Mempertimbangkan Rendra

Senin, 17 Mei 2010

Oleh Bandung Mawardi

Kematian bukan argumentasi mutlak untuk menghormati tokoh. Rendra sampai hari ini tetap jadi pokok dan tokoh meski telah rampung dalam menjalani hidup di dunia. Rendra (7 November 1935 - 6 Agustus 2009) adalah tokoh penting dalam pelbagai wacana dan praktik seni, kekuasaan, dan kebudayaan. Setumpuk buku sastra telah jadi bukti perhatian Rendra terhadap pembentukan tradisi literasi. Puluhan pentas teater adalah kerja kultural untuk mewartakan kesadaran kritis atas kekuasaan dan kebudayaan. Sekian pidato atau orasi adalah aksi strategis untuk memikirkan secara intensif nasib Indonesia.

Kuasa Kata
Rendra untuk publik sastra merupakan tokoh fenomenal. Pembaharuan dalam puisi dan teater dilakukan Rendra dengan dalil merealisasikan daya hidup dan estetika kritis. Kehadiran Rendra menjadi bukti otoritas penyair untuk memberi arti dalam pasang surut biografi Indonesia. Rendra telah memberikan buku puisi Ballada Orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), dan Mencari Bapa (1997).
Puisi-puisi Rendra kental dengan kritik untuk rezim kekuasaan, birokratisasi, kapitalisme, globalisasi, dan praktik-praktik hidup membelenggu. Publik tentu masih ingat dengan puisi-puisi kontroversial Rendra tentang protes terhadap pembangunanisme, kebobrokan pendidikan, diskriminasi sosial, kuasa pasar dan negara, komodifikasi tradisi, dan marginalisasi kaum lemah. Rendra dengan lantang menuliskan puisi untuk menjadi kesaksian ulah rezim Orde Baru ketika melakukan pelemahan dan penundukkan terhadap gairah hidup rakyat: Aku mendengar suara/ jerit hewan terluka.// Ada orang memanah rembulan./ Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.// Orang-orang harus dibangunkan./ Kesaksian harus diberikan./ Agar kehidupan bisa terjaga.
Rendra tidak sungkan memasuki ranah sosial dan politik dengan puisi. Kuasa kata adalah senjata untuk menghadikran kebebasan dan daulat rakyat di hadapan kekuasaan. Idiom-idiom Rendra kerap jadi anutan pada masa itu dalam pelbagai gerakan sosial, seni, dan kultural. Puisi sanggup membuat orang sadar dengan hak dan berani melawan tirani. Rendra menjelma ikon untuk gairah hidup di Indonesia tanpa takut dengan penjara dan kematian. Puisi adalah ruh hidup dalam rumusan kata dan makna atas nama kebebasan manusia. Puisi adalah bahasa perjuangan. Otoritas Rendra dalam puisi membuat Sapardi Djoko Damono (1999) perlu memberi label bahwa perpuisiasn Indonesia telah menerima sihir Rendra dengan dialektika estetika dan kekuasaan.

Panggung
Kerja kultural Rendra pun hadir di panggung teater sebagai tindakan untuk memunculkan kesadaran publik atas masa lalu dan masa depan Indonesia. Teater jadi jalan bagi kaum urakan untuk pemenuhan daulat manusia. Teater pembebasan dan penyadaran dari Rendra secara reflektif mengusung tema-tema sosial dan politik dalam sensitivitas Orde Baru. Kritik jadi alasan penguasa memenjarakan dan melarang pertunjukan-pertunjukan teater Rendra. Bahasa reprsesif penguasa tak bisa membuat Rendra mandek atau mundur. Puluhan naskah dipentaskan dalam keberanian dan pamrih meruntuhkan bayang-bayang ketakutan atas kekuasaan.
Rendra pun mementaskan Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Oidipus Sang Raja, Mastodon dan Burung Kondor, Hamlet, Panembahan Reso, Sekda, Kisah Perjuangan Suku Naga, Bip Bop, Menunggu Godot, Lysistrata, Kasidah Barzanji, Perampok, Buku Harian Seorang Pencopet, dan lain-lain. Garapan-garapan Rendra menebar sihir pada publik tapi jadi ancaman untuk stabilitas politik. Teater telah jadi ungkapan kritis Rendra dalam membaca dan menilai nasib orang Indonesia dan sekian kebobrokan dalam pengelolaan negara. Teater adalah pemberontakan atau subversi dengan politik makna estetika. Eksplisitas pemberontakan itu kentara ketika Rendra pulang dari negeri Amerika Serikat (1967) untuk belajar teater. Sejak itu ruh pemberontakan dalam teater susah dipadamkan meski oleh penguasa lalim.
Rendra menjelma ikon teater modern Indonesia. Putu Wijaya (2000) menjuluki Rendra sebagai idiom baru teater Indonesia. Rendra jadi contoh sosok dengan ikhtiar menggedor, menerobos, menonjok tembok beku. Teater telah jadi perayaan publik untuk melontarkan kritik dan melakukan refleksi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam tegangan kekuasaan dan kebudayaan. Teater mazhab Rendra sampai hari tetap jadi titik penting dari keberanian publik teater mengusung tema-tema kritik sosial politik sebagai bahasa resistensi.

