistis ini akan mencegah orang dari kecenderungan membendakan Tuhan dan mengandangkan-Nya dalam kerangka agamanya sendiri. Berdiayev menyebut dirinya sendiri lebih sebagai seorang homo mysticus daripada homo religiosus. Yang dimaksudkannya dengan mistik bukanlah pengalaman yang mengawang dan cenderung subyektivistis. Baginya, seorang mistikus sejati adalah orang 'yang melihat realitas dan membedakannya dari fantasma.'

Kebebasan kreatif

Saat kita memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional, mesti diakui bahwa bangsa ini masih dikuasai oleh kekuatan ekonomi global yang sangat dominan, yang mendikte kebijaksanaan dan keputusan politik pada tingkat nasional. Sementara itu, para politisi kita lebih suka menampilkan diri bukan sebagai pengambil keputusan yang bebas dan bertanggung jawab, melainkan lebih sebagai korban dari berbagai kondisi yang ditetapkan pihak lain. Berbarengan dengan itu, perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara warga masyarakat gampang dijadikan ideologi dan argumentasi untuk merenggangkan solidaritas antarsesama warga. Di tengah kondisi kemiskinan dan keterpurukan harga diri, tampaknya sangat gampang manusia Indonesia diprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan. Kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi tampaknya gampang hanyut dalam arogansi mayoritas atau rasa sakit hati minoritas.

Ketidaktentuan yang dialami pada tahun-tahun ini menjadi sebab bagi sebagian orang untuk kembali mengimpikan tampilnya negara yang kuat dan pemimpin yang berkuasa mutlak. Untuk mencegah apa yang dinilainya sebagai kemunduran akhlak, ada orang yang menghendaki agar negara tampil sebagai regulator yang mengatur sebanyak mungkin persoalan pribadi para warga. Cara berpakaian, gerak-gerik, dan bahan bacaan warga pun hendak diatur dan dikontrol oleh negara. Karena moralitas disejajarkan dengan hukum, maka orang berpikir, kualitas moral akan semakin dijamin oleh kian banyaknya hukum dan paksaan.

Di tengah kondisi seperti ini, kehadiran sebuah buku yang berbicara mengenai kebebasan kreatif, yang menunjukkan secara jelas obyektivasi di dalam negara dan menyebut negara sebagai bentuk alienasi yang paling berbahaya, merupakan sebuah peringatan yang sangat penting. Berdiayev tidak bermaksud menolak negara dan mengeliminasi politik. Dia menunjukkan pentingnya negara sebagai pengatur yang memerhatikan agar kebutuhan-kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Yang diharapkannya adalah negara yang tahu diri, yang dijalankan dalam kesadaran bahwa perannya adalah menjaga dan memerhatikan kebebasan manusia. Berdiayev mengingatkan bahwa negara memiliki sebuah kecenderungan yang sulit diatasi untuk 'menuntut bagi dirinya bukan saja apa yang menjadi hak Cesar, tetapi juga yang menjadi hak Allah' (hal 111). Menghadapi tendensi semacam ini, para warga harus bangkit dan berjuang untuk menata negara yang membela hak dan kebebasan, sebab di sanalah terletak pembenaran eksistensi negara.

Aktualitas tema kebebasan kreatif sebagaimana dipaparkan di atas sebenarnya hanya menunjukkan satu kekurangan di dalam buku ini, bahwa dia sendiri tidak menyampaikan secara eksplisit tempatnya yang tepat di dalam situasi bangsa ini. Tentu saja semuanya itu tidak dapat dibicarakan di dalam satu buku. Namun, akan menjadi sangat menarik apabila sebagian dari konteks ini disinggung.

* Budi Kleden, Teolog, Dosen Teologi pada STFK Ledalero, Flores

Sumber: Kompas, Senin, 17 November 2008

Read More...

Dirancang, Perda HIV/AIDS Kota Kupang

Minggu, 16 November 2008

KUPANG, PK--Peraturan Daerah (Perda) Kota Kupang tentang masalah HIV/AIDS saat ini sedang dirancang. Draf rancangan perda itu kini sudah berada di tangan pihak Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang. Diharapkan draf itu bisa dibahas Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang dan DPRD Kota Kupang untuk ditetapkan.
Hal ini diungkapkan konsultan dan pengamat hukum, Simpleks Asa, S.H, ketika membawakan materi tentang HIV/AIDS Dipandang Dari Sisi Hukum pada acara pelatihan HIV/AIDS bagi komunitas jurnalis Kota Kupang di Ruangan Garuda Kantor Walikota Kupang, Sabtu (15/11/2008) siang.

Simpleks mengatakan, dirinya sebagai konsultan hukum telah diminta pihak KPA Kota Kupang untuk membantu menyusun Draf Rancangan Perda Kota Kupang tentang HIV/AIDS dan draf tersebut kini telah diserahkan ke KPA Kota Kupang.

Menurut Simpleks, undang-undang yang menjadi rujukan atau dasar pembuatan perda tidak ada karena semua undang-undang tidak menyebutkan secara khusus mengenai HIV/AIDS dalam pasal-pasalnya, tetapi tidak berarti pemerintah tidak bisa membuatkan Perda tentang HIV/AIDS. Karena UU tentang Otonomi Daerah memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.

Sekarang ini, kata Simpleks, tidak ada hirarki aturan lagi setelah adanya UU tentang Otonomi Daerah. Kalau dulu, di bawah undang-undang ada peraturan pemerintah, kemudian ada keputusan menteri, ada peraturan menteri, baru di bawahnya ada perda. "Tapi sekarang bisa dibuatkan perda meski peraturan di atasnya tidak mengatur khusus karena pemerintah daerah sudah diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Di banyak tempat di Indonesia sudah ada Perda tentang HIV/ AIDS dan di tingkat Propinsi NTT juga sudah ada perda-nya. Tinggal, bagaimana dengan Kota Kupang ini," kata Simpleks.

Dia menambahkan, untuk masalah HIV/AIDS perlu dibuatkan peraturan daerah (Perda) karena masalah penanggulangan HIV/ AIDS berhubungan dengan masalah perilaku manusia. Dan, menyangkut masalah perilaku manusia ini harus diatur dalam suatu aturan supaya manusia bisa berperilaku secara baik terkait masalah HIV/AIDS.

Selain Simpleks, juga tampil pemateri lain, yakni Redaktur Pelaksana Pos Kupang, Tony Kleden. Tony membawakan materi tentang liputan dan menulis masalah HIV/AIDS. Menurut Tony, dalam menulis berita tentang HIV/AIDS yang perlu ditonjolkan adalah aspek pentingnya, bukan terutama menariknya. Karena itu dia meminta wartawan melawan dogma eksklusivisme dalam menulis berita atau masalah HIV/AIDS.

"Kalau berita lain, Anda perlu eksklusif, tetapi dalam menulis HIV/AIDS tidak perlu. Makin banyak orang tahu tentang HIV/AIDS makin baik. Makin banyak tulisan dan berita tentang HIV/AIDS berarti makin banyak perhatian dan kepedulian terhadap masalah kemanusiaan ini," kata Tony.

Tony juga mengatakan, para wartawan perlu mengusung jurnalisme empati dalam menulis masalah HIV/AIDS. Jurnalisme empati artinya jurnalisme yang menempatkan para korban, para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sebagai subyek, dan bukan sebagai obyek. (mar)

Pos Kupang, senin 17 november 2008
Read More...

Sehati, Sesuara, Setindak Bangun NTT (3)

Sabtu, 01 November 2008


Oleh Tony Kleden

TIGA
jam dialog di Aula Yustinus Atma Jaya Jakarta, Sabtu (11/10/2008) malam, itu menghasilkan banyak sekali masukan, saran, pendapat, usul untuk duet Gubernur-Wakil Gubernur NTT lima tahun ke depan.
Panitia dialog juga menyatakan kegembiraannya karena baru kali ini gubernur dan wakil gubernur hadir bareng menemui warga NTT di tanah rantau. Oleh panitia hasil dialog itu disebut Gagasan Jakarta. Penyerahan Gagasan Jakarta malam itu itu agak hambar karena bersamaan dengan berita duka kematian ayahanda Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya. Meski begitu, duet Frans-Esthon tetap bergairah dan antusias menerimanya sebagai masukan berarti dan berharga.

