Oleh : Tony Kleden
PADA Selasa, 15 Agustus 2006 lalu, Harian Umum Pos Kupang -- bersama dengan sembilan media lain di Indonesia -- mendapat penghargaan sebagai koran terbaik 2005. Beberapa saat sebelum piagam itu diserahkan dan beberapa hari sesudahnya, banyak pesan singkat (SMS/short message service) mampir di handphone saya. Semuanya satu nada: selamat dan proficiat untuk prestasi ini!
Tak tega rasanya kalau mesti menghapus pesan-pesan itu dari handphone. Karena itu, tulisan ini boleh dibilang sebagai bentuk terima kasih untuk para pembaca, simpatisan dan siapa saja yang peduli terhadap Pos Kupang dan pers secara umumnya.
Sekilas perkembangan pers
Harus diakui bahwa kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus juga merupakan sebuah blessing in disguise, berkat dan karunia tersendiri bagi dunia pers. Tumbangnya rezim Orde Baru itu membawa sebuah pengaruh yang luar biasa, yakni bahwa kesadaran masyarakat terhadap pers semakin kritis. Masyarakat yang berdiri selaku konsumen media akan menentukan nasib sebuah media. Mati atau gugurnya sejumlah banyak koran dan tabloid adalah juga indikasi betapa masyarakat kita sudah sangat kritis menjatuhkan pilihan. Jika pada rezim lalu, pilihan media sangat terbatas, maka sekarang masyarakat seolah bingung sendiri di tengah bursa media. Pers mendapat tempat secara penuh. Wartawan dan pekerja pers pun menemukan tempatnya berekspresi lewat karya dan kerja jurnalistiknya.
Lembaga Kementerian Penerangan yang ketika itu lebih banyak berperan sebagai 'satpam' bagi pers, dihapus. Tetapi hal yang paling penting adalah digantikannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 itu ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999. Perangkat undang-undang baru ini memberi aksentuasi yang jauh lebih banyak bagi iklim kebebasan pers. Meskipun di sana sini masih terdapat sejumlah pasal yang dilihat sebagai senjata membelenggu pers, toh undang-undang ini telah membongkar paradigma lama tentang pers dan menggantikannya dengan paradigma baru. Jika dalam undang-undang lama kredonya adalah kebebasan pers yang bertanggung jawab, maka dalam undang-undang baru ini kredonya adalah kebebasan pers yang profesional. Profesionalisme mendapat penekanan di dalam undang-undang ini.
Paradigma baru ini terutama dimaksudkan untuk mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang sudah salah kaprah semasa rezim lama. Paradigma kemerdekaan pers yang profesional juga memberikan makna yang lebih hakiki dan mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi saat ini. Lebih jauh, kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk membangun kualitas sumber daya manusia, manejemen perusahaan yang profesional, kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover both side (jika perlu cover all side), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi.
Inilah tuntutan normatif dan kualitatif yang memberikan landasan pijak bagi titian pers. Tetapi respons terhadap iklim kebebasan pers itu muncul sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ditetapkan. Itu berarti kerinduan (pegiat) pers untuk melepaskan diri dari kuk yang membebani dan ikatan yang membelenggu merupakan kerinduan yang sungguh menghentak dan mendesak. Tak ayal, sebelum perangkat hukum ini disahkan, telah lahir ribuan media di tanah air. Hingga kejatuhan Soeharto, di Indonesia cuma terdapat 289 media yang ber-SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Belum setahun usia reformasi, jumlah media yang terbit menjadi 582, dua kali lipat semasa 30 tahun sebelumnya. Sekarang, sudah lebih dari seribu media yang hadir di tanah air. Ketika bangsa ini memasuki era pencerahan yang disebut sebagai zaman reformasi, pers pun seolah memasuki pintu gerbangnya guna mereguk susu dan madunya. Bagai pengantin baru, pers Indonesia mengalami masa bulan madunya di awal reformasi.
Di NTT, dampak kebebasan pers itu juga cukup menyata. Disemangati eforia yang dialami secara nasional, sejumlah orang coba ikut mereguk manisnya madu dengan mencoba mendirikan koran dan tabloid. Setelah Pos Kupang sendirian hadir selama tujuh tahun sebagai koran harian, muncul banyak pendatang baru. Terbit Surya Timor, Suara Timor, NTT Ekspres, Sasando Pos, Flores Pos, Radar Timor, NTT Xpress, Timor Express, Kursor. Semuanya merupakan koran harian. Selain media harian, muncul beberapa tabloid mingguan. Kompak, Metro Kupang, Suara Flobamora, Duta Flobamora, Saksi, Udik, Cermin, Alor Pos, Rote Pos, dan beberapa lain yang hanya untuk kalangan terbatas dan bersifat intern.
Apa yang dapat kita katakan tentang kenyataan ini? Di satu sisi harus diterima bahwa inilah sebentuk kepedulian pegiat media terhadap fakta sosial yang ada di masyarakat. Keprihatinan atas sejumlah banyak praktek abnormal dan ikhtiar membuka wacana bagi masyarakat melalui informasi, kemudian dirumuskan menjadi asumsi dan premis mendirikan institusi pers.
Itu di satu sisi. Tetapi di sisi yang lain, eforia itu disambut secara berlebihan dan karena itu cenderung salah kaprah. Akibatnya, kita menyaksikan sendiri di daerah ini betapa berwarna tampilan dan sajian koran dan tabloid. Yang lucu dan kemudian melahirkan pertanyaan besar adalah bahwa meski telah begitu banyak media hadir dan terbit, toh apa yang disebut sebagai information deficiency tetap saja terjadi. Media begitu banyak, tetapi informasi tidak cuma telah terdistorsi dan terkontaminasi oleh kepentingan tertentu, tetapi juga terasakan sangat kurang. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa asumsi dan premis awal yang memanggil orang mendirikan media, belum terbukti (sekurang-kurangnya sampai saat ini).
Framing dalam pers
Pada tanggal 1 September 1983, pesawat pembom Uni Soviet menembak jatuh pesawat penumpang Korea 007. Akibatnya, 269 penumpang, termasuk awak pesawat tewas. Pada tanggal 3 Juli 1988, pesawat penjelajah Amerika Serikat, Vincenes, menembak jatuh pesawat penumpang Iran 655 yang melintas di atas kawasan Teluk. Sebanyak 290 penumpang termasuk awak pesawat tewas.
Kedua peristiwa ini sama. Yang berbeda pelakunya: yang pertama Soviet, sedangkan yang kedua Amerika. Ternyata peristiwa yang sama tersebut digambarkan secara berbeda dalam liputan pers Amerika. Peristiwa tertembaknya pesawat penumpang Korea oleh Soviet digambarkan sebagai suatu pembunuhan, atau serangan udara. Liputan pers memakai banyak label dan kata-kata untuk mengutuk peristiwa itu sebagai pembunuhan. Kekejaman Uni Soviet diulas dengan liputan yang bergairah.
Tetapi ketika memberitakan jatuhnya pesawat Iran akibat ditembak pesawat Amerika, liputan pers Amerika mempunyai gambaran yang berbeda. Penembakan itu tidak digambarkan sebagai pembunuhan, tetapi sebuah kecelakaan, atau lebih tepatnya suatu tragedi. Liputan sama sekali tidak memberitakan mengenai kekejaman Amerika. Justru yang ditampilkan adalah kemajuan teknologi radar Amerika -- saat itu Amerika sedang mencoba radar yang dapat menembak secara otomatis pesawat dalam radius yang ditentukan. Penembakan itu, dengan demikian, dimaknai sebagai akibat kemajuan teknologi daripada suatu pembunuhan yang kejam atau sadis.
Ilustrasi ini menunjukkan apa yang disebut dalam jurnalistik dengan framing. Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada isu yang lain.
Robert M Entman mendefinisikan framing sebagai 'seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Dari definisi ini, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan.
Dalam bekerja dan bertugas setiap hari, wartawan -- juga media -- berhadapan dengan framing. Wartawan memutuskan apa yang akan ia beritakan, apa yang diliput dan apa yang harus dibuang, mana yang ditonjolkan dan apa yang harus disembunyikan bagi khalayak.
Bagaimana di NTT?
Dalam jagat pers di NTT, framing itu sangat kasat mata. Dalam banyak berita, media di NTT tidak satu nada. Setiap wartawan/media akan berbeda frame-nya ketika melihat suatu realitas atau fakta. Koran A akan melihat masalah kemiskinan, kelaparan sebagai suatu laknat yang harus diperangi. Koran B melihat kemiskinan dan kelaparan sebagai suatu kesempatan emas untuk memproyekkannya guna meraup keuntungan. Koran A melihat pembangunan suatu gedung besar dan megah sarat KKN dan penuh kepentingan. Sementara koran B sibuk membelanya sambil mengharapkan 'tumpahan' dari kuali proyek itu. Perbedaan itu seterusnya akan menyebabkan perbedaan dalam angle berita, dalam teknik pengemasan dan bahkan dalam penggunaan kata-kata (diksi).
Tak ayal di NTT terhadap suatu obyek berita bisa muncul begitu banyak 'informasi'. Jika banyaknya informasi itu adalah akibat perbedaan sudut pandang (angle), maka hal itu harus dapat diterima sebagai variasi dan kekayaan sudut pandang berita. Tetapi jika itu melahirkan makna dan tafsiran baru, maka itu merupakan suatu 'dosa pers'. Yang dirugikan adalah masyarakat selaku konsumen media. Pernah misalnya, terhadap kasus korupsi, ada media yang habis-habisan membongkarnya. Sementara media lain sibuk dan mati-matian membela dan terus membelanya. Kenyataan seperti ini tidak cuma memperlihatkan kegagalan media menegaskan corak independensinya, tetapi sekaligus juga tidak mampu menyembunyikan corak partisannya.
Keadaan ini turut diperparah oleh fakta bahwa masing-masing media memilih jalannya sendiri-sendiri dalan mengejawantahkan apa yang sebelumnya diklaim sebagai asumsi yang coba dibuktikan. Perbedaan itu sangat kentara dalam model, gaya dan format berita. Setiap media berbeda dalam 'laras' pemberitaannya. Normalnya, perbedaan laras itu mengekspresikan perbedaan visi dasar masing-masing media. Sebab masing-masing media memiliki visi dasar yang kemudian menentukan editorial policy (kebijakan editorial). Visi dan editorial policy seterusnya menjadi pedoman dan kriteria dalam proses menyeleksi kejadian dan permasalahan untuk diliput dan dijadikan bahan pemberitaan. Tetapi untuk kasus pers NTT, perbedaan itu secara tegas bukan mengeskpresikan perbedaan visi dasar, tetapi lebih menunjukkan perbedaan kepentingan yang hendak dibela. Karena itu boleh dibilang, bagi pers di NTT fakta bukanlah suatu kejadian sebagaimana sudah terjadi, meminjam formulasi sejarawan Jerman, Leopold Ranke, tetapi suatu kejadian sebagaimana telah dikonstruksikan oleh seseorang atau sekelompok orang.
Pengaruhnya bagi masyarakat selaku konsumen media ialah bahwa informasi tentang suatu obyek masalah yang diserapnya adalah informasi yang selalu jamak, tidak pernah tunggal atau utuh. Dia (berita itu) selalu mengandung peluang untuk dipertanyakan kembali, berpotensi sangat besar untuk ditafsir ulang guna menemukan saripatinya. Yang menyedihkan ialah masyarakat sendiri masih cukup kuat mengkotak-kotakkan (atau dikotak-kotakkan?) diri secara sempit dalam kelompok-kelompok kepentingan tertentu baik karena suku, etnik, suku maupun agama. Bagi pers, hal ini membawa dampak yang sangat buruk. Kacamata memandang pers yang dipakai masyarakat adalah kacamata suku, golongan, etnis, atau agama.
Meski begitu, pada hemat saya, masyarakat NTT semakin hari semakin kritis. Dia semakin paham dan mengerti, mana media yang dapat dipercaya, mana media yang kurang dapat dipercaya. Berita di media mana yang perlu dibaca, berita di media mana yang tak perlu dibaca. Sebab, dalam jurnalistik berlaku hukum tak tertulis: wajah media adalah wajah pengelolanya. Medianya baik, tentu pengelolanya profesional. Medianya setengah-setengah, pengelolanya juga pasti setengah-setengah. Medianya amburadul, seperti itulah pengelolanya.
Mitra masyarakat
Telah lama diterima bahwa institusi pers merupakan pilar keempat dari rancang bangun demokrasi, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tetapi revolusi dan perkembangan pesat dari dunia pers sendiri memaksa pers berperan lebih dari empat fungsinya.
Dalam masyarakat yang bertumbuh sangat pesat, cepat, kompleks dengan begitu banyak arah perubahannya, apa peran media massa, khususnya surat kabar? Berita dan informasi sekarang datang dan hadir seperti air bah, sementara ruangan atau space koran terbatas. Maka yang perlu dilakukan adalah seleksi, memilih mana yang dibutuhkan masyarakat, mana yang harus diberitakan, mana yang tidak perlu diberitakan. Lagi pula, waktu dan kesibukan membatasi keengganan orang untuk membaca. Semakin mendesak kebutuhan bari pers untuk tidak sekadar memberikan informasi, tetapi sekaligus menjelaskan duduknya perkara. Di sinilah peran media sebagai mitra pembacanya sangat diharapkan. Apa arti kejadian, perkembangan dan perubahan itu bagi masyarakat dan bagi dirinya? Apa maknanya jika misalnya ada berita harga minyak di pasar dunia naik atau turun? Apa arti suku bunga kredit menurun?
