Wajah pers, wajah pengelola

Senin, 26 November 2007

Oleh : Tony Kleden

PADA Selasa, 15 Agustus 2006 lalu, Harian Umum Pos Kupang -- bersama dengan sembilan media lain di Indonesia -- mendapat penghargaan sebagai koran terbaik 2005. Beberapa saat sebelum piagam itu diserahkan dan beberapa hari sesudahnya, banyak pesan singkat (SMS/short message service) mampir di handphone saya. Semuanya satu nada: selamat dan proficiat untuk prestasi ini!
Tak tega rasanya kalau mesti menghapus pesan-pesan itu dari handphone. Karena itu, tulisan ini boleh dibilang sebagai bentuk terima kasih untuk para pembaca, simpatisan dan siapa saja yang peduli terhadap Pos Kupang dan pers secara umumnya.
Sekilas perkembangan pers
Harus diakui bahwa kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus juga merupakan sebuah blessing in disguise, berkat dan karunia tersendiri bagi dunia pers. Tumbangnya rezim Orde Baru itu membawa sebuah pengaruh yang luar biasa, yakni bahwa kesadaran masyarakat terhadap pers semakin kritis. Masyarakat yang berdiri selaku konsumen media akan menentukan nasib sebuah media. Mati atau gugurnya sejumlah banyak koran dan tabloid adalah juga indikasi betapa masyarakat kita sudah sangat kritis menjatuhkan pilihan. Jika pada rezim lalu, pilihan media sangat terbatas, maka sekarang masyarakat seolah bingung sendiri di tengah bursa media. Pers mendapat tempat secara penuh. Wartawan dan pekerja pers pun menemukan tempatnya berekspresi lewat karya dan kerja jurnalistiknya.
Lembaga Kementerian Penerangan yang ketika itu lebih banyak berperan sebagai 'satpam' bagi pers, dihapus. Tetapi hal yang paling penting adalah digantikannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 itu ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999. Perangkat undang-undang baru ini memberi aksentuasi yang jauh lebih banyak bagi iklim kebebasan pers. Meskipun di sana sini masih terdapat sejumlah pasal yang dilihat sebagai senjata membelenggu pers, toh undang-undang ini telah membongkar paradigma lama tentang pers dan menggantikannya dengan paradigma baru. Jika dalam undang-undang lama kredonya adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab, maka dalam undang-undang baru ini kredonya adalah kebebasan pers yang profesional. Profesionalisme mendapat penekanan di dalam undang-undang ini.
Paradigma baru ini terutama dimaksudkan untuk mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang sudah salah kaprah semasa rezim lama. Paradigma kemerdekaan pers yang profesional juga memberikan makna yang lebih hakiki dan mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi saat ini. Lebih jauh, kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk membangun kualitas sumber daya manusia, manejemen perusahaan yang profesional, kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover both side (jika perlu cover all side), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi.
Inilah tuntutan normatif dan kualitatif yang memberikan landasan pijak bagi titian pers. Tetapi respons terhadap iklim kebebasan pers itu muncul sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ditetapkan. Itu berarti kerinduan (pegiat) pers untuk melepaskan diri dari kuk yang membebani dan ikatan yang membelenggu merupakan kerinduan yang sungguh menghentak dan mendesak. Tak ayal, sebelum perangkat hukum ini disahkan, telah lahir ribuan media di tanah air. Hingga kejatuhan Soeharto, di Indonesia cuma terdapat 289 media yang ber-SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Belum setahun usia reformasi, jumlah media yang terbit menjadi 582, dua kali lipat semasa 30 tahun sebelumnya. Sekarang, sudah lebih dari seribu media yang hadir di tanah air. Ketika bangsa ini memasuki era pencerahan yang disebut sebagai zaman reformasi, pers pun seolah memasuki pintu gerbangnya guna mereguk susu dan madunya. Bagai pengantin baru, pers Indonesia mengalami masa bulan madunya di awal reformasi.
Di NTT, dampak kebebasan pers itu juga cukup menyata. Disemangati eforia yang dialami secara nasional, sejumlah orang coba ikut mereguk manisnya madu dengan mencoba mendirikan koran dan tabloid. Setelah Pos Kupang sendirian hadir selama tujuh tahun sebagai koran harian, muncul banyak pendatang baru. Terbit Surya Timor, Suara Timor, NTT Ekspres, Sasando Pos, Flores Pos, Radar Timor, NTT Xpress, Timor Express, Kursor. Semuanya merupakan koran harian. Selain media harian, muncul beberapa tabloid mingguan. Kompak, Metro Kupang, Suara Flobamora, Duta Flobamora, Saksi, Udik, Cermin, Alor Pos, Rote Pos, dan beberapa lain yang hanya untuk kalangan terbatas dan bersifat intern.
Apa yang dapat kita katakan tentang kenyataan ini? Di satu sisi harus diterima bahwa inilah sebentuk kepedulian pegiat media terhadap fakta sosial yang ada di masyarakat. Keprihatinan atas sejumlah banyak praktek abnormal dan ikhtiar membuka wacana bagi masyarakat melalui informasi, kemudian dirumuskan menjadi asumsi dan premis mendirikan institusi pers.
Itu di satu sisi. Tetapi di sisi yang lain, eforia itu disambut secara berlebihan dan karena itu cenderung salah kaprah. Akibatnya, kita menyaksikan sendiri di daerah ini betapa berwarna tampilan dan sajian koran dan tabloid. Yang lucu dan kemudian melahirkan pertanyaan besar adalah bahwa meski telah begitu banyak media hadir dan terbit, toh apa yang disebut sebagai information deficiency tetap saja terjadi. Media begitu banyak, tetapi informasi tidak cuma telah terdistorsi dan terkontaminasi oleh kepentingan tertentu, tetapi juga terasakan sangat kurang. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dan premis awal yang memanggil orang mendirikan media, belum terbukti (sekurang-kurangnya sampai saat ini).
Framing dalam pers
Pada tanggal 1 September 1983, pesawat pembom Uni Soviet menembak jatuh pesawat penumpang Korea 007. Akibatnya, 269 penumpang, termasuk awak pesawat tewas. Pada tanggal 3 Juli 1988, pesawat penjelajah Amerika Serikat, Vincenes, menembak jatuh pesawat penumpang Iran 655 yang melintas di atas kawasan Teluk. Sebanyak 290 penumpang termasuk awak pesawat tewas.
Kedua peristiwa ini sama. Yang berbeda pelakunya: yang pertama Soviet, sedangkan yang kedua Amerika. Ternyata peristiwa yang sama tersebut digambarkan secara berbeda dalam liputan pers Amerika. Peristiwa tertembaknya pesawat penumpang Korea oleh Soviet digambarkan sebagai suatu pembunuhan, atau serangan udara. Liputan pers memakai banyak label dan kata-kata untuk mengutuk peristiwa itu sebagai pembunuhan. Kekejaman Uni Soviet diulas dengan liputan yang bergairah.
Tetapi ketika memberitakan jatuhnya pesawat Iran akibat ditembak pesawat Amerika, liputan pers Amerika mempunyai gambaran yang berbeda. Penembakan itu tidak digambarkan sebagai pembunuhan, tetapi sebuah kecelakaan, atau lebih tepatnya suatu tragedi. Liputan sama sekali tidak memberitakan mengenai kekejaman Amerika. Justru yang ditampilkan adalah kemajuan teknologi radar Amerika -- saat itu Amerika sedang mencoba radar yang dapat menembak secara otomatis pesawat dalam radius yang ditentukan. Penembakan itu, dengan demikian, dimaknai sebagai akibat kemajuan teknologi daripada suatu pembunuhan yang kejam atau sadis.
Ilustrasi ini menunjukkan apa yang disebut dalam jurnalistik dengan framing. Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Robert M Entman mendefinisikan framing sebagai 'seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Dari definisi ini, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Dalam bekerja dan bertugas setiap hari, wartawan -- juga media -- berhadapan dengan framing. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus dibuang, mana yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan bagi khalayak.
Bagaimana di NTT?
Dalam jagat pers di NTT, framing itu sangat kasat mata. Dalam banyak berita, media di NTT tidak satu nada. Setiap wartawan/media akan berbeda frame-nya ketika melihat suatu realitas atau fakta. Koran A akan melihat masalah kemiskinan, kelaparan sebagai suatu laknat yang harus diperangi. Koran B melihat kemiskinan dan kelaparan sebagai suatu kesempatan emas untuk memproyekkannya guna meraup keuntungan. Koran A melihat pembangunan suatu gedung besar dan megah sarat KKN dan penuh kepentingan. Sementara koran B sibuk membelanya sambil mengharapkan 'tumpahan' dari kuali proyek itu. Perbedaan itu seterusnya akan menyebabkan perbedaan dalam angle berita, dalam teknik pengemasan dan bahkan dalam penggunaan kata-kata (diksi).
Tak ayal di NTT terhadap suatu obyek berita bisa muncul begitu banyak 'informasi'. Jika banyaknya informasi itu adalah akibat perbedaan sudut pandang (angle), maka hal itu harus dapat diterima sebagai variasi dan kekayaan sudut pandang berita. Tetapi jika itu melahirkan makna dan tafsiran baru, maka itu merupakan suatu 'dosa pers'. Yang dirugikan adalah masyarakat selaku konsumen media. Pernah misalnya, terhadap kasus korupsi, ada media yang habis-habisan membongkarnya. Sementara media lain sibuk dan mati-matian membela dan terus membelanya. Kenyataan seperti ini tidak cuma memperlihatkan kegagalan media menegaskan corak independensinya, tetapi sekaligus juga tidak mampu menyembunyikan corak partisannya.
Keadaan ini turut diperparah oleh fakta bahwa masing-masing media memilih jalannya sendiri-sendiri dalan mengejawantahkan apa yang sebelumnya diklaim sebagai asumsi yang coba dibuktikan. Perbedaan itu sangat kentara dalam model, gaya dan format berita. Setiap media berbeda dalam 'laras' pemberitaannya. Normalnya, perbedaan laras itu mengekspresikan perbedaan visi dasar masing-masing media. Sebab masing-masing media memiliki visi dasar yang kemudian menentukan editorial policy (kebijakan editorial). Visi dan editorial policy seterusnya menjadi pedoman dan kriteria dalam proses menyeleksi kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan bahan pemberitaan. Tetapi untuk kasus pers NTT, perbedaan itu secara tegas bukan mengeskpresikan perbedaan visi dasar, tetapi lebih menunjukkan perbedaan kepentingan yang hendak dibela. Karena itu boleh dibilang, bagi pers di NTT fakta bukanlah suatu kejadian sebagaimana sudah terjadi, meminjam formulasi sejarawan Jerman, Leopold Ranke, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Pengaruhnya bagi masyarakat selaku konsumen media ialah bahwa informasi tentang suatu obyek masalah yang diserapnya adalah informasi yang selalu jamak, tidak pernah tunggal atau utuh. Dia (berita itu) selalu mengandung peluang untuk dipertanyakan kembali, berpotensi sangat besar untuk ditafsir ulang guna menemukan saripatinya. Yang menyedihkan ialah masyarakat sendiri masih cukup kuat mengkotak-kotakkan (atau dikotak-kotakkan?) diri secara sempit dalam kelompok-kelompok kepentingan tertentu baik karena suku, etnik, suku maupun agama. Bagi pers, hal ini membawa dampak yang sangat buruk. Kacamata memandang pers yang dipakai masyarakat adalah kacamata suku, golongan, etnis, atau agama.
Meski begitu, pada hemat saya, masyarakat NTT semakin hari semakin kritis. Dia semakin paham dan mengerti, mana media yang dapat dipercaya, mana media yang kurang dapat dipercaya. Berita di media mana yang perlu dibaca, berita di media mana yang tak perlu dibaca. Sebab, dalam jurnalistik berlaku hukum tak tertulis: wajah media adalah wajah pengelolanya. Medianya baik, tentu pengelolanya profesional. Medianya setengah-setengah, pengelolanya juga pasti setengah-setengah. Medianya amburadul, seperti itulah pengelolanya.
Mitra masyarakat
Telah lama diterima bahwa institusi pers merupakan pilar keempat dari rancang bangun demokrasi, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi revolusi dan perkembangan pesat dari dunia pers sendiri memaksa pers berperan lebih dari empat fungsinya.
Dalam masyarakat yang bertumbuh sangat pesat, cepat, kompleks dengan begitu banyak arah perubahannya, apa peran media massa, khususnya surat kabar? Berita dan informasi sekarang datang dan hadir seperti air bah, sementara ruangan atau space koran terbatas. Maka yang perlu dilakukan adalah seleksi, memilih mana yang dibutuhkan masyarakat, mana yang harus diberitakan, mana yang tidak perlu diberitakan. Lagi pula, waktu dan kesibukan membatasi keengganan orang untuk membaca. Semakin mendesak kebutuhan bari pers untuk tidak sekadar memberikan informasi, tetapi sekaligus menjelaskan duduknya perkara. Di sinilah peran media sebagai mitra pembacanya sangat diharapkan. Apa arti kejadian, perkembangan dan perubahan itu bagi masyarakat dan bagi dirinya? Apa maknanya jika misalnya ada berita harga minyak di pasar dunia naik atau turun? Apa arti suku bunga kredit menurun?
Informasi yang menjelaskan duduknya perkara tidak lagi sekadar pada kejadian-kejadian itu secara terpisah dan secara sendiri-sendiri. Perubahan yang berlangsung dalam masyarakat amat luas cakupannya. Perubahan besar atau menyeluruh itu minta dijelaskan. Jika ombak besar di kawasan perairan NTT, misalnya, masyarakat perlu dijelaskan apa dampaknya bagi dunia perekonomian masyarakat, apa artinya itu bagi para nelayan di pesisir pantai. Jika kelaparan mengancam Sikka, masyarakat Sikka perlu dijelaskan bagaimana cara-cara mengolah makanan alternatif sehingga tidak mati bodoh karena lapar. Jika tanah ulayatnya dirampas, maka pers perlu juga memberi penjelasan dampak psikologisnya bagi masyarakat sekitar. Jika hutan dibabat, bukit diratakan untuk eksplorasi marmer, pers perlu menjelaskan dampaknya seperti erosi kala hujan, mata air mengering di musim panas dan seterusnya dan seterusnya.
Melalui pers, masyarakat mencari penjelasan lebih lengkap. Pengemasan berita, misalnya, perlu melalui pendekatan multi angle, infografis, data-data pendukung, tabel-tabel, tips-tips. Para ahli komunikasi massa bahkan menyebut salah satu fungsi pers bagi masyarakat adalah alat untuk menjadi bekal hidup (tool of living). Peranan itu semakin besar. Ada yang menguraikan dengan kata-kata news that you can use, berita yang bisa dipakai untuk memperoleh manfaat, yakni manfaat praktisnya. Pers mesti peka dan tajam melihat apa yang paling dibutuhkan khalayak. Jepang maju ekonominya karena liputan ekonomi mendapat porsi yang besar oleh pers dalam negeri itu. Liputan/berita politik kalah jauh.
Pers juga mesti tetap berjalan pada jalurnya. Di tengah kondisi rakyat NTT yang masih serba sulit dan menderita, pers mesti berdiri di garda terdepan memberikan pencerahan, memberikan masukan, membuka wawasan mereka untuk bagaimana menantang kerasnya hidup agar bisa survive. Jangan cuma mengedepankan kasus-kasus korupsi, isu-isu politik, hiburan-hiburan.
Memang di jagad pers berlaku dogma: bad news is good news (berita buruk adalah berita bagus). Yang masuk dalam berita buruk itu misalnya: perkosaan, perselingkuhan, pembunuhan, demonstrasi. Dengan alasan mendongkrak tiras, berita-berita ini laris manis. Tidak salah. Tetapi juga tidak cuma sebatas itu. Untuk investasi jangka panjang, rakyat juga membutuhkan tulisan-tulisan pencerahan, pendidikan, kiat-kiat dan semacamnya. Maka yang dibutuhkan adalah keberanian melawan dogma itu.

