Unisono Para Wakil Rakyat

Jumat, 11 September 2009


SESAAT setelah memenangkan pemilihan umum Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mengatakan, "Kemenangan ini sendiri bukanlah perubahan yang kita kejar. Akan tetapi hanya sebuah peluang bagi kita untuk membuat perubahan tersebut."

Obama benar. Pemilihan umum, entah itu pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD) atau untuk memilih kepala daerah, sebetulnya cuma anak tangga meniti jalan demokrasi. Partai-partai politik yang mengusung para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, karena itu juga, cuma pintu masuk.
Pikiran ini kita kemukakan di ruang ini terutama untuk coba membalikkan kesadaran kolektif kita yang telah tertanam sekian lama seolah-olah pemilu itu adalah puncak dan tujuan. Kemenangan dalam sebuah pemiliu lalu dianggap sebagai tujuan yang dikejar. Padahal, kemenangan dalam pemilihan umum, seperti kata Obama di atas, hanya sebuah peluang untuk membuat suatu perubahan.
Hari-hari ini, perhatian kita tercurah pada seremoni pelantikan anggota Dewan, para wakil rakyat yang menyandang predikat terhormat itu. Ada yang sudah dilantik. Yang lain belum. Menurut agenda, di NTT pelantikan anggota Dewan terakhir akan terjadi pada tanggal 3 September, yakni pelantikan anggota DPRD NTT dan anggota DPRD Flores Timur.
Kita tahu masih ada ganjalan-ganjalan dalam tahapan itu. Ada anggota Dewan yang sehari setelah dilantik langsung didemo karena diduga terlibat kasus amoral. Ada anggota Dewan terpilih yang mesti berurusan dengan polisi, baik karena ijazah palsu maupun karena terlibat dalam kasus kejahatan. Itu urusan hukum. Ada juga anggota Dewan yang tidak ikut dilantik karena masalah internal partai.
Sebagai konstituen, rakyat pemilih menaruh harapan sangat besar dan penuh pada anggota legislatif kali ini. Harapan itu begitu besar karena dengan partai peserta pemilu yang begitu banyak dengan calon legislatif yang juga sangat banyak, rakyat punya banyak pilihan. Pilihan mereka tidak lagi dibatasi oleh terlalu sedikitnya partai peserta pemilu dan calon legislatif.
Apa harapan rakyat pemilih? Pertama, anggota Dewan mesti tetap sadar akan tugas dan fungsinya sebagai penyalur lidah rakyat, penyalur suara rakyat di lembaga legislatif. Tugasnya terutama adalah berteriak, 'tukang teriak'. Meneriakkan aspirasi, harapan rakyat untuk didengar para pengambil kebijakan.
Kita tidak bermaksud menilai bahwa para wakil rakyat kita sebelumnya tidak berteriak. Yang kita maksudkan di sini adalah bahwa kesadaran akan jatidiri sebagai 'tukang teriak' itu mesti tetap dijaga dan dijaga secara konsisten. Kalau peran ini diperankan dan dijaga secara konsisiten, maka para wakil rakyat akan tahu di mana dan seperti apa posisinya dalam tatanan penyelenggaraan pemerintah.
Dalam praktek selama ini, kerap kali kita menangkap kesan, para wakil rakyat itu seolah-olah tukang stempel pemerintah. Apa yang dikatakan pemerintah, disain program pemerintah bulat-bulat disetujui tanpa banyak 'bertanya' kepada rakyat entahkah program pemerintah telah sesuai dengan kebutuhan rakyat. Karena itu, kita harapkan tidak terjadi perselingkuhan antara eksekutif (pemerintah) dengan para wakil rakyat (legislatif). Apalagi perselingkuhan itu untuk menggadaikan rakyat.
Kedua, karena tugasnya sebagai 'tukang teriak', maka para wakil rakyat itu mesti tahu benar apa yang terjadi di lapangan, apa yang menjadi harapan rakyat. Isi hati rakyat mesti diselami dengan baik. Hanya dengan mengetahui kondisi yang dihadapi rakyat, para wakil rakyat bisa berteriak dengan nada yang benar, sehingga tidak menghasilkan bunyi fals.
Banyak kali kita mendengar nada teriakan wakil rakyat itu fals oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Fals karena suara-suara yang diteriakkan itu banyak terkontaminasi oleh terlalu banyak kepentingan. Para wakil rakyat itu mestinya tampil sebagai paduan suara unisono (satu suara).
Karena itu kita harapkan para anggota Dewan kali ini mesti tetap tampil sebagai anggota paduan suara yang bernyanyi dalam nada dasar yang sama. Jangan ada yang tampil dengan nada dasar yang lain.
Ketiga, para wakil rakyat juga jangan suka memerankan drama dengan lakon komedi di atas panggung Dewan. Kalau toh harus dipentaskan, maka lakon yang mesti ditampilkan adalah lakon heroik.
Masih banyak harapan rakyat yang bisa kita kemukakan. Tetapi kali ini, cukup tiga poin ini yang ingin kemukakan. Tiba saatnya para wakil rakyat membuktikan komitmennya, mengejawantahkan janji kampanyenya. Rakyat menunggu bukti! *
Pos Kupang, Senin 31 Agustus 2009
Read More...