Informasi yang menjelaskan duduknya perkara tidak lagi sekadar pada kejadian-kejadian itu secara terpisah dan secara sendiri-sendiri. Perubahan yang berlangsung dalam masyarakat amat luas cakupannya. Perubahan besar atau menyeluruh itu minta dijelaskan. Jika ombak besar di kawasan perairan NTT, misalnya, masyarakat perlu dijelaskan apa dampaknya bagi dunia perekonomian masyarakat, apa artinya itu bagi para nelayan di pesisir pantai. Jika kelaparan mengancam Sikka, masyarakat Sikka perlu dijelaskan bagaimana cara-cara mengolah makanan alternatif sehingga tidak mati bodoh karena lapar. Jika tanah ulayatnya dirampas, maka pers perlu juga memberi penjelasan dampak psikologisnya bagi masyarakat sekitar. Jika hutan dibabat, bukit diratakan untuk eksplorasi marmer, pers perlu menjelaskan dampaknya seperti erosi kala hujan, mata air mengering di musim panas dan seterusnya dan seterusnya.
Melalui pers, masyarakat mencari penjelasan lebih lengkap. Pengemasan berita, misalnya, perlu melalui pendekatan multi angle, infografis, data-data pendukung, tabel-tabel, tips-tips. Para ahli komunikasi massa bahkan menyebut salah satu fungsi pers bagi masyarakat adalah alat untuk menjadi bekal hidup (tool of living). Peranan itu semakin besar. Ada yang menguraikan dengan kata-kata news that you can use, berita yang bisa dipakai untuk memperoleh manfaat, yakni manfaat praktisnya. Pers mesti peka dan tajam melihat apa yang paling dibutuhkan khalayak. Jepang maju ekonominya karena liputan ekonomi mendapat porsi yang besar oleh pers dalam negeri itu. Liputan/berita politik kalah jauh.
Pers juga mesti tetap berjalan pada jalurnya. Di tengah kondisi rakyat NTT yang masih serba sulit dan menderita, pers mesti berdiri di garda terdepan memberikan pencerahan, memberikan masukan, membuka wawasan mereka untuk bagaimana menantang kerasnya hidup agar bisa survive. Jangan cuma mengedepankan kasus-kasus korupsi, isu-isu politik, hiburan-hiburan.
Memang di jagad pers berlaku dogma: bad news is good news (berita buruk adalah berita bagus). Yang masuk dalam berita buruk itu misalnya: perkosaan, perselingkuhan, pembunuhan, demonstrasi. Dengan alasan mendongkrak tiras, berita-berita ini laris manis. Tidak salah. Tetapi juga tidak cuma sebatas itu. Untuk investasi jangka panjang, rakyat juga membutuhkan tulisan-tulisan pencerahan, pendidikan, kiat-kiat dan semacamnya. Maka yang dibutuhkan adalah keberanian melawan dogma itu.
Pos Kupang, Selasa 26 September 2006
Read More...
Wajah pers, wajah pengelola
Investasi itu bernama otak
Oleh : Tony Kleden
MESKI belum berkembang seperti yang diharapkan, belakangan ini pendidikan anak usia dini (PAUD) di Tanah Air mulai mendapat perhatian. Taman bermain anak-anak tumbuh dan terlihat di mana-mana, bahkan sudah menyebar hingga ke kampung-kampung dan desa-desa. Taman kanak-kanak (TK) juga mulai bersaing dengan sekolah dasar dalam jumlah. Tempat penitipan anak, play group hadir di mana-mana.
Harus diakui, kondisi ini merupakan tanda membaiknya perhatian sekaligus kesadaran banyak pihak tentang pentingnya PAUD. Mengapa PAUD menjadi begitu penting? Banyak jawaban telah diberikan oleh banyak ahli. Berbagai pendekatan dan teori telah dirumuskan. Untuk konteks tulisan ini, perumpamaan di bawah ini bisa dengan mudah menjelaskan tentang penting dan strategisnya perhatian akan pendidikan bagi anak-anak pada usia dini.
Jika diumpamakan satu unit komputer memiliki 100 neuron (jaringan), maka otak manusia memiliki 100 miliar neuron. Nah, itu berarti bahwa satu otak manusia, sama dengan 1 miliar unit komputer. Studi neurologi (ilmu tentang saraf) membenarkan bahwa dalam setiap jaringan otak manusia terdapat sekitar 100 miliar neuron itu, yang lazim disebut jaringan saraf. Berbeda dengan komputer yang beroperasi setelah dihidupkan manusia, jaringan otak telah mulai bekerja beberapa minggu setelah pembuahan. Kalau para ilmuwan dapat menguping bunyi otak pada janin manusia berusia 10 atau 12 minggu sesudah pembuahan, mereka akan mendengar hiruk-pikuk yang mencengangkan.
Di dalam rahim, ketika berumur seperti itu, sel-sel saraf pada otak yang sedang berkembang sibuk dengan kegiatan yang terencana. Sel saraf panjang itulah yang dikenal dengan neuron tadi. Neuron itu ibarat kawat yang menghantar pesan-pesan listrik lewat sistem saraf dan otak. Neuron ini tidak mengirim sinyal dan menyebarkannya secara sembarangan. Kalau sembarangan, maka bunyi detak otak akan mirip seperti radio yang disetel setengah-setengah antara dua stasiun. Sebaliknya bunyi detak otak itu sangat jelas karena berasal dari gelombang kegiatan neuron yang terkoordinasi. Gelombang kegiatan otak itu membentuk sirkuit otak menjadi pola yang lama-kelamaan akan menyebabkan bayi yang lahir nanti mampu menangkap suara ayah, sentuhan ibu, atau gerakan mainan.
Ketika dilahirkan, bayi akan hadir dengan 100 miliar neuron di otaknya. Otak bayi itu sudah berisi hampir semua sel saraf yang akan dimilikinya. Namun pola penyambungan antara sel-sel itu masih harus dimantapkan. Sebelum lahir, kegiatan neuronlah yang berperan untuk memperhalus jaringan. Tetapi setelah lahir kegiatan neuron itu tidak spontan lagi. Tugas memperhalus jaringan itu digerakkan oleh banjir pengalaman indra.
Selama tahun-tahun pertama kehidupan, otak manusia mengalami rangkaian perubahan yang luar biasa. Tidak lama sesudah lahir, otak bayi menghasilkan bertriliun-triliun sambungan antarneuron. Bila tidak mendapat lingkungan yang merangsangnya, otak seorang anak akan menderita. Menurut penelitian, anak-anak yang jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20 atau 30 persen lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu.
Ketika lahir, otak bayi seberat 350 gram. Berturut-turut pertambahan berat otaknya adalah sebagai berikut, tiga bulan: 500 gram; 6 bulan: 650 gram; 9 bulan: 750 gram; 12 bulan: 925 gram; 18 bulan: 1000 gram (1 kg). Berat otak anak umur enam tahun sudah sama seperti otak orang dewasa, yaitu sekitar 1,3 kg.
Setelah lahir, jumlah sel saraf tidak bertambah lagi, karena sel saraf itu tidak dapat membelah diri lagi. Tetapi masing-masing sel yang mempunyai juluran-julurannya mempunyai daya untuk bercabang-cabang lagi dan membuat ranting-ranting hingga usia lanjut. Keajaiban otak ialah bahwa bila disentuh melalui rangsangan seperti belajar atau bermain, maka cabang-cabang dan ranting-ranting juluran sel saraf tumbuh berkembang, menjalin hubungan-hubungan yang semakin rimbun. Sebaliknya bila tidak digunakan, maka cabang-cabang ini akan mati dan hubungan antarsel menjadi kurang rimbun.
Selain 100 miliar neuron, ketika lahir otak bayi juga dilengkapi dengan satu triliun sel yang disebut sel glia yang berfungsi sebagai perekat dan synap (cabang-cabang) yang akan membentuk sambungan antarneuron. Synap ini akan bekerja secara cepat sampai anak berusia 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidupnya. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Pertumbuhan jumlah jaringan dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini anak memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika, keterampilan berpikir dan pembentukan stabilitas emosi.
Setelah berusia enam tahun, volume otak manusia yang seberat 1,3 kg tidak lagi bertambah. Yang terjadi kemudian pada otak manusia hanya berkembang dengan perkembangan sebagai berikut : usia 0 - 4 tahun: 50 persen; 8 tahun: 30 persen; di atas 18 tahun : 20 persen.
***
Dari penjelasan di atas menjadi sangat jelas kalau empat tahun pertama dalam hidup setiap manusia adalah usia yang paling menentukan kemampuan intelek dan kepribadian seorang anak. Karena itulah, empat tahun pertama itu disebut sebagai the golden age (usia emas) setiap anak manusia. Dirumuskan dalam bahasa bisnis, maka masa-masa ini merupakan momentum untuk menanam investasi dalam diri anak meraih masa depannya dan menjawab harapan bangsa. Salah mengisi the golden age itu akan sangat merepotkan anak di kemudian di hari.
Gerangan apakah yang dapat dan harus dilakukan mengisi masa-masa golden age itu? Salah satu yang selalu dianjurkan adalah pendidikan yang menggunakan metode belajar sambil bermain. Umur empat tahun pertama adalah umur ketika anak berhadapan dengan dunia bermain. Kerap kali, orangtua keliru mengartikan umur ini dengan misalnya menjejali anaknya dengan begitu banyak pengetahuan sistematis seperti membaca, matematika dan seterusnya.
Prof. Dr. Conny R Semiawan menyindir model pendidikan taman kanak-kanak di Indonesia karena lebih banyak memaksa anak untuk belajar. "Ketika anak mau sekolah dasar, ditanya sudah bisa membaca atau belum. Ada sekolah dasar yang menolak anak-anak yang belum bisa membaca. Ini konyol," sindir Conny Semiawan sekali waktu.
Dia juga mengritik model pendidikan kita di tanah air yang terlalu menjejali anak dengan begitu banyak hal. "Anak-anak kita terlalu dipaksa untuk menghafal ini dan itu. Menghafal adalah penyakit bangsa Indonesia. Anak disuruh belajar, belajar untuk mengejar ranking. Tetapi dia kehilangan masa bermain. Padahal bermain itu merupakan kebutuhan yang paling penting buat anak," katanya.
Menurutnya, pendidikan bagi anak pada usia-usia ini adalah belajar sambil bermain. Bagi anak bermain adalah kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas, anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental, intelektual dan spiritual. Bermain adalah medium, dimana anak menyatakan jati dirinya, bukan saja dalam fantasinya, tetapi juga benar nyata secara aktif. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajah dunianya, dari yang tidak ia kenali sampai pada yang ia ketahui, dan dari yang tidak dapat diperbuatnya hingga mampu melakukannya. Secara tegas dapat kita katakan, belajar sambil bermain bagi anak usia dini merupakan prasyarat penting bila orangtua menginginkan anaknya sehat mental.
Pentingnya perhatian akan pendidikan anak dini usia juga telah digariskan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang berlaku secara internasional. Di Indonesia, program pengembangan anak dini usia masih sangat rendah. Salah satu indikatornya adalah masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan prasekolah. Rendahnya angka partisipasi ini juga dipengaruhi oleh terbatas dan tidak meratanya penyebaran sarana pendidikan prasekolah.
Minimnya sarana dan minornya pandangan sebagian warga masyarakat yang demikian mengabaikan pendidikan anak dini usia merupakan hambatan serius yang perlu segera dipecahkan. Jika empat tahun pertama merupakan masa emas yang sangat menentukan seorang anak, maka masa itu harus diisi dengan sungguh melalui sarana pengembangan. The Consultative Group on Early Childhood Care and Development mendefinisikan pengembangan anak dini usia sebagai suatu kegiatan yang ditujukan bagi orangtua dan anggota lainnya untuk membina tumbuh kembang anak usia 0-8 tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan non fisik dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan mental, intelektual, emosional, moral dan sosial yang tepat dan benar agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah penyediaan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif, pengasuhan dan bimbingan anak untuk memahami potensi diri yang dimilikinya dan berperan aktif dalam keluarga dan masyarakat.
Pendekatan perkembangan otak menjadi perhatian penting dalam pengasuhan dan pengembangan anak dini usia karena kita tahu bahwa otak memegang kendali dalam kehidupan seorang manusia. Melalui otak seseorang mengenal dunianya, menyerap semua informasi dan pengalaman-pengalaman, baik yang sifatnya menyenangkan maupun menyakitkan. Saat paling menentukan bagi perkembangan otak itu terjadi pada usia 0 - 3 tahun. Pengalaman di usia dini berkontribusi besar terhadap struktur dan kapasitas otak seseorang. Pengalaman menyenangkan dan adanya kelekatan antara orangtua/pengasuhnya dengan anak memberikan kondisi yang bebas stres pada anak. Kondisi yang bebas stres ini sangat membantu pembentukan struktur otak. Dengan struktur otak yang baik, maka kapasitas otak pun akan lebih bertambah. Kelekatan yang aman itu dapat terbentuk bila orangtua/pengasuh mempunyai kemampuan untuk memberi respon positif terhadap tanda-tanda yang dimunculkan oleh anak.
Jika demikian pentingnya perkembangan seorang anak pada usia dininya, maka cuma satu harapan yang dititipkan, yakni semakin sering meluangkan waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak. Dorothy Low Nolte dalam Children Learn What They Live With memberikan kata-kata mutiara ini:
Jika anak banyak dicela, dia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dimusuhi, dia akan terbiasa menentang.
Jika anak dihantui ketakutan, dia akan terbiasa merasa cemas.