Pos Kupang, Selasa 26 September 2006 Read More...

Investasi itu bernama otak

Oleh : Tony Kleden

MESKI belum berkembang seperti yang diharapkan, belakangan ini pendidikan anak usia dini (PAUD) di Tanah Air mulai mendapat perhatian. Taman bermain anak-anak tumbuh dan terlihat di mana-mana, bahkan sudah menyebar hingga ke kampung-kampung dan desa-desa. Taman kanak-kanak (TK) juga mulai bersaing dengan sekolah dasar dalam jumlah. Tempat penitipan anak, play group hadir di mana-mana.
Harus diakui, kondisi ini merupakan tanda membaiknya perhatian sekaligus kesadaran banyak pihak tentang pentingnya PAUD. Mengapa PAUD menjadi begitu penting? Banyak jawaban telah diberikan oleh banyak ahli. Berbagai pendekatan dan teori telah dirumuskan. Untuk konteks tulisan ini, perumpamaan di bawah ini bisa dengan mudah menjelaskan tentang penting dan strategisnya perhatian akan pendidikan bagi anak-anak pada usia dini.
Jika diumpamakan satu unit komputer memiliki 100 neuron (jaringan), maka otak manusia memiliki 100 miliar neuron. Nah, itu berarti bahwa satu otak manusia, sama dengan 1 miliar unit komputer. Studi neurologi (ilmu tentang saraf) membenarkan bahwa dalam setiap jaringan otak manusia terdapat sekitar 100 miliar neuron itu, yang lazim disebut jaringan saraf. Berbeda dengan komputer yang beroperasi setelah dihidupkan manusia, jaringan otak telah mulai bekerja beberapa minggu setelah pembuahan. Kalau para ilmuwan dapat menguping bunyi otak pada janin manusia berusia 10 atau 12 minggu sesudah pembuahan, mereka akan mendengar hiruk-pikuk yang mencengangkan.
Di dalam rahim, ketika berumur seperti itu, sel-sel saraf pada otak yang sedang berkembang sibuk dengan kegiatan yang terencana. Sel saraf panjang itulah yang dikenal dengan neuron tadi. Neuron itu ibarat kawat yang menghantar pesan-pesan listrik lewat sistem saraf dan otak. Neuron ini tidak mengirim sinyal dan menyebarkannya secara sembarangan. Kalau sembarangan, maka bunyi detak otak akan mirip seperti radio yang disetel setengah-setengah antara dua stasiun. Sebaliknya bunyi detak otak itu sangat jelas karena berasal dari gelombang kegiatan neuron yang terkoordinasi. Gelombang kegiatan otak itu membentuk sirkuit otak menjadi pola yang lama-kelamaan akan menyebabkan bayi yang lahir nanti mampu menangkap suara ayah, sentuhan ibu, atau gerakan mainan.
Ketika dilahirkan, bayi akan hadir dengan 100 miliar neuron di otaknya. Otak bayi itu sudah berisi hampir semua sel saraf yang akan dimilikinya. Namun pola penyambungan antara sel-sel itu masih harus dimantapkan. Sebelum lahir, kegiatan neuronlah yang berperan untuk memperhalus jaringan. Tetapi setelah lahir kegiatan neuron itu tidak spontan lagi. Tugas memperhalus jaringan itu digerakkan oleh banjir pengalaman indra.
Selama tahun-tahun pertama kehidupan, otak manusia mengalami rangkaian perubahan yang luar biasa. Tidak lama sesudah lahir, otak bayi menghasilkan bertriliun-triliun sambungan antarneuron. Bila tidak mendapat lingkungan yang merangsangnya, otak seorang anak akan menderita. Menurut penelitian, anak-anak yang jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20 atau 30 persen lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu.
Ketika lahir, otak bayi seberat 350 gram. Berturut-turut pertambahan berat otaknya adalah sebagai berikut, tiga bulan: 500 gram; 6 bulan: 650 gram; 9 bulan: 750 gram; 12 bulan: 925 gram; 18 bulan: 1000 gram (1 kg). Berat otak anak umur enam tahun sudah sama seperti otak orang dewasa, yaitu sekitar 1,3 kg.
Setelah lahir, jumlah sel saraf tidak bertambah lagi, karena sel saraf itu tidak dapat membelah diri lagi. Tetapi masing-masing sel yang mempunyai juluran-julurannya mempunyai daya untuk bercabang-cabang lagi dan membuat ranting-ranting hingga usia lanjut. Keajaiban otak ialah bahwa bila disentuh melalui rangsangan seperti belajar atau bermain, maka cabang-cabang dan ranting-ranting juluran sel saraf tumbuh berkembang, menjalin hubungan-hubungan yang semakin rimbun. Sebaliknya bila tidak digunakan, maka cabang-cabang ini akan mati dan hubungan antarsel menjadi kurang rimbun.
Selain 100 miliar neuron, ketika lahir otak bayi juga dilengkapi dengan satu triliun sel yang disebut sel glia yang berfungsi sebagai perekat dan synap (cabang-cabang) yang akan membentuk sambungan antarneuron. Synap ini akan bekerja secara cepat sampai anak berusia 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidupnya. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Pertumbuhan jumlah jaringan dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika, keterampilan berpikir dan pembentukan stabilitas emosi.
Setelah berusia enam tahun, volume otak manusia yang seberat 1,3 kg tidak lagi bertambah. Yang terjadi kemudian pada otak manusia hanya berkembang dengan perkembangan sebagai berikut : usia 0 - 4 tahun: 50 persen; 8 tahun: 30 persen; di atas 18 tahun : 20 persen.
***
Dari penjelasan di atas menjadi sangat jelas kalau empat tahun pertama dalam hidup setiap manusia adalah usia yang paling menentukan kemampuan intelek dan kepribadian seorang anak. Karena itulah, empat tahun pertama itu disebut sebagai the golden age (usia emas) setiap anak manusia. Dirumuskan dalam bahasa bisnis, maka masa-masa ini merupakan momentum untuk menanam investasi dalam diri anak meraih masa depannya dan menjawab harapan bangsa. Salah mengisi the golden age itu akan sangat merepotkan anak di kemudian di hari.
Gerangan apakah yang dapat dan harus dilakukan mengisi masa-masa golden age itu? Salah satu yang selalu dianjurkan adalah pendidikan yang menggunakan metode belajar sambil bermain. Umur empat tahun pertama adalah umur ketika anak berhadapan dengan dunia bermain. Kerap kali, orangtua keliru mengartikan umur ini dengan misalnya menjejali anaknya dengan begitu banyak pengetahuan sistematis seperti membaca, matematika dan seterusnya.
Prof. Dr. Conny R Semiawan menyindir model pendidikan taman kanak-kanak di Indonesia karena lebih banyak memaksa anak untuk belajar. "Ketika anak mau sekolah dasar, ditanya sudah bisa membaca atau belum. Ada sekolah dasar yang menolak anak-anak yang belum bisa membaca. Ini konyol," sindir Conny Semiawan sekali waktu.
Dia juga mengritik model pendidikan kita di tanah air yang terlalu menjejali anak dengan begitu banyak hal. "Anak-anak kita terlalu dipaksa untuk menghafal ini dan itu. Menghafal adalah penyakit bangsa Indonesia. Anak disuruh belajar, belajar untuk mengejar ranking. Tetapi dia kehilangan masa bermain. Padahal bermain itu merupakan kebutuhan yang paling penting buat anak," katanya.
Menurutnya, pendidikan bagi anak pada usia-usia ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak bermain adalah kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental, intelektual dan spiritual. Bermain adalah medium, dimana anak menyatakan jati dirinya, bukan saja dalam fantasinya, tetapi juga benar nyata secara aktif. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajah dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai pada yang ia ketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya hingga mampu melakukannya. Secara tegas dapat kita katakan, belajar sambil bermain bagi anak usia dini merupakan prasyarat penting bila orangtua menginginkan anaknya sehat mental.
Pentingnya perhatian akan pendidikan anak dini usia juga telah digariskan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang berlaku secara internasional. Di Indonesia, program pengembangan anak dini usia masih sangat rendah. Salah satu indikatornya adalah masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan prasekolah. Rendahnya angka partisipasi ini juga dipengaruhi oleh terbatas dan tidak meratanya penyebaran sarana pendidikan prasekolah.
Minimnya sarana dan minornya pandangan sebagian warga masyarakat yang demikian mengabaikan pendidikan anak dini usia merupakan hambatan serius yang perlu segera dipecahkan. Jika empat tahun pertama merupakan masa emas yang sangat menentukan seorang anak, maka masa itu harus diisi dengan sungguh melalui sarana pengembangan. The Consultative Group on Early Childhood Care and Development mendefinisikan pengembangan anak dini usia sebagai suatu kegiatan yang ditujukan bagi orangtua dan anggota lainnya untuk membina tumbuh kembang anak usia 0-8 tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan non fisik dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan mental, intelektual, emosional, moral dan sosial yang tepat dan benar agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah penyediaan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif, pengasuhan dan bimbingan anak untuk memahami potensi diri yang dimilikinya dan berperan aktif dalam keluarga dan masyarakat.
Pendekatan perkembangan otak menjadi perhatian penting dalam pengasuhan dan pengembangan anak dini usia karena kita tahu bahwa otak memegang kendali dalam kehidupan seorang manusia. Melalui otak seseorang mengenal dunianya, menyerap semua informasi dan pengalaman-pengalaman, baik yang sifatnya menyenangkan maupun menyakitkan. Saat paling menentukan bagi perkembangan otak itu terjadi pada usia 0 - 3 tahun. Pengalaman di usia dini berkontribusi besar terhadap struktur dan kapasitas otak seseorang. Pengalaman menyenangkan dan adanya kelekatan antara orangtua/pengasuhnya dengan anak memberikan kondisi yang bebas stres pada anak. Kondisi yang bebas stres ini sangat membantu pembentukan struktur otak. Dengan struktur otak yang baik, maka kapasitas otak pun akan lebih bertambah. Kelekatan yang aman itu dapat terbentuk bila orangtua/pengasuh mempunyai kemampuan untuk memberi respon positif terhadap tanda-tanda yang dimunculkan oleh anak.
Jika demikian pentingnya perkembangan seorang anak pada usia dininya, maka cuma satu harapan yang dititipkan, yakni semakin sering meluangkan waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak. Dorothy Low Nolte dalam Children Learn What They Live With memberikan kata-kata mutiara ini:

Jika anak banyak dicela, dia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dimusuhi, dia akan terbiasa menentang.
Jika anak dihantui ketakutan, dia akan terbiasa merasa cemas.
Jika anak banyak dikasihani, dia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak dikelilingi olok-olok, dia akan terbiasa menjadi pemalu.
Jika anak banyak diberi dorongan, dia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak banyak dipuji, dia akan terbiasa menghargai.
Jika anak diterima oleh lingkungannya, dia akan terbiasa menyayangi.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, dia akan terbiasa melihat kebenaran.
Nah, bagaimana anak Anda?

Pos Kupang, Jumat 26 Mei 2006 Read More...