Sastra di Tengah Patronase Sosial

HUBUNGAN sastra dengan masyarakatnya memang rumit dan potensial menyembulkan perbedaan pendapat. Sastra bisa dinilai lantaran ada perangkat-perangkat aturan, konvensi, atau kode; dan antara perangkat yang satu dengan perangkat yang lain tak sama.

Selain itu, sastra juga punya sejumlah kemungkinan hubungan dengan struktur sosial masyarakat yang memunculkannya, ekspresi pandangan dunia atau ideologinya (Lucien Goldmann, 1977), dan juga konvensi estetikanya maupun mediasi kondisi produksinya (baik kondisi teknologis, kelembagaan, dan kondisi sosial dalam produksi seni) untuk bisa memahami dan menjelaskan fenomena sastra (Janet Wolff, 1982).

Ada anggapan bahwa sastra sebagaimana lembaga sosial yang sah dan punya konvensi yang menuntut kepatuhan terhadap sejumlah urusan demi tegaknya kesahan dan konvensinya. Pelanggaran terhadap konvensi sebuah lembaga sastra merupakan ancaman sebagaimana pelanggaran terhadap konvensi dalam sebuah lembaga masyarakat.

Ada hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dan masyarakatnya, misalnya puisi kita pada dekade awal 1900-an yang cenderung meninggalkan pola puisi lama atau tradisional demi menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru. Kecenderungan ini terucapkan dalam puisi Rustam Effendi, "Sarat-saraf saya mungkiri, untai rangkaian seloka lama, beta buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma".

Sastra juga dipandang sebagai sebuah model yang terbatas dari semesta yang tak terbatas. Sastra merupakan model dunia imajiner yang membonceng bahasa, baik dunia sosial, personal, individual, maupun hubungan antarindividu dan kemungkinan-kemungkinan hubungan yang lain. Contohnya, kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin pada 1968.

Cerpen ini dianggap melukai kepercayaan Muslim karena penggambaran unsur-unsur yang berkaitan dengan agama Islam di dalam cerpen itu. Akibatnya, HB Jassin, pemimpin majalah yang memuat cerpen itu, diadili dan dihukum, meski HB Jassin menyatakan gambaran dalam cerpen itu merupakan model dunia imajinasi. Tapi masyarakat seakan menganggap penggambaran dalam cerpen itu adalah dunia kenyataan itu sendiri.

Sastra pun mengembangkan rancangan khusus berupa bangunan penafsiran yang menuntut diperlakukan sebagaimana rancangan khususnya itu. Dengan kata lain, hubungan karya sastra dengan struktur sosial tidak muncul sebagaimana adanya dalam karya sastra, misalnya, novel Siti Nurbaya yang memuat masalah politik melalui tokoh Syamsul Bahri yang berperang untuk mencari kematiannya agar berjumpa dengan kekasihnya. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka karena motif Syamsul Bahri itu romantik dan bukan karena urusan yang politis.