Banyak sekali gagasan, ide, pemikiran menarik dan kritis yang disampaikan. Ide, pemikiran dan gagasan itu disampaikan secara plastis, langsung, tanpa tedeng aling-aling. Gubernur juga terang- terangan membeberkan kondisi riil yang ada sekarang. Angka- angka yang menunjukkan keberhasilan dan kegagalan dipaparkan. Potensi dan hambatannya ditunjukkan. Banyak yang geleng-geleng kepala melihat betapa daerah ini dalam hampir semua variabel kemajuan lebih buruk dari rata-rata nasional. Tingkat kemiskinan mencapai 27 % dari total 4,4 juta warga. Kepala Keluarga (KK) miskin bahkan lebih tragis lagi, 58 %. Kematian ibu dan anak, gizi buruk, busung lapar, dan sebagainya dan sebagainya, semuanya selalu lebih jelek dibanding rata-rata nasional.
Memilukan. "Tetapi ini hanya bisa kita atasi kalau ada solidaritas di antara semua kita, warga NTT, baik yang di NTT maupun yang ada di tanah rantau. Kalau Institut Leimena, Jakarta ingin menyumbangkan sesuatu untuk NTT, mudah- mudahan warga NTT di rantau juga bisa ikut menyumbang untuk membangun NTT," pinta Gubernur Lebu Raya.
Para narasumber yang diminta berbicara juga berbicara tanpa beban. Tidak sembunyi-sembunyi. Omong lurus. Gaya khas orang NTT. Dr. Daniel Dhakidae tajam dan kritis. Aloysius Kiik Ro buka-bukaan. Agus Toepoe santai tapi menusuk.
Ben Mboi ketika didaulat untuk berbicara, lebih banyak mengritik program-program, terutama program jagung yang digagas. Jagung, menurut Ben Mboi, tidak tepat mengingat hujan semakin tidak tentu akibat perubahan iklim global. Ben Mboi juga meminta duet Lebu Raya-Esthon lebih realistis dan tidak membuat perencanaan yang muluk-muluk.
Di era otnomi daerah sekarang, Ben Mboi minta gubernur-wakil gubernur selalu membangun koordinasi dengan para bupati/walikota sebab wewenang eksekutif di propinsi dibatasi oleh UU Otonomi.
Kritikan pedas, tajam, menukik, sarkastis dengan gaya penyampaian berapi-api ala NTT sejatinya adalah bukti tanggung jawab warga NTT terhadap daerahnya. Semuanya adalah tanda nyata kecintaan warga NTT di mana pun agar Nusa Flobamora segera bangkit dan jangan cuma bisa terkenang karena serba kekurangan. Ruangan yang penuh adalah bukti kecintaan itu. Mereka gerah melihat kondisi NTT hari ini. Mereka geram karena dana begitu banyak digelontorkan, sudah delapan gubernur memegang kemudi, toh biduk NTT belum kunjung merapat di dermaga impian.

Kecintaan itu juga ditunjukkan lagi warga Jakarta dan sekitarnya pada hari Minggu (12/10/2008) pagi, ketika bersama-sama menghadiri misa syukuran di Gereja Paroki St. Tomas, Kelapa Dua, Depok. Perayaan ekaristi inkulturatif khas NTT di markas brimob itu dipadati ratusan warga NTT. Kain sarung khas NTT dari beragam etnis terlihat di dalam gereja. Tarian-tarian daerah NTT diragakan. Semuanya menyatu dalam satu nafas, nafas NTT. Harmoni dalam satu warna, warna NTT.
Misa dipimpin Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr dengan pengkotbah, Pater Alex Lanus, OFM. Dengan iringan lagu-lagu khas daerah NTT, terasa seperti sedang mengikuti misa di NTT.
Dari gereja, acara pindah ruangan di sebelahnya, ke aula paroki. Tidak formal. Semua yang hadir lebih banyak berdiri. Meja bundar cuma beberapa, khusus untuk rombongan wakil gubernur. Selebihnya berdiri, pesta gaya Jakarta.
Acara dimulai. Seperti biasa, sambutan-sambutan. Pastor paroki, Uskup Agung Ende dan wakil gubernur berbicara. Semuanya sama, satu nada. Mengasah solidaritas, menajamkan kebanggaan sebagai orang NTT. Dengan keragaman budaya dan etnis, kata Uskup Sensi, NTT harus bisa dibangun dengan nilai-nilai khas NTT. Tidak perlu latah meniru gaya lain, budaya lain. Orang NTT, kata Uskup Sensi, harus bangga menyatakan jatidirinya sebagai orang NTT.
Semua warga NTT mesti bangga menjadi orang NTT. Dari kebanggaan itu akan lahir kecintaan. Dari kecintaan itu akan muncul tanggung jawab. "Jangan terlalu NTT menjadi nasib tidak tentu atau nanti tuhan tolong," kata Uskup Sensi.
Harapan yang sama juga disampaikan Wakil Gubernur, Esthon Foenay. Foenay membeberkan aneka program yang akan dilakukan lima tahun ke depan. Kepada seluruh warga NTT, Foenay mengajak untuk bersatu, mengasa solidaritas membangun NTT. Perbedaan-perbedaan budaya, etnis jangan menghambat solidaritas untuk membangun dan membuat nasib propinsi ini tambah sulit. "NTT sudah sulit. Jangan lagi mempersulit kekerabatan di antara kita," kata Foenay.
Tahun ini NTT berusia emas. WJ Lalamentik meletakkan dasar- dasar pemerintahan pada awal tualang propinsi ini. Mottonya yang sangat terkenal berbunyi, "Semua kesulitan itu ada untuk dipecahkan." El Tari dikenang dengan programnya, "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam". Ben Mboi terkenal dengan operasi nusa hijau (ONH) dan operasi nusa makmur (ONM). Hendrik Fernandez tampil dengan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) dan Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar). Herman Musakabe meracik program strategis bernama Tujuh Program Strategis Membangun NTT. Piet A Tallo mengajak masyarakat membangun dari apa yang ada melalui program Tiga Batu Tungku.
Pasti semuanya dirancang, dikemas dengan satu harapan, yakni NTT 'lepas landas' dari aneka kesulitan dan serba kekurangan. Kita butuh semangat bersama, kesatuan yang kuat tidak cuma sehati sesuara, tetapi juga sehati, sesuara dan setindak membangun NTT.
Tak terasa sudah tiga bulan duet Lebu Raya-Esthon Foenay dilantik. Sudah lebih 100 hari pasangan ini memegang kemudi NTT untuk lima tahun tahun ke depan. Akankah semuanya berjalan mengalir begitu saja? (habis)

Pos Kupang, 1 November 2008
Read More...

Tau Ko Sonde, Beta di Oepura... (2)


Oleh Tony Kleden


HARI Sabtu, 11 Oktober 2008. Sudah lepas tengah hari. Lewat sejam lebih warga NTT telah merapat ke kampus Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Mereka datang dari berbagai sudut Jakarta dan sekitarnya. Panitia mesti membatasi undangan. Khawatir tak tertampung.
Tetapi Aula Yustinus di lantai lantai 14 Universitas Atma Jaya di Jalan Sudirman yang padat kendaraan di senja hari itu tetap saja sesak. Pengunjung meluber. Banyak yang terpaksa berdiri di luar karena tak kebagian kursi. Mereka rela berdiri. Ingin mendengar langsung seperti apa duet Gubernur Frans Lebu Raya-Esthon Foenay melayari biduk NTT menuju tepian impian.