Jika anak banyak dikasihani, dia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak dikelilingi olok-olok, dia akan terbiasa menjadi pemalu.
Jika anak banyak diberi dorongan, dia akan terbiasa percaya diri.
Jika anak banyak dipuji, dia akan terbiasa menghargai.
Jika anak diterima oleh lingkungannya, dia akan terbiasa menyayangi.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, dia akan terbiasa melihat kebenaran.
Nah, bagaimana anak Anda?
Pos Kupang, Jumat 26 Mei 2006
Read More...
Keluarga : Pilar Pembangunan (Renungan Hari Keluarga Nasional)
Oleh : Tony Kleden
KETIKA busung lapar mendera begitu banyak kawasan di sejumlah kabupaten di NTT, spontan pikiran kita tertuju pada ketersediaan pangan yang minim, daya beli masyarakat yang rendah, derajat kesehatan yang tidak memadai, frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit yang juga rendah. Kita jarang berpikir bahwa salah satu faktor yang juga sangat penting yang turut menyebabkan gizi buruk dan busung lapar adalah buruknya manejemen keluarga.
Dari pengalaman terbukti bahwa manejemen yang baik demikian sentral dan penting bagi sehat dan amannya keluarga. Kokoh dan tegaknya sebuah keluarga tidak cuma diukur dari banyaknya simpanan di bank, luas dan modernnya interior sebuah rumah, makanan dan minuman impor yang serba mahal di meja makan. Sebaliknya nasib sebuah keluarga juga sangat tergantung dari bagaimana keluarga itu direncanakan, didesign, dikelola dengan baik.
Kita menggarisbawahi pentingnya mengelola keluarga secara baik di sini tidak sekadar basah basih. Banyak kali orang keliru membayangkan bahwa tingginya tingkat ekonomi langsung berpengaruh pada baik dan sehatnya penghuni sebuah keluarga. Simak misalnya fakta bahwa anak-anak korban gizi buruk di Kabupaten Belu lebih dari separuh adalah anak-anak para pegawai negeri. Dari data kasus HIV/AIDS di Kota Kupang, sekitar 75 persen adalah kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Tanpa mesti melakukan sebuah survai yang teliti, dua fakta ini telah cukup representatif memberikan gambaran betapa apa yang disebut sebagai pengelolaan dan atau pengaturan adalah faktor yang demikian dominan bagi tumbuh-sehatnya unit sosial yang paling kecil ini.
Dengan dasar pemahaman seperti ini, bisa dimengerti kalau peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) XII, Rabu kemarin mengambil tema "Ketahanan keluarga: Pilar Pembangunan Bangsa". Sebuah tema yang sarat pengertian dan ajakan untuk terus menyadari betapa penting dan sentralnya keluarga. Kita telah lama menerima pemahaman bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan wahana pertama dan utama dalam menyemaikan nilai-nilai luhur yang menjadi modal bagi setiap orang, utamanya anak-anak, meniti titian perjalanannya. Nilai-nilai luhur yang diperoleh dalam keluarga akan membentuk karakter seseorang. Keluarga juga merupakan wahana ketahanan, pengendalian dan penyesuaian sosial bagi anggota-anggotanya.
Untuk itu pembinaan terhadap ketahanan keluarga yang bermuara pada keluarga sejahtera dapat menjadi benteng dan pengawas terhadap setiap ancaman. Apabila keluarga dipersiapkan dengan baik, maka keluarga akan menjadi institusi pembangunan yang sangat handal, terutama dalam menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Melalui upaya pembinaan ketahanan keluarga serta penanaman nilai-nilai etika, moral dan budaya bangsa bagi anggota keluarga sejak dini, keluarga akan menjadi wahana yang tangguh bagi terwujudnya ketahanan nasional untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.
Tragedi busung lapar yang melanda NTT, pada galibnya juga mengekspresikan rapuhnya benteng sebuah keluarga. Kita tentu menerima bahwa ketahanan ekonomi adalah penyebab langsung dari musibah yang menimpa banyak keluarga di daerah ini. Tetapi jika keluarga itu dibangun dengan pilar-pilar yang kokoh, dirancang dengan design yang terencana, diikat dengan nilai-nilai moral, budaya yang tangguh, niscaya rancang bangun keluarga itu akan kokoh berdiri menantang badai.
Unsur-unsur yang turut terlibat dalam design keluarga yang sehat antara lain merencanakan usia ideal melahirkan, mengatur jarak kelahiran, merencanakan jumlah anak dalam keluarga, menginvestasi masa depan anak. Ilmu kesehatan mengajarkan bahwa usia kawin ideal adalah usia 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun laki-laki. Sementara usia ideal seorang perempuan melahirkan adalah rentang usia dari 20 hingga 35 tahun. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun adalah usia melahirkan yang penuh risiko kesehatan bagi ibu dan anak. Sedangkan jarak kelahiran yang ideal adalah 3 hingga 5 tahun. Mengenai jumlah anak dalam sebuah keluarga, dengan paradigma baru Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak membatasi jumlah anak. Instansi ini justru lebih menganjurkan agar setiap pasangan orangtua bisa mengatur jarak kelahiran yang ideal. Tujuannya cuma satu, yakni membantu meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak untuk mewujudkan keluarga yang sehat, sejahtera dan bahagia.
Untuk konteks NTT, semangat yang coba dihembuskan BKKBN ini agaknya harus menjadi perhatian serius. Sebab, hasil Survai Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 menunjukkan bahwa indikator-indikator kesehatan yang merupakan tema pokok kampanye kesehatan BKKBN peringkat NTT selalu melampau rata-rata nasional. Ini gambaran yang sangat buruk di sektor kesehatan. Beberapa indikator berikut ini menjelaskan gambaran buruk itu. Angka TFR (Total Fertility Rate/Angka kelahiran) NTT sekarang mencapai 4,1 (tertinggi di Indonesia) dibanding dengan rata-rata nasional 3,4. Peserta KB aktif hanya 35 persen, terendah di Indonesia. Angka Mother Mortality Rate (MMR/angka kematian ibu melahirkan) 650/100.000 kelahiran (tertinggi di Indonesia). Angka Infant Mortality Rate (IMR/angka kematian bayi 65/1000 kelahiran hidup (tertinggi di Indonesia). Angka kematian anak dan balita 103/1000 kelahiran hidup. Angka kehamilan pada usia remaja 11 persen (rata-rata nasional 10 persen). Angka drop out peserta KB cukup tinggi.
Angka-angka ini membuat kita miris memikirkan nasib keluarga-keluarga di NTT pada beberapa dekade mendatang. Dari keluarga-keluarga dengan latar belakang minor seperti inilah, akan muncul penduduk daerah ini, akan muncul generasi berikut yang bakal mengambil over kelanjutan pembangunan daerah ini.
Sumbangan program KB
Semua telah mafhum bahwa penduduk merupakan aset pembangunan terpenting. Yang menjadi soal ialah bagaimana kualitas aset itu. Jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang tidak terkendali akan memperlambat proses pembangunan yang berkelanjutan. Sebaliknya, keberhasilan dalam mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk dan keluarga akan memperbaiki seluruh segi pembangunan dan kehidupan masyarakat serta mempercepat terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini pengelolaan penduduk harus menyentuh substansi dasar, yaitu aspek pertumbuhan penduduk, aspek pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh dua hal utama, yaitu kelahiran dan kematian. Sebaran penduduk dengan dominasi usia produktif akan memungkinkan tingginya laju pertumbuhan karena kelahiran baru, dan berdampak pada besarnya jumlah penduduk dengan struktur usia muda dan membawa akibat lanjutan berupa tingginya dependency ratio.
Kemajuan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan berdampak pada bertambahnya usia harapan hidup penduduk (life expectancy). Ini berarti angka kematian penduduk semakin diperkecil, karena tidak ada lagi keluarga atau negara yang ingin penduduknya atau anggota keluarganya mati dalam jumlah banyak. Jika kematian ditekan, maka jumlah kelahiran harus dikendalikan agar pertumbuhan penduduk berada dalam batas toleransi dan tidak menjadi hambatan dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi untuk mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang diharapkan hanya dapat diwujudkan dengan didukung oleh kualitas penduduk yang memadai. Sebaliknya peningkatan kualitas penduduk tidak akan terjadi jika tidak ada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas penduduk akan sulit dilaksanakan jika jumlah penduduk semakin besar dan sudah terlanjur rendah kualitasnya. Membiarkan pertumbuhan penduduk dengan kualitas rendah dengan tidak terkendali akan mempersulit persoalan pembangunan. Karena itu pengendalian kuantitas penduduk dan peningkatan kualitasnya harus dikelola secara bersamaan.
Lalu apa sumbangan program KB? Program keluarga berencana (KB) adalah upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta penyelenggaraan pelayanan, pengaturan dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga ideal, mengatur jumlah anak, jarak dan usia melahirkan anak, pengaturan kehamilan dan membina ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Melalui pendekatan baru dan pelayanan yang demokratis, program dan kegiatan KB dan kependudukan makin berkembang menjadi gerakan KB dan kependudukan yang luas. Indonesia kemudian mendapat penghargaan yang tinggi dan sebagai salah satu negara yang dianggap pantas untuk ditiru dan diteladani. Keberhasilan KB yang diiringi perkembangan globalisasi, keberhasilan program pendidikan yang cepat, dengan kemajuan modernisasi mengakibatkan tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia terus naik jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan peduduk.
Perlahan tapi pasti, progam KB telah mengantar banyak pasangan muda menatap masa depannya dengan lebih pasti, lebih cerah dan jelas untuk kemudian membangun keluarganya dengan lebih kokoh. Pada tahun 1993, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional (Harganas). Bukan tanpa alasan tanggal 29 Juni dipilih dan ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional. Tanggal ini punya alasan historis. Dalam sejarah kita tahu kalau pada tanggal 22 Juni 1949 Pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dan, pada tanggal 29 Juni tahun itu juga dilaporkan bahwa seluruh keluarga yang berjuang dan bersembunyi di berbagai tempat, di gunung dan pedesaan, telah kembali di tengah keluarga masing-masing.
Mudah-mudahan peringatan Hari Keluarga Nasional kali ini memberi makna yang lebih jauh lagi tentang penting dan strategisnya peran dan fungsi keluarga sebagai pilar pembangunan.
Pos Kupang, Kamis 30 Juni 2005
Read More...
Consumo ergo sum
Oleh : Tony Kleden
MENURUT Aristoteles, keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengetahuan, tetapi melalui habitus, yaitu kebiasaan melakukan yang baik. Sebaliknya, watak dan mental jahat juga terutama dimiliki oleh seseorang karena kebiasaan. Dan, habitus itulah yang sudah tentu mengantar begitu banyak orang di negeri ini, juga di daerah ini, terperangkap dalam mental rakus dan tamak. Rakus dan tamak mencuri uang negara, rakus dan tamak memamerkan harta milik, juga rakus dan tamak mempertontonkan kerakusan dan ketamakan itu sendiri tanpa malu.
Pameran kerakusan dan ketamakan itu kini mendominasi pandangan publik di daerah ini. Ruang publik kemudian lebih diramaikan dengan wacana tentang salon kecantikan, mobil mewah, rumah besar di kawasan anu, perabot mahal, deposito bank, kapling tanah dan sejumlah artibut kekayaan lainnya. Tak heran kalau pegawai rendahan memamerkan handphone berbagai merk, anak pejabat dengan angkuh menyetir mobil-mobil kelas atas. Seleksi pegawai negeri, dari tahun ke tahun selalu mengulangi dosa yang sama.
Di tengah kondisi ruang seperti itulah kita menyadari betapa follow up tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membongkar KKN di daerah ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Setidaknya, tekad itu belum menyata dari deretan para koruptor kelas kakap yang masuk penjara. Kasus rumpon Belu telah berbilang tahun, belum juga ada pejabat yang masuk penjara. Kasus sarkes sama dan sebangun. Dua tahun sudah kasus itu ditangani, belum ada yang masuk penjara.
Gambaran ini sengaja diangkat untuk menunjukkan betapa korupsi telah merusak sendi paling jauh dari kepribadian manusia, menghancurkan suara hati manusia, memporakporandakan benteng pertahanan nurani manusia. Dan, yang terjadi kemudian adalah banalisasi korupsi.
Bunyi pertanyaan apakah orang tidak merasa bersalah melakukan korupsi tidak lagi menjadi pertanyaan yang relevan dan bermakna. Karena jawabannya cuma satu dan telah menjadi paten, yakni karena banyak orang melakukannya atau karena praktek itu sudah dibanalisasi (dibuat menjadi biasa). Banyak orang melakukannya menjadikan korupsi merupakan suatu actus, suatu perbuatan yang biasa, seakan-akan kebiasaan itu menciptakan hak. Jargon 'banyak orang melakukan' dijadikan alibi tanggung jawab pribadi dan banalisasi korupsi.
Celakanya, kebiasaan itu terus bertumbuh dan kemudian menciptakan struktur hidup, sehingga memudahkan dan membenarkan orang untuk terus bertindak. Seseorang yang sudah terbiasa dengan praktek korupsi tidak perlu bersusah payah berpikir, mengambil jarak atau memberi makna setiap kali bertindak. Aksi, tindakan korupsinya telah menjadi kesadaran praktis, meminjam terminologi Anthony Giddens. Seperti orang yang bangun tidur, tidak perlu harus berpikir lagi ketika turun dari tempat tidur, menapakkan kaki kiri atau kanan duluan. Begitu juga dengan korupsi. Orang yang terbiasa korupsi tidak akan mau berpikir susah. Dia cenderung berpikir praktis, mencari yang enak dan gampang. Petuah dan nilai-nilai moral tidak ada dalam benaknya. Kesadaran yang dibangun memang cuma kesadaran praktis, bukan kesadaran refleksif. Sebab kesadaran refleksif berimplikasi pada perubahan. Perubahan membawa ketidakpastian. Ketidakpastian menakutkan. Konklusinya praktis dan jelas, lebih baik meneruskan kebiasaan korupsi yang enak itu.