Selain itu, sastra kerap dirundung pembatasan atau konvensi "bisu" dalam urusan mengungkap peristiwa-peristiwa atau gagasan-gagasan tertentu. Apa yang membuat sebuah teks dianggap sebagai karya sastra karena kecocokannya dengan ukuran tertentu yang bersifat ideologis, misalnya tak melanggar "stabilitas" politik kekuasaan dan "kesopanan" umum. Kasus pamflet Rendra dan puisi Widji Thukul merupakan contoh hubungan sastra dengan standardisasi sastra versi kekuasaan.

Selain hubungan-hubungan itu, untuk memahami kondisi sastra juga perlu memerhatikan urusan yang berkaitan dengan produksi seni, yaitu teknologi dan lembaga sosial.

Teknologi cetak dan teknologi komunikasi memengaruhi kesusastraan, misalnya maraknya penerbitan buku, internet (situs dan blogt) dan koran di Tanah Air setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang berefek pada produksi dan penyebaran karya sastra. Banyak pengarang yang tak lagi berhubungan dengan penerbit resmi karena teknologi cetak yang murah (komputer/fotokopi) dan teknologi komunikasi (internet). Hambatan penyaluran karya sastra makin menyingkir dengan adanya situs di internet, kantong sastra, dan toko buku di luar jaringan toko buku besar.

Selain teknologi, lembaga sosial di dalam kesenian pun punya peran penentu dalam urusan produksi sastra. Dewan kesenian, gedung kesenian, taman budaya, media sastra, kritikus, maupun komunitas sastra merupakan wujud lembaga sastra yang punya otoritas penilaian atau legitimasi. Dulu TIM dan majalah sastra Horison dianggap sebagai pusat legitimasi kesenian di negeri ini. Setiap seniman yang diundang tampil di TIM atau karyanya dimuat Horison dianggap sebagai seniman papan atas.

Lembaga sosial dalam kesenian punya selera estetik tertentu dan perannya bisa menjadi politis dalam penarikan anggotanya (rekruitmen). Zaman dulu, penguasa di Barat menyediakan pusat latihan seni (gilda) bagi seniman yang direkrut untuk memuja dirinya.

Di zaman modern, rekruitmen seniman terselenggara lebih longgar melalui sistem sekolah maupun pelatihan yang didanai oleh sponsor, misalnya Ubud Writers dan Readers Festival dan Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (Mastera). Secara sosiologis, dalam rekruitmen seniman ada faktor kekuatan sosial yang mendorong seseorang untuk bersekutu dengan kelompok tertentu untuk mengembangkan kerja atau karier kesenimanan.

Selain rekruitmen, lembaga sosial dalam kesenian juga menjalankan patronase, yaitu suatu hubungan di mana sang patron (pelindung) memberikan sesuatu ke pihak lain, misalnya sokongan material atau perlindungan ke seniman yang memungkinkan karya sang seniman diproduksi dan didistribusikan dalam lingkungan yang serba tak pasti dan bahkan penuh perseteruan, sedangkan sang seniman memberikan kesetiaannya kepada sang patron sebagai imbalannya, misalnya dengan penyesuaian selera ideologi atau estetikanya. Memang tak ada campur tangan langsung sang patron terhadap karya seni sang seniman, tapi ada seleksi tertentu dalam pemberian dana dapat mengindikasikan ideologi sang patron.

Menurut Edwar B Henning (1970), pengaruh patronase terjadi dalam tiga cara. Pertama, menarik seniman untuk bergabung melalui performa intelektual atau moral yang simpatik serta dukungan material. Kedua, stipulasi (persyaratan suatu kesepakatan yang harus dilaksanakan sang seniman). Ketiga, seleksi terhadap karya seni dilakukan oleh patron yang biasanya berasal dari kelompok ekonomi yang kuat dan dapat memengaruhi gaya seni sang seniman.

Patronase kesusastraan berperan penting dalam sejarah sastra Barat, misalnya patronase raja dan gereja abad XIV dan XV, patronase bangsawan pada abad XVI, dan patronase politik pada abad XVII. Mulai abad XVIII sistem patronase lenyap dan sastrawan menghadapi situasi baru yang menawarkan kebebasan lebih besar, tapi membuat sastrawan menerima tekanan hubungan pasar dan kerawanan ekonomik.