Tokoh-tokoh NTT hadir. Di kursi deretan depan duduk antara lain Dr. Jan Riberu, mantan anggota DPR RI. Persis di sebelah kanannya duduk berdampingan dr. Ben Mboi dan Ibu Nafsiah, mantan Gubernur NTT. Di sebelah kanan pasangan ini duduk Cypri Aoer. Terlihat juga Agus Toepoe, Blasius Bapa, Dr. Daniel Dhakidae, Drs. Frans Meak Parera, Dr. Aloysius Madja, Cypri Aoer, Zainal Nampira.
Yang muda-muda dan lagi menanjak di lingkungan kerja masing- masing juga banyak yang hadir. Ada Pieter Gero dari Kompas, Dr. Ignatius Iryanto, Dr. Aloysius Kiik Ro Direktur PT Danareksa. Dari Atma Jaya lebih banyak lagi yang hadir. Ada Wakil Rektor III, Drs. Yohanes Temaluru, M.Psi, Dr. Mikael Dua, Dr. Andre Ata Ujan.
Semuanya antusias. Semangat empat lima. Ingin mendengar suara gubernur dan wakil gubernur. Selain ingin mendengar langsung, acara itu juga dihelat untuk memberikan 'oleh-oleh' berupa gagasan dan harapan warga NTT di Jakarta kepada duet pemimpin yang telah dilantik tiga bulan itu.
Masukan itu dirancang dalam dua babakan pemaparan berupa sumbang saran dan tanggapan dari beberapa narasumber. Di bidang pendidikan tampil Dr. Daniel Dhakidae dan Drs. Frans Meak Parera. Bidang kesehatan tampil dr. Eddy Lamanepa, MPH dan Zainal Nampira. Bidang ekonomi Drs. Agus Toepoe, MM, Dr. Aloysius Kiik Ro dan Dr. Aloysius Madja. 'Manggung bareng' ini dimoderatori Dr. Mikael Dua dan Dr. Andre Ata Udjan.
Suasana tidak formal. Santai dan cair. Gubernur memaparkan rencana kerja lima tahun ke depan. Agenda-agenda besar dibeberkan. Dari pendidikan hingga pertanian. Dari kesehatan sampai ekonomi.
Selepas gubernur, kesempatan pertama diberikan kepada Dr. Aloyius Kiik Ro, Direktur PT Danareksa (Persero). Semua terkesima ketika mendengar gambaran situasi ekonomi yang disampaikan Kiik. Gambaran ekonomi NTT, peluang ekonomi yang mesti dibangun di NTT dibeberkan Kiik dengan baik.
Terkait dengan pembangunan di NTT, ada dua hal menarik yang dicatatnya. Pertama PD Flobamor. Perusahaan milik Pemda NTT ini dikritiknya karena tidak banyak membawa manfaat. Mengapa? "Business of goverment is to goverment," kritiknya. Tajam tetapi sangat menusuk. Artinya, pemerintah tidak bisa menjalankan usaha bisnis. "Bisnis adalah privasi," kata Kiik, pria asal Timor Tengah Utara ini.
Hal kedua, soal website. Kiik punya kisah. Sekali waktu di tahun ini, Kiik berbicara dalam sebuah seminar terhormat. Dia ingin menggambarkan peta dan potensi ekonomi NTT. Maka, masuklah dia ke website Pemda NTT. "Saya buka alamat itu. Masuk. Tetapi apa yang saya dapat? Data-data dan tampilan di website itu terakhir di-update 5 Januari 2004," kata Kiik. Seisi ruangan itu pun 'picah ketawa.'
Cerita Kiik belum titik. Dia kemudian menghubungi dua nomor kontak person yang tertera di website itu. Nomor pertama tidak diangkat. Nomor kedua diangkat. Di balik sana, terdengar suara seorang ibu. Kiik menjelaskan identitasnya dan apa yang ingin dicarinya. Apa jawabannya? "Lu nih... Lu tau ko sonde, beta lagi di Oepura...." Geerrrr... Aula Yustinus Atma Jaya di rembang petang itu seolah runtuh. Tertawa meledak. Astaga.
Kisah nyata ini lucu. Sangat lucu. Tetapi kelucuan itu sekaligus mencerminkan sebuah kekonyolan. Sudah empat tahun sebuah website -- yang biasanya di-update setiap menit -- tidak di- update. Entahlah ada anggaran rutin bulanan untuk operasional yang berarti juga di-update setiap saat.
Teringat keberadaan dan kiprah instansi semisal Balai Diklat, Dinas Infokom, Biro Humas, Badan Perpustakaan Negara, Penelitian dan Pengembangan kalau urusan meng-update informasi, memasukkan data-data di sebuah website sederhana saja tidak jalan-jalan. Jika seperti itu, bagaimana orang luar mau mengetahui dan mengikuti perkembangan NTT?
Kritikan dan saran juga dialamatkan kepada mental para PNS di NTT. Para 'abdi negara' ini lebih cenderung menampilkan diri sebagai 'abdi dalem' yang memposisikan diri sebagai tuan. "Di NTT yang kaya itu kan nomor satu PNS, nomor dua pedagang, nomor tiga yang orangtuanya di Jawa," kata Agus Toepoe.
Agus juga menyebut korupsi di kalangan PNS sebagai kebiasaan yang sudah dilumrahkan. "Kalau PNS mentalnya seperti ini, NTT tidak akan maju-maju. Saya minta bapak gubernur atasi masalah korupsi di NTT," pinta Agus Toepoe.
Di sektor pendidikan, Dr. Daniel Dhakidae menganjurkan agar Pemda NTT membangun sekolah dasar (SD) yang hebat dan bermutu. Anjuran ini sudah tentu datang dari keprihatinan betapa lulusan NTT dari tahun ke tahun selalu jeblok. "SD harus dibikin jadi yang terbaik. Pemerintah tidak perlu urus unversitas. Universitas itu tanggung jawab swasta," kata Daniel.
Mantan Kepala Litbang Harian Kompas ini mendasarkan pemikirannya pada asumsi bahwa jika pendidikan dasar tidak kuat, maka level pendidikan di atasnya akan mudah sekali rapuh.
Sementara Drs. Frans Meak Parera menganjurkan pemerintah berani membangun pusat kurikulum di NTT. Frans sangat gusar melihat wajah dan terutama mutu pendidikan di NTT saat ini. "Dulu sekolah-sekolah di NTT sangat bermutu dan terkenal. Sekarang tidak ada apa-apa lagi. Karena itu saya anjurkan agar dibangun pusat kurikulum di NTT. Ketika di Hokeng (Flores Timur), saya dengar banyak sekali dana Silpa, dana yang tidak bisa diserap dan harus dikembalikan ke pusat. Pakai saja dana itu untuk memperbaiki mutu pendidikan di NTT," kata Frans.
Frans juga menganjurkan agar pemerintah mesti segera membangun perpustakaan-perpustakaan dan menyiapkan buku- buku bacaan bermutu untuk menyelamatkan wajah pendidikan NTT yang terus dirundung durja.
Website yang out of date, kritikan terhadap etos PNS, harapan memperkuat SD dan membangun perpustakaan adalah hal-hal kecil dan terkesan sepele. Tetapi serpihan-serpihan kecil dan sederhana bisa mengukir sebuah prestasi besar dan luar biasa. (bersambung)

Pos Kupang 31 Oktober 2008
Read More...

Mereka Tanya Hal yang Sederhana (1)


Oleh Tony Kleden

SUDAH
bukan hal baru dan mengejutkan manakala mendengar dan membaca kritikan bernada minor tentang NTT. Miskin, melarat, busung lapar, gizi buruk, sangar-sangar adalah sederetan stigma yang paling menyakitkan di telinga.
Nama propinsi ratusan pulau nan indah ini pun diplesetkan aneh- aneh. Nasib Tidak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, Nasib Tergantung Tindakan. Di musim kemarau, saat Kota Kupang ramai dengan aksi bakar-membakar dan menyisahkan batu-batu cadas, NTT diplesetkan lagi menjadi Nona Tidur Telanjang.