Jika Giddens menggunakan terminologi kesadaran praktis, maka Erich Fromm memakai istilah watak anal untuk melukiskan keserakahan seseorang (Erich Fromm "Memiliki dan Menjadi" dalam "Masyarakat Bebas Agresivitas" Penerbit Ledalero, 2004, halaman 424). Yang dimaksudkan dengan watak anal adalah watak seseorang yang energi utama dalam hidupnya diarahkan untuk memiliki, menabung dan menimbun uang dan benda-benda materi, ataupun perasaan, gerak isyarat, kata-kata dan daya energi. Pemilik watak tersebut merupakan seorang individu yang kikir, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat lainnya seperti tertib, tepat waktu, keras kepala dan masing-masing pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang biasa.
'Modus memiliki' adalah kata kunci bagi orang dengan watak anal. Bagi orang yang didominasi 'modus memiliki', miliknya menjadi dasar konstitutif baginya dan bagi identitasnya. Artinya, identitasnya ditentukan oleh apa yang menjadi miliknya. Pernyataan seperti "saya (subyek) mempunyai obyek" mengungkapkan suatu definisi tentang saya melalui pemilikan saya atas obyek. Subyeknya bukan diri saya sendiri, melainkan saya adalah apa yang saya punyai. Pikiran yang mendasari pernyataan 'saya adalah saya' ialah 'saya adalah saya, karena saya mempunyai x. X sama dengan semua benda alamiah dan orang yang dengannya saya menghubungkan diri saya melalui kemampuan saya untuk menguasai mereka dan membuat mereka menjadi milik saya secara tetap.
Dalam wujudnya sebagai kejahatan struktural, korupsi mengambil empat modus (lihat Dr. Haryatmoko: "Etika Politik dan Kekuasaan", Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 122). Pertama, korupsi jalan pintas. Korupsi model ini tampak dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Masuk dalam kategori ini, misalnya, aturan-aturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi, partai-partai politik mayoritas mendapat uang sebagai balas jasa. Sifat institusional politis cukup menonjol dalam korupsi model ini. Money politics juga masuk di sini.
Kedua, korupsi upeti. Korupsi ini dimungkinkan karena jabatan strategis seseorang. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik ekonomi, politik, budaya bahkan upeti dari bawahan. Mark up harga adalah contoh korupsi model ini. Ketiga, korupsi kontrak. Korupsi ini tak dapat dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek. Termasuk di sini usaha mendapatkan fasilitas pemerintah. Keempat, korupsi pemerasan. Korupsi ini erat kaitannya dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar. Korupsi ini menyata dari pencantuman nama-nama tokoh tertentu dalam suatu perusahaan sebagai jaminan keamanan. Dalam zaman Soeharto, korupsi ini sangat kentara dengan memasukkan nama-nama jenderal untuk menjadi komisaris di berbagai perusahaan penting.
Korupsi yang dilakukan secara terstruktur ini tidak cuma membanalisasikan actus itu, tetapi juga menjadikan para koruptor seolah terbebas dari sentuhan hukum. Kita mendapat kesan sangat kuat kalau aparat penyelidik 'begitu susah' menjerat para koruptor dengan modus seperti ini. 'Kesulitan' disentuh hukum menjadikan korupsi beranak pinak dalam 'rahim' yang mendukungnya. Tak ayal, mahasiswa yang lantang berteriak basmi korupsi akan kembali terperangkap dalam jerat yang sama bila kelak mereka masuk dalam jaring kekuasaan. Para koruptor sekarang ini adalah orang-orang yang sama yang pada tahun 1966, 1974, 1978, 1998 lantang berteriak "Turunkan harga!", "Ganyang korupsi", "Berantas KKN", "Kembalikan harta rakyat!"
Salah satu dampak paling kentara dari watak korupsi struktur ini adalah distorsi makna perilaku politik. Artinya, pembedaan yang baik dan yang jahat menjadi kabur. Kerangka penafsiran masyarakat yang merupakan perangkat penilaian dibuat tidak peka lagi terhadap tatanan moral. Masalah moralitas direduksi menjadi masalah manejemen politik. Korupsi lalu hanya menjadi salah satu bagian dari kemampuan membuat laporan keuangan atau kemampuan melakukan transaksi tanpa meninggalkan bukti. Keterampilan untuk bisa lepas dari audit kemudian menjadi salah satu keterampilan ilmu akuntansi.
Kita sudah tidak mampu lagi membayangkan korupsi di negeri ini. Masalahnya, actus tak bermoral ini cenderung dibawa ke rana politik sambil menjauhi rana hukum. Akibatnya, political will seorang pejabat akan dikalahkan oleh perhitungan dan peta kekuatan politik. Kalau obsesi seorang pejabat adalah mempertahankan kekuasaan, maka kebijakannya akan ditentukan oleh perhitungan dagang sapi. Kalau seseorang yang terjun dalam dunia politik masih membawa mentalitas animal laborans, dimana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi adalah siklus produksi-konsumsi sangat dominan, maka dia akan cenderung menjadikan panggung politik sebagai mata pencaharian utama.
Barangkali dalam konteks ini kita dapat memahami janji para petinggi negeri ini untuk memberantas korupsi akan tetap menjadi lagu lama dengan nada dasar baru. Program 100 hari yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya masih 'indah kabar dari rupa.' Dan, saya teringat Pius Rengka, anggota DPRD NTT, ketika dia mengatakan tidak tahu cara menjadi kaya seperti koleganya yang lain. Ya, ketika banalisasi korupsi telah menjadi trade mark di negeri ini, orang akan cenderung menurunkan hakikat dirinya setara dengan harta milik: rumah, kendaraan, deposito bank, kapling tanah. Makna hidup mengalami reduksi menjadi gaya hidup. Bagi orang yang bermental korup, yang mengagung-agungkan gaya hidup hedonis, rumusan filsafat Rene Descartes, cogito ergo sum dilencengkan menjadi consumo ergo sum (saya menghambur-hamburkan, maka saya ada).
Pos Kupang, Rabu 26 Januari 2005
Read More...
Alienasi dan transformasi: Membaca peringatan Gerson Poyk
Oleh: Tony Kleden
COBA tanyakan kepada pelajar di NTT sekarang ini siapa itu Gerson Poyk. Banyak yang sangat boleh jadi belum pernah mendengar namanya. Kalau pun sudah kenal nama ini mungkin hanya mendengarnya dari orang lain, atau guru di bangku sekolah. Dan bukan mengenalnya dari buah karya sastra gemilangnya. Padahal karya cerpen dan roman sastrawan kelahiran Rote 16 Juni 1931 ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Anehnya banyak yang belum mengenal nama ini. Kalau Gerson Poyk mengetahui ini, dia mungkin cuma mengurut dada.
Kenyataan seperti ini juga dialami Pramoedya Ananta Toer. Karya sastra Pram, demikian pengarang ini biasa disapa, sudah diterjemahkan ke dalam belasan bahasa asing. Tetapi sungguh sayang anak-anak negeri sendiri jarang membaca karya sastranya. Dalam terminologi ini baik Gerson Poyk maupun Pram, boleh dibilang "menggenapkan" apa yang telah dikatakan Yesus dua ribu tahun silam, "Seorang nabi memang tidak dikenal di tempat asalnya."
Sampai dengan saat menulis coret moret ini, raut wajah Gerson Poyk beluk kukenal. Tetapi sosok pemenang dua kali penghargaan Adinegoro ini sudah saya kenal dari buah penanya yang bernilai sastra ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Semasa di bangku sekolah menengah atas, nun di lembah Hokeng yang sejuk, di taman persemaian (seminarium) San Dominggo, nama ini terus melekat erat. Karya cerpennya 'Oleng Kemoleng' memang terlalu menarik untuk tidak dibaca.
Nama Gerson Poyk selanjutnya semakin intens melekat erat dalam sanubariku. Tetapi di awal tahun macan ini, nama ini membuat jiwa siapa saja yang peduli dengan nasib warga Flobamora ini jadi berontak. Apa pasal? Seperti diberitakan Pos Kupang, Rabu (14/1), di hadapan peserta pelatihan wartawan baru Harian Umum Pos Kupang, Gerson Poyk melontarkan suatu warning (peringatan) bahwa sudah banyak orang NTT teralienasi dari budaya asli. "Saya sangat kecewa dan prihatin terhadap apa yang saya lihat. Banyak orang hidup dalam kondisi teralienasi, tercabut dari akar budaya aslinya. Mereka menjadi asing di tengah-tengah denyut kehidupan sekitar," tegasnya.
Mungkin kurang representatif untuk tiba pada kesimpulan demikian, tetapi Gerson tidak asal semprot. Asal tahu saja, sejak kurang lebih dua bulan terakhir ini Gerson Poyk mau "mudik" dan mengadakan perjalanan nostalgia di beberapa tempat di NTT. Di Manggarai, misalnya, dia mengamati cara bertani lodok. Malah model ini, menurutnya, layak ditiru. Di Kota karang Kupang, Gerson Poyk saban hari menyusuri jalan dan lorong dengan sepeda tua mau melihat dan merasakan dari dekat denyut kehidupan warga kota ini.
Buat orang yang saban hari bersibuk diri menguber uang, apa yang dikatakan mantan wartawan ini mungkin kurang menggema. Tetapi buat setiap orang yang memiliki sedikit kepedulian terhadap yang namanya proses perubahan suatu masyarakat dengan segala implikasi praktisnya, niscaya awasan Gerson Poyk tentu saja punya resonansi yang kuat. Dan karena itu tidak bisa dianggap sepele.
Hal terakhir ini pun kualami. Sebagai orang yang masih dalam perjalanan mencari diri, peringatan Gerson Poyk membuatku berpikir dua kali. Memang tema yang digugatnya ini sudah sering kami diskusikan (semasa masih di bangku kuliah di STFK Ledalero, Maumere). Kecuali itu tema yang sama juga sering kutemukan di buku-buku. Dan semuanya menjadi lumrah untuk suatu dinamika.
Tetapi ketika awasan seperti ini kudengar di Kota Kupang, dia menjadi sangat lain. Resonansinya seakan menembus dinding basic trust pribadi yang pernah kubangun. Dan sebuah pertanyaan kemudian menghentak di ambang kesadaranku. "Akankah di Kota Kupang ini akar budayaku juga tercerabut? Lebih lanjut, meminjam judul cerpennya sendiri, apakah aku pun hanyut dalam ketidakpastian dan menjadi oleng kemoleng di tengah hempasan perubahan Kota Karang ini? Ketakutan akan kehilangan sense of direction juga menjadi demikian menghantui nuraniku. Dalam keadaan seperti itu, akankah aku hanyut dalam proses mimesis tanpa sadar?
***
Tema alienasi niscaya menjadi semakin relevan ketika orang membicarakan tema globalisasi, kemajuan arus informasi, laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hentakan arus sekularisme di hampir semua aras hidup manusia.
Peringatan yang dilontarkan Gerson Poyk mungkin terlalu dini. Alienasi dalam konteks kebudayaan, memang melewati suatu proses panjang. Bagaimana di Kupang? Dengan letaknya yang strategis di persimpangan utara dan selatan, barat dan timur, Kupang akan berkembang menjadi kawasan yang sangat prospektif di Asia Pacific. Dan karena itu masuk dalam bidikan para pialang uang. Sebagai kota yang tengah berdandan merias diri, Kupang tak dapat tidak dipengaruhi arus perubahan. Sekarang pun, "aram temaran" kota ini menampak dalam hampir semua bidang kehidupan manusia. Dari selera makan, mode pakaian, irama musik, potongan rambut, gaya rumah hingga goyang tarian.
Hasil, atau lebih tepat akibat, perubahan seperti ini tak dapat dielak. Pengaruh dari luar dengan sekian banyak implikasinya tak mungkin dibendung. Sebagai barometer propinsi 566 pulau, Kupang akan menentukan wajah Flobamora ini di era keterbukaan.
Dalam konteks seperti ini, peringatan Gerson Poyk harus menjadi "tanda zaman" yang terlalu penting untuk diabaikan. Gerson tentu mengingatkan banyak hal terkait dengan penghayatan (dan juga apresiasi terhadap) kebudayaan sendiri.
Alienasi merupakan suatu fenomen kebudayaan yang sangat transparan terlihat di kota-kota. Di Kupang yang nampak kian urban, gejala ini sangat transparan dan dialami merata oleh hampir semua orang. Mahasiswa yang menuntut ilmu di bangku kuliah, pendatang dari kampung dan desa yang mencoba mengais rejeki, petualang yang coba menambah pengalaman. Wisatawan asing yang transit, dan lain-lain. Dengan latar budaya masing-masing semuanya membaur menjadi satu.
Dengan sedikit gambaran seperti ini, tak sukar membayangkan apa akibat yang bakal muncul. Dalam konteks penghayatan kebudayaan situasi seperti ini langsung mengakibatkan benturan budaya yang hebat. Dalam benturan ini sekurang-kurangnya ada empat kemungkinan yang bisa terjadi (Lihat, Dr. Leo Kleden, dalam Majalah Vox, Seri 35/3-4 1990).