Pada abad XX hingga kini muncul patronase baru yang menggantikan hubungan patronase tradisional, misalnya pengarang menulis untuk koran, fotografer dipekerjakan oleh majalah, dan juga pengarang yang memperoleh dana dari lembaga pemerintah atau swasta dalam negeri maupun asing.

* Binhad Nurrohmat, Penyair

Sumber: Republika, Minggu, 02 September 2007
Read More...

Filsafat Membentuk Sikap Orang

Kamis, 10 September 2009



APA manfaat belajar filsafat? Filsafat itu cuma bikin apa yang sederhana jadi rumit dan ribet. Filsafat tidak punya nilai ekonomis untuk dipelajari. Begitulah kesan skeptis yang telah umum terdengar tentang filsafat. Tak heran, tak banyak yang menaruh minat pada bidang ini. Padahal sejatinya, filsafat boleh disebut sebagai ibu dari segala ilmu.



Sebelum lahir dan berkembang banyak ilmu seperti sekarang ini, filsafat sudah lama lahir, nun jauh di tempo dulu, pada zaman Aristoteles dan Socrates. Zaman ketika buku belum dikenal. Sebagai ibu dari segala ilmu, filsafat sangat kuat mewarnai setiap titian sejarah peradaban dunia ini. Jika ilmu lain bergulat dengan hal-hal praktis, filsafat berurusan dengan nilai. Dia tidak mengajarkan hal-hal teknis, keterampilan-keterampilan praktis, tetapi dia menanamkan nilai-nilai agar mereka yang terampil itu punya etika, punya rasa. Filsafat mengajarkan orang untuk teguh pada pendirian, tulus memperjuangkan keadilan dan berani menyatakan kebenaran. Prof. Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, coba mengungkapkan satu dua pikiran kecil tentang filsafat.

Pater adalah dosen pertama STFK Ledalero yang meraih gelar profesor. Seperti apa perasaan pater?
Perasaan yang pertama muncul adalah senang bahwa karya pengabdian saya dihargai dan dinilai tinggi. Tapi kerap juga perasaan senang ini bercampur rasa biasa-biasa saja, karena jabatan ini sebenarnya sudah diharapkan jauh lebih dulu diperoleh, kalau sungguh dipertimbangkan karya pengabdian dan banyak publikasi yang pernah saya buat. Tapi pada umumnya saya merasa senang dan puas bahwa saya akhirnya bisa mencapai jabatan tertinggi dalam dunia akademik.

Apa makna gelar ini bagi pater secara pribadi?
Secara pribadi saya merasa bahwa pengabdian saya yang total dan murni sejak dulu ternyata dinilai dan dihargai tinggi juga oleh Pemerintah RI. Saya merasa gelar ini punya makna besar untuk saya, baik sebagai bukti pengabdian dan karya ilmiah- akademik yang saya emban selama ini, maupun sebagai tantangan ke depan untuk berkiat lebih dalam pengabdian terhadap umat, rakyat dan bangsa. Tantangan yang cukup besar bagi saya khusus dalam pengabdian di dunia akademik ialah bahwa di satu sisi pengabdian saya harus meluas, tetapi di sisi yang lain kesehatan saya tidak terlalu mengizinkan saya untuk berbuat demikian. Saya mengalami sakit tenggorokan sejak hampir 10 tahun yang lalu, yang rupanya tidak ada kemungkinan menjadi lebih baik. Mungkin karena terlalu banyak berkata-kata dengan suara keras ketika mengajar. Ini kesulitan bagi kami yang biasa mengajar dan berkata-kata. Toh, dengan tenaga dan keadaan yang ada, saya coba bekerja secara maksimal.