Rada lucu dan menjengkelkan mendengar plesetan seperti itu. Galibnya, plesetan itu cuma melemahkan spirit, mematikan semangat dan memasung daya kreasi.
Niat menghilangkan aneka stigma seperti itulah yang mendorong Gubernur-Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon L Foenay, M.Si, membuang langkah ke Jakarta, Jumat- Sabtu (10-11/2008) lalu. Hari Jumat (10/10/2008) malam di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Gubernur Lebu Raya bertemu dengan sejumlah pengusaha yang dihimpun Institut Leimena, Jakarta. Dari Institut Leimena hadir antara lain Jakob Tobing dan beberapa pengurus.
Akrab suasana malam itu. Meja-meja bundar terisi penuh. Sekitar 30-an orang hadir. Lebih banyak dari Jakarta. Mereka adalah para pengusaha dengan feeling bisnis tajam. Mereka mewakili grup-grup bisnis yang punya nama beken di negara ini. Dari Grup Ciputra hadir Cakra Ciputra, putra Ciputra. Edwin Suryajaya dari Grup Suryajaya. Albert Salim dari Salim Grup dan beberapa yang lain.
Di hadapan para pengusaha itu Gubernur Lebu Raya membeberkan kondisi NTT, memetakan potensi-potensi yang ada dan menunjukkan peluang-peluang bisnis yang bisa ditangkap.
Menurut Gubernur Lebu Raya, sudah terlalu lama NTT dikesankan sebagai daerah yang serba kurang. Kurang ini, kurang itu. Lemah ini, lemah itu. Kesan yang kemudian berubah menjadi mitos adalah miskin. NTT terlanjur identik dengan kemiskinan. "Saya sudah minta kepada warga NTT agar stigma miskin itu dihentikan. Tidak boleh lagi omong NTT miskin. Sebab stigma itu tidak ada nilai positifnya, cuma melemahkan semangat untuk bangkit, untuk bangun. NTT masih banyak potensi yang butuh sentuhan, butuh perhatian," kata Gubernur Lebu Raya.
Di laut NTT kaya raya. Ikan, teripang, rumput laut, mutiara. Apalagi sepertiga luas NTT adalah lautan. Anehnya, kata gubernur, melaut belum terlalu mentradisi di NTT. Warga asli NTT yang turun ke laut cuma segelintir nelayan di Flores Timur, Lembata, Rote, Ende. Selebihnya datang dari Bugis, Makassar, Buton, Kendari dan menetap di NTT. Mereka ini yang lebih bernyali membelah ombak di perairan NTT hingga menjadi kaya raya. "Banyak orang NTT biar tinggal di pinggir pantai, tetapi membelakangi laut," kata gubernur.
Di darat NTT kaya mineral. Emas, barit, mangaan, semen, panas bumi. Apa yang tidak ada di NTT? "Nah, karena itu pertemuan malam ini sangat berarti. Saya ajak semua kita dalam ruangan ini mari bantu NTT, mari bersama-sama bangun NTT. Pemerintah siap membantu, siap memperlancar segala urusan. Ciputra bangun hotel di mana-mana, saya tunggu Hotel Ciputra di NTT," tantang Gubernur Lebu Raya.
Selepas gubernur membeberkan kondisi NTT berikut potensi yang laik garap, sejumlah pertanyaan terlontar dari kalangan pengusaha Jakarta. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sederhana saja. Apakah di NTT ada pelabuhan peti kemas? Bagaimana kondisi jalan raya menuju pelabuhan? Ada hotel yang baik dan representatif? Bagaimana jalur teleponnya? Itulah beberapa pertanyaan yang diajukan dalam pertemuan itu.
Sederhana? Mungkin ya. Tetapi untuk pengusaha, fasilitas seperti ini adalah vital. Vital karena akan sangat menentukan maju mundurnya suatu aktivitas industri. Mimpi kita umumnya di langit ketuju. Konsentrasi kita adalah bangunan-bangunan besar, proyek-proek mercusuar. Kita lupa yang kecil-kecil, yang sederhana-sederhana, tetapi vital. Sekali lagi vital.
Terkenang Kawasan Industri (KI) Bolok dengan seorang 'manejer' beberapa tahun lalu. Teringat Kapet Mbay, nun beberapa dekade lampau. Terbayang pabrik Semen Kupang hari- hari ini. Terusik dengan Perusahaan Daerah Flobamor yang lebih banyak didonor dana dari APBD, tanpa banyak mendonor.
Seberapa berhasil aset-aset ini memberi maslahat untuk warga NTT? Cerobong pabrik Semen Kupang mengepul sejak masa Ben Mboi. Kapet Mbay sejak Herman Musakabe. KI Bolok sejak Piet A Tallo. Tetapi situasi dan kondisi tidak membaik. Aset-aset ini lebih banyak hanya punya nama besar, ketimbang manfaatnya.
Maka ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan substansial dari para pengusaha Jakarta, rasanya NTT masih sangat jauh dari bayangan para pemodal di negeri ini. Propinsi yang telah menyumbang begitu banyak tokoh intelektual buat negeri ini, mengirim begitu banyak rohaniwan ke begitu banyak negara di dunia terkesan masih begitu tertinggal dan sama sekali tidak masuk agenda ekspansi usaha para pemodal.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Gubernur Lebu Raya menjelaskan, fasilitas pendukung sebetulnya tidak terlalu jelek. NTT tidak terlalu jeleklah seperti yang didengar. Apa yang dibayangkan selama ini sebagai kurang, tidak semuanya benar. "Kita di NTT punya satu kawasan industri yang kita sebut Kawasan Industri Bolok. Kawasan ini dekat dengan pelabuhan. Pelabuhan ini juga bisa untuk pelabuhan peti kemas. Kondisinya cukup bagus. Ada hotel berbintang dengan fasilitas standar," kata Gubernur Lebu Raya meyakinkan para pengusaha itu.
Gubernur Lebu Raya memahami kegundahan, keraguan dan kecemasan para pengusaha itu menanam modalnya di NTT. Karena itu berkali-kali gubernur meminta perhatian lebih para pengusaha Jakarta untuk berani menanam modalnya di NTT. Investasi, kata gubernur kepada para pengusaha itu, ada untung dan ruginya. "Mungkin ada kerugian dari sisi bisnis, tetapi juga ada untung secara sosial. Karena itu saya mengajak siapa saja yang berkemauan baik untuk tolong bangun NTT ke depan. Berikan perhatian lebih untuk NTT," ajak Gubernur Lebu Raya.
Ruangan Restoran Pulau Dua, Jakarta malam itu aram-temaram. Ikan bakar, minuman ringan, buah-buahan sudah lenyap separuh. Berpindah tempat, dari meja ke perut. Tetapi pertemuan malam itu tidak boleh berhenti di situ. Harapan tetap perlu dilambungkan. "Malam ini kita sudah berkumpul. Ini langkah awal, dan harus ada follow up-nya. Pertemuan malam ini tidak boleh sampai di sini saja. Saya tunggu di Kupang," kata Gubernur Lebu Raya. (bersambung)

Pos Kupang, Kamis 30 Oktober 2008
Read More...

AIDS di Flores Timur, Surga dan Dunia Bertemu

Senin, 27 Oktober 2008

Oleh Tony Kleden


CUACA
di salah satu ruangan Rumah Retret Susteran PRR Weri, Kamis (18/9/2008) lalu, sangat gerah. Meski di ketinggian, di tengah rimbunan jambu mete, jambu air dan kelapa, semua peserta tak kuasa menahan gerah. Panas luar biasa. Keringat bercucuran. Kipas angin tidak cukup. Dengan apa yang bisa dipakai, para peserta sibuk mengipas-ngipas badan.
Tetapi cuaca yang gerah itu tak ada bandingannya dengan hati yang gerah melihat data-data hasil survai yang dilakukan oleh PKBI NTT dan WVI Larantuka terkait dengan perilaku berisiko terhadap HIV-AIDS.


Beberapa dekade lalu, wajah Larantuka masih asli. Sekarang? Sudah banyak berubah. Sepuluh tahun lalu, Kota Larantuka relatif masih bersih dari urusan syawat liar. Kota Reinha masih menampakkan ciri dan citranya sebagai sebuah kota dengan tradisi Katolik yang kental.
Tak dinyana, dalam rentang waktu sepuluh tahun, seks telah tumbuh menjadi industri, meski tetap liar juga karena tidak diatur dalam sebuah perangkat aturan semacam peraturan daerah (Perda). Teringat kisah, beberapa tahun lalu petugas pemerintah di Kota Larantuka terbiasa main petak umpet dengan para pekerja seks. Kejar sana kejar sini. Tangkap sana tangkap sini. Usir sana usir sini.
Ketika seks menjadi salah satu segmen industri, dia tampil apik dan elegan. Jika sebelumnya urusan syawat bersifat jalanan, maka sekarang dia sudah mendapat kemasan menarik. Sudah punya merk dagang. Dia tidak lagi 'dipajang' di pinggir-pinggir jalan, tetapi sudah masuk ke kamar-kamar losmen. Transaksinya tidak lagi di tempat gelap, tetapi sudah di meja-meja pub dan karaoke. Konsumennya juga multisegmen. Dari anak-anak hingga orangtua. Dari pegawai kantoran hingga para nelayan.
Survai terhadap para remaja mengungkapkan bahwa 33,5 persen remaja yang sedang pacaran pernah melakukan hubungan seks. Yang mengejutkan, ada juga remaja yang berhubungan seks tidak cuma dengan teman atau pacarnya, tetapi juga pekerja seks. Perilaku seperti ini tentu saja berisiko. Tetapi yang jadi soal bukan cuma risiko itu sendiri, tetapi juga dan terutama rendahnya kapasitas pengetahuan remaja terhadap kesehatan reproduksi. Artinya, kebanyakan mereka sama sekali belum tahu apa dampaknya ketika berhubungan seks dengan seorang pekerja seks.
Posisi remaja perempuan justru lebih berisiko lagi. Remaja perempuan menghadapi dua ancaman sekaligus ketika memutuskan untuk melakukan hubungan seks saat dimabuk kasmaran dengan pacar. Risiko reproduksi seperti kehamilan sudah pasti bisa diperhitungkan. Namun hal yang sangat tidak terduga adalah risiko infeksi IMS dan bahkan HIV ketika pasangan seksual remaja puteri sesungguhnya berperilaku seks berisiko karena mempunyai pasangan seks lainnya yang adalah pekerja seks.
Survai itu juga memperlihatkan bahwa remaja di daerah pedesaan saat ini berada dalam sebuah situasi perilaku berisiko terhadap IMS dan HIV-AIDS. Kondisi ini akan semakin memburuk ketika tidak ada upaya intervensi program yang bisa meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran sehingga berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Pada tataran ini konsep pengembangan program remaja menjadi penting, dibutuhkan dan perlu didesain dengan mempertimbangkan karakteristik remaja.
Hal menarik dan mengejutkan lainnya dari survai itu adalah toleran dan permisifnya para pekerja tempat hiburan malam (PTHM) terhadap para tamu laki-laki. Menurut survai itu, bukan hal yang luar biasa kalau para para PTHM itu melayani para tamu untuk kebutuhan 'luar-dalam'. Kebutuhan luar menyangkut dunia. Yang dalam menyangkut surga. Di mana para PTHM malam itu melayani tamu? "Kami bisa melayani mereka di halaman-halaman dengan mematikan lampu," tutur John D Mangu menirukan jawaban para PTHM. Surga dan dunia menyatu di Kota Reinha.
Nah, apa yang harus dilakukan? Dalam workshop semua peserta terperangah dan prihatin. "Tetapi kita tidak bisa berhenti di sini. Ke depan, pemerintah mesti melakukan sesuatu yang berguna. SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terkait dengan HIV-AIDS silahkan mengajukan dana untuk sosialisasi," kata Wabup Flotim, Yosni Herin, ketika membuka workshop itu.
Kata kuncinya, cuma satu. Hadapi bersama. Maka yang dibutuhkan adalah intervensi secara terpadu stakeholder yang terlibat dalam urusan kemanusiaan ini. John Mangu dan Adi Lamury juga menegaskan pentingnya intervensi itu. "Dari wawancara kami, para responden meminta perlu sebuah intervensi pemberdayaan, pengetahuan dan keterampilan berperilaku secara aman, sehat dan bertanggung jawab. Isu HIV-AIDS sesungguhnya ada di permukaan masalah yang muncul karena tidak adanya basik pengetahuan pada remaja mengenai kesehatan reproduksi, kesehatan seksual, pendidikan budi pekerti, keterampilan menghargai tubuh sendiri dan orang lain, mental kepribadian dan berbagai aspek sosial budaya lainnya yang tidak secara sistematis diinternalisir kedalam proses tumbuh kembang remaja," kata John Mangu.
Itu saja kuncinya. Jika Pemkab Flotim di bawah duet Drs. Simon Hayon-Yosni Herin, S.Sos, mematok pembangunan sumber daya manusia sebagai fokus utama, niscaya HIV-AIDS tidak lagi sekadar isu, tetapi mesti dilihat sebagai masalah. Setuju? (habis)