Pertama, orang bisa menutup diri dan hidup dalam ghetto kultural. Apa yang asing dianggap haram, sedangkan kebudayaan sendiri diagung-agungkan dalam romantisme naif. Kedua, orang bisa menyerap secara mentah-mentah kebudayaan asing sambil melupakan akar kebudayaan sendiri. Ketiga bisa terjadi semacam schizophrenia sosial, yaitu keadaan kepribadian dan kejiwaan yang terpecah antara beberapa pilihan yang semuanya saling tumpang tindih.
Keempat transformasi kebudayaan secara kreatif. Kemungkinan ini adalah yang paling kreatif. Tetapi transformasi kebudayaan secara kreatif mensyaratkan beberapa hal. Orang harus mengenal akar kebudayaan sendiri dengan segala sisi positip dan negatipnya. Orang juga perlu mengenal dengan baik kebudayaan asing. Selain itu dibutuhkan keberanian dan daya cipta untuk memadukan nilai-nilai terbaik dalam diri sendiri dan dalam masyarakat di mana orang berada.
Pikiran-pikiran seperti inilah yang mungkin ditulis oleh Gerson Poyk dalam peringatannya. Masing-masing orang bisa membaca dengan kacamata berbeda. Yang jelas idiomnya cuma satu: alienasi dan transformasi.
Pos Kupang, 27 Januari 1998
Read More...
Jurnalisme gender sebagai via media
Oleh : Tony Kleden
ADALAH Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir yang empunya novel. Novel itu berjudul "Woman at the Point Zero" (Perempuan di titik nol). Isinya berkisah tentang seorang perempuan bernama Firdaus, seorang pelacur dari sel penjaranya, tempat dia melaksanakan hukuman matinya. Dia telah membunuh seorang germo laki-laki. Alur ceritanya sangat keras, penuh dengan kejutan-kejutan yang menggoncangkan perasaan, yang mengandung pula jeritan pedih, protes terhadap perlakuan tidak adil terhadap perempuan sebagai yang diderita, dirasakan dan dilihat oleh perempuan itu sendiri.
Saya kutip sebagian isi buku itu. "Saya dapat pula mengetahui, bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul duit, mendapatkan seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis dan menembakkan panah beracun. Karena itu kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati. Dan akibatnya, saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu."
Kutipan lain, "Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak".
Menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum laki- laki, buku ini berisikan kritik sosial yang teramat pedas. Dan, buku itu menjelma menjadi roh yang menggerakkan banyak pegiat gender di dunia. Memang, permasalahan tentang perempuan sepertinya telah menjadi masalah yang given, terberikan bagi siapa saja di dunia ini. Dan perjuangan membela perempuan, karena itu, dapat dikatakan merupakan sebuah perjuangan tanpa ujung, tanpa puncak.
Menurut banyak pengamat dan teori, permasalahan mengenai perempuan disebabkan oleh sejumlah banyak faktor. Tetapi dalam era kebebasan pers saat ini, ketimpangan, perlakuan tidak adil terhadap perempuan, turut diberi angin oleh media massa dalam pemberitaannya. Salah satu andil pers di sini adalah mengeksploitasi berita dan atau tulisan tentang kekerasan terhadap perempuan. Tujuan pers adalah menaikkan tirasnya melalui eksploitasi berita-berita kekerasan terhadap perempuan. Sayang, tujuan ini justru menebarkan virus bagi kekerasan yang parah terhadap perempuan.
Pandangan pincang
Pada banyak tempat di muka bumi ini, perempuan masih saja mendapat perlakuan kurang baik, malah sangat sering disubordinasikan. Perlakuan pincang seperti ini telah lama berlangsung dan setua usia manusia. Kesaksian sejarah sangat eksplisit memaparkan aneka pandangan keliru tentang perempuan. Telaah misalnya beberapa pandangan berikut ini. Menurut Plato, filsuf Yunani kuno, perempuan adalah degradasi pria. Pria yang penakut pada tahap reinkarnasi nanti akan berubah menjadi perempuan.
Filsuf "gila" Friedrich Nietzsche menulis sebuah aforisma yang sangat terkenal, "Perempuan yang mempunyai kecenderungan akademis pasti memiliki sesuatu yang salah dengan seksualitasnya". Menurut Demosthenes, perempuan tak lebih dari pelacur untuk kenikmatan tubuh pria, tak lebih dari selir-selir untuk tidur serumah bersama. Budaya Timur kuno pernah melegitimasi pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa praktek pelecehan seksual (baca: persetubuhan) adalah puncak seluruh ibadat. Pada pemujaan Baalistik dalam agama Babilon, praktek seperti ini dilihat sebagai pelacuran sakral.
Dewa Apollo dalam mitologi Yunani juga mengatakan bahwa yang membuat anak bukan perempuan, dia hanya menjaga benih yang ditanam pria dalam rahimnya. Tertulianus malah tegas-tegas mengatakan, perempuan merupakan gerbang iblis. "Engkaulah gerbang iblis. Oleh karena engkau, pria, gambar Allah, terjerumus dalam dosa." Adolf Hitler mendeterminasikan perempuan dalam caturfungsi: Kueche (dapur), Kinder (anak), Kirche (gereja) dan Kleider (pakaian). Entah karena warisan pandangan seperti ini atau karena faktor perubahan lain, sampai hari ini nasib kaum Hawa belum sebaik kaum Adam. Sulit menyangkal kalau iklim dunia masih nyata terlihat dominasi struktur maskulinum: pria diutamakan, perempuan dinomorduakan. Pria identik dengan superioritas, perempuan identik dengan inferioritas. Dan seksisme merupakan paham yang secara tidak sadar membenarkan penindasan terhadap perempuan.
Di NTT hingga saat ini, dalam modus dan bentuk lain, pada beberapa tempat perempuan masih diperlakukan secara tidak adil. Seorang istri misalnya, berjalan kaki di belakang sang suami dengan barang bawaan di kepala atau di punggung, sedangkan sang suami dengan tenangnya duduk di atas kuda. Perempuan atau istri yang baik menurut penilaian laki-laki adalah yang senang bekerja di rumah, yang rajin bekerja di kebun, yang tidak suka bergunjing ke tetangga, yang rajin mengambil air (pada banyak daerah di NTT mengambil air sering mengharuskan orang berjalan kaki berkilometer), yang rajin bangun pagi buta menyiapkan santapan bagi suami dan anak-anaknya, yang harus membereskan segala urusan rumah tangga, baru naik tidur ketika seisi rumah telah lelap dalam mimpi.
Berita-berita media massa di NTT juga hampir tidak pernah sepi dari kisah tentang kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Istri dibacok, siswi disekap, gadis diikat dan diperkosa dan semacamnya adalah isi berita yang kerap kita simak di lembaran media massa di NTT.
Perjuangan gender
Kita tak habis bertanya, sampai kapankah nasib perempuan menjadi baik? Sudah demikian bopengkah wajah bumi ini, sehingga kekerasan, ketidakadilan, inferioritas, subordinasi, pemerkosaan terhadap perempuan tetap saja eksis? Akankah mimpi kaum ini untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki digenapi? Mungkinkah cerita kemalangan kaum perempuan yang terbingkai nestapa dan rintihan air mata, berubah menjadi cerita keberhasilan, sukses berbalut roh heroik?
Masuk akal memang, dan seharusnya didukung, kalau gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, dilihat sebagai suatu perjuangan yang wajar dan bukan sekadar suatu ajang unjuk diri kaum perempuan. Perjuangan perempuan seperti ini telah lama bermula. Dalam sejarah kita misalnya, mengenal sekurang-kurangnya empat paham feminisme. Pertama, feminisme radikal, yang menganggap laki-laki dan perempuan tidak sama. Menurut paham ini, ketidakadilan dibuat oleh laki-laki untuk menguasai perempuan. Maka laki-laki harus dikalahkan. Kedua, feminisme liberal, berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama. Ketidakadilan adalah akibat tingkah laku perempuan sendiri. Ketidakadilan hanya dapat diatasi kalau perempuan diberdayakan agar sama dan bersaing dengan laki-laki. Ketiga, feminisme marxis, yang menganggap bahwa kapitalisme telah menguras tenaga kaum laki-laki demi penambahan modal. Karena tenaganya diperas di tempat kerja, maka di rumah laki-laki balik memeras perempuan yang bergerak di sektor domestik. Ketidakadilan seperti ini, menurut paham ini, hanya dapat disingkirkan kalau kapitalisme dilawan. Keempat, feminisme sosialis. Paham ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan sekaligus perbedaan. Keduanya tidak menghendaki ketidakadilan. Ketidakadilan adalah masalah manusia, bukan masalah laki-laki dan perempuan, maka harus ada kerja sama melawan ketidakadilan.
Pada masa sekarang ini ketika subyektivitas manusia semakin mendapat penekanan, perjuangan kaum perempuan mendapatkan kembali afirmasi dirinya, menemukan kembali 'surganya yang hilang' masih saja berjalan, seakan tak bertepi. Mengapa ketidakadilan yang dirasakan perempuan adalah nestapa yang berjalan beriringan dengan jejak langkah peradaban manusia? Struktur kebanyakan masyarakat yang bersifat patriarkat, tak dapat tidak sangat mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan. Perjuangan perempuan mendapatkan kembali harga dirinya bukan lahir dari kesadaran bahwa mereka adalah perempuan, kaum Hawa yang lemah secara fisik, tetapi justru karena mereka adalah manusia dengan kualitas keluhuran yang sama dengan kaum laki-laki. Perjuangan perempuan untuk membela dirinya atau menegaskan kembali ke-"aku"-annya, tentu saja, tidak bermaksud menghapus perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan seperti ini adalah kenyataan biologis-fisiologis-psikologis yang terberi (given). Keterberian seperti ini, sampai kapan pun tak akan mungkin dipertukarkan.
Sayang, dalam perkembangannya perjuangan mulia ini sudah mulai terkontaminasi. Praksis gerakan feminisme, emansipasi, perjuangan gender, atau apa pun juga namanya, kerap salah arah. Dengan tetap menghargai perjuangan perempuan, agaknya haruslah diakui bahwa begitu sering di tengah perjuangannya kaum perempuan melihat dirinya sebagai saingan kaum laki-laki. Sasaran perjuangan lalu terfokus pada pencapaian persamaan kedudukan. Karier, status, jabatan lalu menjadi semacam senjata pamungkas berkompetensi dengan kaum pria. Emansipasi kemudian bergeser makna: dari usaha mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas martabatnya kepada usaha menyamakan kedudukan dan mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Hasilnya? Perempuan sering lupa bahwa di dunia ini hanya dia yang memiliki kekuatan untuk menjadikan dunia ini suatu "rumah". Sangat sering peranan gender diidentikkan dengan peranan koderati. Keduanya, tentu saja, sangat berbeda. Gender adalah konstruksi sosial tentang peranan perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh proses sosialisasi. Karenanya gender bersifat dinamis, berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain. Sebaliknya peranan koderati adalah sesuatu yang inheren, yang dari khuluknya tidak dapat berubah. Kalau perjuangan gender, bila emansipasi, jika gerakan feminisme diletakkan dalam bingkai pemikiran seperti ini, maka segala upaya perjuangan, cita-cita mulia, mimpi indah kaum perempuan merupakan hal yang sangat wajar. Emansipasi, perjuangan gender, gerakan feminisme yang sesungguhnya adalah usaha menyadarkan kaum perempuan akan nilai dan harga dirinya, bukan menggiringnya pada pencapaian karier, status atau jabatan semata. Kalau bingkai ini diabaikan, rasanya semua perjuangan itu cumalah nyanyian bisu anak hilang di tengah gemuruh perubahan zaman.
Jurnalisme gender
Reformasi yang melanda Indonesia medio tahun 1998 mendobrak banyak praktek kezaliman di negeri ini. Di bidang pers, terjadi perubahan paradigma yang sangat berarti tentang cara pandang pers yang benar. Pers yang sebelumnya mesti tiarap jika mau cari selamat, sekarang puas menikmati iklim kebebasan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada masa lalu ibarat tiket yang harus diperebutkan melalui upaya supermahal, pada awal reformasi tidak dipungut biaya. Lembaga Departemen Penerangan yang lebih berperan sebagai 'satpam' bagi pers dihapus. Dunia pers seakan mengalami masa bulan madunya, masa jayanya.
Dalam arti ini, pers Indonesia boleh dibilang mengalami suatu 'revolusi'. Di NTT, 'revolusi' di bidang pers juga jelas terlihat. Dalam rentang waktu tidak lebih dari 1,5 tahun, ikut terbit 6 media massa harian, 4 mingguan, 1 dwimingguan. Meski kemudian ada yang harus gulung tikar karena dililit masalah, toh kenyataan itu cukup merepresentasikan apresiasi yang tinggi terhadap kebebasan pers. Di satu sisi, perkembangan ini mesti disambut positif. Artinya hegemoni dan dominasi penguasa dalam urusan penerbitan pers tidak ada lagi. Setiap orang boleh menerbitkan surat kabar atau majalah dengan cuma mendaftar di notaris. Dan setiap orang, boleh mendapat informasi sekehendak hatinya. Tetapi di lain sisi, perkembangan ini nampaknya juga diapresiasi secara berlebihan. Kran kebebasan pers yang dibuka, ditanggapi dengan hasrat dan keinginan menggebu-gebu membangun industri pers. Dapat dimengerti kalau kemudian muncul ribuan media massa cetak di awal reformasi. Sayangnya, kemerdekaan itu kerap kali diterjemahkan secara berlebihan dan karena itu lebih sering membawa masyarakat selaku konsumen media ke dalam labirin masalah.