Maknanya untuk STFK Ledalero?
Ketika menanti begitu lama untuk mendapat jabatan akademik yang lebih tinggi, saya kerap berkata dalam hati, ya, ini sama sekali kurang penting untuk saya yang sudah bertekad untuk mengabdi dengan tulus, melayani dengan kasih dan bekerja dengan tekun di bawah motto mengabdi tanpa pamrih. Namun ini tentu amat penting bagi lembaga atau sekolah tinggi seperti STFK Ledalero. Gelar ini sudah mengangkat nama STFK di mata Pemerintah RI, terutama menyangkut pelbagai kelengkapan administratif untuk suatu perguruan tinggi. Kredit point akan naik, dan kemungkinan membuka program studi lain atau program S2 filsafat, misalnya, sudah mungkin. Untuk program S2 filsafat kalau sudah ada seorang profesor dan sekitar 4 doktor dalam filsafat sudah bisa sekali. Juga tentu ada banyak keuntungan lainnya dalam kaitan dengan akreditasi sekolah atau institusi. Seorang profesor yang duduk dalam jabatan struktural PT akan memberi banyak makna untuk PT itu.


Apa yang akan pater lakukan dengan gelar itu bagi kemajuan STFK Ledalero?
Gelar ini tentu amat penting bagi STFK. Dalam proses pelaksanaan program S2 Teolori dan Filsafat, kehadiran guru besar ini amat penting. Dengan pengabdian yang lebih luas (tidak hanya terbatas pada STFK, Seminari Tinggi atau SVD), pamor STFK semakin besar. Ini juga tentu demi kebaikan para alumni yang tersebar di seluruh dunia. Lembaga STFK akan semakin kuat, dan kita harapkan agar ke depan lebih banyak guru besar lagi yang tampil dari STFK. Barangkali dengan adanya guru besar, suara kita menjadi lebih menggema ke atas, khusus dalam urusan-urusan menyangkut kepentingan sekolah tinggi, juga banyak PTS lainnya di wilayah kita. Namun untuk kemajuan sekolah tinggi ini tentu memerlukan banyak dukungan dan kerja sama antara para dosen, seluruh anggota sivitas akademika, dan badan pengelola sekolah tinggi ini sendiri. Singkatnya, tentu ada banyak program demi kemajuan STFK ke depan.


Di STFK Ledalero sebetulnya begitu banyak dosen dengan kualifikasi yang sangat baik. Banyak doktor tamatan luar negeri yang mengabdi puluhan tahun. Tetapi kenapa baru pater yang meraih gelar ini?
Benar. Ada banyak dosen yang sudah menyandang gelar doktor sekian lama. Bahkan banyak yang menjadi dosen saya dulu. Ada sejumlah dosen istimewa yang berpindah ke tempat kerja lain dan ada yang sudah lebih dahulu menghadap Tuhan. Saya juga tahu ada banyak yang jauh lebih hebat dan memiliki kualitas yang amat bagus. Namun mungkin baik, saya berikan sedikit latar belakang historis dari semua urusan ini. Urusan menyangkut jabatan akademik setahu saya baru dimulai awal tahun 1990-an di STFK. Dan ada beberapa dosen, termasuk saya, yang dilihat sebagai kelinci percobaan untuk urusan ini. Menghimpun pelbagai data dan informasi tentang studi, karya, dan lain-lain juga bukannya hal yang mudah. Kebetulan saya punya file dan arsip pribadi yang amat lengkap waktu itu sehingga dalam waktu singkat, sekitar tahun 1995 saya mendapat gelar lektor. Dua tahun setelah itu diproses lagi dan sekitar tahun 1999/2000, saya sudah mendapat gelar lektor kepala (Madya). Dan dari segi kredit point lagi sedikit saja sudah bisa diproses untuk mendapat gelar guru besar. Namun lihat saja waktu, .sekian banyak tahun baru bisa dicapai gelar ini. Ini pun amat merepotkan. Berapa kali STFK harus mengirim laporan dan bukti jurnal yang sama ke Denpasar karena katanya tidak diterima. Ini amat mengherankan kami, tapi begitulah. Andaikan STFK ini adalah sekolah negeri, rupanya sudah berlimpah guru besar yang ia hasilkan. Di Ledalero, sudah lebih dari 20 dosen yang memiliki gelar akademik, mulai dari asisten ahli sampai lektor kepala. Namun sebagai anggota tarikat religius atau praja, kerap kita berpindah tempat kerja atau juga dipinjamkan untuk lembaga-lembaga lain dalam tarikat atau juga keuskupan. Masih ada cukup banyak lektor dan kita harapkan para dosen itu cukup serius menghimpun hasil karya dan pengabdiannya untuk diproses ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, untuk urusan menghimpun semua data, bukti kerja, karya pengabdian, dan lain-lain bukannya suatu urusan yang mudah, dan tentu juga perlu ketekadan pribadi untuk itu. Saya yang pertama, tapi saya yakin dalam waktu yang tidak lama akan muncul juga yang lain-lain. Kita beruntung sekarang karena ada penerbit di kampus sendiri sehingga sejumlah dosen bisa mengatur penerbitan bukunya. Andaikan mengurusnya itu dari penerbit luar, rupanya amat sedikit dosen yang bisa menerbitkan karyanya. Rupanya kami lahir lebih dahulu, dan musti mengusahakan penerbitan itu ke mana-mana seperti Obor, Kanisius, Ende, Pustaka Karya Publ, Cerdas Pustaka, Jakarta, LPBAJ, Penerbit Ledalero, dan lain-lain.