Pos Kupang Jumat 24 Oktober 2008
Read More...

AIDS di Larantuka, Masuk 'Jalur Merah'

Oleh Tony Kleden

"SAYA
menganjurkan agar di Larantuka ada lokalisasi (pekerja seks)." Anjuran itu datang dari Frans Laja, salah seorang peserta workshop Rapid Assesment and Respons Terhadap Penularan HIV/AIDS di Rumah Retret Susteran PRR, Weri, Larantuka, Kamis (18/9/2008) lalu. Frans bukan sembarang peserta. Dia adalah pegiat LSM yang sudah lama berurusan dengan masalah HIV-AIDS. Karena itu, pastilah Frans dengan penuh kesadaran dan penuh pemahaman menyampaikan anjurannya.
Semua peserta terpana. Diam. Ada yang bahkan tergagap. Tak pernah menyangka akan datang anjuran seperti itu. Tak menyangka karena membayangkan reaksi besar warga Larantuka dan sekitarnya. Membangun lokalisasi di Kota Reinha? Gila!


Sebagai moderator, saya menangkap kegundahan para peserta itu. Saya membayangkan resistensi yang begitu hebat dari warga Larantuka. Saya teringat, sejauh ini PKBI NTT belum berani menempatkan ATM kondom di lokalisasi Karang Dempel (KD) Tenau, Kupang. Padahal, mesin itu sudah diresmikan penggunaannya tahun lalu oleh Gubernur NTT (ketika itu) Piet Tallo. Kepada para peserta saya juga menuturkan, ketika Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe, baru melontarkan wacana untuk membangun rumah bordir di Kota Kupang, beragam reaksi muncul.
"Taruhan, warga Larantuka akan mati-matian menolak jika hendak dibangun lokalisasi di Larantuka. Kenapa? Kota ini adalah Serambi Vatikan. Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi seperti saat ini, dalam waktu sekejap seluruh dunia akan heboh manakala mendengar di Larantuka telah ada lokalisasi. Dari Larantuka ke Kupang. Dari Kupang ke Jakarta. Dari Jakarta entah ke mana lagi. Dan seterusnya dan seterusnya hingga sampai juga ke Kota Suci, Roma," saya coba memecahkan kebekuan.
Mungkin ide gila membangun sebuah lokalisasi di Kota Reinha. Tetapi ketika Frans mengajukan pendapatnya dengan penuh kesadaran, sudah tentu dia sudah melihat lebih jauh, telah menimbang untung ruginya apa yang bakal terjadi jika ada lokalisasi dan apa yang juga bakal datang jika tidak ada lokalisasi di Kota Reinha.
Hari itu, kepada para peserta dibeberkan hasil survai yang dilakukan atas kerja sama antara Wahana Visi Indonesia (WVI) ADP Larantuka dengan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Daerah NTT tentang perilaku berisiko terhadap bahaya HIV-AIDS. Survai itu dilakukan selama 14 hari di 12 desa binaan WVI Larantuka. Meski belum bisa dikatakan hasil itu menjelaskan seluruhnya tentang kondisi Flores Timur, tetapi survai itu kurang lebih telah mengungkap apa yang selama ini tak pernah terbayangkan. Banyak hal dan fakta terkuak ke permukaan.
Frans Laja, pria asal Manggarai yang meniti hidup di Tanah Nagi, mungkin gila. Tetapi Tanah Nagi butuh orang gila dengan ide-ide yang juga gila. Soalnya, hal ihwal tentang HIV-AIDS terkesan masih begitu baru di Flotim. Pemerintah belum menunjukkan perhatian serius, terutama dalam hal kebijakan anggaran. Tak ayal, Wakil Bupati Flotim, Yosni Herin, sering-sering mesti mencopot dana dari pos anggaran wakil bupati manakala turun ke desa melakukan sosialisasi.
Kalangan Dewan yang palu godamnya begitu berkuasa dalam mengatur alokasi dana juga sama jo. Workshop itu mestinya juga dihadiri kalangan Dewan. Undangan sudah disebar. Apesnya, yang datang cuma salah seorang wakil ketua. Itu pun hanya pada acara seremoni pembukaan. Padahal, kehadiran anggota DPRD sangat penting untuk memikirkan agenda yang berdampak begitu luas ini.
John D Mangu dan Adi Lamury dari PKBI NTT dalam pemaparan hasil survai itu menjelaskan panjang lebar tentang bahaya HIV-AIDS yang tidak lagi jauh, tetapi sudah datang. Untuk angka kasus HIV-AIDS, Flotim masih di bawah Kota Kupang, Kabupaten Belu dan Sikka. 'Baru' tiga belas menurut data resmi yang dikeluarkan KPAD Flotim. Tetapi Wakil Bupati Flotim, Yosni Herin, berani menyebut angka 26 pengidap.
Angka 13 dan 26 tentu berbeda. Tetapi angka ini menegaskan satu hal yang sama, yakni bahwa Flores Timur tidak lagi aman terhadap HIV-AIDS. Masalah HIV-AIDS tidak lagi masalah kecil dan karena itu luput dari perhatian. Dari pemaparan John Mangu dan Adi Lamury tertangkap kondisi tidak aman itu. Keduanya menjelaskan bagaimana rotasi para pekerja seks itu hingga tiba di Larantuka. Ada dua jalur masuk ke Larantuka. Jalur pertama, Kupang-Atambua-Kalabahi-Lewoleba-Larantuka. Jalur kedua, Surabaya-Labuan Bajo-Maumere-Larantuka. Dari jalur rotasi ini, jelas kalau Larantuka, Kota Reinha itu masuk dalam 'jalur merah' perjalanan para pekerja seks.
Berbeda dengan Flores Timur, pemerintah kabupaten di semua 'jalur merah' ini lebih respons dan tidak tinggal diam. Di Kota Kupang, ada puluhan LSM peduli HIV-AIDS. Pemkot Kupang juga telah menggagas Ranperda HIV-AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang sejauh ini adalah yang terbaik di NTT. Staf oke, sekretariat representatif, anggaran no problem. Dan, duet Dan Adoe-Dan Hurek punya konsern tinggi.
Di Belu, perhatian pemerintah, terutama dalam alokasi anggaran luar biasa. Dalam satu tahun anggaran, ratusan juta digelontorkan untuk sosialisasi. Wakil Bupati Belu, Greg Mau Bili, adalah pimpinan wilayah yang sangat paham dengan urusan HIV-AIDS.
Di Sikka, pemerintah juga lekas tanggap. Rumah Sakit TC Hillers sudah punya VCT (Voluntary Counseling and Testing). Para ODHA (orang dengan HIV-AIDS) juga punya wadah terorganisir dan mendapat perhatian pemerintah. Di Manggarai Barat, perlahan-lahan pemerintah menyadari epidemi ini sehingga semakin memberi perhatian. Lembata nyaris sama dengan Flores Timur. Belum banyak perhatian dan masih melihat masalah HIV-AIDS sebagai masalah remeh temeh.
Seperti di lampu merah, Pemkab Flotim tidak bisa lagi main-main di 'jalur merah'. Kurang awas, kualat akibatnya. Mau kualat? (bersambung)

Pos Kupang, Kamis 23 Oktober 2008
Read More...