Wacana
Rendra dalam wacana intelektual Indonesia memberi sebuah risalah penting dan kritis terhadap posisi intelektual dalam dominasi negara. Risalah itu disampaikan dalam pidato penerimaan penghargaan dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975. Rendra mengungkapkan idiom fenomenal: "cendekiawan berumah di angin." Idiom ini pun dihadapkan pada rezim kekuasaan. Rendra pada masa itu menggugat tentang orang-orang dewan karena tampak tak memiliki kepekaan dan kesangupan mengurusi demokrasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, demokrasi politik, pembentukan keadilan sosial, dan demokrasi pendidikan. Gugatan itu terus menemukan sambungan sampai hari ini tapi jarang menemui jawaban memuaskan.
Biografi intelektual kritis itu mengantarkan Rendra pada pergulatan wacana-wacana besar. Rendra dengan intensif mengajukan tawaran gagasan dalam tema daulat rakyat, kebebasan seni, menggairahkan tradisi, kesadaran ekologis, pembelaan HAM, revitalisasi negara maritim, dan pendidikan pembebasan. Rendra tidak sekadar memberi khotbah tapi masuk ke panggung politik dengan jejaring dengan tokoh-tokoh intelektual, LSM, seniman, ulama, pengusaha, dan aktivis HAM.
Rendra ketika tua belum kehilangan spirit pembebasan dan pemberontakan. Peristiwa Reformasi mencatat bahwa Rendra menjadi bab penting dalam penyadaran politik dan kebudayaan. Orasi dan aksi dilakukan dengan antusias untuk memberi arti pada ruh dan tubuh Indonesia. Rendra hadir dengan Sajak Bulan Mei 1998 sebagai kontribusi signifikan atas estetika politik Indonesia. Reformasi jadi momentum puisi dan politik bertemu dalam integrasi menyelamatkan Indonesia.
Rendra telah tamat. Warisan-warisan Rendra masih terbuka untuk tafsir dan aksi. Inilah saat untuk publik Indonesia mempertimbangkan Rendra. Pokok dan tokoh ini adalah ikon pemberontakan dengan pamrih untuk realisasi daulat manusia dan daulat rakyat. Ikhtiar membaca kembali kata-kata Rendra mungkin memberi gairah konstruktif untuk membenahi "rumah Indonesia" ketimbang mendengarkan retorika politik picisan dari penguasa dan pendamba kekuasaan. Begitu.

Dimuat di Suara Merdeka (8 Agustus 2oo9)
Read More...

Homo Fabula

Oleh Bandung Marwadi

Ben Okri (1997) mengungkapkan bahwa menulis dalam sejarah peradaban manusia merupakan tindakan emansipatoris. Penulis tak lelah untuk mengisahkan apa saja sebagai manifestasi dan representasi lakon manusia. Ben Okri pun mengakui manusia adalah homo fabula (makhluk pengisah). Peran sebagai homo fabula membuat manusia sadar bahwa dunia ini rimbun oleh pelbagai kisah.