Apakah pater melihat atau punya kesan bahwa gelar itu tidak penting untuk dikejar para dosen di Ledalero?
Saya merasa gelar-gelar akademik itu amat penting di Ledalero demi STFK. Karena itu hal ini diperjuangkan selalu. Proses penjenjangan jabatan akademik juga menjadi acara rutin di sekretariat, hanya saja kita memohon kesediaan dosen untuk menyiapkan semua kelengkapannya dan bekerja sama dengan para pegawai di kantor sekretariat. Kendati ada dosen yang tidak peduli banyak dengan ini, kami dari staf selalu mengusahakan agar semua urusan ini bisa berjalan lancar. Dalam waktu dekat sejumlah dosen luar biasa kami juga akan diangkat menjadi dosen tetap agar dimulai urusan-urusan proses penjenjangan akademik ini. Tuntutan-tuntutan dalam dunia akademik semakin banyak dan karena itu gelar-gelar akademik, terutama gelar guru besar, juga menjadi amat penting.

Pater meraih guru besar dalam bidang filsafat. Sudah berapa lama pater mengajar filsafat di Ledalero?
Saya mengajar filsafat di STFK sejak September 1988. Selain di Ledalero, saya juga pernah diminta mengajar di St. Peter's College di Kuching Malaysia tahun 1998. Ketika itu saya mengajar dua mata kuliah filsafat dalam bahasa Inggris. Selain itu menjadi dosen tamu atau luar biasa untuk Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Nama saya terdaftar sebagai dosen filsafat manusia dalam jurusan psikologi.

Sudah berapa banyak buku yang pater tulis?
Buku asli ada delapan, terjemahan sembilan, sekitar 10 artikel dalam karya editorial (buku-buku), beberapa kata pengantar untuk beberapa buku; menulis di Jurnal Ledalero dan Melintas (jurnal filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung), Majalah Kebudayaan Basis, Psikologi Anda, VOX, Editor, dan opini-opini pada majalah-majalah dan koran-koran lokal.
Ledalero telah menghasilkan lulusan begitu banyak, baik yang jadi imam maupun awam.


Menurut pater, apakah lulusan Ledalero itu sudah mewarnai kehidupan masyarakat, khususnya di NTT?

Secara sepintas saya menjawab ya. Berapa banyak alumni kita yang bekerja di pelbagai sektor pelayanan di propinsi kita, mulai dari pekerjaan yang paling sederhana sampai pada yang paling elit, di sana ada lulusan Ledalero. Kebanyakan bekerja sebagai guru dan pendidik, jurnalis dan wartawan, pegiat-pegiat LSM, aktivis, tokoh-tokoh pemerintahan, wakil rakyat, dan lain-lain. Terutama bisa dihitung berapa banyak pastor, biarawan yang berkarya di seluruh NTT. Dan hampir semua mereka amat aktif di tengah umat dan masyarakat. Mereka memberi pikiran-pikiran yang baru dan baik, mereka bertindak dan berlaku baik, mereka memiliki pengaruh. Ini semua karena mereka mendapat pendidikan dan pembentukan yang baik, mereka menjadi kreatif dan inovatif dalam karya mereka. Tanpa disadari, ini merupakan hasil dari studi-studi mereka di STFK yang menjadikan mereka orang yang berpikir dan refleksif dan bisa hidup dan menyesuaikan diri mereka dengan pelbagai situasi hidup. Tentu tidak semua berhasil demikian, tapi pada umumnya tamatan-tamatan Ledalero punya nama di tengah umat dan masyarakat NTT.