Pembangunan Partisipatif, Jangan Cuma Pro Forma

UNDANG-UNDANG Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan cakrawala yang luar kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota, dalam melaksanakan otonomi secara utuh dan bulat.
Otonomi yang seluas-luasnya terlihat dari jumlah urusan yang diserahkan, di mana daerah diberikan seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal.
Dengan perubahan ini, bandul manejemen pemerintahan dan pembangunan bergeser dari model memusat (sentrifugal) menuju pada model memencar (sentripetal). Pergeseran ini mengakibatkan banyak hal yang sebelumnya sentralis sekarang menjadi desentralis. Sentralisasi menjadi desentralisasi.
Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.

Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah bersaudara kembar dengan desentralisasi. Dan, dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi mimpi besar.
Desentralisasi pembangunan mengharuskan dan mengandaikan pemerintah dan masyarakat daerah untuk merumuskan bersama konsep-konsep pembangunan. Masyarakat harus dilibatkan dalam merancang- bangun item-item pembangunan. Mereka tidak boleh diposisikan sebagai penonton saja. Mereka harus aktif.
Meski begitu, harus kita akui juga bahwa sejauh ini konsep desentralisasi pembangunan, bahkan juga otonomi daerah, mengalami begitu banyak distorsi. Pembangunan sebagai rekayasa sosial untuk mempercepat perubahan sosial, dari keadaan serba kurang menjadi lebih baik, seringkali menggunakan patokan-patokan yang tidak berbasis pada kondisi masyarakat di mana pembangunan dilaksanakan.
Cermin kemajuan lebih sering diletakkan pada hal-hal di luar budaya masyarakat. Alhasil, yang muncul ialah bahwa tujuan pembangunan menjauhkan masyarakat dari dirinya sendiri. Banyak ironi terjadi. Masyarakat menjadi asing di tengah pembangunan yang dirancang atas namanya, didesain untuk kebutuhannya.
Dalam konteks ini, kita menyambut baik apa yang terjadi di Kabupaten Ngada. Seperti diwartakan harian ini akhir pekan lalu, Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea mengatakan bahwa dalam sistem pembangunan saat ini masyarakat menjadi penentu kebijakan, pelaksanaan dan perencanaan pembangunan.
Bupati Piet Nuwa mengatakan itu ketika membuka Musyawarah Kabupaten (Muskab) Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP) dalam rangka penangggulangan kemiskinan di Kabupaten Ngada, di Bajawa, Kamis (23/10/2008)
Sudah lama pembangunan dengan pola partisipatif digagas. Maksudnya apa? Maksudnya ialah masyarakat merancang sendiri item-item pembangunan sesuai kebutuhannya, sesuai dengan konteks sosial, ekonomi, budaya serta lingkungannya.
Dengan pola partisipatif, masyarakat terlibat langsung. Dia turut merumuskan rencana pembangunan, ikut memikirkan format pembangunan. Ada asumsi yang terbangun dari model partisipatif, yakni bahwa dengan menjadi perancang sendiri, masyarakat akan lebih bertanggung jawab, lebih terlibat, punya sense of belonging terhadap hal ihwal tentang pembangunan.
Sebetulnya, model partisipatif ini bukan baru. Dia sudah lama diperkenalkan. Dan, rakyat juga sudah ikut memikirkan, turut terlibat dalam urusan pembangunan. Keterlibatan itu melalui musyawarah rencana pembangunan desa (musrengbangdes), musyawarah rencana pembangunan kelurahan (musrengbangkel) dan musyawarah rencana pembangunan kecamatan (musrengbangcam). Di kota-kota, bahkan keterlibatan warga sudah mulai dari tingkat RT dan RW.
Sejatinya semua bentuk partisipasi warga ini merupakan sesuatu yang sangat baik. Artinya, dengan merencanakan sendiri rakyat ikut menentukan prioritas-prioritas pembagunan yang mereka rasakan. Dengan cara seperti ini juga, masyarakat bisa merasa memiliki.
Tetapi, kita juga perlu waspada. Sebab, dalam praktek selama ini, apa yang disebut sebagai bentuk-bentuk keterlibatan rakyat itu cuma semu, cuma pro forma belaka. Musrengbangdes, musrengbangkel, musrengbangcam sudah sering digelar menjaring aspirasi dari bawah. Mencari prioritas-prioritas kebutuhan rakyat. Rakyat ikut merancang kebutuhan mereka dalam konteks pembangunan.
Tetapi, bukan hal baru kalau apa yang sudah dirancang bersama itu berulang, berulang dan terus berulang, tanpa pernah ada feed back, tanpa ada penjelasan mengapa ini belum, mengapa ini tidak. Kita harapkan, apa yang disebut sebagai pembangunan dengan pola partisipatif ini tidak sekadar omong-omong. *

Pos Kupang, Selasa 28 Oktober 2008
Read More...

Asam Timor, Potensi yang Terlupakan

Minggu, 19 Oktober 2008

Oleh Muhlis al Alawi

BERBAGAI
potensi dimiliki Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya sektor pertanian yang menjadi kebanggaan kabupaten ini. Di sektor ini TTS mempunyai jagung, padi hingga tanaman tumpang sari. Aneka tanaman ini telah membudaya untuk mencukupi kebutuhan pangan warga.
Tetapi TTS tidak cuma punya jagung, padi dan tanaman tumpang sari. Sudah sejak dulu Kabupaten Cendana Wangi ini memiliki asam. Asam sesungguhnya sangat prospektif. Sayang, sejauh ini pemerintah masih menganaktirikan asam. Rakyat dibiarkan sendiri memburu asam di hutan. Memburu, karena pohon asam di hutan tidak punya pemilik. Siapa saja bebas memetik dan atau memungut buahnya yang jatuh ke tanah.