Bersihkan 'temaka' dari tubuh birokrat (Catatan Pilkada)

Tony Kleden

No e, No e
Inga pesan ema mo pa
Kalau so bae di tanah orang
Jangan lupa bale...
No e, No e
Ema minta No bale
Serewi Nagi
Bua bae, kaka ade No sendiri

BAIT lagu di atas sangat pas untuk mengantar Drs. Simon Hayon-Yosep Lagadoni Herin, S.Sos (dua gelar ini bukan palsu, lho) yang hari ini, insya Allah, dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur lima tahun ke depan.
Entah kebetulan yang menguntungkan atau rahmat yang dititipkan leluhur lewotanah, duet dengan nama baptis Simon-Yosep ini sarat makna. Menurut keyakinan dan pengalaman banyak orang, urusan nama tidak selesai dengan memberi nama. Tidak berhenti pada what is a name? Tidak! Mengapa? Karena, nomen est omen. Nama menunjuk orang. Karena menunjuk orang, maka ketika mencari nama untuk seorang anak, yang diharapkan semoga si anak menghadirkan kembali semangat dari orang yang namanya dipakai.
Nah, apa yang istimewa dari kedua nama, Simon Hayon dan Yosep Lagadoni Herin? Simon berpembawaan tenang, kalem dan tidak suka obral kata-kata. Tetapi sekali bunyi, penghuni gedung DPRD NTT bungkam, membisu. Cuma bisa mengiakan. Para pejabat eksekutif berpikir dua kali jika ingin bersoal jawab dengan si kurus-kecil ini. Para preman ciut nyalinya berhadapan si jago kungfu ini.
Dengan menjadi bupati, Simon Hayon menjadi bupati kedua Flotim yang mengusung nama Simon, setelah Simon Petrus Soliwoa. Meski tidak diikuti dengan nama Petrus, toh dalam khazanah pemikiran orang Katolik, nama Simon lebih kerap dihubungkan dengan Simon Petrus, si batu karang itu. Maka, kehadiran Simon Hayon adalah kembali lahirnya seorang Petrus di tanah nan gersang, di batu nan keras, Flores Timur. Lepas dari dinamika, kalkulasi dan hasil dari sebuah proses politik yang disebut pemilihan kepala daerah (Pilkada), Simon 'Petrus' Hayon adalah nama yang tepat untuk situasi Flotim lima tahun ke depan.
Tepat, karena di tengah kegerahan warga Flotim yang haus dan lelah menyaksikan pameran kepemimpinan di sana, Simon datang bak oase di tengah padang pasir. Di tengah mumetnya warga Flotim yang gunda gulana melihat pembangunan yang tidak bergeliat, Simon tampil menjadi the rising star. Dengan pengalamannya yang lebih dari separuh usianya di dunia politik, Simon pasti paham bagaimana membuka kran bagi warga yang ingin menyampaikan hasratnya. Dan, dengan menyandang predikat wakil rakyat belasan tahun, Simon mengerti betul bagaimana mengejawantahkan aspirasi politik warga Flotim yang lebih banyak mampet di Gedung Bale Gelekat Lewotanah (Gedung DPRD Flotim).
Akan halnya dengan Yosep Lagadoni Herin? Sosok ini, harus diakui, kurang populer di lewotanah. Anak muda ini adalah pendatang baru di jagat politik Flotim. Tetapi, nama ini telah cukup populer di belantara pers daerah ini, juga di tingkat nasional. Malang melintang dari satu media ke media lain, Yosni -- panggilannya -- telah sangat mengerti akan lika-liku birokrasi, kerasnya persaingan bisnis, susahnya ekonomi bergeliat dan hal ihwal yang terkait dengan urusan banyak orang, urusan rakyat banyak.
Dengan menggunakan nama baptis 'Yosep', Yosep Lagadoni Herin seolah mereinkarnasi si tukang kayu dari Nazareth itu. Lebih banyak diam. Berbicara dengan 'memamerkan gigi' dan memandang lawan bicara. Suatu ekspresi keakraban.
Sebagai wartawan, Yosni lebih banyak bicara melalui deretan kata dan kalimat di halaman-halaman koran dan majalah. Kekuatan kata, harus disadari, terbukti mampu menggiring pencuri berkrah masuk penjara. Sebagai wartawan, kesaksiannya adalah kata-kata. Datang dari keluarga sederhana, hidup dan besar di lingkungan yang juga sederhana, semangat hidup berfoya-foya tidak ada dalam dirinya. Berpetualang ke hampir semua kota di tanah air, Yosni tentu sudah melihat keberhasilan daerah lain dan dari sana mulai menarik manfaatnya untuk Flotim.
Hari ini, malam ini, langit Flotim akan riuh oleh dolo-dolo. Gendang ditabuh. Lagu berganti. Pantun berbalas. Semuanya hanyut dalam suka, gelak dalam tawa dan tenggelam dalam eforia. Tetapi lagu dan pantun malam ini adalah lagu dan pantun untuk tidak hanya mengantar sang kepala daerah dan wakil kepala daerah ke tugas baru sebagai pemimpin. Tidak sebatas itu. Lagu dan pantun malam ini adalah lagu dan pantun yang berisi harapan. Harapan tidak cuma dari 50.810 orang yang memilih pasangan ini dalam pilkada 30 Juni lalu. Tetapi harapan dari seluruh warga Flotim.
Seperti Simon Petrus yang diberi tugas mendirikan gereja, seperti Yosep dari Nazaret yang membesarkan tokoh sejarah paling penting dalam gereja, Simon-Yosni pasti sudah punya kiat menafkahi warga Flotim, menjawabi harapan mereka.
Ya, harapan mereka akan banyak hal. Tiga di antara harapan itu yang agaknya penting dan urgen adalah pertama, harapan para petani akan sarana jalan yang memadai. Kerinduan warga pedalaman Adonara, Solor, Tanjung Bunga akan jalan raya telah begitu lama terpendam. Ya, mereka butuh ruas jalan yang menghubungkan desa dengan desa, desa ke pusat kota. Melalui jalan itulah, kelapa, mente, kopi, kemiri, jagung terangkut ke pasar. Rakyat tidak butuh traffic light di tengah kota yang mubazir.
Kedua, harapan para nelayan akan kredit motor ikan yang terjangkau. Simon-Yosni telah sangat paham, betapa urusan perikanan Flotim adalah urusan kasus, kasus dan kasus. Dari kepala dinas yang lebih banyak berada di luar Flotim sehingga lebih tepat disebut 'kepala dinas jarak jauh' hingga pembagian jatah motor ikan yang sarat KKN dan penuh kepentingan. Nelayan Flotim tidak butuh kapal pengawal laut yang justru jadi pengawal pelabuhan.
Ketiga, harapan para pegawai pemerintah, aparat birokrat. Lima tahun berselang, birokrasi Flotim bopeng dan bolong di mana-mana. Bidan dan perawat jadi staf dan sekretaris lurah. Dokter jadi camat. Guru jadi pejabat struktural di kantor-kantor pemerintah. Sementara yang kualified justru ditendang, entah ke mana. Yang kritis dipasung. Yang lurus disingkirkan ke penjara. Dan, Flotim seolah berjalan tanpa pemerintah. Tak ayal, honor kepala desa dan guru raib. Stok obat-obatan di rumah sakit kosong. Kepala desa mengembalikan stempel. Guru mogok mengajar. Perawat di rumah sakit mogok kerja.
Mereka, para pegawai itu, butuh manejemen pemerintah dan sistem kerja yang benar dijalani tenaga yang tepat, sesuai dengan bidang dan keahliannya. Karena itu, sangat penting membersihkan para penjilat dan 'temaka' (bahasa Simon Hayon sendiri ketika kampanye) dari tubuh birokrasi. Angkatlah pejabat berdasarkan kemampuan, bukan kemauan.
Ingatlah, kemenangan Anda berdua tidak saja karena perjuangan Anda, tetapi karena sentimen dan antipati kolektif masyarakat Flotim akibat titian sejarah hidup mereka lima tahun terakhir yang pahit. Karena itu Anda berdua mesti bisa membalikkan sentimen dan antipati itu dengan simpati dan solidaritas bersama untuk membangun Flotim tahun ke depan. Jauh-jauh hari Bung Karno sudah memperingati : Jasmerah -- jangan sekali-kali melupakan sejarah."
Pos Kupang Jumat, 27 Agustus 2005 Read More...

Tahta untuk rakyat (Catatan Pilkada)

Tony Kleden

MESKI tidak banyak diberitakan, ternyata cerita pasca pemilihan kepala daerah (Pilkada) di NTT jauh lebih seru, menarik dan lagi menggelikan.
Di suatu kabupaten, seorang calon bupati yang gagal sampai melempar tim suksesnya dengan handphone. Para tim suksesnya diumpat habis-habisan. Di kabupaten lain, seorang 'bupati urung', marah besar terhadap tim suksesnya yang gagal mengemban misi. Kulkas dibalik, tv rebah mencium lantai. Meja makan disepak, kursi ditendang. Dan... braaakkkkk... piring dan gelas serta barang pecah belah lainnya pecah berantakan, berkeping-keping.
Itu tentang sang calon 'bupati urung'. Cerita menarik juga datang dari para keluarga inti. Ada istri calon yang melonjak tensi darahnya. Yang lain mesti duduk di kursi roda. Ada yang lemas, kehabisan gairah hidup. Yang lain lagi stres membayangkan utang yang mesti dilunasi. Ada yang pusing memikirkan harta kekayaan yang telah digadaikan. Yang lain lagi membayangkan lantai penjara yang dingin. Ada yang langsung down karena kehilangan kesempatan unjuk kekayaan. Yang lain lagi pangling membayangkan ditinggalkan para dayang-dayang.
Masuk akal, memang. Soalnya, harta terkuras. Simpanan amblas. Tabungan bablas. Rumah dan tanah pindah tangan. Barang perhiasan ludes, masuk di lemari pegadaian. Dan, pikiran menerawang, mewanti-wanti sindrom 3S : stres, stroke, stop. Semuanya karena 'kursi panas.'
Insiden dan aksi di atas menunjukkan begitu banyak tema cerita, mempertontonkan beragam sudut pandang, membuka aneka perspektif dan menghidangkan tidak sedikit lelucon yang menggelikan. Tetapi, insiden dan aksi itu juga menunjukkan serius dan sengitnya pertarungan memperebutkan kursi.
Ya, kursi. Semua orang telah sangat akrab dengan perabot rumah ini. Di ranah kehidupan biasa, dia cumalah tempat duduk. Biasa sekali. Tetapi di ranah politik, barang ini tidak cuma sekadar tempat duduk. 'Keberadaan'-nya sudah luar biasa. Dia demikian angker. Empuk menggoda selera. Panas menarik minat. Tidak semua orang bisa merasakannya. Pertumpahan darah gampang terjadi karena kursi.
Mau lihat contoh? Buaanyaaak.... Kepala dinas/instansi di kabupaten-kabupaten terlibat menjadi tim sukses dalam ajang pilkada. Camat-camat dikerahkan untuk berkampanye buat calon tertentu. Lurah dan kepala desa sama saja, jadi ujung tombak di lapangan. Semuanya dilakukan demi kursi panas, kursi jabatan itu. Dan, so what, gitu lho....
Libido merebut kursi begitu hebat bergemuruh. Banyak uang dihamburkan. Akal bulus dimanfaatkan. Pikiran kotor ditempuh. Aksi vandalis dipraktekkan. Tetapi, pilkada di enam kabupaten di NTT menunjukkan hasil yang kontras. Ternyata uang di saku, rekening di bank, tim sukses yang berjubel lengkap dengan handphone, kekuasaan yang tergenggam di tangan, tidak punya daya.
Soalnya, rakyat sudah menyiapkan kursinya sendiri. Kursi itu benar-benar disiapkan rakyat menjadi tahta. Tahta buat orang yang diberi mandat untuk mengatur mereka. Tahta bagi pemimpin yang akan menunjuk mereka jalan keluar dari aneka persoalan hidup yang membelit. Tahta untuk si ratu adil yang memerintah dengan arif-bijaksana. Tahta bagi orang yang rendah hati dan menjadi contoh untuk menapaki titian hidup secara sehat, fair, sewajarnya dan mau live in di tengah rakyatnya. Merasakan denyut kehidupan rakyatnya. Menyaksikan rakyatnya yang berpeluh di tengah kerasnya perjuangan hidup.
Ya, rakyat menyiapkan kursi sendiri. Tidak ada yang mengatur. Tidak banyak yang datang mengajarkan dan meminta mereka menyiapkan kursi itu. Mereka telah sadar dan sadar diri. Kesadaran itu datang dari pengalaman sekian puluh tahun. Pengalaman itu membuat mereka melek dalam urusan politik. Tidak lagi bodoh dan mudah dibodohi.
Dana kampanye miliran rupiah yang gagal mengantar sang calon adalah contoh nyata tentang kedewasaan rakyat dalam pilihan. Terima uangnya, tendang orangnya! Begitu sikap mereka. Rakyat telah menunjukkan kedewasaannya dengan tidak tergoda untuk larut dalam kekerasan politik yang biasanya menyertai pemilihan umum. Mereka sudah bosan menyaksikan adegan-adegan kekerasan politik yang begitu mendominasi dinamika politik. Mereka sudah kenyang dengan janji manis dari mulut-mulut yang berbusa-busa.
Perubahan sikap dan pandangan politik itu menunjukkan bahwa kecenderungan masyarakat tidaklah statis. Mereka sudah berubah. Sudah bisa memberikan apresiasi kepada figur yang diyakini bisa mengaspirasikan suara, harapan dan kepentingan mereka. Karena itulah, mereka telah mampu memiliki preferensi masing-masing terhadap figur yang dijual partai pengusung.
Rakyat Manggarai, misalnya, sudah tentu ingin agar predikat penghasil kopi dikembalikan. Pemimpin mereka, karena itu, semestinya bisa memberi perhatian terhadap kopi, dan bukan sebaliknya yang cuma bisa membabatnya. Yang mereka butuhkan adalah jalan raya yang teretas menuju kantong-kantong daerah pertanian. Yang mereka impikan adalah harga vanili, cengkeh dan beras yang stabil. Proyek mercusuar stadion seharga Rp 25 miliar masih terlalu jauh dari kebutuhan mereka. Siapa yang bakal menikmati Santiago Barnebaeu-nya Ruteng itu? Tidak lebih dari satu dua kontraktor dan pejabat.
Rakyat Flores Timur pasti sudah malu dijuluki 'kabupaten seribu soal.' Yang paling mereka butuhkan bukan kapal yang seperti kubur. Indah dari luar, tapi isi perutnya hancur berantakan. Dan, karena itu lebih banyak 'opname' di Dermaga Larantuka. Mereka juga sudah yakin akan mubazirnya hotel berbintang di Mokantarak. Siapa yang bakal menjadi tamu di situ? Mereka mafhum, dalam urusan jual menjual jasa, konsumen adalah raja. Dan, raja tidak akan pernah mau menginap di sebuah hotel yang berbatasan langsung dengan tangki minyak pertamina yang sesewaktu siap menghidangkan lidah-lidah api. So what?
Rakyat Sumba Barat sudah tentu menginginkan agar pisang-pisang hasil kebun mereka tidak habis terangkut ke Bima. Mereka tentu mengharapkan agar pemimpin mereka nanti bisa menunjukkan jalan buat mereka bagaimana pengolahan pasca panen pisang-pisang itu.
Manggarai Barat juga sama. Rakyat kabupaten kaya wisata itu butuh manejer yang telah berpengalaman. Bukan anak bawang, yang baru nongol batang hidungnya dan menyetor muka saat pilkada.
Semestinya kita berbangga. Pengalaman di enam kabupaten di NTT, yang sukses dalam hajatan pilkada, mampu menjungkirkbalikkan asumsi yang lama dipegang. Rasionalisme mulai menggeser tradisionalisme.
Anda mau duduk di kursi yang disiapkan rakyat itu? Tanamlah saham sedari awal. Taburlah kebajikan sedari mula. So what...?? *
Pos Kupang Sabtu 6 Agustus 2005 Read More...