Homo fabula melahirkan kisah dengan sekian dalil dan pamrih. Peradaban-peradaban manusia di Asia, Eropa, Afrika, atau Amerika memiliki homo fabula sebagai tanda progresivitas dengan nostalgia dan utopia. Kisah-kisah kuno masih mendapati jalan pewarisan dan kisah-kisah untuk hari esok masih kiblat untuk lekas dikisahkan. Kisah-kisah abadi masih jadi referensi untuk membaca arus dan alur peradaban manusia dalam olahan fakta dan fiksi. Kisah-kisah pemula memang cenderung mitologis tapi mengandung tanda-tanda faktual atas lakon kehidupan manusia.
Manusia pengisah dalam menciptakan kisah memiliki anutan dan prosedur sesuai dengan latar mitologi, teologi, estetika, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Kisah-kisah ada menjelma sebagai realisasi dan representasi manusia untuk membaca diri, dunia, hidup, dan alam. Membaca membutuhkan jalan atau perantaraan. Kisah menempatkan diri untuk mengantarkan manusia pada ikhtiar mencari-menemukan makna dengan alegori, metafora, atau simbol. Kisah pun menemukan peran signifikan dalam pergulatan hidup manusia.
Kisah lahir dan bergerak dari dan untuk apa saja. Pelbagai hal mungkin diusung dalam kisah untuk orientasi pluralisitik. Manusia mungkin melakukan identifikasi dalam pelbagai konteks tafsir untuk menemukan relevansi kisah dengan laju zaman dan kompleksitas peristiwa hidup. Kisah tidak menjadi artefak. Kisah tak mati ketika ada keterlibatan manusia untuk masuk dan keluar dalam ambang batas dunia fakta-fiksi. Kisah selalu menjadi hidup dalam resepsi dan interpretasi.
Kisah adalah cerita tentang peristiwa atau riwayat dalam kehidupan manusia. Bagus Takwin (2007) mengungkapkan: "Setiap manusia adalah pembuat kisah yang di dalamnya ia jadip peran utama. Kisah itu bernama Diri, sebuah pusat aktivitas kesadaran sekaligus medan tempat pelbagai daya dari luar ikut menyumbang bagian cerita untuk melengkapinya. Dengan memahami kisah itu, kita dapat memahami bahwa diri setiap orang terhubung dengan diri orang lain. setiap orang dapat memahami dirinya melalui dan di dalam keterlibatan dengan orang lain." Manusia adalah makhluk pembuat dan pembaca kisah.
Kisah tidak sekadar mencipta dan mengumbar fantasi atau imajinasi. Kisah itu memiliki awal dan akhir pada manusia. Kisah memiliki substansi atas nama manusia meski dalam narasi memunculkan perkara-perkara di luar diri manusia. Simbolisme dan imaji memiliki tarikan pada manusia sebagai pusat. Pernik-pernik atau instrumen dalam kisah menjadi bumbu dan ekpresi untuk pencapaian hasrat-hasrat manusia.
Kisah menemukan titi-titik sambungan dari masa lalu sampai hari ini. Kisah dalam kultur lisan dan tulisan adalah proses progresivitas dengan mengandung risiko. Tulisan sebagai realisasi dan representasi manusia memberi risiko untuk parameter peradaban modern. Risiko substansial adalah tulisan memberi reduksi dan godaan untuk pelemahan ingatan manusia. Tulisan menjelma dalam bentuk fisik sebagai acuan untuk ingatan. Mekanisme ingatan dalam tradisi lisan pun mengalami godaan. Kisah sebagai olahan fakta-fiksi pun menjadi pelik dan dilematis. Imajinasi jadi pertaruhan untuk melahirkan dan meresepsi kisah.
Kisah dalam peradaban tulis menjadi perayaan tanpa titik. Manusia menulis kisah dengan gairah: positif atau negatif. Perayaan itu mendapati dukungan dari teknologi dan sistem penerbitan modern. Kisah dalam bentuk tulisan pun menjadi tanda dari lakon manusia untuk pelbagai peristiwa dan perkara. Penerbitan kisah dalam peradaban modern ini melimpah dan susah untuk dikumpulkan dalam pola homogen. Heterogenitas dan pluralitas adalah takdir untuk perayaan kisah pada abad dan zaman modern.
Siapa saja pasti susah untuk melakukan pendataan utuh atas kelahiran dan publikasi kisah-kisah dalam bentuk puisi, novel, cerpen, atau drama. Gudang kisah tentu sesak untuk menampung totalitas kisah dari Leo Tolstoy, Agatha Cristie, Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Orhan Pamuk, Putu Wijaya, Marga T, Sartre, Lu Hsun, Tagore, Kahlil Gibran, Remy Sylado, Milan Kundera, James Joyce, Y.B. Mangunwijaya, Arswendo Atmowiloto, Kho Ping Ho, Suparto Broto, Goethe, Shakespeare, Umberto Eco, Nadjib Mahfoudz, Salman Rushdie, Coetzee, Naipul, Abdullah bin Abdulkadir Munsji, Ronggowarsito, Amy Tan, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain. Kisah-kisah dari manusia pengisah itu ada untuk mendedahkan tentang manusia. Kisah-kisah itu selalu belum sampai pada tafsir paripurna.
Kisah-kisah itu memiliki nasib sendiri-sendiri. Pujian dan cacian jadi kelumrahan. Kontroversi pun tak luput memberi catatan untuk nasib kisah. Kontroversi muncul dengan pelbagai argumentasi dari teologi, politik, etnis, nasionalisme, ideologi, atau etika. Kontroversi itu menadakan bahwa manusia pun belum usai sebagai makhluk kontroversi. Pelarangan atas buku jadi kelumrahan. Fatwa mati atau hukuman untuk manusia pengisah jadi tradisi. Peringatan pada pembaca untuk tidak membaca jadi tanda seru atas pemasungan hak. Nasib kisah, manusia pengisah, dan pembaca jadi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tak selesai.
Kisah-kisah dalam bentuk tulisan adalah sisi lain dari progresivitas peradaban modern. Kisah-kisah pun lahir dan dipublikasikan melalui medium teknologi modern. Film jadi medium kisah. Kaset jadi medium kisah. Radio dan televisi pun cerewet menghadirkan kisah. Pelbagai kisah mulai mencari-menemukan bentuk untuk realisasi dan representasi manusia. Kisah dalam bentuk tulisan mulai mendapati godaan dan ancaman.
Kehadiran pelbagai medium kisah memberi efek dan risiko. Kultur membaca perlahan mengalami reduksi karena umat manusia merasa khusuk dan tekun menikmati kisah melalui televisi atau internet. Kisah terus ada tapi mekanisme untuk menikmati kisah mengalami pemutakhiran atau pencanggihan. Tanda tanya dan tanda seru mulai menjadi perkara pelik untuk memerkarakan kisah.
Mediamorfosis jadi fakta mutakhir. Proses peralihan medium seperti jadi peringatan untuk menilai godaan kisah bagi manusia. Nasib kisah hari ini jadi pertaruhan peradaban manusia. Masihkah manusia pada hari ini mengimani dan mengamini diri sebagai homo fabula atau manusia pengisah? Pertanyaan ini mudah menemukan jawaban tapi susah memberikan eksplanasi paripurna. Begitu.