Apresiasi yang keliru itu menemukan langgamnya melalui pemberitaan dan penampilan pers yang sensasional diiringi dengan pornografi secara terbuka. Dengan merujuk pada dampak sosial dan moral yang terjadi, tak dapat tidak mesti dikatakan bahwa apresiasi yang demikian lebih mengekspresikan ketidakpahaman gagasan dasar kemerdekaan pers. Di era pers sebagai industri, yang menekankan untung rugi, aspek bisnis menjadi penting bagi para pengelola pers. Pers kemudian menghadapi dilema keberpihakan, antara memilih idealisme atau komersialisme.
Bagi pers pilihan ini ibarat mendapat buah simalakama. Penekanan komersialisme akan melahirkan pers yang sensasional, eksploitasi selera rendah dan pertentangan. Sebaliknya penekanan pada idealisme semata tanpa memperhatikan aspek bisnis, penampilan dan pemasukan uang, akan membuat pers itu tidak berkembang.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi pers ini menunjukkan kemerdekaan pers sebenarnya tidak berarti tanpa batas. Di negara mana pun dan sedemokratis apa pun, tetap ada pembatasan terhadap pers. Sudah tentu apa yang dibatasi dan apa yang tidak dibatasi itu berbeda antara satu negara dengan yang lainnya, bergantung pada konteks sosial-politik negara masing-masing.
Pada galibnya kemerdekaan pers berhasrat untuk mencari kebenaran, pengontrol penguasa, bukan untuk penyebaran pornografi, fitnah dan penghinaan. Menyertakan penyebaran segala macam informasi sampah ke dalam kemerdekaan pers adalah pengkhianatan dan penghinaan terhadap mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan kemerdekaan itu. Tenggelam dalam eforia kebebasan itu, tampilan pers menjadi sangat norak, vulgar bahkan cenderung tidak memihak kepada kepentingan masyarakat. Fokus perjuangan pers terpusat pada penjualan koran, dan bukan pada bagaimana menyajikan informasi yang mendidik masyarakat. Dengan dalil menyebarkan informasi, tampilan pers dibuat sedemikian menarik mata melalui teknik montase foto porno, cerita sadisme guna menjual koran.
Di Kupang, keadaan seperti ini juga terlihat nyata. Inilah barangkali 'dosa suci' yang dilakukan pers. Eforia kebebasan itu juga melanda pers lokal di NTT terkait dengan pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan. Beberapa saat setelah terbit, Tabloid Metro Kupang misalnya, mendapat protes dari kalangan perempuan yang merasa kaumnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis. Jika disimak secara kritis, nampak bahwa berita-berita media massa di NTT yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan lebih terfokus pada detail tentang aksi kekerasan terhadap wanita, dan bukan pada bagaimana membangkitkan empati khalayak pembaca terhadap aksi kekerasan itu sendiri.
Bagi pers di NTT yang masih bersusah payah menaikkan tirasnya, pengemasan berita yang mengedepankan detail kekerasan dan terutama pornografi seakan diamini sebagai policy pemberitaan paling efektif. Idealisme pers yang terangkum dalam catur fungsinya yakni menyebarkan informasi, memberikan pendidikan, melakukan kontrol sosial dan memberikan hiburan, rasanya semakin jauh dari gapaian.
Benar bahwa pers hidup antara lain dari berapa tiras yang dijual. Tetapi itu tidak berarti idealisme mesti mengalah tanpa kompromi terhadap aspek bisnis. Karena masing-masing media massa otonom dalam policy-nya, maka jalan paling aman yang dapat ditempuh adalah mengembangkan jurnalisme gender. Dengan jurnalisme gender di sini dimaksudkan, pertama, suatu prinsip jurnalisme yang menempatkan perempuan bukan lagi sebagai obyek (sasaran) berita yang bisa dieksploitasi. Dan kedua, masalah perempuan atau apa saja yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan sebagai titik akhir, tetapi menjadi titik awal dari suatu peliputan.
Memang tidak gampang mengembangkan jurnalisme gender dalam media massa. Karena hal itu berarti mengadakan transformasi yang bersifat mendasar terhadap visi dan struktur kerja dari kalangan wartawan. Kuatnya ideologi patriarki yang juga menjiwai dunia pers dan kalangan wartawan, merupakan masalah lain yang patut diperhatikan. Pendidikan dan pelatihan yang bervisi kesetaraan gender, agaknya dapat dilakukan setiap media massa. Selain visi gender, hal lain yang perlu diperhatikan adalah pilihan kata (diksi) dalam pengemasan berita. Di Indonesia, dalam zaman Orba media massa umumnya seragam dalam penggunaan bahasa. Di masa ini, koran-koran nyaris seragam dalam memanfaatkan kekayaan bahasa untuk mengekspresikan opini atau gagasan. Keseragaman itu kini jadi cair setelah penguasa Orba lengser. Artinya, kini ada upaya dari kalangan pers untuk lebih memperkaya pemakaian bahasa dalam media massa. Kosa-kata yang dipakai pun kian beragam. Sebenarnya, sifat "gado-gado" dari bahasa pers bukan hal yang baru dan khas, namun merupakan kewajaran dari sifat seorang penulis atau wartawan yang tak suka dengan kata-kata yang monoton.
Karena bahasa pers antara lain merupakan refleksi dari kompleksitas cara berpikir para nara sumber dan wartawan, maka "kegado-gadoan" ucapan para nara sumber dan pilihan kata wartawan pada akhirnya muncul di halaman-halaman koran. Kosa-kata tertentu sering dipopulerkan wartawan dalam media massa. Simak misalnya kata "keong", 'nok-nok', "ciki-ciki", "ukur badan" dalan jargon pers NTT. Kosa kata ini oleh wartawan mulanya dimaksudkan untuk memperhalus (eufemisme), tetapi istilah ini justru mengesankan makna kekerasan dan bernuansa kasar. Pers menggunakan kata-kata spesifik dengan maksud menarik pembaca. Tetapi seringkali maksud ini justru berdampak terbalik.
Di tengah upaya dan hasrat menaikkan tiras penjualan, niscaya komersialisme masih tetap menang atas idealisme. Sangat sulit menarik garis tegas antara keduanya. Jurnalisme gender barangkali merupakan kompromi yang mungkin dapat menjadi via media (jalan tengah) mengawinkan kepentingan bisnis dan perjuangan gender.
Pos Kupang, 28 Agustus 2002
Read More...
Sampah masyarakat
Oleh : Tony Kleden*
MUNGKIN selanjutnya di kemudian hari, kata "sampah" akan banyak digunakan dalam kehidupan politik di Indonesia, atau bahkan di berbagai kalangan masyarakat luas dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Setelah Presiden Megawati mengucapkannya di depan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara baru-baru ini di Jakarta, yang dihadiri 900 pejabat pemerintahan, arti kata "sampah" ini sudah tidak hanya terbatas pada segala kotoran atau barang yang tidak berguna yang sering kita temukan di jalan, di dalam rumah atau di halaman. Tidak pula hanya terbatas pada sampah yang banyak ditemukan dalam banjir akhir-akhir ini.
Dalam konteks situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia dewasa ini, kata "sampah" bisa dikaitkan dengan orang-orang atau hal-hal yang sudah membusuk, kotor, menjijikkan, tidak berguna, dan, karenanya perlu dibuang atau disingkirkan! Ungkapan semacam ini adalah tepat, jelas, dan "mengena" sekali untuk digunakan terhadap : segala tokoh yang melakukan KKN, para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, anggota-anggota DPR/DPRD yang mengkhianati amanat rakyat, hakim-hakim yang bisa dibeli, jaksa yang melacurkan diri, polisi yang memperjual-belikan undang-undang, advokat/pengacara yang memelintir hukum demi uang, pimpinan bank yang "merampok" uang publik, konglomerat yang melarikan uang rakyat ke luar negeri, anggota-anggota Mahkamah Agung yang menjadi perusak norma-norma hukum dan keadilan, kyai dan ulama (juga pendeta) yang menipu dengan menggunakan ayat-ayat suci, dan entah apa lagi lainnya.
"Sampah" semacam itu bisa kita lihat di mana-mana. Dan, kita bisa saksikan juga, bahwa bagian terbesar "sampah" itu adalah produk sistem politik Orde Baru. Namun, adalah jelas sekali juga, bahwa berbagai pemerintahan sesudah tumbangnya Orde Baru juga terus melahirkan sampah-sampah baru. Sampah-sampah baru ini bercampur-aduk dengan sampah-sampah lama yang terdapat dalam pemerintahan, lembaga-lembaga resmi maupun swasta, BUMN, bahkan juga di kalangan partai politik (PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll).
"Sampah-sampah" lama dan baru inilah yang sekarang menyebabkan kehidupan moral bangsa makin membusuk, memacetkan reformasi, menghalangi penegakan hukum, mencegat jalannya pemberantasan korupsi. Singkatnya, karena sampah-sampah itulah maka negara dan bangsa kita menghadapi begitu banyak penyakit parah dan berbahaya, sehingga sudah mulai megap-megap dan mungkin bisa pingsan nantinya. Begitu banyaknya sampah, sehingga banyak orang menjadi pesimis, apakah dengan pimpinan tokoh-tokoh Angkatan 45, Angkatan 65, Angkatan 74 (Malari), dan sebagian Angkatan 97 (sesudah tergulingnya Soeharto), Indonesia akan bisa punya "clean government". Sebab, banyak orang dari berbagai angkatan itu sudah begitu rusaknya, sehingga menjadi sampah masyarakat, yang bukan saja tidak berguna lagi, bahkan menjadi sumber penyakit bangsa. Situasi negara kita memang sudah betul-betul payah, sebagai akibat banyaknya sampah busuk yang merusak tubuh bangsa kita.
Utang karena sampah
Menteri Koordinator Perekonomian, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti di Washington, Senin (11/2) malam, menumpahkan uneg-unegnya tentang utang negeri yang kaya raya ini saat ini dan di masa yang akan datang. Uneg-unegnya ini dilampiaskannya selama hampir dua jam di depan kira-kira 200 orang Indonesia di KBRI Washington.
Dalam uneg-uneg yang dimuntahkannya dengan nada tinggi dan kekesalan besar itulah ia membeberkan betapa besarnya utang yang ditanggung oleh bangsa, sebagai warisan lama, dan yang sekarang menjadi tanggungan berat bangsa. Ia mengemukakan bahwa utang luar negeri Indonesia hampir sama dengan utang dalam negeri, yang masing-masing adalah sekitar USD 70 miliar. Tetapi, menurutnya, sebenarnya utang yang paling dahsyat itu bukan utang luar negeri. Utang luar negeri itu berupa soft loan, sehingga jangka pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga pinjaman ODA (Official Development Assistant) bahkan hanya 0,3 persen. Pinjaman dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen.
Tetapi, bunga untuk pinjaman dalam negeri itu sama dengan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yakni kurang lebih 17 persen. Dalam hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sama dengan sekitar Rp 655 triliun (Rp 655.000 000.000.000,00). Dengan bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya saja sudah sekitar Rp 60 triliun setiap tahun (dengan angka lengkap, supaya lebih jelas : Rp 60.000.000.000.000,00). Dan itu sama dengan USD 6 miliar. Sedangkan bunga utang luar negeri paling banter kita bayar hanya USD 2 miliar. Utang luar negeri ini bisa diusahakan untuk dijadwalkan kembali, kalau keadaan sudah mepet, seperti yang sudah-sudah.
Menurut Dorodjatun, yang parah adalah utang dalam negeri, sebab harus dibayar lewat budget (anggaran negara). Itu diambil dari penghasilan negara, yang dikeluarkan lewat bank-bank yang bangkrut. Supaya banknya tidak bangkrut, diberikan obligasi. Lantas, katanya, kita berikan penghasilan kepada bank, sehingga bank jalan. Jadi dengan begitu sebetulnya kita memberikan subsidi kepada bank-bank itu. Kalau kita tenggelamkan bank-bank itu, sekian juta nasabah bank kita tidak mempunyai lagi lembaga penjamin, tidak ada deposit insurance seperti yang semestinya.
Dalam uraiannya itu, Dorodjatun mengisyaratkan kekesalannya bahwa di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau banknya bangkrut maka pemerintah harus mengganti. Kalau di AS, jaminannya dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100.000,00 USD. Sedangkan untuk Indonesia, untuk berapa pun, tidak ada jaminan seperti itu. Karena itu, kita terpaksa memberi blanket guarantee (jaminan menyeluruh) saat krisis 1998. Tidak peduli apa sebabnya, pokoknya semua yang berurusan dengan bank, diberi garansi. "Jadi enak saja, diganti. Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. Yang hebat, on budget dan off budget digaransi," ungkapnya ketika itu.
Kegemasan hatinya nampak ketika ia bicara tentang beban utang dalam negeri. "Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial hanya Rp 2,85 triliun, sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi (bank) Rp 60 triliun. Penghutang besar (dari kalangan berbagai pimpinan bank) itulah yang membikin negeri ini berantakan. Sebab, mereka lupa memenuhi kewajiban membayar utang-utang itu, dan ini sudah berlangsung selama 4 tahun", ujarnya dengan nada tinggi. Singkatnya, dengan panjang lebar Dorodjatun mengungkap berbagai keanehan dan ketidakberesan dalam sejarah masalah utang negara kita, yang selama ini tidak pernah terungkap.