'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data' (Catatan Pilkada)

Tony Kleden

Tanam bawang di muka rumah
Bau di sana, bau di sini
Sinyo apa macam begini
Suka di sana, suka di sini......

ITULAH selarik pantun yang hampir selalu dinyanyikan saat pesta dolo-dolo di Flores Timur. Pada malam saat purnama raya, gendang ditabuh dan kaum muda keluar rumah menuju tanah lapang di tengah kampung. Mereka berdolo-dolo, bergandeng tangan, berbalas pantun, bercanda ria, merajut cinta, memadu kasih, membakar asmara, menyulang minuman, menumpahkan uneg-uneg dan mengekspresikan gejolak muda mereka.
Dalam budaya lamaholot, dolo-dolo telah identik dengan pesta. Tidak ada tuan, tidak ada hamba. Tidak ada orang kantoran, tidak ada orang rumahan. Tidak ada opu, tidak ada blake. Tidak ada pejabat, tidak ada bawahan. Semua sama, semua satu, yakni tuan pesta. Pesta rakyat!
Lima tahun lalu, tepatnya Selasa 14 Maret 2000, rakyat Flotim hanyut dan larut dalam pesta bersama duet Felix Fernandez-John Payong Beda. Keduanya terpilih menjadi pemimpin untuk bersama rakyat menjejaki Flotim. Ketika itu, warga Flotim seia sekata, sama-sama yakin. Yakin bahwa duet ini adalah suatu perpaduan yang hamonis, kuat dan kokoh membawa biduk lewotanah menuju masa depannya.
Tampilnya duet ini ketika itu seakan mendobrak cara berpikir warga masyarakat Flores Timur yang masih tersungkup dalam kerangkeng sukuisme, etnis dan agama. Ketika itu, sebelum acara pemilihan, kerangkeng seperti ini menjadi konsumsi politik yang paling laku dikedepankan. Maka ketika duet muda ini tampil ke panggung utama, segala kebekuan mencair, setiap syakwasangka hilang dan semua lagak apriori mentah kembali.
Flores Timur lima tahun lalu dinilai beruntung memiliki duet yang padu. Perpaduan antara jagoan pengelola uang dan ahli di bidang tata pemerintahan. Fernandez dan Payong Beda, ketika itu, diharapkan dapat bersenyawa dan menghasilkan jurus dan rumus bagaimana menjejak langkah Flores Timur.
Hasilnya? Semua sama tahu. Duet ini cerai. KKN menggurita. Pembangunan berantakan: proyek-proyek terbengkelai. Petani menjerit: pupuk tidak ada, bibit kacang hijau rusak. Nelayan meradang: kapal ikan rusak dalam tiga bulan pertama, kapal pengawal pantai miliaran rupiah harganya cuma menghiasi Pelabuhan Larantuka. Pasien histeris: stok obat habis, paramedis mogok kerja. Guru-guru ribut: honor dan perlengkapan sekolah tidak tersedia. Kepala desa mogok dan ramai-ramai mengembalikan stempel: berbulan-bulan honor yang sedikit itu tidak dibayar. Rakyat berteriak memelas: jaringan listrik, air bersih, jalan raya cuma sebatas janji.
Itu muatan sejarah Flotim lima tahun lalu. Dan, pada hari ini, pesta rakyat itu berulang di lewotanah. Sebanyak 126.898 warga Flotim yang mempunyai hak memilih dan telah terdaftar bersua dan berbagi suara di 361 tempat pemungutan suara (TPS). Tetapi, jika pesta dolo-dolo tuntas saat pagi datang menjelang, maka pesta rakyat hari ini tidak usai di TPS. Pesta hari ini adalah pesta sarat makna. Pesta tonggak sejarah. Tonggak untuk merancang bangunan, memilih dasar yang kokoh lagi kuat untuk meniti titian perjalanan lewotanah lima tahun ke depan.
Tiga anak tanah telah didaulat untuk menjadi tuan pesta. Pada tiga tuan pesta inilah, rakyat datang bersujud dan menjatuhkan pilihannya. Mau ke duet Felix Fernandez-Mikhae Umu Lamatewelu? Ke Simon Muda Makin-Yohanes De Rosari? Atau ke Simon Hayon-Yosep Lagadoni Herin?
Jauh-jauh hari ketiga paket ini telah 'mengobok-obok' kampung dan desa di Flotim. Mendaki bukit, menuruni lembah. Mereka menebar janji, menawar rencana. Gong perang urat saraf telah lama ditabuh. Unjuk kekuatan dan kekuasaan telah lama bermula. Poster dan pamflet telah ditebar. Selebaran gelap disebar. Klaim dukungan telah dipatok. Seperti iklan, tujuannya memang cuma satu: meraih simpati, menarik minat, menuai dukungan warga. Ada yang menghambur-uang uang, membayar kepolosan rakyat.
Dari dulu hingga sekarang peta politik di Flores Timur ditandai dengan ketegangan antara dua kutub: Flores daratan dan pulau-pulau. Di bawah sungkup daerahisme, dua tegangan ini terus mengental. Dan, dia menjadi komoditas unggulan yang dijual para calon bupati. Seperti di pasar malam, setiap calon membuka kios dan menjual isu ini sebagai dagangan primadona. Calon dari pulau dengan dukungan masyarakatnya 'menyerang' calon dari dari Flores daratan. Bagi mereka dari pulau, warga di Flores daratan terlalu angkuh dan seakan-akan menjadikan Kota Larantuka sebagai kota eksklusif mereka. Begitu juga sebaliknya, warga di Flores daratan melihat mereka yang di pulau dengan sebelah mata dan menganggap mereka sebagai orang pulo, orang luar. Flores Timur bagi kelompok ini identik dengan Larantuka.
Tapi, tak dinyana kalau di Flores daratan roh sukuisme juga menghantui dan memagari beberapa kawasan: Kota Larantuka, Tanjung Bunga dan Wulanggitang. Di Kota Larantuka pun semangat suku masih memisahkan masyarakatnya. Demikianlah seterusnya hingga warga kabupaten yang dalam rentang waktu lima tahun terakhir dijuluki 'kabupaten seribu soal' itu makin kuat membentengi diri dalam ghetto kultural, tembok etnis dan bahkan pagar sosialitas.
Lama kelamaan tumbuh sentimen suku yang kemudian turut mewarnai suksesi kepemimpinan. Warga Adonara akan mati-matian berjuang bahwa mereka juga adalah bagian dari wilayah Flores Timur. Solor juga tidak ketinggalan 'merebut' kesempatan menunjukkan keberadaannya. Tanjung Bunga dan Wulanggitang, meski berada di Flores daratan, tetap mesti 'memberitahukan' bahwa mereka juga berada di Flores daratan. Sebaliknya warga Kota Larantuka makin tegas menampilkan diri seolah-olah pewaris tunggal Flores Timur.
Disparitas seperti ini menemukan ekspresinya dalam jargon seperti lao data' (sebutan untuk orang pulau), dala' data (orang Wilanggitang), belakang guno (daerah di belakang Gunung Mandiri seperti Riangkemie, Lewotala, Riangkotek, Lamatou, Lewoneda), lua data' (orang dari Tanjung Bunga) dan hana data' (khusus untuk kawasan sekitar Waiwadan hingga Wailebe). Lalu, untuk kelompok di sekitar Kota Larantuka? Lebih tepat mereka itu disebut muka guno, karena berada di depan Gunung Mandiri jika mengambil posisi di Kota Larantuka.
Jelas sekarang, kalau pertarungan hari ini adalah pertarungan antara wakil dari hana data' (Simon Hayon), lua data (Simon Muda Makin) dan muka guno (Felix Fernandez). Tetapi ingat, pertarungan hari ini cuma tonggak awal. Sekali lagi cuma tonggak awal. Siapa yang bakal terpilih, dialah pilihan bersama, pilihan rakyat. Dialah tuan pesta yang akan mengundang anak-anak tanah memadu tekad, merumuskan program, merakit rencana untuk bersama-sama melayari biduk mengarungi lautan menuju pulau impian.
Besok dan lusa, alam pikiran primordialis hendaknya dibuang. Sekat-sekat yang membatasi 'kita' dan 'orang lain' tidak berarti lagi. Semangat yang mesti dibangun adalah 'kita satu bersaudara'. Suksesi kepemimpinan di lewotanah adalah suksesi kepemimpinan Kabupaten Flores Timur, bukan Adonara, bukan Solor dan bukan juga Larantuka.
Sejak beberapa waktu lalu, tiga kandidat telah menanam bawang di muka rumah. Baunya menyengat ke sana dan kemari. Kandidat mana yang mau Anda pilih hari ini? 'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data'? Anda ragu? Saya juga ragu ketika menanyakan apakah Anda ragu? *
Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005 Read More...

'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data' (Catatan Pilkada)

Tony Kleden

Tanam bawang di muka rumah
Bau di sana, bau di sini
Sinyo apa macam begini
Suka di sana, suka di sini......