Dimuat di Seputar Indonesia (9 Agustus 2oo9)
Diposkan oleh Kabut Institut di 19:01
Label: Esai
Read More...

Letakkan Gereja pada Tempatnya

Selasa, 04 Mei 2010

MASALAH politik pada galibnya adalah masalah kekuasaan. Dengan kekuasaan orang dapat memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Sebaliknya tanpa kekuasaan, orang harus menerima kehendak orang lain. Maka perebutan kekuasaan itu menjadi sangat penting bila orang ingin kehendaknya ditaati orang lain. Orang yang berkuasa akan cenderung memaksakan kehendaknya.

Itu sebabnya ketika berbicara tentang politik, filsuf Perancis, JJ Rousseau, berbicara tentang 'kehendak umum' dan 'kehendak khusus'. Hanya pemerintahan yang mencerminkan kehendak umum yang memiliki keabsahan.
Antara kehendak dan kekuasaan terdapat korelasi yang sangat erat. Kita jadi mengerti mengapa mereka yang bertarung merebut kekuasaan atau yang ingin mempertahankan kekuasaan akan menggunakan banyak cara dan jalan. Kehendak khusus orang yang bertarung itu bahkan mampu mengeliminasi segala etika dan pranata politik.
Para petarung itu bisa buta, tidak melihat lagi seperti apa pranata politik yang harus dihormati. Kemelut di KPU Flores Timur adalah contoh soal betapa kuatnya korelasi antara kehendak khusus dari orang yang bertarung dengan kekuasaan yang ingin direbut atau dipertahankan.
Dalam konteks seperti ini kita menangkap pesan pastoral Uskup Manggarai, Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr. Dalam surat gembalanya (Pos Kupang, 4/2/2010), Mgr. Hubert meminta agar para petarung di panggung Pemilu Kada Manggarai dan Manggarai Barat tidak memanfaatkan gereja sebagai panggung politik.
Boleh jadi gereja di Manggarai dan Manggarai Barat telah dimanfaatkan oleh mereka yang ingin bertarung merebut kekuasaan. Gereja dimanfaatkan karena suara institusi ini dianggap paling dapat dipercaya. Kita sepakat bahwa suara kenabian gereja masih kuat menembus ruang batin warga gereja. Suara hirarki dalam gereja, bagi umat bak suara emas yang lebih mudah didengar dan dituruti.
Keunggulan gereja ini dalam praksis politik di daerah ini sering dimanfaatkan oknum-oknum yang ingin bertarung dalam perebutan kekuasaan. Para petarung berlomba-lomba mendekati istana uskup dan halaman pastoran meminta restu. Berkat seorang uskup untuk seorang calon kemudian ditafsir sebagai dukungan gereja kepada si penerima berkat.
Padahal, sampai sekarang sikap gereja terhadap urusan politik tegas dan jelas: netral. Gereja tidak terlibat langsung dalam dukung-mendukung calon kepala daerah, calon anggota legislatif. Gereja tidak diutus untuk mencari kekuasaan politik guna menunjang panggilannya. Apa yang dilakukan gereja dalam konteks politik tak lebih dari imbauan agar orang tetap sadar akan kebebasannya dalam menentukan pilihan politik.
Karena itulah kita mesti mendukung imbauan Uskup Hubert. Kita mesti dukung karena beberapa alasan lain. Pertama, agar tidak terjadi perpecahan dalam diri anggota gereja sendiri. Dalam Pemilu Kada Manggarai dan Manggarai Barat, mereka yang bertarung adalah juga warga gereja. Sebagai institusi yang berdiri di atas semua kepentingan, kita tidak ingin melihat gereja menjadi arena pertarungan para warganya.
Kedua, kita dukung imbauan itu juga agar para klerus, imam, biarawan/ti tidak ikut terlibat secara langsung dalam politik praktis. Kita memahami sikap sejumlah klerus yang resah melihat tata dunia yang melempem jauh dari harapan akibat para pemimpin politik menjalankan kekuasaan politik jauh dari pranata politik. Kita akui banyak ketidakadilan sosial terjadi di tangan seorang penguasa politik yang cenderung arogan.
Banyak anggota klerus tidak bisa menahan diri untuk ikut bersuara. Kita mengerti kondisi batin itu. Tetapi kita harapkan para klerus tetap pada jalannya, tetap pada posisinya, tetap bersikap netral. Sikap ini telah ditegaskan Paus Paulus VI ketika menerbitkan pedoman hidup kaum religius Evangelica Testificatio (1971). Dalam salah satu bagian dari pedoman itu, Paus Paulus VI menegaskan agar klerus tidak boleh melakukan tindakan politis untuk memperjuangkan ketidakadilan sosial.
Jelaslah, gereja, para klerus mesti netral dan berdiri di atas semua orang, di atas mereka yang ikut bertarung di panggung politik. Para petarung juga kita ingatkan untuk tidak mementaskan drama politik di atas panggung gereja. *
Pos Kupang, 5 Mei 2010
Read More...