Harus dibersihkan
Karena begitu banyaknya "sampah masyarakat" yang terdapat di mana-mana, lalu apakah bangsa kita harus berusaha menyingkirkannya? Harus! Sebab, tanpa membuangnya, maka kapal yang berbendera "Republik Indonesia" ini akan makin karatan, makin bolong-bolong, makin rapuh, makin bobrok, sehingga bisa tenggelam. Namun, kita semua perlu bersikap realistis dan menyadari bahwa pekerjaan "membuang sampah" ini tidak mudah, memerlukan waktu dan juga cara yang tepat.
Yang perlu mendapat prioritas untuk dibuang atau disingkirkan adalah "sampah kelas kakap", yang ada hubungannya dengan masalah kasus-kasus berat seperti penyelesaian praktek-praktek "konglomerat gelap". Sebab "sampah kelas kakap" inilah (baik yang di pemerintahan maupun di kalangan swasta) yang melakukan kejahatan yang besar sekali di bidang politik, ekonomi, dan moral, sehingga negara menjadi bangkrut akibat krisis berat yang multidimensional, seperti sekarang ini. Mereka inilah, yang dengan mempermainkan uang haram (sogokan atau kolusi), telah memperjualbelikan hukum dan kekuasaan. Mereka ini pulalah yang sebagai maling-maling besar telah mencuri secara besar-besaran - dan tanpa segan-segan - kekayaan publik. Mereka ini jugalah yang menyebabkan utang negara menggunung begitu tinggi, yang sekarang menjadi tanggungan yang berat bagi bangsa. Padahal, utang besar ini hanya dinikmati oleh para "sampah masyarakat" itu. Sedangkan ratusan juta rakyat hidup dalam penderitaan karena serba kekurangan.
Kiranya, sekarang makin jelaslah bagi banyak orang, bahwa "sampah masyarakat" kelas kakap inilah yang selama lebih dari 32 tahun telah mengotori iman banyak orang, merusak moral banyak kalangan, membusukkan hati-nurani banyak tokoh masyarakat, membunuh kepekaan kepedulian terhadap penderitaan rakyat. Karena ulah "sampah masyarakat" itulah maka banyak orang kehilangan kejujuran. Karena ulah "sampah masyarakat" itulah maka kebudayaan mengejar uang haram menjadi-jadi. "Sampah masyarakat" ini, yang terdapat di kalangan "atas", telah menjadi contoh jelek bagi banyak orang yang ikut-ikutan - secara berlebih-lebihan dan membabi-buta - mengejar kebendaan dan kemewahan yang haram, dengan menghalalkan segala cara.
Melihat sudah begitu luasnya dan begitu beratnya kerusakan-kerusakan yang sudah dilakukan "sampah masyarakat" terhadap negara dan bangsa, maka jelaslah bahwa segala usaha harus ditempuh sehingga "sampah masyarakat" ini tidak bisa terus merusak kesehatan tubuh bangsa kita. Untuk itu, opini publik perlu terus digalang dan digalakkan bersama-sama, guna mendorong dan mendesak pimpinan pemerintahan, DPR/MPR, aparat-aparat penegak hukum, untuk lebih berani dan lebih tegas bertindak terhadap "sampah masyarakat kelas kakap", tanpa pandang bulu.
Pos Kupang, 20 Februari 2002
Read More...
Teledemokrasi, reaksentuasi peran pers
Oleh : Tony Kleden
MESKI sudah klasik, sejauh ini pers masih tetap dianggap sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, yudikatif dan legislatif. Aksioma ini telah diteriakkan oleh negarawan Inggris, Edmund Burke (1729 - 1797), ketika ia memaklumatkan petuahnya yang terkenal itu: "Pers merupakan pilar demokrasi keempat di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif."
Tak sukar membayangkan di suatu masyarakat yang bersifat terbuka (open society) apa yang akan terjadi tanpa pers yang bisa menyajikan berbagai informasi. Mental tiranik, sikap dan lagak congkak akan menjadi sisi muram riwayat kehidupan manusia. Karena itu rasa-rasanya kita tetap mesti sepakat mengatakan bahwa dalam kehidupan manusia peranan pers tetap akan sangat sentral.
Di Indonesia usaha penerbitan pers dapat dikatakan bertumbuh cukup baik. Setidak-tidaknya itu dapat dilihat dari trend perkembangan institusi penerbitan pers. Hingga kejatuhan Soeharto 20 Mei 1998, di Indonesia terdapat 292 penerbitan pers dengan total tiras 13,04 juta eksemplar, termasuk 77 surat kabar dengan tiras 4,7 juta eksemplar. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 200 juta (ketika itu), maka ratio yang diperoleh adalah satu surat kabar akan dibaca sekitar 42 orang. Sementara menurut target UNESCO, satu koran tersedia bagi 10 penduduk.
Perkembangan dan pertumbuhan pers di Indonesia kemudian seolah menemukan zamannya ketika angin reformasi mulai berhembus medio tahun 1998 lalu. Kita teringat begitu banyak harian, tabloid yang membanjiri pasar, dan terjadi semacam boom media. Tetapi hukum pasar berlaku, dan seturut hukum pasar itu banyak media yang akhirnya harus gulung tikar, tak bertahan. Tampil dan hilangnya sejumlah institusi penerbitan di tanah air menjadi contoh yang sangat pas melukiskan kenyataan itu.
Yang justru tetap ada dan terus berkembang dan bahkan berkembang dengan kecepatan yang sulit dipercaya adalah kebebasan pers berikut kemajuan teknologi informasi. Dalam hal kebebasan pers, pers Indonesia mengalami perubahan yang relatif struktural sifatnya, karena dia tidak lagi dikuasai oleh negara, tetapi sepenuhnya kini berada di tangan masyarakat. Jika semasa Orde Baru berita-berita dalam surat kabar lebih banyak bersifat opinionated news, maka sekarang lebih bersifat hard news dan investigative news. Kalau dulu, kepada pembaca koran menyuguhkan apa kata pejabat tentang suatu hal, maka sekarang justru koran habis-habisan menyajikan data didukung keterangan yang valid tentang apa yang sesungguhnya terjadi dari hal tersebut.
Sedangkan dalam hal kemajuan teknologi informasi, kita menyaksikan betapa cepatnya arus informasi datang dan membanjiri publik. Keruntuhan menara kembar World Trade Center di New York, 11 September lalu adalah contoh menarik menjelaskan bagaimana peristiwa itu, berkat kecanggihan teknologi informasi, dapat disaksikan dari dalam kamar-kamar pribadi dengan cuma duduk di depan televisi.
Tidak dapat disangkali bahwa abad ini sudah sangat kuat dicirikan oleh kemajuan pesat di bidang komunikasi. Kemajuan itu bahkan melaju dengan kecepatan yang susah dibayangkan sebelumnya. Media cetak semakin menyempurnakan penampilannya, mempercepat persebarannya dengan antara lain melakukan cetak jarak jauh. Media elektronik seperti televisi dan radio juga mengalami lompatan kemajuan yang jauh ke depan.
Dari hari ke hari revolusi di bidang komunikasi terus terjadi. Dalam hitungan detik, apa yang terjadi di belahan dunia lain, dapat dengan mudah tersaji di depan mata. Ribuan jaringan televisi, gelombang radio, jutaan eksemplar koran dan majalah adalah wahana komunikasi yang dapat dengan mudah menyajikan seribu satu berita dan informasi dari seluruh penjuru dunia. Revolusi paling akhir di bidang komunikasi barangkali adalah berkembangnya cyber media. Dengan hanya memiliki satu perangkat komputer dan modem berikut sambungan telepon, siapa saja bisa berkelana di 'jagat maya' melalui jaringan internet.
Informasi dan berita mengitari manusia seakan tanpa sekat dan batas. Berita apa saja dapat diakses. Dari yang paling baik hingga yang paling vulgar. Dari seribu satu macam hiburan hingga gambar-gambar porno. Nyaris tidak ada batasan. Dunia rasanya menjadi semakin 'kecil'. Global village yang didengungkan oleh Marshal McLuhan beberapa dasawarsa lalu boleh dibilang menemukan penggenapannya saat ini.
Teledemokrasi
Perkembangan teknologi informasi dengan akibat pada perkembangan komunikasi itu, sedikit banyak turut dipengaruhi oleh terbitnya buku Alvin Toffler berjudul Creating a New Civilization pada tahun 1995. Ada kredo dalam buku itu yang berbunyi: "interaksi publik yang intensif akan meningkatkan perdebatan politik dan menyelamatkan demokrasi".
Sejak buku itu terbit istilah "teledemokrasi" jadi memasyarakat. Ini karena masyarakat Amerika Serikat dengan leluasa mengirimkan segala unek-uneknya tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kepada para politisi partai lewat teknologi informasi. Berbagai stasiun televisi AS, berlomba membuka kran informasi dengan merancang aneka program yang memungkinkan masyarakat memberi masukan mengenai kebijakan pemerintah. Dipilihlah sejumlah topik bahasan seputar kehidupan sosial, ekonomi, dan politik setempat.
Euforia teledemokrasi kemudian merambah Inggris. Menurut Ian Angell, pakar teknologi informasi dari the London School of Economics, sejak teledemokrasi menjadi trend di AS, pembaca surat kabar dan pemirsa televisi di Inggris tergerak untuk urun rembuk tentang sejumlah isu hangat mengenai kebijakan pemerintah.
Berbekal teledemokrasi itu, para elite politik baik yang duduk di pemerintahan maupun Parpol, memperoleh umpan balik mengenai reaksi dari masyarakat mengenai suatu kebijakan. Elite kemudian menjadi terbiasa dengan perbedaan pendapat, tidak terjangkit "paranoid". Manfaat paling nyata dari teledemokrasi itu antara lain mengurangi mobilisasi massa dalam menyampaikan aspirasi atau opini politik, dan membuka debat publik yang rasional, kritis dan demokratis.
Di Indonesia gagasan teledemokrasi sudah mulai diterapkan, baik di media elektronik maupun media cetak. Di media elektronik, sejumlah program dialog demokrasi digelar oleh hampir seluruh stasiun televisi dengan mengundang berbagai narasumber dari berbagai disiplin ilmu, kalangan terpelajar dari perguruan tinggi dan masyarakat. Sedangkan di media cetak, teledemokrasi itu mewujud melalui jajak pendapat mengenai sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah, atau opini masyarakat mengenai "penyakit-penyakit" ekonomi, sosial, dan politik.
Reaksentuasi peran pers
Pers dalam konteks kita di sini merujuk pada media cetak. Harus diakui, dengan kekurangannya dari segi kecepatan tiba di tangan publik, media cetak toh tetap unggul dari banyak aspek. Berbeda dengan media elektronik yang relatif bersifat einmalig, media cetak bisa mengulas tuntas setiap soal dari berbagai sudut pandang (angle), dapat dipelajari berulang-ulang dan menjadi referensi permanen untuk berbagai keperluan di waktu mendatang.
Di tanah air, tonggak media massa (cetak terutama), menemukan magmanya kembali sejak diberlakukannya UU Pokok Pers yang baru yakni UU Nomor 40 Tahun 1999, menggantikan UU Nomor 21 Tahun 1982. Dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 yang disahkan pada 23 September 1999 itu, jaminan kebebasan betul-betul dihargai. Segala bentuk hegemoni kekuasaan dan negara yang lazim dalam era Orde Baru ditabukan. Tak heran ketika Mohamad Yunus Yosfia menjabat sebagai Menteri Penerangan di era pemerintahan Habibie, ribuan media massa lahir dan membanjiri pasar. Pers di tanah air betul-betul mengalami masa bulan madunya.
Hal yang sungguh menggembirakan dari UU Pokok Pers ini adalah perubahan paradigma dan filosofi tentang pers. Semasa Orde Baru pers Indonesia menganut paradigma "kebebasan pers yang bertanggung jawab", tetapi dengan Undang-Undang baru itu, paradigma itu diganti menjadi "kebebasan pers yang profesional". Profesionalisme mendapat aksentuasi dalam Undang-Undang ini. Paradigma baru ini sangat perlu guna mencegah pembenaran terhadap kebebasan pers yang sering salah kaprah. Hiruk-pikuknya berita sensasi, terutama eksploitasi seks dalam ragam berita dan tulisan porno didukung oleh lay out dan tampilan foto yang seronok dan vulgar, adalah contoh tentang apresiasi yang salah mengenai kebebasan pers sebagaimana disyaratkan dalam undang-undang baru itu.
Paradigma baru "kemerdekaan pers yang profesional", memberikan makna yang lebih hakiki dan mendorong pers untuk meningkatkan bobot kualitatif berdasarkan nilai-nilai profesional yang sangat diperlukan pada era globalisasi informasi. Kemerdekaan pers yang profesional menuntut segenap insan pers untuk membangun kualitas sumberdaya manusia, manajemen perusahaan pers yang profesional, kualitas pemberitaan yang mengacu pada prinsip cover-allside (tidak cukup lagi cover-bothside), serta kinerja yang didasarkan pada tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi. Dengan adanya tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai etika profesi, maka tanggung jawab pers nasional terhadap kualitas pemberitaannya bukan didasarkan atas keterpaksaan, tapi atas kesadaran pentingnya komitmen terhadap etika profesi serta nilai-nilai profesional yang harus diembannya.
Di suatu masyarakat terbuka yang demokratis, pers mempunyai peran yang sangat penting. Dia melaporkan semua hal. Mulai dari gejala kesenjangan sosial hingga sukses pertumbuhan. Ia ikut mencari jalan keluar, bukan sekadar mengecam dan mengkritik. Ia berperan menyampaikan fakta dan opini kepada masyarakat luas. Ia menjadi instrumen perluasan cakrawala, dinamisasi, dan daya kritik masyarakat.