ITULAH selarik pantun yang hampir selalu dinyanyikan saat pesta dolo-dolo di Flores Timur. Pada malam saat purnama raya, gendang ditabuh dan kaum muda keluar rumah menuju tanah lapang di tengah kampung. Mereka berdolo-dolo, bergandeng tangan, berbalas pantun, bercanda ria, merajut cinta, memadu kasih, membakar asmara, menyulang minuman, menumpahkan uneg-uneg dan mengekspresikan gejolak muda mereka.
Dalam budaya lamaholot, dolo-dolo telah identik dengan pesta. Tidak ada tuan, tidak ada hamba. Tidak ada orang kantoran, tidak ada orang rumahan. Tidak ada opu, tidak ada blake. Tidak ada pejabat, tidak ada bawahan. Semua sama, semua satu, yakni tuan pesta. Pesta rakyat!
Lima tahun lalu, tepatnya Selasa 14 Maret 2000, rakyat Flotim hanyut dan larut dalam pesta bersama duet Felix Fernandez-John Payong Beda. Keduanya terpilih menjadi pemimpin untuk bersama rakyat menjejaki Flotim. Ketika itu, warga Flotim seia sekata, sama-sama yakin. Yakin bahwa duet ini adalah suatu perpaduan yang hamonis, kuat dan kokoh membawa biduk lewotanah menuju masa depannya.
Tampilnya duet ini ketika itu seakan mendobrak cara berpikir warga masyarakat Flores Timur yang masih tersungkup dalam kerangkeng sukuisme, etnis dan agama. Ketika itu, sebelum acara pemilihan, kerangkeng seperti ini menjadi konsumsi politik yang paling laku dikedepankan. Maka ketika duet muda ini tampil ke panggung utama, segala kebekuan mencair, setiap syakwasangka hilang dan semua lagak apriori mentah kembali.
Flores Timur lima tahun lalu dinilai beruntung memiliki duet yang padu. Perpaduan antara jagoan pengelola uang dan ahli di bidang tata pemerintahan. Fernandez dan Payong Beda, ketika itu, diharapkan dapat bersenyawa dan menghasilkan jurus dan rumus bagaimana menjejak langkah Flores Timur.
Hasilnya? Semua sama tahu. Duet ini cerai. KKN menggurita. Pembangunan berantakan: proyek-proyek terbengkelai. Petani menjerit: pupuk tidak ada, bibit kacang hijau rusak. Nelayan meradang: kapal ikan rusak dalam tiga bulan pertama, kapal pengawal pantai miliaran rupiah harganya cuma menghiasi Pelabuhan Larantuka. Pasien histeris: stok obat habis, paramedis mogok kerja. Guru-guru ribut: honor dan perlengkapan sekolah tidak tersedia. Kepala desa mogok dan ramai-ramai mengembalikan stempel: berbulan-bulan honor yang sedikit itu tidak dibayar. Rakyat berteriak memelas: jaringan listrik, air bersih, jalan raya cuma sebatas janji.
Itu muatan sejarah Flotim lima tahun lalu. Dan, pada hari ini, pesta rakyat itu berulang di lewotanah. Sebanyak 126.898 warga Flotim yang mempunyai hak memilih dan telah terdaftar bersua dan berbagi suara di 361 tempat pemungutan suara (TPS). Tetapi, jika pesta dolo-dolo tuntas saat pagi datang menjelang, maka pesta rakyat hari ini tidak usai di TPS. Pesta hari ini adalah pesta sarat makna. Pesta tonggak sejarah. Tonggak untuk merancang bangunan, memilih dasar yang kokoh lagi kuat untuk meniti titian perjalanan lewotanah lima tahun ke depan.
Tiga anak tanah telah didaulat untuk menjadi tuan pesta. Pada tiga tuan pesta inilah, rakyat datang bersujud dan menjatuhkan pilihannya. Mau ke duet Felix Fernandez-Mikhae Umu Lamatewelu? Ke Simon Muda Makin-Yohanes De Rosari? Atau ke Simon Hayon-Yosep Lagadoni Herin?
Jauh-jauh hari ketiga paket ini telah 'mengobok-obok' kampung dan desa di Flotim. Mendaki bukit, menuruni lembah. Mereka menebar janji, menawar rencana. Gong perang urat saraf telah lama ditabuh. Unjuk kekuatan dan kekuasaan telah lama bermula. Poster dan pamflet telah ditebar. Selebaran gelap disebar. Klaim dukungan telah dipatok. Seperti iklan, tujuannya memang cuma satu: meraih simpati, menarik minat, menuai dukungan warga. Ada yang menghambur-uang uang, membayar kepolosan rakyat.
Dari dulu hingga sekarang peta politik di Flores Timur ditandai dengan ketegangan antara dua kutub: Flores daratan dan pulau-pulau. Di bawah sungkup daerahisme, dua tegangan ini terus mengental. Dan, dia menjadi komoditas unggulan yang dijual para calon bupati. Seperti di pasar malam, setiap calon membuka kios dan menjual isu ini sebagai dagangan primadona. Calon dari pulau dengan dukungan masyarakatnya 'menyerang' calon dari dari Flores daratan. Bagi mereka dari pulau, warga di Flores daratan terlalu angkuh dan seakan-akan menjadikan Kota Larantuka sebagai kota eksklusif mereka. Begitu juga sebaliknya, warga di Flores daratan melihat mereka yang di pulau dengan sebelah mata dan menganggap mereka sebagai orang pulo, orang luar. Flores Timur bagi kelompok ini identik dengan Larantuka.
Tapi, tak dinyana kalau di Flores daratan roh sukuisme juga menghantui dan memagari beberapa kawasan: Kota Larantuka, Tanjung Bunga dan Wulanggitang. Di Kota Larantuka pun semangat suku masih memisahkan masyarakatnya. Demikianlah seterusnya hingga warga kabupaten yang dalam rentang waktu lima tahun terakhir dijuluki 'kabupaten seribu soal' itu makin kuat membentengi diri dalam ghetto kultural, tembok etnis dan bahkan pagar sosialitas.
Lama kelamaan tumbuh sentimen suku yang kemudian turut mewarnai suksesi kepemimpinan. Warga Adonara akan mati-matian berjuang bahwa mereka juga adalah bagian dari wilayah Flores Timur. Solor juga tidak ketinggalan 'merebut' kesempatan menunjukkan keberadaannya. Tanjung Bunga dan Wulanggitang, meski berada di Flores daratan, tetap mesti 'memberitahukan' bahwa mereka juga berada di Flores daratan. Sebaliknya warga Kota Larantuka makin tegas menampilkan diri seolah-olah pewaris tunggal Flores Timur.
Disparitas seperti ini menemukan ekspresinya dalam jargon seperti lao data' (sebutan untuk orang pulau), dala' data (orang Wilanggitang), belakang guno (daerah di belakang Gunung Mandiri seperti Riangkemie, Lewotala, Riangkotek, Lamatou, Lewoneda), lua data' (orang dari Tanjung Bunga) dan hana data' (khusus untuk kawasan sekitar Waiwadan hingga Wailebe). Lalu, untuk kelompok di sekitar Kota Larantuka? Lebih tepat mereka itu disebut muka guno, karena berada di depan Gunung Mandiri jika mengambil posisi di Kota Larantuka.
Jelas sekarang, kalau pertarungan hari ini adalah pertarungan antara wakil dari hana data' (Simon Hayon), lua data (Simon Muda Makin) dan muka guno (Felix Fernandez). Tetapi ingat, pertarungan hari ini cuma tonggak awal. Sekali lagi cuma tonggak awal. Siapa yang bakal terpilih, dialah pilihan bersama, pilihan rakyat. Dialah tuan pesta yang akan mengundang anak-anak tanah memadu tekad, merumuskan program, merakit rencana untuk bersama-sama melayari biduk mengarungi lautan menuju pulau impian.
Besok dan lusa, alam pikiran primordialis hendaknya dibuang. Sekat-sekat yang membatasi 'kita' dan 'orang lain' tidak berarti lagi. Semangat yang mesti dibangun adalah 'kita satu bersaudara'. Suksesi kepemimpinan di lewotanah adalah suksesi kepemimpinan Kabupaten Flores Timur, bukan Adonara, bukan Solor dan bukan juga Larantuka.
Sejak beberapa waktu lalu, tiga kandidat telah menanam bawang di muka rumah. Baunya menyengat ke sana dan kemari. Kandidat mana yang mau Anda pilih hari ini? 'Muka guno', 'lua data' atau 'hana data'? Anda ragu? Saya juga ragu ketika menanyakan apakah Anda ragu? *
Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005 Read More...

Keluarga : Pilar Pembangunan (Renungan Hari Keluarga Nasional)

Oleh : Tony Kleden

KETIKA busung lapar mendera begitu banyak kawasan di sejumlah kabupaten di NTT, spontan pikiran kita tertuju pada ketersediaan pangan yang minim, daya beli masyarakat yang rendah, derajat kesehatan yang tidak memadai, frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit yang juga rendah. Kita jarang berpikir bahwa salah satu faktor yang juga sangat penting yang turut menyebabkan gizi buruk dan busung lapar adalah buruknya manejemen keluarga.
Dari pengalaman terbukti bahwa manejemen yang baik demikian sentral dan penting bagi sehat dan amannya keluarga. Kokoh dan tegaknya sebuah keluarga tidak cuma diukur dari banyaknya simpanan di bank, luas dan modernnya interior sebuah rumah, makanan dan minuman impor yang serba mahal di meja makan. Sebaliknya nasib sebuah keluarga juga sangat tergantung dari bagaimana keluarga itu direncanakan, didesign, dikelola dengan baik.
Kita menggarisbawahi pentingnya mengelola keluarga secara baik di sini tidak sekadar basah basih. Banyak kali orang keliru membayangkan bahwa tingginya tingkat ekonomi langsung berpengaruh pada baik dan sehatnya penghuni sebuah keluarga. Simak misalnya fakta bahwa anak-anak korban gizi buruk di Kabupaten Belu lebih dari separuh adalah anak-anak para pegawai negeri. Dari data kasus HIV/AIDS di Kota Kupang, sekitar 75 persen adalah kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Tanpa mesti melakukan sebuah survai yang teliti, dua fakta ini telah cukup representatif memberikan gambaran betapa apa yang disebut sebagai pengelolaan dan atau pengaturan adalah faktor yang demikian dominan bagi tumbuh-sehatnya unit sosial yang paling kecil ini.
Dengan dasar pemahaman seperti ini, bisa dimengerti kalau peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XII, Rabu kemarin mengambil tema "Ketahanan keluarga: Pilar Pembangunan Bangsa". Sebuah tema yang sarat pengertian dan ajakan untuk terus menyadari betapa penting dan sentralnya keluarga. Kita telah lama menerima pemahaman bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan wahana pertama dan utama dalam menyemaikan nilai-nilai luhur yang menjadi modal bagi setiap orang, utamanya anak-anak, meniti titian perjalanannya. Nilai-nilai luhur yang diperoleh dalam keluarga akan membentuk karakter seseorang. Keluarga juga merupakan wahana ketahanan, pengendalian dan penyesuaian sosial bagi anggota-anggotanya.
Untuk itu pembinaan terhadap ketahanan keluarga yang bermuara pada keluarga sejahtera dapat menjadi benteng dan pengawas terhadap setiap ancaman. Apabila keluarga dipersiapkan dengan baik, maka keluarga akan menjadi institusi pembangunan yang sangat handal, terutama dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui upaya pembinaan ketahanan keluarga serta penanaman nilai-nilai etika, moral dan budaya bangsa bagi anggota keluarga sejak dini, keluarga akan menjadi wahana yang tangguh bagi terwujudnya ketahanan nasional untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Tragedi busung lapar yang melanda NTT, pada galibnya juga mengekspresikan rapuhnya benteng sebuah keluarga. Kita tentu menerima bahwa ketahanan ekonomi adalah penyebab langsung dari musibah yang menimpa banyak keluarga di daerah ini. Tetapi jika keluarga itu dibangun dengan pilar-pilar yang kokoh, dirancang dengan design yang terencana, diikat dengan nilai-nilai moral, budaya yang tangguh, niscaya rancang bangun keluarga itu akan kokoh berdiri menantang badai.
Unsur-unsur yang turut terlibat dalam design keluarga yang sehat antara lain merencanakan usia ideal melahirkan, mengatur jarak kelahiran, merencanakan jumlah anak dalam keluarga, menginvestasi masa depan anak. Ilmu kesehatan mengajarkan bahwa usia kawin ideal adalah usia 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun laki-laki. Sementara usia ideal seorang perempuan melahirkan adalah rentang usia dari 20 hingga 35 tahun. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun adalah usia melahirkan yang penuh risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Sedangkan jarak kelahiran yang ideal adalah 3 hingga 5 tahun. Mengenai jumlah anak dalam sebuah keluarga, dengan paradigma baru Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak membatasi jumlah anak. Instansi ini justru lebih menganjurkan agar setiap pasangan orangtua bisa mengatur jarak kelahiran yang ideal. Tujuannya cuma satu, yakni membantu meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak untuk mewujudkan keluarga yang sehat, sejahtera dan bahagia.
Untuk konteks NTT, semangat yang coba dihembuskan BKKBN ini agaknya harus menjadi perhatian serius. Sebab, hasil Survai Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa indikator-indikator kesehatan yang merupakan tema pokok kampanye kesehatan BKKBN peringkat NTT selalu melampau rata-rata nasional. Ini gambaran yang sangat buruk di sektor kesehatan. Beberapa indikator berikut ini menjelaskan gambaran buruk itu. Angka TFR (Total Fertility Rate/Angka kelahiran) NTT sekarang mencapai 4,1 (tertinggi di Indonesia) dibanding dengan rata-rata nasional 3,4. Peserta KB aktif hanya 35 persen, terendah di Indonesia. Angka Mother Mortality Rate (MMR/angka kematian ibu melahirkan) 650/100.000 kelahiran (tertinggi di Indonesia). Angka Infant Mortality Rate (IMR/angka kematian bayi 65/1000 kelahiran hidup (tertinggi di Indonesia). Angka kematian anak dan balita 103/1000 kelahiran hidup. Angka kehamilan pada usia remaja 11 persen (rata-rata nasional 10 persen). Angka drop out peserta KB cukup tinggi.
Angka-angka ini membuat kita miris memikirkan nasib keluarga-keluarga di NTT pada beberapa dekade mendatang. Dari keluarga-keluarga dengan latar belakang minor seperti inilah, akan muncul penduduk daerah ini, akan muncul generasi berikut yang bakal mengambil over kelanjutan pembangunan daerah ini.
Sumbangan program KB
Semua telah mafhum bahwa penduduk merupakan aset pembangunan terpenting. Yang menjadi soal ialah bagaimana kualitas aset itu. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang tidak terkendali akan memperlambat proses pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya, keberhasilan dalam mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk dan keluarga akan memperbaiki seluruh segi pembangunan dan kehidupan masyarakat serta mempercepat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini pengelolaan penduduk harus menyentuh substansi dasar, yaitu aspek pertumbuhan penduduk, aspek pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh dua hal utama, yaitu kelahiran dan kematian. Sebaran penduduk dengan dominasi usia produktif akan memungkinkan tingginya laju pertumbuhan karena kelahiran baru, dan berdampak pada besarnya jumlah penduduk dengan struktur usia muda dan membawa akibat lanjutan berupa tingginya dependency ratio.
Kemajuan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan berdampak pada bertambahnya usia harapan hidup penduduk (life expectancy). Ini berarti angka kematian penduduk semakin diperkecil, karena tidak ada lagi keluarga atau negara yang ingin penduduknya atau anggota keluarganya mati dalam jumlah banyak. Jika kematian ditekan, maka jumlah kelahiran harus dikendalikan agar pertumbuhan penduduk berada dalam batas toleransi dan tidak menjadi hambatan dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi untuk mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan hanya dapat diwujudkan dengan didukung oleh kualitas penduduk yang memadai. Sebaliknya peningkatan kualitas penduduk tidak akan terjadi jika tidak ada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas penduduk akan sulit dilaksanakan jika jumlah penduduk semakin besar dan sudah terlanjur rendah kualitasnya. Membiarkan pertumbuhan penduduk dengan kualitas rendah dengan tidak terkendali akan mempersulit persoalan pembangunan. Karena itu pengendalian kuantitas penduduk dan peningkatan kualitasnya harus dikelola secara bersamaan.
Lalu apa sumbangan program KB? Program keluarga berencana (KB) adalah upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan, pengaturan dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga ideal, mengatur jumlah anak, jarak dan usia melahirkan anak, pengaturan kehamilan dan membina ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Melalui pendekatan baru dan pelayanan yang demokratis, program dan kegiatan KB dan kependudukan makin berkembang menjadi gerakan KB dan kependudukan yang luas. Indonesia kemudian mendapat penghargaan yang tinggi dan sebagai salah satu negara yang dianggap pantas untuk ditiru dan diteladani. Keberhasilan KB yang diiringi perkembangan globalisasi, keberhasilan program pendidikan yang cepat, dengan kemajuan modernisasi mengakibatkan tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia terus naik jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan peduduk.
Perlahan tapi pasti, progam KB telah mengantar banyak pasangan muda menatap masa depannya dengan lebih pasti, lebih cerah dan jelas untuk kemudian membangun keluarganya dengan lebih kokoh. Pada tahun 1993, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Bukan tanpa alasan tanggal 29 Juni dipilih dan ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional. Tanggal ini punya alasan historis. Dalam sejarah kita tahu kalau pada tanggal 22 Juni 1949 Pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dan, pada tanggal 29 Juni tahun itu juga dilaporkan bahwa seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, di gunung dan pedesaan, telah kembali di tengah keluarga masing-masing.
Mudah-mudahan peringatan Hari Keluarga Nasional kali ini memberi makna yang lebih jauh lagi tentang penting dan strategisnya peran dan fungsi keluarga sebagai pilar pembangunan.

Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005 Read More...

Lawan jujur atau kawan culas? (Catatan Pilkada)

Tony Kleden

ENAM Kabupaten di NTT saat ini -- Manggarai, Manggarai Barat, Ngada, Flores Timur, Sumba Timur dan Sumba Barat -- tengah menggelar sebuah pasar terbuka. Pasar terbuka ini menjual program-program dari para pedagang yang bertarung mati-matian merebut kursi kepala pasar, eh... kepala daerah.
Di pasar itulah, perhatian, konsentrasi dan energi massa tersedot. Ramainya pasar itu pun mampu menggeser isu kelaparan, gizi buruk, busung lapar, penanganan KKN yang seolah tak punya juntrungannya. Taruhannya juga banyak: karier, jabatan, harta dan gengsi. Para pedagangnya pun tampil dengan gaya berbeda. Ada yang tenang menghanyutkan, yang lain lantang berteriak. Ada yang kalem mempesona, yang lain bernafsu bak hendak menelan orang. Ada yang gemar memuji diri, yang lain melitanikan keburukan lawan. Ada yang sibuk merincikan utang warisan yang harus dibayar, yang lain piawai membeberkan sejumlah program ke depan.
Merk dagang di pasar itu juga bermacam-macam. Seperti junkfood, kemasannya berwarna-warni dan menggoda air liur. Kata-katanya bombastis, membuat tangan gatal merogoh kocek. Tetapi isinya sama: memperjuangkan kepentingan rakyat. Terminologi kepentingan rakyat itulah yang menjadi produk utama di pasar itu.
Ya, hari-hari ini elite politik di enam kabupaten itu naik panggung kampanye menjual progamnya. Setiap elite politik itu jelas berbicara dan berteriak tentang kepentingan rakyat. Dan, itulah keharusan retorika dan kampanye politik. Lepas dari pembuktiannya kelak, haruslah diakui bahwa retorik menjadi demikian penting di atas panggung kampanye. Kemahiran berbicara di atas panggung, memang sangat patut dikuasai para juru kampanye (jurkam). Biasanya dengan sedikit menguasai logika dan bahasa, seorang jurkam sudah dapat merumuskan apa yang ada dalam batok kepalanya. Tetapi, hanya kemampuan retoriklah yang menjadi ujian bagi seseorang, apakah dia layak disebut orator, dan karena itu patut dan mau didengar dan diperhatikan?
Karena fungsinya untuk menarik simpati dan perhatian, maka laras bahasa yang digunakan orator adalah bahasa yang kuat dengan daya persuasi yang tinggi. Dengan pilihan bahasa seperti inilah seorang orator biasanya mampu membuat para pendengarnya lupa akan isi dan bobot omongannya. Bisa dimengerti kalau anak-anak di Desa Rambangaru, Sumba Timur nekat manggung dan bergoyang ria. Kakek dan nenek di Cancar, Manggarai meninggalkan rumah menuju lapangan bola kaki. Para petani di Boru, Flores Timur meninggalkan sawah dan ladangnya lalu bergegas ke lapangan.
Kekuatan retorik tidak terutama pada isi dan kebenaran kata-kata, tetapi justru pada kata-kata itu sendiri. Tetapi supaya kata-kata itu bisa menjadi kuat, maka dia mengandaikan suatu penghayatan dan penguasaan suatu masalah atau pengalaman secara intens. Itulah sebabnya orang bisa membedakan mana jurkam penggembira dan mana jurkam utama, mana orator profesional, mana yang amatir.
Jika puisi adalah keindahan dalam kata-kata, maka retorik adalah kekuatan yang menjelma dalam kata-kata. Puisi tidak menjadi indah karena kata-kata, melainkan kata-kata menjadi indah karena puisi yang dikandungnya. Demikian juga retorik tidak menjadi kuat karena kata-kata, tetapi kata-kata mendapat kekuatannya karena telah ditempah dalam suatu penghayatan retoris. Itulah sebabnya, kata yang sama akan menjadi sangat berbeda daya pengaruhnya ketika diucapkan oleh orang yang berbeda dalam penghayatannya. Daya pengaruh itu sangat tergantung dari apa yang diinjeksi oleh pembicara ke dalamnya.
Karena itulah kekuatan sebuah retorik mengandaikan tiga unsur. Pertama, bobot dan pentingnya pesan yang dikandungnya. Kepentingan isi pesan itu dapat diukur berdasarkan dimensi ruang dan waktu. Dalam dimensi ruang, sesuatu menjadi penting kalau dia mencakup lebih banyak orang. Dalam dimensi waktu, sesuatu menjadi penting kalau dia berlaku untuk jangka waktu yang semakin panjang. Kita mengerti sekarang kalau pernyataan seperti 'dalam lima tahun kepemimpinan saya, saya akan memberantas KKN yang telah merusak daerah ini' adalah lagu wajib yang selalu dinyanyikan setiap figur yang tampil di panggung kampanye.
Kedua, kecerdasan. Unsur ini akan menjadi sangat kentara manakala para jurkam mengobral kata-katanya. Ada yang demikian sungguh-sungguh ketika mengucapkan suatu soal yang sebetulnya sangat sepele dan sederhana. Sebaliknya, ada juga ucapan yang sangat jenaka tetapi mengandung pesan dan isi yang sangat serius dan penting. Itulah sebabnya di Larantuka, ajakan untuk melakukan penghematan lima tahun mendatang demikian jenaka di mulut calon bupati, Simon Hayon. Sebaliknya, Felix Fernandez begitu lantang berteriak bahwa dirinya tidak terbukti bersalah dalam tuduhan KKN di Flotim. Atau, muku te'a di mulut Yoachim Reo adalah suatu peringatan yang demikian penting, padahal cuma diucapkan di sebuah kampung bernama Kampung Boba dan di hadapan sekitar 200 orang.
Ketiga, kecekatan memilih kata-kata yang 'bertindih tepat' dengan maksud yang hendak disampaikan. Kemampuan ini ibarat bermain piano: meletakkan jari yang benar di tempat yang persis pada waktu yang tepat sehingga menghasilkan bunyi musikal yang indah dan harmonis. Akan kentara di sini mana jurkam yang cerdas memformulasikan maksudnya untuk hal-hal yang sulit sekalipun melalui kata-kata yang sederhana dan mudah ditangkap. Banyak orang keliru karena merasa hebat ketika mampu mengobral kata-kata asing yang sulit di telinga pendengarnya. Hemm... kita tidak tahu, entah sudah berapa banyak kata asing dieja secara salah di panggung kampanye sekarang ini.
Udara NTT saat ini penuh dengan 'gelombang pesan' yang dipancarkan dari atas panggung kampanye. Beruntung, gelombang itu tidak ditangkap pesawat radio. Kalau saja gelombang itu bisa ditangkap, bisa-bisa radio di rumah-rumah 'storing' akibat ditimpuki ramainya gelombang itu. Kepiawaian, ketelitian, kecermatan dan kehati-hatian mencari posisi menangkap pesan suara di gelombang itu menjadi sangat menentukan. Siapa yang tidak piawai, dia akan termakan isu. Siapa yang tidak teliti, dia akan tergilas rayuan. Dan, siapa yang tidak hati-hati, dia akan menuai sial.
Anda mau termakan isu? Ingin tergilas? Atau, mau sial? Jika tidak mau, ingat petuah ini: Verba docent, exempla trahunt. Kata-kata mengajarkan, contoh menunjukkan. Pilihlah orang yang telah, sedang dan bisa memberikan contoh, bukan yang cuma piawai menebar kata-kata sompong. Jika yang seperti ini juga tidak ada, Anda juga tidak perlu ragu menjatuhkan pilihan. Rumusnya cuma satu: musuh yang pintar akan lebih menolong daripada teman yang bodoh; lawan yang jujur lebih bermanfaat daripada kawan yang culas. Pilih mana? Lawan yang jujur atau kawan yang culas? *
Pos Kupang, Sabtu 18 Juni 2005 Read More...

Consumo ergo sum

Oleh : Tony Kleden

MENURUT Aristoteles, keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. Sebaliknya, watak dan mental jahat juga terutama dimiliki oleh seseorang karena kebiasaan. Dan, habitus itulah yang sudah tentu mengantar begitu banyak orang di negeri ini, juga di daerah ini, terperangkap dalam mental rakus dan tamak. Rakus dan tamak mencuri uang negara, rakus dan tamak memamerkan harta milik, juga rakus dan tamak mempertontonkan kerakusan dan ketamakan itu sendiri tanpa malu.
Pameran kerakusan dan ketamakan itu kini mendominasi pandangan publik di daerah ini. Ruang publik kemudian lebih diramaikan dengan wacana tentang salon kecantikan, mobil mewah, rumah besar di kawasan anu, perabot mahal, deposito bank, kapling tanah dan sejumlah artibut kekayaan lainnya. Tak heran kalau pegawai rendahan memamerkan handphone berbagai merk, anak pejabat dengan angkuh menyetir mobil-mobil kelas atas. Seleksi pegawai negeri, dari tahun ke tahun selalu mengulangi dosa yang sama.
Di tengah kondisi ruang seperti itulah kita menyadari betapa follow up tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membongkar KKN di daerah ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Setidaknya, tekad itu belum menyata dari deretan para koruptor kelas kakap yang masuk penjara. Kasus rumpon Belu telah berbilang tahun, belum juga ada pejabat yang masuk penjara. Kasus sarkes sama dan sebangun. Dua tahun sudah kasus itu ditangani, belum ada yang masuk penjara.
Gambaran ini sengaja diangkat untuk menunjukkan betapa korupsi telah merusak sendi paling jauh dari kepribadian manusia, menghancurkan suara hati manusia, memporakporandakan benteng pertahanan nurani manusia. Dan, yang terjadi kemudian adalah banalisasi korupsi.
Bunyi pertanyaan apakah orang tidak merasa bersalah melakukan korupsi tidak lagi menjadi pertanyaan yang relevan dan bermakna. Karena jawabannya cuma satu dan telah menjadi paten, yakni karena banyak orang melakukannya atau karena praktek itu sudah dibanalisasi (dibuat menjadi biasa). Banyak orang melakukannya menjadikan korupsi merupakan suatu actus, suatu perbuatan yang biasa, seakan-akan kebiasaan itu menciptakan hak. Jargon 'banyak orang melakukan' dijadikan alibi tanggung jawab pribadi dan banalisasi korupsi.
Celakanya, kebiasaan itu terus bertumbuh dan kemudian menciptakan struktur hidup, sehingga memudahkan dan membenarkan orang untuk terus bertindak. Seseorang yang sudah terbiasa dengan praktek korupsi tidak perlu bersusah payah berpikir, mengambil jarak atau memberi makna setiap kali bertindak. Aksi, tindakan korupsinya telah menjadi kesadaran praktis, meminjam terminologi Anthony Giddens. Seperti orang yang bangun tidur, tidak perlu harus berpikir lagi ketika turun dari tempat tidur, menapakkan kaki kiri atau kanan duluan. Begitu juga dengan korupsi. Orang yang terbiasa korupsi tidak akan mau berpikir susah. Dia cenderung berpikir praktis, mencari yang enak dan gampang. Petuah dan nilai-nilai moral tidak ada dalam benaknya. Kesadaran yang dibangun memang cuma kesadaran praktis, bukan kesadaran refleksif. Sebab kesadaran refleksif berimplikasi pada perubahan. Perubahan membawa ketidakpastian. Ketidakpastian menakutkan. Konklusinya praktis dan jelas, lebih baik meneruskan kebiasaan korupsi yang enak itu.
Jika Giddens menggunakan terminologi kesadaran praktis, maka Erich Fromm memakai istilah watak anal untuk melukiskan keserakahan seseorang (Erich Fromm "Memiliki dan Menjadi" dalam "Masyarakat Bebas Agresivitas" Penerbit Ledalero, 2004, halaman 424). Yang dimaksudkan dengan watak anal adalah watak seseorang yang energi utama dalam hidupnya diarahkan untuk memiliki, menabung dan menimbun uang dan benda-benda materi, ataupun perasaan, gerak isyarat, kata-kata dan daya energi. Pemilik watak tersebut merupakan seorang individu yang kikir, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat lainnya seperti tertib, tepat waktu, keras kepala dan masing-masing pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang biasa.
'Modus memiliki' adalah kata kunci bagi orang dengan watak anal. Bagi orang yang didominasi 'modus memiliki', miliknya menjadi dasar konstitutif baginya dan bagi identitasnya. Artinya, identitasnya ditentukan oleh apa yang menjadi miliknya. Pernyataan seperti "saya (subyek) mempunyai obyek" mengungkapkan suatu definisi tentang saya melalui pemilikan saya atas obyek. Subyeknya bukan diri saya sendiri, melainkan saya adalah apa yang saya punyai. Pikiran yang mendasari pernyataan 'saya adalah saya' ialah 'saya adalah saya, karena saya mempunyai x. X sama dengan semua benda alamiah dan orang yang dengannya saya menghubungkan diri saya melalui kemampuan saya untuk menguasai mereka dan membuat mereka menjadi milik saya secara tetap.
Dalam wujudnya sebagai kejahatan struktural, korupsi mengambil empat modus (lihat Dr. Haryatmoko: "Etika Politik dan Kekuasaan", Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 122). Pertama, korupsi jalan pintas. Korupsi model ini tampak dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Masuk dalam kategori ini, misalnya, aturan-aturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi, partai-partai politik mayoritas mendapat uang sebagai balas jasa. Sifat institusional politis cukup menonjol dalam korupsi model ini. Money politics juga masuk di sini.
Kedua, korupsi upeti. Korupsi ini dimungkinkan karena jabatan strategis seseorang. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik ekonomi, politik, budaya bahkan upeti dari bawahan. Mark up harga adalah contoh korupsi model ini. Ketiga, korupsi kontrak. Korupsi ini tak dapat dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek. Termasuk di sini usaha mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan. Korupsi ini erat kaitannya dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar. Korupsi ini menyata dari pencantuman nama-nama tokoh tertentu dalam suatu perusahaan sebagai jaminan keamanan. Dalam zaman Soeharto, korupsi ini sangat kentara dengan memasukkan nama-nama jenderal untuk menjadi komisaris di berbagai perusahaan penting.
Korupsi yang dilakukan secara terstruktur ini tidak cuma membanalisasikan actus itu, tetapi juga menjadikan para koruptor seolah terbebas dari sentuhan hukum. Kita mendapat kesan sangat kuat kalau aparat penyelidik 'begitu susah' menjerat para koruptor dengan modus seperti ini. 'Kesulitan' disentuh hukum menjadikan korupsi beranak pinak dalam 'rahim' yang mendukungnya. Tak ayal, mahasiswa yang lantang berteriak basmi korupsi akan kembali terperangkap dalam jerat yang sama bila kelak mereka masuk dalam jaring kekuasaan. Para koruptor sekarang ini adalah orang-orang yang sama yang pada tahun 1966, 1974, 1978, 1998 lantang berteriak "Turunkan harga!", "Ganyang korupsi", "Berantas KKN", "Kembalikan harta rakyat!"
Salah satu dampak paling kentara dari watak korupsi struktur ini adalah distorsi makna perilaku politik. Artinya, pembedaan yang baik dan yang jahat menjadi kabur. Kerangka penafsiran masyarakat yang merupakan perangkat penilaian dibuat tidak peka lagi terhadap tatanan moral. Masalah moralitas direduksi menjadi masalah manejemen politik. Korupsi lalu hanya menjadi salah satu bagian dari kemampuan membuat laporan keuangan atau kemampuan melakukan transaksi tanpa meninggalkan bukti. Keterampilan untuk bisa lepas dari audit kemudian menjadi salah satu keterampilan ilmu akuntansi.
Kita sudah tidak mampu lagi membayangkan korupsi di negeri ini. Masalahnya, actus tak bermoral ini cenderung dibawa ke rana politik sambil menjauhi rana hukum. Akibatnya, political will seorang pejabat akan dikalahkan oleh perhitungan dan peta kekuatan politik. Kalau obsesi seorang pejabat adalah mempertahankan kekuasaan, maka kebijakannya akan ditentukan oleh perhitungan dagang sapi. Kalau seseorang yang terjun dalam dunia politik masih membawa mentalitas animal laborans, dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi adalah siklus produksi-konsumsi sangat dominan, maka dia akan cenderung menjadikan panggung politik sebagai mata pencaharian utama.
Barangkali dalam konteks ini kita dapat memahami janji para petinggi negeri ini untuk memberantas korupsi akan tetap menjadi lagu lama dengan nada dasar baru. Program 100 hari yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya masih 'indah kabar dari rupa.' Dan, saya teringat Pius Rengka, anggota DPRD NTT, ketika dia mengatakan tidak tahu cara menjadi kaya seperti koleganya yang lain. Ya, ketika banalisasi korupsi telah menjadi trade mark di negeri ini, orang akan cenderung menurunkan hakikat dirinya setara dengan harta milik: rumah, kendaraan, deposito bank, kapling tanah. Makna hidup mengalami reduksi menjadi gaya hidup. Bagi orang yang bermental korup, yang mengagung-agungkan gaya hidup hedonis, rumusan filsafat Rene Descartes, cogito ergo sum dilencengkan menjadi consumo ergo sum (saya menghambur-hamburkan, maka saya ada).