Hormat kepada Kaum Perempuan

Selasa, 27 April 2010

DALAM bentangan sejarah muncul begitu banyak pandangan pincang tentang perempuan. Beberapa di antaranya kita sebutkan di sini. Menurut Plato, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.

Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal. "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya," tulis Nietzsche.
Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama.
Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek persetubuhan adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai "pelacuran sakral". Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya.
Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa," kata Tertulianus.
Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian).
Sekarang, pandangan-pandangan minor seperti ini nyaris tak terdengar lagi. Tetapi praktek-praktek pelecehan dan bersifat merendahkan kaum perempuan masih terjadi dan terus terjadi. Dalam hampir semua sektor kehidupan, kaum perempuan masih diposisikan pada tempat nomor dua.
Di pabrik-pabrik, misalnya, gaji perempuan masih lebih kecil dari pria, meski porsi dan beban kerjanya sama. Di bidang politik, kita juga melihat betapa sulitnya nama perempuan menempati nomor urut satu dalam pemilihan legislatif. Di bidang pemerintahan juga sama. Perempuan yang bisa menduduki eselon II masih sangat terbatas.
Di rumah juga sama. Meski bersuamikan pria yang mengerti dengan pendidikan yang baik, para istri juga masih berkutat seputar sumur dan dapur. Banyak istri yang luang lingkupnya masih di wilayah domestik.
Pertanyaan pentingnya, mengapa semua ini masih terus terjadi? Ada pandangan yang mengatakan bahwa semuanya adalah normal, apa adanya. Sudah given, terberi. Sudah seperti itu. Tidak perlu dipersoalkan. Artinya, posisi perempuan yang terendahkan, terkebelakang bukan masalah. Dan, banyak perempuan juga menerima pandangan ini.
Tetapi pandangan ini ditentang arus besar yang namanya feminisme. Inti gerakan ini adalah perjuangan gender. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Tidak ada perbedaan. Perbedaan jenis kelamin adalah perbedaan yang sifatnya kodrati, yang memang tidak mungkin disamakan. Kita dukung perjuangan gender.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis perjuangan gender kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Kita dukung perjuangan gender sejauh itu diletakkan dalam kerangka menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kita dukung perjuangan gender asalkan itu tidak diidentikkan dengan peranan kodrati.
Di hari istimewa, 21 April yang kita rayakan sebagai Hari Kartini ini, pantaslah semua kita yang lahir dari rahim seorang perempuan memberi hormat dan penghargaan yang tinggi kepada semua perempuan. Selamat merayakan Hari Kartini kepada semua perempuan. *

Pos Kupang, 21 April 2010 Read More...

Dramaturgi Pemilu Kada

BAHWA politik itu penuh intrik dan ditaburi aneka kepentingan, semua sudah mafhum. Bahwa arena politik itu sesungguhnya merupakan arena perebutan kekuasaan, semua orang sudah tahu.
Tetapi kalau politik itu ditandai dengan dagelan tak lucu, agaknya semua mesti marah. Marah, karena itu tak lain berarti politik telah melenceng sangat jauh dari hakikat asalinya.