Menjelang musim panen, yakni Agustus, September dan Oktober warga ramai-ramai masuk keluar hutan memburu asam. Saking banyaknya, jangan pernah menyangka bahwa warga akan naik ke pohon lalu menjatuhkan buahnya. Tidak. Mereka lebih memungut buah yang sudah jatuh ke tanah. Buah itu lalu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung untuk dijual kepada pengepul.
Siklus mencari, mengumpul dan menjual asam ke pengepul sudah jadi tradisi. Sudah lazim dan berjalan setiap tahun. Meski sudah lazim dan dilakonkan ramai-ramai oleh warga di desa dan kampung, hal itu belum berhasil memberi inspirasi kepada pemerintah dan wakil rakyat untuk mengembangkan asam menjadi komoditas primadona. Beruntung, pohon asam tidak rewel seperti tanaman yang lain. Di hutan-hutan pohon asam tumbuh alamiah. Kokoh berdiri. Tidak perlu dirawat.
Tetapi melihat potensi dan prospeknya yang lumayan, mestinya pemerintah bisa memikirkan untuk melipatgandakan fungsi asam sehingga lebib berdaya guna. Harganya memang terbilang murah. Cuma Rp 600,00 hingga Rp 1.000,00/kg. Tetapi kalau pemerintah bisa menjadikan asam sebagai komoditas massal dan diusahakan secara massal, tak sulit menghitung berapa duit yang diraup warga. Apalagi, asam bukan cuma daging buahnya yang bermanfaat. Biji asam juga dicari untuk diolah menjadi zat pewarna untuk industri tekstil.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan TTS, Drs. Daniel Dede, yang saat diwawancarai masih menjabat, mengatakan, setiap tahun TTS dapat memproduksi asam sebanyak 2.000 hingga 3.000 ton. Bila warga menjual asam ke pengusaha di Kota SoE, maka akan mendapatkan harga setiap kilogramnya Rp 1.000,00 hingga Rp 2.000,00. Sementara bila biji asam diolah menjadi tepung bisa dihargai dengan Rp 7.000,00/kg.
Kendati demikian, kata Dede, untuk mengubah biji asam menjadi tepung dibutuhkan teknologi mesin pengolahnya. Selain itu, sebelum dipasarkan ke perusahaan tekstil tepung itu harus memenuhi standar mutu internasional. Dede menegaskan mutu tepung biji asam dari TTS memiliki kualitas paling baik.
Konon, biji dan daging buah asam dari Timor memiliki kualitas yang unggul dibandingkan dengan asam lainnya di Indonesia. Di pasaran, pengusaha besar di Jawa lebih memilih asam daratan Timor untuk diolah menjadi makanan ringan, minuman ringan dan bahan komestik.
"Tepung yang terbuat dari biji asam saat ini sangat dicari perusahaan tekstil untuk pewarna kain. Untuk Indonesia, tepung biji asam masih didatangkan dari India lantaran ketiadaan tepung biji asam di tanah air. Makanya, bila TTS dapat menyuplai setidaknya sepuluh ton tepung biji asam, maka kabupaten ini akan kebanjiran investor perusahaan tekstil. Dan tentunya industri ini akan memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat TTS," kata Dede.
Untuk merancang ke arah industri rumah tangga, lanjut Dede, pihaknya terlebih dahulu akan mengoptimalkan bantuan mesin pengolah biji asam menjadi tepung tahun ini. Bila berhasil, tahun berikutnya Disperindag akan melakukan pengadaan biji asam dan sekaligus mesin pengelolaanya.
Tak beda dengan Dede, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan TTS, Drs. Urias Sanam, yang dikonfirmasi melalui Kasi Rehabilitasi dan Pengkayaan Hutan, Chris Koenunu, S.Hut mengatakan pohon asam bisa berbuah dalam usia lima tahun. Selain mudah membudidayakannya, menanam pohon asam tidak memerlukan perawatan ekstra layaknya tanaman lainnya. Ibarat tinggal menabur bijinya saja, maka tanaman itu bisa tumbuh hingga besar.
Dalam catatan Dishutbun TTS, produksi asam tujuh tahun terakhir mengalami pasang surut. Tahun 2001, produksi asam isi sebanyak 792 ton, tahun 2002, 487,5 ton, tahun 2003 sebanyak 4.635 ton, tahun 2004, 3.261 ton, tahun 2005, 3.174 ton, tahun 2006, 3.287 ton dan tahun 2007 sebanyak 5.535 ton.
Menurut Koenunu hampir seluruh daratan di TTS ditumbuhi pohon asam. Namun pohon asam itu tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya unsur kesengajaan pemilik tanah menanamnya. Koenunu menyebutkan daerah penghasil asam terbesar berada di Kecamatan Kualin, Kolbano, Boking, Toianas, Amanuban Selatan, Mollo Utara, Mollo Tengah dan Mollo Barat.
Nah, tidak ada salahnya bila asam timor dapat dijadikan sebagai aset yang paling berharga untuk menambah pendapatan warga. Bila saja pemerintah memprogramkan penanaman asam secara massal, maka di saat musim kemarau warga tak lagi gigit jari menunggu berbagai bantuan pangan dari pihak luar lantaran kekurangan pangan. Terlebih lagi, bila pemerintah serius, maka dengan sentuhan teknologi perkebunan dan pertanian dapat memungkinkan satu pohon asam berbuah dua hingga tiga kali dalam setahun. Alhasil, warga pemilik pohon asam pun dapat berbesar hati. Rupiah pun dapat diraup warga saat musim panen tiba. Dan, untuk menghindari gejolak turunnya harga pada saat musim panen maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk membeli asam milik masyarakat.
Timor Tengah Selatan pernah berjaya karena cendana. Kini secara ekonomis, cendana telah punah. Kabupaten ini juga pernah harum namanya karena buah apel. Kini, apel SoE tenggelam dan nyaris tidak terdengar lagi. Kabupaten dingin ini juga punya nama besar karena jeruk keproknya. Tetapi TTS tidak hanya punya itu. Dia punya asam dengan kualitas sangat baik. Cepat atau lambat, asam akan melambungkan nama Timor Tengah Selatan. *

Pos Kupang, Minggu 19 Oktober 2008
Read More...

Dicari, 'Gudang Ternak' Sapi di Pulau Timor

Oleh Julianus Akoit

DUA atau tiga dasawarsa yang lalu, Pulau Timor dikenal dengan julukan 'Gudang Ternak Sapi' di Indonesia. Di pulau yang didominasi padang sabana ini, berkembang biak ternak sapi dengan sangat baiknya, oleh usaha peternakan rakyat. Setiap bulan, 700 - 1000 ekor sapi yang diantarpulaukan dari Pelabuhan Atapupu (Belu), Pelabuhan Wini (TTU) dan Pelabuhan Tenau (Kupang). Belasan kapal pengangkut ternak sapi milik saudagar hewan dari Surabaya dan Jakarta hilir-mudik setiap hari di laut Timor menuju Pulau Jawa. Bahkan sapi-sapi dari Timor diekspor hingga Singapura, Hongkong dan Taiwan.
Tetapi itu romantisme masa lalu. Sekarang jumlah ternak sapi yang diantarpulaukan ke Jawa hanya sekitar 800 ekor per triwulan. Bahkan jumlahnya diperkirakan terus berkurang, termasuk kualitasnya. Julukan yang diberikan almarhum Presiden Soeharto bahwa 'Timor adalah Gudang Ternak Sapi' di Indonesia, kini hanya akan jadi dongeng untuk anak cucu. Sekarang, gelar itu sudah direbut oleh Sulawesi. Di sana ternak sapi dikembangkan secara serius di ranch-ranch modern. Mereka membangun ratusan Breeding Centre Ranch dan Fattening Centre Ranch di hampir seluruh wilayah Sulawesi, terlebih di Gorontalo.