Pos Kupang, Rabu 26 Januari 2005 Read More...

Alienasi dan transformasi: Membaca peringatan Gerson Poyk

Oleh: Tony Kleden

COBA tanyakan kepada pelajar di NTT sekarang ini siapa itu Gerson Poyk. Banyak yang sangat boleh jadi belum pernah mendengar namanya. Kalau pun sudah kenal nama ini mungkin hanya mendengarnya dari orang lain, atau guru di bangku sekolah. Dan bukan mengenalnya dari buah karya sastra gemilangnya. Padahal karya cerpen dan roman sastrawan kelahiran Rote 16 Juni 1931 ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Anehnya banyak yang belum mengenal nama ini. Kalau Gerson Poyk mengetahui ini, dia mungkin cuma mengurut dada.
Kenyataan seperti ini juga dialami Pramoedya Ananta Toer. Karya sastra Pram, demikian pengarang ini biasa disapa, sudah diterjemahkan ke dalam belasan bahasa asing. Tetapi sungguh sayang anak-anak negeri sendiri jarang membaca karya sastranya. Dalam terminologi ini baik Gerson Poyk maupun Pram, boleh dibilang "menggenapkan" apa yang telah dikatakan Yesus dua ribu tahun silam, "Seorang nabi memang tidak dikenal di tempat asalnya."
Sampai dengan saat menulis coret moret ini, raut wajah Gerson Poyk beluk kukenal. Tetapi sosok pemenang dua kali penghargaan Adinegoro ini sudah saya kenal dari buah penanya yang bernilai sastra ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Semasa di bangku sekolah menengah atas, nun di lembah Hokeng yang sejuk, di taman persemaian (seminarium) San Dominggo, nama ini terus melekat erat. Karya cerpennya 'Oleng Kemoleng' memang terlalu menarik untuk tidak dibaca.
Nama Gerson Poyk selanjutnya semakin intens melekat erat dalam sanubariku. Tetapi di awal tahun macan ini, nama ini membuat jiwa siapa saja yang peduli dengan nasib warga Flobamora ini jadi berontak. Apa pasal? Seperti diberitakan Pos Kupang, Rabu (14/1), di hadapan peserta pelatihan wartawan baru Harian Umum Pos Kupang, Gerson Poyk melontarkan suatu warning (peringatan) bahwa sudah banyak orang NTT teralienasi dari budaya asli. "Saya sangat kecewa dan prihatin terhadap apa yang saya lihat. Banyak orang hidup dalam kondisi teralienasi, tercabut dari akar budaya aslinya. Mereka menjadi asing di tengah-tengah denyut kehidupan sekitar," tegasnya.
Mungkin kurang representatif untuk tiba pada kesimpulan demikian, tetapi Gerson tidak asal semprot. Asal tahu saja, sejak kurang lebih dua bulan terakhir ini Gerson Poyk mau "mudik" dan mengadakan perjalanan nostalgia di beberapa tempat di NTT. Di Manggarai, misalnya, dia mengamati cara bertani lodok. Malah model ini, menurutnya, layak ditiru. Di Kota karang Kupang, Gerson Poyk saban hari menyusuri jalan dan lorong dengan sepeda tua mau melihat dan merasakan dari dekat denyut kehidupan warga kota ini.
Buat orang yang saban hari bersibuk diri menguber uang, apa yang dikatakan mantan wartawan ini mungkin kurang menggema. Tetapi buat setiap orang yang memiliki sedikit kepedulian terhadap yang namanya proses perubahan suatu masyarakat dengan segala implikasi praktisnya, niscaya awasan Gerson Poyk tentu saja punya resonansi yang kuat. Dan karena itu tidak bisa dianggap sepele.
Hal terakhir ini pun kualami. Sebagai orang yang masih dalam perjalanan mencari diri, peringatan Gerson Poyk membuatku berpikir dua kali. Memang tema yang digugatnya ini sudah sering kami diskusikan (semasa masih di bangku kuliah di STFK Ledalero, Maumere). Kecuali itu tema yang sama juga sering kutemukan di buku-buku. Dan semuanya menjadi lumrah untuk suatu dinamika.
Tetapi ketika awasan seperti ini kudengar di Kota Kupang, dia menjadi sangat lain. Resonansinya seakan menembus dinding basic trust pribadi yang pernah kubangun. Dan sebuah pertanyaan kemudian menghentak di ambang kesadaranku. "Akankah di Kota Kupang ini akar budayaku juga tercerabut? Lebih lanjut, meminjam judul cerpennya sendiri, apakah aku pun hanyut dalam ketidakpastian dan menjadi oleng kemoleng di tengah hempasan perubahan Kota Karang ini? Ketakutan akan kehilangan sense of direction juga menjadi demikian menghantui nuraniku. Dalam keadaan seperti itu, akankah aku hanyut dalam proses mimesis tanpa sadar?
***
Tema alienasi niscaya menjadi semakin relevan ketika orang membicarakan tema globalisasi, kemajuan arus informasi, laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hentakan arus sekularisme di hampir semua aras hidup manusia.
Peringatan yang dilontarkan Gerson Poyk mungkin terlalu dini. Alienasi dalam konteks kebudayaan, memang melewati suatu proses panjang. Bagaimana di Kupang? Dengan letaknya yang strategis di persimpangan utara dan selatan, barat dan timur, Kupang akan berkembang menjadi kawasan yang sangat prospektif di Asia Pacific. Dan karena itu masuk dalam bidikan para pialang uang. Sebagai kota yang tengah berdandan merias diri, Kupang tak dapat tidak dipengaruhi arus perubahan. Sekarang pun, "aram temaran" kota ini menampak dalam hampir semua bidang kehidupan manusia. Dari selera makan, mode pakaian, irama musik, potongan rambut, gaya rumah hingga goyang tarian.
Hasil, atau lebih tepat akibat, perubahan seperti ini tak dapat dielak. Pengaruh dari luar dengan sekian banyak implikasinya tak mungkin dibendung. Sebagai barometer propinsi 566 pulau, Kupang akan menentukan wajah Flobamora ini di era keterbukaan.
Dalam konteks seperti ini, peringatan Gerson Poyk harus menjadi "tanda zaman" yang terlalu penting untuk diabaikan. Gerson tentu mengingatkan banyak hal terkait dengan penghayatan (dan juga apresiasi terhadap) kebudayaan sendiri.
Alienasi merupakan suatu fenomen kebudayaan yang sangat transparan terlihat di kota-kota. Di Kupang yang nampak kian urban, gejala ini sangat transparan dan dialami merata oleh hampir semua orang. Mahasiswa yang menuntut ilmu di bangku kuliah, pendatang dari kampung dan desa yang mencoba mengais rejeki, petualang yang coba menambah pengalaman. Wisatawan asing yang transit, dan lain-lain. Dengan latar budaya masing-masing semuanya membaur menjadi satu.
Dengan sedikit gambaran seperti ini, tak sukar membayangkan apa akibat yang bakal muncul. Dalam konteks penghayatan kebudayaan situasi seperti ini langsung mengakibatkan benturan budaya yang hebat. Dalam benturan ini sekurang-kurangnya ada empat kemungkinan yang bisa terjadi (Lihat, Dr. Leo Kleden, dalam Majalah Vox, Seri 35/3-4 1990).
Pertama, orang bisa menutup diri dan hidup dalam ghetto kultural. Apa yang asing dianggap haram, sedangkan kebudayaan sendiri diagung-agungkan dalam romantisme naif. Kedua, orang bisa menyerap secara mentah-mentah kebudayaan asing sambil melupakan akar kebudayaan sendiri. Ketiga bisa terjadi semacam schizophrenia sosial, yaitu keadaan kepribadian dan kejiwaan yang terpecah antara beberapa pilihan yang semuanya saling tumpang tindih.
Keempat transformasi kebudayaan secara kreatif. Kemungkinan ini adalah yang paling kreatif. Tetapi transformasi kebudayaan secara kreatif mensyaratkan beberapa hal. Orang harus mengenal akar kebudayaan sendiri dengan segala sisi positip dan negatipnya. Orang juga perlu mengenal dengan baik kebudayaan asing. Selain itu dibutuhkan keberanian dan daya cipta untuk memadukan nilai-nilai terbaik dalam diri sendiri dan dalam masyarakat di mana orang berada.
Pikiran-pikiran seperti inilah yang mungkin ditulis oleh Gerson Poyk dalam peringatannya. Masing-masing orang bisa membaca dengan kacamata berbeda. Yang jelas idiomnya cuma satu: alienasi dan transformasi.
Pos Kupang, 27 Januari 1998 Read More...