Hari-hari ini publik NTT disuguhi sebuah dagelan tak lucu di panggung pemilihan umum kepala daerah (Pemilu Kada). Tahun ini ada enam kabupaten di NTT yang serentak menyelenggarakan pemilu kada. Sejauh ini tahapannya pada masing-masing kabupaten sudah tiba pada pendaftaran bakal calon.
Kita katakan dagelan tak lucu di atas panggung pemilu kada karena banyak partai politik yang tak lain merupakan pintu masuk para bakal calon kepala daerah membuka praktek jual beli kursi dan atau suara.
Di Flores Timur, seperti diberitakan harian ini edisi Rabu (17/3/2010), ditengarai ada partai yang mematok harga Rp 400 juta untuk satu kursi. Di kabupaten ini, satu calon membutuhkan lima kursi anggota legislatif untuk mendapat tiket menjadi calon. Hitung saja, kalau satu kursi dipatok Rp 400 juta. Seorang calon mesti mengeluarkan dana Rp 2 miliar untuk mendapat pintu.
Jika praktek ini sebatas dugaan dan wacana, syukur. Tetapi jika betul, celakalah praktek berdemokrasi di daerah ini. Flores Timur cumalah contoh kasus. Praktek ini telah menjadi jamak di NTT. Menurut selentingan, di Manggarai juga sama. Kursi partai juga dijual mahal kepada para bakal calon yang ingin maju.
Kita patut sedih. Karena ternyata partai politik tidak lebih dari lembaga lelang. Siapa yang ingin maju dalam even politik mesti menggadaikan sejumlah harta ke partai.
Praktek seperti ini juga secara jelas menunjukkan bahwa kita belum bebas dari praktek oligarki yang semasa orde baru begitu kental. Padahal salah satu agenda penting reformasi adalah mengembalikan praktek dan iklim demokrasi ke jalan yang benar, sehat, fair dan sebagaimana mestinya.
Semasa orde baru, praktek oligarki begitu kuatnya. Partisipasi rakyat dikebiri, sebaliknya penguasa bisa memobilisasi kekuatan di tubuh birokrasi dan militer untuk duduk di struktur partai. Jangan kaget, para ketua partai kebanyakan adalah mantan birokrat dan pensiunan militer.
Anehnya, meski orde baru sudah runtuh, praktek itu masih tetap ada. Para politisi partai sekarang terperangkap ke dalam kecenderungan oligarkis baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Jangan kaget, ketua partai ini dan itu adalah para mantan kepala daerah, mantan kepala dinas ini dan itu.
Alhasil, kesempatan bagi rakyat untuk menjadi faktor determinan dalam proses politik yang telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur masyarakat yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis yang direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi pro forma birokratis yang justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarkis dalam kehidupan partai politik.
Kasus Flores Timur adalah contoh yang sangat terang. Demi mengakomodasi figur partai, pimpinan partai yang tidak sehaluan dengan kehendak partai di tingkat atas, dipecat begitu saja.
Kalau seperti ini, apa sesungguhnya manfaat partai bagi rakyat? Menurut hakikatnya, partai politik itu cumalah anak tangga menuju ke tata pemerintahan yang lebih baik, demokratis dan bermartabat. Dia cuma medium, jalan untuk mengantar sejumlah orang meraih kursi kekuasaan.
Yang selalu jadi soal adalah mahalnya anak tangga itu bagi orang- orang yang berkehendak baik untuk menjadi pemimpin. Secara negatif, partai kerapkali menutup pintu bagi orang yang ingin berbuat baik melalui kursi kekuasaan. Jika terus seperti ini, maka hajatan pemilu kada cuma menjadi dramaturgi lima tahunan dengan lakon komedi bagi rakyat.
Read More...

Tambang dan Pemekaran Wilayah

Selasa, 09 Februari 2010

Oleh Tony Kleden



IDIOM apa yang paling mendominasi wacana dan menyita perhatian publik di NTT sejak tahun 2008 hingga kini? Rasanya tidak berlebihan untuk menyebut tambang dan segala ihwal tentang pertambangan. Teringat pengalaman dua tahun silam, tepatnya Rabu, tanggal 16 Juli 2008. Di gedung DPRD NTT, duet Drs. Frans Lebu Raya-Ir. Esthon Foenay, M.Si, dilantik menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013. Ramai sekali.