Di Kalimantan dan Sumatera (Medan) usaha ternak sapi yang modern kini sedang digalakkan. Pulau Bali pun kini sedang menggeliat. Sejak dahulu, sapi sudah begitu lekat bahkan menjadi bagian dari kebudayaan Bali. Bahkan jenis Sapi Bali (Bos Sondaicus) ditetapkan sebagai salah satu plasma nutfah dunia. Kendati populasi sapi di Bali tidak besar, Pemprov Bali sangat serius memperhatikan perkembangan mutu genetika Sapi Bali. Mereka membuat perda melarang pengeluaran sapi pejantan dan betina unggulan. Sanksinya sangat berat bila tertangkap petugas. Bahkan di Kabupaten Jembrana, Gubernur Bali memberi bantuan kapal patroli untuk mengejar penyelundup bibit Sapi Bali melalui laut.
Lalu bagaimana pengembangan ternak sapi di Pulau Timor? Mengapa sejak tahun 1980-an, populasi ternak sapi di Timor menurun drastis? Lalu bagaimana solusinya? Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara detail. Paparan ini hanyalah sumbang saran, urun ide sederhana bagi petani peternak, pengusaha ternak bahkan peneliti yang peduli pada usaha pengembangan ternak sapi di Pulau Timor.
Ada beberapa jenis ternak sapi yang dikembangkan, yaitu Sapi Bali (Bos Sondaicus), Sapi Grati, Sapi Madura dan sapi peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Namun sejak dulu, yang dikembangkan secara besar-besaran di Pulau Timor adalah Sapi Bali (Bos Sondaicus).
Bos Sondaicus, bukan hewan atau ternak asli di Pulau Timor kendati ia diklaim sebagai ternak asli Indonesia. Ia berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos Sondaicus (Bos Banteng). Banyak peneliti telah berusaha mencari tahu sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor? Siapa yang membawa Sapi Bali ke Pulau Timor? Penelusuran sejarah ini perlu saya paparkan di sini sebab ini terkait dengan penjelasan kenapa populasi Sapi Bali di Timor menurun drastis. Bahkan kualitasnya memprihatinkan.
Tidak ada satu pun bahan pustaka yang ditulis seorang insinyiur peternakan, yang membahas sejak kapan Sapi Bali masuk ke Pulau Timor, dan bagaimana perkembangan ternak ini. Namun ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India.
Pada tahun 1970 hingga 1982, ternak Sapi Bali di Timor memasuki masa-masa emas. Namun ketika memasuki tahun 1983, populasi ternak sapi di Timor mulai menurun drastis. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya, tanaman Jatropha Gussypifolia, yang merupakan sumber pakan terbaik Sapi Bali di Timor, terdesak oleh ekspansi tanaman gulma Cromolaena Odorata (bunga putih). Orang Timor menyebut dengan istilah Suf Muti. Ekspansi tanaman gulma ini sangat cepat, menutupi padang rumput. Padahal rumput di padang sabana adalah pakan alternatif terbanyak selain Jatropha Gussypifolia. Daun tanaman gulma ini tidak disentuh oleh ternak besar maupun ternak kecil.
Kebiasaan tebas bakar untuk membuka ladang juga penyebab lain tanaman Jatropha Gussypifolia menghilang dari hutan-hutan di Pulau Timor. Tebas bakar juga menyebabkan sumber air mengering, yang sangat dibutuhkan ternak saat musim kemarau. Selain itu, sejak tahun 1980, adanya pengembangan tanaman jambu mente besar-besaran di Pulau Timor. Dalam satu dasawarsa saja, tercatat 28.000 hektar padang sabana, yang merupakan padang penggemabalaan sapi di beberapa tempat di TTS, TTU dan Belu 'menghilang' diganti dengan tanaman jambu mente. Dan kini padang sabana juga sudah dijejali dengan tanaman jarak pagar.
"Sejak dahulu, Belanda telah melihat Pulau Timor sebagai tempat paling pas untuk mengembangkan ternak. Sedangkan Flores adalah tempat paling pas untuk mengembangkan tanaman perkebunan. Tapi sekarang tanaman perkebunan menjejali padang penggembalaan di Pulau Timor. Intervensi program ini benar-benar berdampak buruk bagi jumlah populasi ternak sapi di Pulau Timor," jelas Thomas Hartanto, salah satu saudagar hewan di Kefamenanu. Pada tahun 1970-an Hartanto sering mengirim sapi ke Pulau Jawa. "Tapi sekarang saya sudah beralih profesi sebagai kontraktor bangunan. Bisnis sapi sudah tidak cerah lagi. Dapat 50 ekor sapi dengan kualitas terbaik dalam satu bulan adalah mukjizat. Lebih baik saya dagang yang lain saja," jelas Hartanto dalam suatu kesempatan diskusi.
Hartanto juga melihat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pengeluaran sapi ke Pulau Jawa. Ribuan sapi jantan unggulan dan betina produktif diantarpulaukan sejak tahun
1970. "Seleksi negatif dalam perdagangan sapi antarpulau yang berlangsung lama menyebabkan mutu genetika Sapi Bali di Timor terdegradasi. Sapi jantan paron kualitas terbaik diantarpulaukan dan tinggal sapi jantan inferior berkembang biak di padang penggembalaan. Maka jangan heran kalau dengar orang melecehkan kita. Mereka bilang sapi dari Pulau Timor seperti 'kakaknya kambing'," jelas Hartanto.
Lalu bagaimana solusinya? Perlu dipikirkan membuat program budidaya tanaman pakan untuk ternak Sapi Bali di Pulau Timor. Sekarang ada upaya dari pemerintah untuk membudidayakan tanaman king grass (Pennisetum Purpureophoides), turi (Sesbania Glandiflora) dan lamtoro (Laucaena Leucocephala), yang ditumpangkan pada ladang para petani. Tapi usaha ini tidak berjalan maksimal. Selain itu, tanaman lamtoro juga tidak tahan hama atau riskan diserang hama kutu loncat. Mungkin kita perlu membudidayakan tanaman Jatropha Gussypifolia, yang kini terancam punah. Daunnya selain paling suka dimakan sapi, kulit batangnya juga paling disukai kambing. Daunnya juga sangat menyuburkan tanah. Tumbuhnya mudah dan pintar beradaptasi dengan jenis tanah mana pun di kawasan tropis. Jika pemerintah melalui lembaga pendidikan tinggi mengembangbiakan tanaman ini, saya kira secara tidak langsung sumber pakan ini membantu mendongkrak populasi ternak sapi.
Berikutnya, perlu dipikirkan suatu cara pengembangan atau perbaikan padang rumput alam yang moderat ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis, yakni cara kultivasi parsial. Artinya vegetasi asli padang rumput alam tetap dipertahankan, namun perlu juga disisipi tanaman pakan budidaya maupun legum yang memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, di Pulau Timor, sedikitnya terdapat 21 jenis tanaman yang tumbuh di hutan, yang bisa dijadikan sumber pakan alternatif bagi ternak sapi. Orang Timor mengidentifikasi tanaman itu antara lain busi, metani, bubuk, niko, nun me (beringin), palelo, lilfui (orang Kupang menyebut: Dilak), name, nun tani, klole, kaliandra, kabena, bafkenu, fekfeku, nuntili, nuk bai, loam, hau sisi, feub, timo dan kium. Perguruan tinggi di NTT bisa melakukan penelitian untuk mengembangkan secara besar-besaran menjadi sumber pakan alternatif bagi ternak sapi.
Para peternak sapi di NTT, lebih khusus di Timor, perlu belajar dari Provinsi Bali. Di Pulau Dewata, Kantor UPTD Peternakan menghimpun 12 pejantan sapi unggulan dari enam kabupaten se-Bali. Pada usia usia 2,5 tahun sampai masa produksinya 8 tahunan, petugas mengambil simen. Pengambilan simen atau spermanya dilakukan dua kali sepekan oleh tenaga terlatih. Sebelum diproses, simen segar dievaluasi terlebih dulu kualitasnya. Evaluasi secara makroskopis meliputi kebersihan, warna, bau dan volume. Sedangkan sisi mikroskopisnya dilihat menggunakan sperm analyzer -sperm vision dan alat penghitung konsentrasi spermatozoa (spektrofotometer) - spermacue SDM5. Dengan alat tersebut diketahui tingkat motilitas, gerakan, morfologis dan konsentrasi. Hanya simen segar yang memenuhi standar dengan angka progresive motilitas lebih dari 70 persen dan konsentrasi 1 milyar, akan diproses lebih lanjut.
Simen kemudian dikemas dalam mini strow berukuran 0,25 ml menggunakan alat pengemas khusus. Simen sapi tersebut dengan penyimpanan khusus pada suhu minus 196 bisa bertahan bertahun-tahun. Dan hanya simen yang bagus akan dijual ke peternak. Dengan begitu kelak didapat mutu genetika Sapi Bali yang bagus dan bersaing. Beberapa upaya yang digambarkan di atas, bukan tidak mungkin kelak bisa mengembalikan pamor Pulau Timor sebagai 'Gudang Ternak' Sapi di Indonesia. Semoga.
Pos Kupang, Sabtu 18 Oktober 2008

Read More...

Pengusaha Jakarta Tanya Fasilitas di NTT

Senin, 13 Oktober 2008

JAKARTA, PK---Sejumlah pengusaha di Jakarta menanyakan fasilitas pendukung jika mereka ingin berinvestasi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menanyakan fasilitas seperti dermaga, jalan raya dan insentif usaha. Pemerintah NTT menjamin fasilitas itu jika pengusaha ingin menanamkan modalnya di NTT.
Pertanyaan itu diajukan sejumlah pengusaha Jakarta dalam pertemuan dengan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, di Restaurant Pulau Dua, Jakarta, Jumat (10/10/2008) malam. Pertemuan ini digagas gubernur dan Institut Leimena, Jakarta. Gubernur didampingi beberapa pimpinan instansi lingkup Pemda NTT. Sedangkan dari Institut Leimena hadir antara lain Jakob Tobing dan beberapa pengurus. Sementara pengusaha Jakarta yang hadir antara lain Cakra Ciputra dari Grup Ciputra, Edwin Suryajaya dari grup Suryajaya, Albert Salim (putra Sudomo Salim) dan beberapa yang lain.

Para pengusaha ini menanyakan gambaran fasilitas pendukung untuk usaha berskala besar jika mereka ingin menginvestasi modalnya di NTT. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sederhana, tetapi sangat menentukan dan mempengaruhi kelancaran investasi.
Terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Gubernur Frans Lebu Raya menjelaskan, fasilitas pendukung sebetulnya tidak terlalu jelek, seperti yang mungkin dibayangkan selama ini. "Kita di NTT punya satu kawasan industri yang kita sebut Kawasan Industri Bolok. Kawasan ini dekat dengan dermaga. Jalan ke dermaga juga cukup baik," kata Gubernur Lebu Raya meyakinkan para pengusaha itu.
Meski masih terbatas dan minim, Gubernur Lebu Raya mengajak para pengusaha untuk ringan langkah datang dan berinvestasi di NTT. Gubernur mengatakan, investasi itu ada untung dan ruginya. Mungkin ada kerugian dari sisi bisnis, tetapi juga ada untung secara sosial. "Saya mengajak siapa saja yang berkemauan baik untuk tolong bangun NTT ke depan. Kalau Ciputra bangun hotel di mana-mana, saya tunggu Ciputra bangun hotel di NTT," tantang Gubernur Lebu Raya.
Gubernur menyatakan kegembiraannya atas antusiasme para pengusaha yang hadir dalam pertemuan itu. "Malam ini kita sudah berkumpul. Ini langkah awal, dan harus ada follow up-nya. Pertemuan malam ini tidak boleh sampai di sini saja. Saya tunggu di Kupang," kata Gubernur Lebu Raya.
Dalam pertemuan itu gubernur memetakan kondisi sosial, ekonomi, pendidikan dan budaya NTT. Menurut gubernur, meski NTT masih tergolong miskin, tetapi sesungguhnya ada banyak potensi yang bisa digarap.
Kepada para para pengusaha itu, gubernur menegaskan, lima tahun ke depan, sektor utama yang akan dikembangkan adalah pertanian. "Dan salah satu produk unggulan sektor pertanian yang akan dikembangkan adalah jagung," tegas gubernur.
Saat ini, kata gubernur, pemerintah masih mendisain program penanaman jagung sebagai produk unggulan di NTT. Menurut gubernur, sektor pertanian menjadi sektor prioritas karena 81,83 persen penduduk NTT adalah petani. "Karena itu, industri yang dibangun harus menomorsatukan pertanian," tegasnya. (len)


Pos Kupang, Selasa 13 Oktober 2008


Read More...