Tetapi di era ini, seiring dengan berkembangnya gagasan teledemokrasi, pers Indonesia tak dapat tidak mesti mereaksentuasi kembali jati dirinya. Dia tidak bisa lagi hanya sekadar melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga dan terutama melukiskan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Selama ini, wartawan lebih dikesankan sebagai 'orang pertama' yang tiba di tempat kejadian suatu peristiwa. Dia kemudian, karena tekanan deadline, melaporkan apa adanya dari suatu peristiwa, tanpa banyak berikhtiar menyelam di dasar peristiwa itu. Jika predikat 'orang pertama' ini menjadi dominan, sudah tentu media cetak akan kalah cepat dari media elektronik yang bisa melaporkan langsung dari tempat kejadian.
Keunggulan media cetak justru terletak pada keleluasaannya menyelami hingga ke dasar peristiwa itu. Karena itulah, pendekatan terhadap fakta dan gaya tulisan mengungkap fakta itu mesti diperbaharui. Jika dicermati secara kritis tampilan media cetak belakangan ini, tampak betapa pola pendekatan dan gaya penyajian terhadap suatu fakta telah mengalami perkembangan berarti. Aksentuasi pada pola stright news dan hard news tetap penting sejauh itu bersifat informatif. Tetapi pola investigative news dan intepretative news adalah pilihan paling baik dan tepat membeberkan fakta secara tuntas dan dari berbagai sudut pandang.
Pola hard news terbatas karena di hadapan realitas yang kompleks misalnya, dia hanya mengatakan 'apa adanya', hanya mengatakan apa yang terjadi, tetapi tidak menjelaskan dan menerangkan apa sifat dan kaitan yang terdapat dalam realitas itu. Terhadap setiap realitas, media cetak harus kreatif dalam improvisasi memilih gaya tulisan. Ketika hard news tidak membawa dampak yang diharapkan, pendekatan mesti beralih ke interpretative reporting, sehingga suatu realitas dapat lebih dipahami konteks dan latar belakangnya. Kredo pada hard news yang berbunyi "fakta harus tetap dihormati" harus berani diganti dengan misalnya "fakta adalah suci, interpretasi adalah halal".
Manakala interpretative news dan investigative news masih juga belum membuahkan harapan yang ingin dicapai, maka pendekatan itu maju satu langkah lagi. Di sinilah lahir pendekatan opini. Ragam opini perlu ketika orang ingin juga memerlukan semacam judgement. Orang memerlukan 'susunan pengetahuan' yang dapat menjelaskan dan menerangkan apa sifat dan kaitan sebab akibat dalam setiap peristiwa yang terjadi.
Inilah aksentuasi yang mau tidak mau mesti diperhatikan media cetak di era teledemokrasi ini. Jika tidak diindahkan, agaknya publik akan beralih ke media elektronik.
Pos Kupang, 16 November 2001
Read More...
Pendidikan sebagai conditio per quam (In memoriam Pater Dr. Herman Embuiru, SVD)
Oleh : Tony Kleden *
SABTU, 15 September 2001, sekitar pukul 21.30 Wita, Pater Dr. Herman Embuiru, SVD menghembuskan nafas terakhir kalinya di Rumah Sakit Sta. Elisabeth Lela, Sikka. Berita itu sudah pasti mengejutkan. Komunitas Societas Verbi Divini (SVD) kehilangan seorang anggota yang termasuk peretas jalan panggilan imamat kalangan pribumi di NTT, bahkan di Indonesia. Keluarga juga kehilangan seorang figur kebanggaan. Tetapi ketokohan Pater Herman menyebabkan kehilangan itu tidak hanya dirasakan oleh Serikat SVD dan keluarga. Lebih dari itu, kehilangan itu juga dirasakan oleh begitu banyak orang di NTT, juga di luar NTT yang pernah mengenal, mengakrabi dan merasakan sentuhan tangan Pater Herman.
Ketika mendengar kabar kematian itu, tangan saya terasa dingin. Sontak saya membayangkan map biru di meja kerja di kantor yang berisi artikel opini yang diketik langsung di mesin tik oleh jari-jarinya. Saya teringat, setiap hari Jumat dua minggu sekali, mesti menyiapkan artikelnya untuk diturunkan secara teratur pada hari Sabtu. Sejak awal tualang Pos Kupang Desember 1992, Pater Herman telah ikut bergabung melalui tulisan-tulisannya. Uniknya, beliau menulis artikel itu untuk beberapa bulan ke depan.
Saya tidak termasuk orang yang pernah di bawah beliau. Tetapi dari tulisan-tulisannya, komentar-komentarnya di berbagai forum, kesempatan wawancara dengannya, rasa-rasanya hanya ada satu kata yang pas menggambarkan sosok Pater Herman, yakni disiplin. Di hampir semua tempat di mana saja beliau berkarya, disiplin diterjemahkannya menjadi kebajikan yang mesti diikhtiarkan, dikejar guna dimiliki oleh siapa saja yang ingin maju. Jalan yang dipilihnya meraih ikhtiar ini bagi kebanyakan orang dirasakan terlalu keras. Tak aneh, kalau kemudian banyak orang lebih mengidentikkan beliau dengan kekerasan.
Dengan kebajikan ini Pater Herman mengabdikan diri. Yang patut diangkat, seperti telah diberitakan harian ini Senin kemarin, adalah pengabdiannya di bidang pendidikan. Sejak meraih gelar Doktor dalam bidang misiologi di Universitas Gregoriana Roma tahun 1952, dunia pendidikan menjadi ladang kerjanya. Dari satu sekolah ke sekolah lainnya, Pater Herman beranjak membaktikan diri. Sosok ini sepertinya dilahirkan untuk menjadi pemimpin lembaga pendidikan, kepala sekolah atau rektor, pimpinan yayasan persekolahan dari tingkat dasar hingga lanjutan, Rektor Universitas, Ketua Akademi. Semua pengalaman ini menjadikan Pater Herman lebih pas disebut sebagai pedagog, ketimbang misiolog.
Pengabdiannya di bidang pendidikan ini diperaninya secara purna, total dan penuh tanggung jawab. Beliau lahir dan hidup pada masa yang sangat tepat, ketika negeri ini umumnya dan kawasan nusa tenggara khususnya, masih dalam taraf mencari bentuk pendidikan yang pas. Di tengah kemiskinan rakyat di mana pendidikan masih merupakan sesuatu yang mahal, Pater Herman coba mencari cela bagaimana ideal pendidikan itu dapat diterapkan. Jika boleh menafsir, maka menurut saya Pater Herman coba mentransformasikan pendidikan gaya seminari dengan tuntutan keadaan. Bisa diperiksa, tempat di mana beliau mengabdi, di situ yang paling pertama dilakukannya adalah menata lingkungan mulai dari bunga di taman hingga lapangan permainan.
Berdasarkan tradisinya, pendidikan seminari bisa ditempatkan dalam kerangka perkembangan pendidikan klasik di Eropa, yang diilhami oleh cita-cita renaisans, yang dalam metodenya menerapkan beberapa tradisi pendidikan Abad Pertengahan. Dalam arti itu, pendidikan seminari bercita-cita mengembangkan homo universalis, yang direfleksikan dalam istilah educare yang kemudian diambil alih ke dalam bahasa Inggris menjadi education. Dan, seminari kemudian dipandang sebagai locus educare atau tempat di mana tugas educare itu dilaksanakan.
Homo universalis itu adalah tipe ideal untuk pendidikan renaisans. Setiap orang mendapatkan kesempatan mengembangkan semua atau sebagian besar bakat yang ada di dalam dirinya. Semua bakat diusahakan untuk ditemukan dan diberi kesempatan untuk berkembang. Spesialisasi yang berlebihan sedapat mungkin dihindari. Dan, sangat kentara kalau Pater Herman sendiri adalah contoh homo universalis yang berhasil. Beliau sangat paham mengenai teologi, ahli di bidang misiologi, berbakat luar biasa di bidang pendidikan, tetapi juga piawai memainkan musik dan menyanyi serta jagoan di lapangan bola kaki.
Cita-cita pendidikan gaya renaisanse ini tercermin dalam istilah educare, yang merupakan bentuk yang disederhanakan dari ex-ducere, yang berarti menarik keluar segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri seseorang peserta didik. Semua bakat peserta didik oleh para pendidik (eductores) coba ditemukan dan ditarik keluar dari tempat persembunyiannya dalam kepribadian peserta didik, untuk kemudian disemaikan (untuk diingat, seminari artinya tempat persemaian) di sebuah tempat persemaian.
Style pendidikan inilah yang agaknya diadopsi oleh Pater Herman untuk dikembangkan. Kampus yang rindang, halaman yang penuh bunga, suasana yang hening sepi, lapangan permainan yang kondusif adalah ciri paling dominan dari taman pendidikan yang ditanganinya. Semuanya ini menjadi prasyarat guna meletakkan benih-benih bakat dan talenta peserta didik.
Latar belakang pendidikan, alam pemikirannya berikut kondisi sosial politik nasional semasa Orde Baru dan Orde Lama, turut menjadi daya dorong mengapa gaya pendidikan ini diadopsi. Tidak dipungkiri bahwa birokratisasi pendidikan yang dilakukan oleh Orde Baru menimbulkam berbagai kesulitan dalam pendidikan. Orde yang terkenal korup ini misalnya berhasil menginstrumentalisasikan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah atas cara sedemikian rupa, sehingga pendidikan dan pengajaran tidak lagi menjadi sarana untuk mengembangkan bakat-bakat peserta didik, tetapi sebaliknya justru menjadi alat bagi negara untuk mengontrol masyarakat dan warganya. Kreativitas dan daya cipta peserta didik dikebiri melalui sistem pendidikan. Soal ujian dalam bentuk pilihan ganda adalah contoh paling baik menjelaskan model pengebirian kreativitas dan daya pikir peserta didik.
Kontrol terhadap pendidikan itu dilakukan oleh birokrasi. Yang menentukan arah pendidikan bukan para guru dan pendidik, tetapi para birokrat pendidikan. Merekalah yang menentukan buku teks/pegangan, cara ujian, jam pelajaran, kurikulum dan isi pelajaran. Para guru dan pendidik bukan dilihat sebagai para profesional di bidang keahlian mereka, tetapi sebaliknya justru diperlakukan sebagai pegawai Departemen Pendidikan, yang hanya menunggu perintah dan petunjuk.
Style peserta didik model inilah yang kita temukan saat ini. Yang paling menonjol adalah kemampuan mekanis ini : menghafal dan bukannya memahami, mengulang dan bukannya menguraikan, mengikuti saja apa kata guru dan bukannya mencoba merumuskan dan menyatakan pendapat dan pikiran sendiri. Pendidikan model ini memperlakukan otak manusia seakan seperti disket atau kaset yang hanya merekam, dan bukannya alat berpikir.
Gaya dan style pendidikan ini coba ditransformasikan oleh Pater Herman. Situasi dan tuntutan keadaan bukannya diabaikan, tetapi sebaliknya diteliti untuk menemukan langgam yang pas guna menerapkannya. Tuntutan spesialisasi (ada sebuah lelucon bunyinya begini : spesialization is to know more and more about less and less = tahu makin banyak tentang apa yang makin sedikit) bukannya dijauhi, tetapi pendalaman bidang lain secara serius tetap menjadi penting. Standardisasi disiplin ilmu sebagai back ground tetap sangat penting, tetapi social intelligence sebagai back mind juga tidak kalah penting. Mental entrepreneurial akan menjadi lebih bermakna jika didukung oleh mental artistik dan bakat-bakat pribadi. Sejumlah anak didik Pater Herman yang kini malang melintang di berbagai sektor di dunia kerja bersaksi bahwa cara didik ala Pater Herman memberikan mereka kesempatan menemukan lebih banyak ruang untuk menentukan pilihan tanpa mesti stres.
Mengapa style pendidikan seperti ini yang coba diikhtiarkan Pater Herman? Arus global penyatuan umat manusia berikut segala implikasi praktisnya agaknya menjadi asumsinya. Di tengah arus besar globalisasi yang kuat dicirikan oleh industrialisasi, back ground dan back mind yang melatari penemuan dan penghayatan jati diri membuat orang tidak menjadi korban arus kemajuan. Industri hanya mungkin berjalan atas landasan standardisasi. Produksi massal mengandaikan konsumsi massal. Standardisasi produksi mengandaikan standardisasi selera dan gaya hidup. Akhir dari penyeragaman gaya hidup adalah homogenisasi kebudayaan. Nah, homogenisasi inilah yang saat ini terus menerpa pusat kesadaran kita dengan begitu banyak tawaran sebagaimana dijual melalui iklan televisi, majalah dan surat kabar. Kalau Herbert Marcuse berbicara tentang "one-dimensional man", maka globalisasi kebudayaan membawa kita ke arah "one-dimensional society". Kota Kupang telah dicanangkan sebagai kota budaya. Implikasi pencanangan ini sangat luas.
Ancaman besar inilah yang agaknya sangat disadari oleh Pater Herman. Maka, di dalam benaknya pengetahuan di sekolah tidak pernah boleh dilihat sebagai terminus ad quem, atau tujuan akhir yang harus dikejar, tetapi lebih merupakan conditio per quam, atau kondisi yang menyiapkan orang menghadapi hidup secara gentle. Terima kasih Pater Herman, titian yang benar telah kau tunjukkan.
Pos Kupang, 18 September 2001
Read More...