Lepas tengah hari, tiga orang petinggi dan owner salah satu perusahaan tambang dengan skope internasional bertandang ke Kantor Redaksi Pos Kupang di Jalan Kenari, Kota Kupang. Sebelum tiga tamu itu masuk, dua orang aparat keamanan yang mengawal ketiganya, membuka pintu kaca kantor. "Ada tamu yang mau masuk," kata salah seorang di antaranya kepada satpam. Setelah itu, dia mengawal ketiganya masuk.
Kecuali tamu dari kalangan pejabat (negara) penting, ini pengalaman pertama tamu biasa (bukan pejabat negara) dikawal aparat keamanan bertandang ke Pos Kupang. "Kami dari perusahaan... (sebut nama salah satu perusahaan). Apa yang bisa kami bantu untuk Pos Kupang? Mesin cetak? Atau?" kata salah seorang di antaranya.
Bantu Pos Kupang? Beli mesin cetak? Ternyata, tambang tidak lagi semata urusan eksplorasi dan eksploitasi. Tidak cuma mengeruk kandungan perut bumi bernilai tak terhingga. Tambang juga sudah bersentuhan dengan persuasi mempengaruhi warga, berkaitan dengan kiat meyakinkan elemen lain untuk mendukung pertambangan. Lebih jauh, harta karun itu juga telah melibatkan media sebagai salah satu domain sangat penting menjustifikasi segala aktivitasnya. Dan karena itu, bandol media yang masih melihat tambang secara jernih dengan pendekatan jurnalisme fakta yang belum dikonstruksi oleh kepentingan tertentu, mesti digeser.
Kita akui NTT kaya mineral pertambangan. Dari foto satelit, kandungan bumi NTT bak surga bagi para investor. Daratan Flores dari ujung barat hingga ujung timur, menyeberang hingga ke Lembata dan Alor, kaya berbagai barang tambang. Di daratan Timor, dari ujung ke ujung, kandungan mineralnya juga limpah. Mangan belakangan menjadi primadona yang paling diburu. Warga tinggal memungutnya di kebun dan pekarangan rumah. Kerusakan lingkungan di daratan Timor, karena itu, sejauh ini belum terlalu nyata terlihat. Tetapi pasti jika tidak dikendalikan dan diatur, pertambangan mangan di daratan Timor akan mengikis pelan-pelan dinding-dinding bukit dan gunung di Timor.
Kondisi ini sangat berbeda dengan di Flores. Rata-rata barang mineral di Flores ada jauh di bawah perut bumi, dan karena itu mesti digali. Sejalan dengan hakikatnya yang ekstraktif, urusan tambang menambang di Flores, karena itu, adalah aktivitas menebang pohon, membabat hutan, mengeruk perut bumi dengan alat-alat berat, mencari lahan barang mineral. Masuk akal, mengapa resistensi terhadap tambang menjadi begitu kuat di daratan Flores. Begitu banyak elemen warga menolak tambang di Flores.
Mengapa mesti ditolak? Ada pertanyaan yang sangat menggugat. Kalau tidak digali dan diambil, lantas untuk apa barang berharga itu? Dibiarkan tersimpan di perut bumi? Mengapa tidak diambil dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat?
Ini beberapa pertanyaan yang telah menjadi argumen baku para petambang dan perusahaan pertambangan. Untuk kesejahteraan masyarakat telah menjadi terminologi bertuah yang sangat kuat mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat kita akan pentingnya tambang menambang. Terminologi ini jugalah yang dipompa masuk ke otak para penguasa dan pengambil kebijakan.
Sudah pasti perusahaan-perusahaan tambang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari aktivitas tambang. Di mana-mana, untuk kesejahteraan masyarakat itu dinyatakan juga dengan janji-janji dari surga yang muluk-muluk. Membangun sekolah, membangun tempat ibadah, membuka jalan raya adalah 'mimpi akan' nan indah dan memabukkan. Masyarakat kita yang sederhana dan polos gampang dan sering menjadi korban janji dan mimpi seperti ini.
Sekarang dengan bantuan advokasi sejumlah pihak, masyarakat kita makin melek dan pintar membaca 'tanda-tanda zaman'. Mereka mulai insaf bahwa untuk kesejahteraan masyarakat bukan kata bertuah, melainkan kata berbisa yang sangat mematikan. Kita jadi mengerti, mengapa demo antitambang menjadi begitu kolosal di daratan Flores dan Lembata. Penolakan itu adalah reaksi terhadap aksi perusahaan tambang di lapangan. Di Lembata, reaksi masyarakat itu membuat PT Merukh Enterprises dan Bupati Lembata meneken nota penolakan tambang di Lembata, Maret tahun lalu. Tamatkah PT Merukh di Lembata? Selesaikah niat menambang di daerah ini? Tunggu dulu!
Menurut analisis George Junus Aditjondro, ada korelasi positif antara pemekaran wilayah (propinsi, kabupaten) dengan pertambangan. Aditjondro melihat bahwa pemekaran kabupaten dan propinsi di banyak tempat dibiayai oleh pebisnis yang sudah atau ingin bergerak di bidang pertambangan. Para pebisnis ini berkeinginan sangat kuat untuk menambang di daerah potensial yang umumnya terdapat di Indonesia timur. Mereka membonceng hasrat ingin berdiri sendiri sejumlah wilayah dengan meminjamkan miliaran rupiah untuk pengesahan kabupaten/propinsi baru. Ajang pilkada akan menjadi bandar, tempat para calon bupati dan investor bertemu dan bernegosiasi.