Jurnalisme gender sebagai via media

Oleh : Tony Kleden

ADALAH Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir yang empunya novel. Novel itu berjudul "Woman at the Point Zero" (Perempuan di titik nol). Isinya berkisah tentang seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur dari sel penjaranya, tempat dia melaksanakan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang germo laki-laki. Alur ceritanya sangat keras, penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri.
Saya kutip sebagian isi buku itu. "Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati. Dan akibatnya, saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu."
Kutipan lain, "Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak".
Menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki- laki, buku ini berisikan kritik sosial yang teramat pedas. Dan, buku itu menjelma menjadi roh yang menggerakkan banyak pegiat gender di dunia. Memang, permasalahan tentang perempuan sepertinya telah menjadi masalah yang given, terberikan bagi siapa saja di dunia ini. Dan perjuangan membela perempuan, karena itu, dapat dikatakan merupakan sebuah perjuangan tanpa ujung, tanpa puncak.
Menurut banyak pengamat dan teori, permasalahan mengenai perempuan disebabkan oleh sejumlah banyak faktor. Tetapi dalam era kebebasan pers saat ini, ketimpangan, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, turut diberi angin oleh media massa dalam pemberitaannya. Salah satu andil pers di sini adalah mengeksploitasi berita dan atau tulisan tentang kekerasan terhadap perempuan. Tujuan pers adalah menaikkan tirasnya melalui eksploitasi berita-berita kekerasan terhadap perempuan. Sayang, tujuan ini justru menebarkan virus bagi kekerasan yang parah terhadap perempuan.
Pandangan pincang
Pada banyak tempat di muka bumi ini, perempuan masih saja mendapat perlakuan kurang baik, malah sangat sering disubordinasikan. Perlakuan pincang seperti ini telah lama berlangsung dan setua usia manusia. Kesaksian sejarah sangat eksplisit memaparkan aneka pandangan keliru tentang perempuan. Telaah misalnya beberapa pandangan berikut ini. Menurut Plato, filsuf Yunani kuno, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.
Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal, "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya". Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama. Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek pelecehan seksual (baca: persetubuhan) adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai pelacuran sakral.
Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya. Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa." Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian). Entah karena warisan pandangan seperti ini atau karena faktor perubahan lain, sampai hari ini nasib kaum Hawa belum sebaik kaum Adam. Sulit menyangkal kalau iklim dunia masih nyata terlihat dominasi struktur maskulinum: pria diutamakan, perempuan dinomorduakan. Pria identik dengan superioritas, perempuan identik dengan inferioritas. Dan seksisme merupakan paham yang secara tidak sadar membenarkan penindasan terhadap perempuan.
Di NTT hingga saat ini, dalam modus dan bentuk lain, pada beberapa tempat perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Seorang istri misalnya, berjalan kaki di belakang sang suami dengan barang bawaan di kepala atau di punggung, sedangkan sang suami dengan tenangnya duduk di atas kuda. Perempuan atau istri yang baik menurut penilaian laki-laki adalah yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang rajin mengambil air (pada banyak daerah di NTT mengambil air sering mengharuskan orang berjalan kaki berkilometer), yang rajin bangun pagi buta menyiapkan santapan bagi suami dan anak-anaknya, yang harus membereskan segala urusan rumah tangga, baru naik tidur ketika seisi rumah telah lelap dalam mimpi.
Berita-berita media massa di NTT juga hampir tidak pernah sepi dari kisah tentang kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Istri dibacok, siswi disekap, gadis diikat dan diperkosa dan semacamnya adalah isi berita yang kerap kita simak di lembaran media massa di NTT.
Perjuangan gender
Kita tak habis bertanya, sampai kapankah nasib perempuan menjadi baik? Sudah demikian bopengkah wajah bumi ini, sehingga kekerasan, ketidakadilan, inferioritas, subordinasi, pemerkosaan terhadap perempuan tetap saja eksis? Akankah mimpi kaum ini untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki digenapi? Mungkinkah cerita kemalangan kaum perempuan yang terbingkai nestapa dan rintihan air mata, berubah menjadi cerita keberhasilan, sukses berbalut roh heroik?
Masuk akal memang, dan seharusnya didukung, kalau gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, dilihat sebagai suatu perjuangan yang wajar dan bukan sekadar suatu ajang unjuk diri kaum perempuan. Perjuangan perempuan seperti ini telah lama bermula. Dalam sejarah kita misalnya, mengenal sekurang-kurangnya empat paham feminisme. Pertama, feminisme radikal, yang menganggap laki-laki dan perempuan tidak sama. Menurut paham ini, ketidakadilan dibuat oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka laki-laki harus dikalahkan. Kedua, feminisme liberal, berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama. Ketidakadilan adalah akibat tingkah laku perempuan sendiri. Ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki-laki. Ketiga, feminisme marxis, yang menganggap bahwa kapitalisme telah menguras tenaga kaum laki-laki demi penambahan modal. Karena tenaganya diperas di tempat kerja, maka di rumah laki-laki balik memeras perempuan yang bergerak di sektor domestik. Ketidakadilan seperti ini, menurut paham ini, hanya dapat disingkirkan kalau kapitalisme dilawan. Keempat, feminisme sosialis. Paham ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya tidak menghendaki ketidakadilan. Ketidakadilan adalah masalah manusia, bukan masalah laki-laki dan perempuan, maka harus ada kerja sama melawan ketidakadilan.
Pada masa sekarang ini ketika subyektivitas manusia semakin mendapat penekanan, perjuangan kaum perempuan mendapatkan kembali afirmasi dirinya, menemukan kembali 'surganya yang hilang' masih saja berjalan, seakan tak bertepi. Mengapa ketidakadilan yang dirasakan perempuan adalah nestapa yang berjalan beriringan dengan jejak langkah peradaban manusia? Struktur kebanyakan masyarakat yang bersifat patriarkat, tak dapat tidak sangat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan. Perjuangan perempuan mendapatkan kembali harga dirinya bukan lahir dari kesadaran bahwa mereka adalah perempuan, kaum Hawa yang lemah secara fisik, tetapi justru karena mereka adalah manusia dengan kualitas keluhuran yang sama dengan kaum laki-laki. Perjuangan perempuan untuk membela dirinya atau menegaskan kembali ke-"aku"-annya, tentu saja, tidak bermaksud menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan seperti ini adalah kenyataan biologis-fisiologis-psikologis yang terberi (given). Keterberian seperti ini, sampai kapan pun tak akan mungkin dipertukarkan.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Hasilnya? Perempuan sering lupa bahwa di dunia ini hanya dia yang memiliki kekuatan untuk menjadikan dunia ini suatu "rumah". Sangat sering peranan gender diidentikkan dengan peranan koderati. Keduanya, tentu saja, sangat berbeda. Gender adalah konstruksi sosial tentang peranan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh proses sosialisasi. Karenanya gender bersifat dinamis, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Sebaliknya peranan koderati adalah sesuatu yang inheren, yang dari khuluknya tidak dapat berubah. Kalau perjuangan gender, bila emansipasi, jika gerakan feminisme diletakkan dalam bingkai pemikiran seperti ini, maka segala upaya perjuangan, cita-cita mulia, mimpi indah kaum perempuan merupakan hal yang sangat wajar. Emansipasi, perjuangan gender, gerakan feminisme yang sesungguhnya adalah usaha menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kalau bingkai ini diabaikan, rasanya semua perjuangan itu cumalah nyanyian bisu anak hilang di tengah gemuruh perubahan zaman.
Jurnalisme gender
Reformasi yang melanda Indonesia medio tahun 1998 mendobrak banyak praktek kezaliman di negeri ini. Di bidang pers, terjadi perubahan paradigma yang sangat berarti tentang cara pandang pers yang benar. Pers yang sebelumnya mesti tiarap jika mau cari selamat, sekarang puas menikmati iklim kebebasan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada masa lalu ibarat tiket yang harus diperebutkan melalui upaya supermahal, pada awal reformasi tidak dipungut biaya. Lembaga Departemen Penerangan yang lebih berperan sebagai 'satpam' bagi pers dihapus. Dunia pers seakan mengalami masa bulan madunya, masa jayanya.
Dalam arti ini, pers Indonesia boleh dibilang mengalami suatu 'revolusi'. Di NTT, 'revolusi' di bidang pers juga jelas terlihat. Dalam rentang waktu tidak lebih dari 1,5 tahun, ikut terbit 6 media massa harian, 4 mingguan, 1 dwimingguan. Meski kemudian ada yang harus gulung tikar karena dililit masalah, toh kenyataan itu cukup merepresentasikan apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers. Di satu sisi, perkembangan ini mesti disambut positif. Artinya hegemoni dan dominasi penguasa dalam urusan penerbitan pers tidak ada lagi. Setiap orang boleh menerbitkan surat kabar atau majalah dengan cuma mendaftar di notaris. Dan setiap orang, boleh mendapat informasi sekehendak hatinya. Tetapi di lain sisi, perkembangan ini nampaknya juga diapresiasi secara berlebihan. Kran kebebasan pers yang dibuka, ditanggapi dengan hasrat dan keinginan menggebu-gebu membangun industri pers. Dapat dimengerti kalau kemudian muncul ribuan media massa cetak di awal reformasi. Sayangnya, kemerdekaan itu kerap kali diterjemahkan secara berlebihan dan karena itu lebih sering membawa masyarakat selaku konsumen media ke dalam labirin masalah.
Apresiasi yang keliru itu menemukan langgamnya melalui pemberitaan dan penampilan pers yang sensasional diiringi dengan pornografi secara terbuka. Dengan merujuk pada dampak sosial dan moral yang terjadi, tak dapat tidak mesti dikatakan bahwa apresiasi yang demikian lebih mengekspresikan ketidakpahaman gagasan dasar kemerdekaan pers. Di era pers sebagai industri, yang menekankan untung rugi, aspek bisnis menjadi penting bagi para pengelola pers. Pers kemudian menghadapi dilema keberpihakan, antara memilih idealisme atau komersialisme.
Bagi pers pilihan ini ibarat mendapat buah simalakama. Penekanan komersialisme akan melahirkan pers yang sensasional, eksploitasi selera rendah dan pertentangan. Sebaliknya penekanan pada idealisme semata tanpa memperhatikan aspek bisnis, penampilan dan pemasukan uang, akan membuat pers itu tidak berkembang.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi pers ini menunjukkan kemerdekaan pers sebenarnya tidak berarti tanpa batas. Di negara mana pun dan sedemokratis apa pun, tetap ada pembatasan terhadap pers. Sudah tentu apa yang dibatasi dan apa yang tidak dibatasi itu berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, bergantung pada konteks sosial-politik negara masing-masing.
Pada galibnya kemerdekaan pers berhasrat untuk mencari kebenaran, pengontrol penguasa, bukan untuk penyebaran pornografi, fitnah dan penghinaan. Menyertakan penyebaran segala macam informasi sampah ke dalam kemerdekaan pers adalah pengkhianatan dan penghinaan terhadap mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Tenggelam dalam eforia kebebasan itu, tampilan pers menjadi sangat norak, vulgar bahkan cenderung tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Fokus perjuangan pers terpusat pada penjualan koran, dan bukan pada bagaimana menyajikan informasi yang mendidik masyarakat. Dengan dalil menyebarkan informasi, tampilan pers dibuat sedemikian menarik mata melalui teknik montase foto porno, cerita sadisme guna menjual koran.
Di Kupang, keadaan seperti ini juga terlihat nyata. Inilah barangkali 'dosa suci' yang dilakukan pers. Eforia kebebasan itu juga melanda pers lokal di NTT terkait dengan pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan. Beberapa saat setelah terbit, Tabloid Metro Kupang misalnya, mendapat protes dari kalangan perempuan yang merasa kaumnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Jika disimak secara kritis, nampak bahwa berita-berita media massa di NTT yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan lebih terfokus pada detail tentang aksi kekerasan terhadap wanita, dan bukan pada bagaimana membangkitkan empati khalayak pembaca terhadap aksi kekerasan itu sendiri.
Bagi pers di NTT yang masih bersusah payah menaikkan tirasnya, pengemasan berita yang mengedepankan detail kekerasan dan terutama pornografi seakan diamini sebagai policy pemberitaan paling efektif. Idealisme pers yang terangkum dalam catur fungsinya yakni menyebarkan informasi, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial dan memberikan hiburan, rasanya semakin jauh dari gapaian.
Benar bahwa pers hidup antara lain dari berapa tiras yang dijual. Tetapi itu tidak berarti idealisme mesti mengalah tanpa kompromi terhadap aspek bisnis. Karena masing-masing media massa otonom dalam policy-nya, maka jalan paling aman yang dapat ditempuh adalah mengembangkan jurnalisme gender. Dengan jurnalisme gender di sini dimaksudkan, pertama, suatu prinsip jurnalisme yang menempatkan perempuan bukan lagi sebagai obyek (sasaran) berita yang bisa dieksploitasi. Dan kedua, masalah perempuan atau apa saja yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan sebagai titik akhir, tetapi menjadi titik awal dari suatu peliputan.
Memang tidak gampang mengembangkan jurnalisme gender dalam media massa. Karena hal itu berarti mengadakan transformasi yang bersifat mendasar terhadap visi dan struktur kerja dari kalangan wartawan. Kuatnya ideologi patriarki yang juga menjiwai dunia pers dan kalangan wartawan, merupakan masalah lain yang patut diperhatikan. Pendidikan dan pelatihan yang bervisi kesetaraan gender, agaknya dapat dilakukan setiap media massa. Selain visi gender, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pilihan kata (diksi) dalam pengemasan berita. Di Indonesia, dalam zaman Orba media massa umumnya seragam dalam penggunaan bahasa. Di masa ini, koran-koran nyaris seragam dalam memanfaatkan kekayaan bahasa untuk mengekspresikan opini atau gagasan. Keseragaman itu kini jadi cair setelah penguasa Orba lengser. Artinya, kini ada upaya dari kalangan pers untuk lebih memperkaya pemakaian bahasa dalam media massa. Kosa-kata yang dipakai pun kian beragam. Sebenarnya, sifat "gado-gado" dari bahasa pers bukan hal yang baru dan khas, namun merupakan kewajaran dari sifat seorang penulis atau wartawan yang tak suka dengan kata-kata yang monoton.
Karena bahasa pers antara lain merupakan refleksi dari kompleksitas cara berpikir para nara sumber dan wartawan, maka "kegado-gadoan" ucapan para nara sumber dan pilihan kata wartawan pada akhirnya muncul di halaman-halaman koran. Kosa-kata tertentu sering dipopulerkan wartawan dalam media massa. Simak misalnya kata "keong", 'nok-nok', "ciki-ciki", "ukur badan" dalan jargon pers NTT. Kosa kata ini oleh wartawan mulanya dimaksudkan untuk memperhalus (eufemisme), tetapi istilah ini justru mengesankan makna kekerasan dan bernuansa kasar. Pers menggunakan kata-kata spesifik dengan maksud menarik pembaca. Tetapi seringkali maksud ini justru berdampak terbalik.
Di tengah upaya dan hasrat menaikkan tiras penjualan, niscaya komersialisme masih tetap menang atas idealisme. Sangat sulit menarik garis tegas antara keduanya. Jurnalisme gender barangkali merupakan kompromi yang mungkin dapat menjadi via media (jalan tengah) mengawinkan kepentingan bisnis dan perjuangan gender.

Pos Kupang, 28 Agustus 2002 Read More...