Orang bilang, filsafat tidak relevan lagi untuk dipelajari? Bagaimana pendapat pater?
Pernyataan ini hanya datang dari orang yang masih kuat menganut pandangan yang tidak benar dan realistis tentang filsafat. Dengan kata lain, orang-orang ini masih memiliki prasangka yang kuat terhadap filsafat. Padahal hakikat filsafat sebagai ilmu adalah berpikir dan berefleksi. Dengan berpikir atau berefleksi orang secara sadar menghadapkan dirinya dengan realitas sekitarnya. Dan itu berarti lewat berpikir orang dapat mengamati dunianya secara kreatif dan terbuka, dan bisa mengolah dan mengembangkan dunia-realitasnya dengan mudah. Dengan berpikir dia membentuk dalam dirinya suatu sikap dan pada gilirannya terungkap dalam tingkah laku dan tata cara hidup. Dan, ada banyak sekali pertanyaan mendasar dan asasi yang tidak bisa dijawabi oleh pelbagai ilmu lain kecuali melalui filsafat. Dan di sini peran filsafat tidak bisa digantikan oleh ilmu-ilmu lain.


Menurut pater, di mana tempat dan peran filsafat di tengah menguatnya ilmu-ilmu terapan?
Filsafat tampil di sana dengan fungsi kritis dan secara mendalam bisa meneropong atau mencermati apa yang ada dalam ilmu-ilmu terapan. Filsafat bisa membuat analisis tentang ilmu-ilmu terapan secara radikal dan ini pada gilirannya akan sangat membantu dan memperkuat ilmu-ilmu terapan, tidak hanya lewat analisis verbal, melainkan juga yang bisa terungkap dalam sikap dan tingkah laku seorang ilmuwan praktis atau terapan. Dan karena itu kendati ilmu-ilmu positif juga ilmu-ilmu terapan semakin menjauhkan diri dari filsafat, orang tetap bisa berfilsafat dalam dan tentang ilmu-ilmu itu.


Dari pengamatan pater, seperti apa sebetulnya relevansi filsafat bagi kehidupan masyarakat di NTT?
Filsafat itu berakar dalam hidup dan berkaitan amat erat dengan hidup dan kehidupan kita. Karena itu filsafat selalu relevan untuk siapa saja dari kelompok apa saja. Kalau filsafat dilihat sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup, jelas semua kita miliki, dan semua kita boleh-- dalam satu arti -- disebut sebagai filsuf. Orang-orang NTT punya filsafat berpikir yang khusus, yaitu bagaimana dia melihat dunianya, sesamanya manusia dan apa yang dianggapnya sebagai Tuhan atau Yang Mutlak dalam hidupnya. Dengan kata lain, bagaimana orang NTT melihat dunianya, bagaimana dia menanggapi dunianya, bagaimana dia berpikir tentang dunianya, dan bagaimana dia juga membangun dunianya itu menurut pola pikir dan pola tingkahnya sendiri. Ini yang disebut sebagai filsafat berpikir orang NTT. Namun filsafat sebagai ilmu masih kurang popular di tengah masyarakat kita di NTT. Di mana-mana terdapat prasangka terhadap filsafat, bahwa filsafat adalah ilmu yang amat sukar, bahwa filsafat adalah permainan akal yang mempersulit apa yang sebenarnya gampang dan mudah, bahwa filsafat adalah ilmu yang dapat digunakan untuk memanipulasi perkataan dan pikiran orang, dan lain-lain. Ini semua adalah prasangka dan pandangan yang tidak benar tentang filsafat. (tony kleden)


Read More...