Dalam tulisannya di buku "Pertambangan di Flores-Lembata, Berkat atau Kutuk?" (Alex Jebadu et al. (eds), Penerbit Ledalero, 2009), Aditjondro menyebut contoh pemekaran Papua menjadi tiga propinsi (Papua, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat). Sebetulnya di balik pemekaran Papua ini tersembunyi kepentingan Ingold, Freeport McMoRan dan BP. Alhasil, Gubernur Papua menjadi pengaman kepentingan Ingold di Pegunungan Bintang dan Freeport di kaki Puncak Jaya, sementera Gubernur Papua Barat menjadi pengaman kepentingan BP di Kepala Burung dan BHP Billiton, partner Aneka Tambang dalam tambang nikel di Pulau Gag.
Entahkah, pemekaran Manggarai berkorelasi positif juga dengan pertambangan di beberapa tempat di Tanah Manggarai? Atau, apakah ada investor yang ikut 'bermain' dalam Pilkada Lembata tiga tahun lalu? Apakah ada Sinterklas yang bermurah hati membiayai pembentukan Kabupaten Adonara, Kabupaten Malaka, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya? Siapa tahu, ada investor yang nekad membiayai Riung menjadi kabupaten sendiri asalkan biji besi di kawasan pegunungan Riung dikeruk?
Lepas dari analisis dan dugaan Aditjondro, suara penolakan terhadap tambang telah menjadi begitu bergema di NTT. Kerusakan lingkungan menjadi alasan paling umum menolak tambang.
Cuma sebatas itu? Tidak! Tambang ditolak tidak cuma karena alasan ekologis. Menurut Dr. Paul Budi Kleden, ada alasan teologis juga mengapa tambang mesti ditolak. Tanggapan teologis terhadap setiap rencana penambangan, menurut Budi Kleden dalam buku yang sama, mesti memperhatikan tiga aspek ini: ekoteologi, teologi kesejahteraan dan teologi keterlibatan.
Dengan ekoteologi dimaksudkan sebagai refleksi atas relasi antarunsur dalam ekosistem dari perspektif iman. Dalam kaitan dengan penambangan, ekoteologi ingin mengoreksi pandangan yang lama dianut dalam teologi, yang sekarang terbukti salah karena lebih banyak merusak dan menghancurkan. Terpengaruh pandangan lama itu, orang terperangkap dalam sesat pikir bahwa manusia itu adalah puncak dan tujuan proses penciptaan. Pandangan sesat ini cuma menunjukkan arogansi manusia terhadap ciptaan lain.
Tetapi perhatian yang semakin penting terhadap seluruh ciptaan tidak lantas menekankan konsep teologi ciptaan yang kosmosentris (berpusat pada alam). Alam tidak boleh dilihat sebagai puncak dan tujuan final dari ciptaan. Yang menjadi awal dan puncak adalah Allah sendiri, bukan alam. Karena itu, kita mesti beralih dari antroposentrisme kepada teosentrisme. Konsep penciptaan yang teosentris mengandung konsekuensi bahwa seluruh ciptaan adalah jejak kaki Allah (vestigia Dei) dan sakramen keselamatan. Jejak kaki Allah itu mesti dijaga, bukan dirusakkan. Dalam tatanan ciptaan, manusia diciptakan pada hari ke-6, setelah semua yang lain diciptakan. Ini menggarisbawahi keyakinan biblis bahwa manusia itu 'pendatang baru' dalam konstelasi penciptaan. 'Pendatang baru' mesti rasa-rasa diri.
Sedangkan teologi kesejahteraan, menurut Budi Kleden, hendak membalikkan paradigma berpikir bahwa yang berhak mengatur kesejahteraan bersama bukan hanya para penguasa politik. Setiap orang, warga negara, dan umat beragama, berhak dan berkewajiban untuk mengupayakan kehidupan yang baik di dunia ini. Kesejahteraan bukan hanya masalah dan urusan pemerintah. Begitu juga tambang, bukan sekadar masalah tanah yang dapat diselesaikan hanya dengan para tuan tanah.
Atas dasar ekoteologi dan teologi kesejahteraan itulah, banyak elemen kemudian bersatu hati melibatkan diri melawan pertambangan. Yang menarik ialah perlawanan itu, terutama di daratan Flores-Lembata, lebih banyak dimotori institusi dan organ gereja. Nada minor kemudian terdengar. Mengapa gereja mesti terlibat untuk urusan yang bukan wilayahnya? Mengapa para rohaniwan harus keluar biara ikut berteriak menentang tambang? Bukankah wilayah kerja mereka adalah sekitar altar?
Institusi gereja mesti terlibat. Dalam situasi dan kondisi sosial yang pincang, gereja tidak boleh netral. Menghadapi penguasa yang semena-mena, misalnya, gereja tidak bisa netral. Gereja mesti mengambil sikap. Kalau gereja tidak mengambil sikap, kalau gereja cuma bisa berdiam diri dan ingin netral, niscaya dia mendukung status quo. Di tengah era yang makin beku akibat para penguasa mati rasa berbuat baik, gereja tidak bisa duduk manis dan menyaksikan semua itu dari balik rumah kencananya.
Makin hari makin terasa praktek penyelenggaraan pemerintahan yang melempem. Negara juga sudah cenderung menjadi masalah tersendiri bagi rakyat. Santo Agustinus dalam De Civitate Dei mengatakan, "Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia" (Negara yang tidak menyelenggarakan pemerintahannya secara adil, tidak lebih dari sekawanan perampok bagi rakyatnya). Ketika masyarakat tidak berani menghadapi perampok, berdosalah parapihak yang punya kekuatan tetapi cuma bisa diam. Dom Helder Camara bilang, "Persoalan-persoalan (kecil-besar) yang tengah mengelilingi kita terjadi bukan karena meningkatnya kejahatan, tapi karena diamnya orang-orang baik."
Kalau tanah Flores, Timor dan Sumba perlahan-lahan tergerus 'kuku-kuku' alat berat, kalau air di sungai dan danau makin keruh, kalau cuaca makin panas, apakah kita semua hanya bisa diam dan menyaksikan kerusakan itu? Jangan cuma bisa diam kalau mengaku diri orang baik! *
Read More...