Oleh : Tony Kleden
----------------------------
DUA tahun lalu, NTT bertengger di urutan ke enam sebagai propinsi paling korup. Masuk akal karena begitu banyak uang untuk kebutuhan publik menguap. Sudah begitu, sangat jarang oknum-oknum penilep uang rakyat itu menghuni hotel pro deo.
Di kabupaten-kabupaten/kota di NTT, dana publik banyak sekali yang diselewengkan. Penyelewengan itu menyata dari begitu banyak kasus dugaan korupsi yang melibatkan para pejabat birokrat. Di Flores Timur, Romo Frans Amanue, Pr mengungkap dan melaporkan sembilan kasus dugaan korupsi yang diduga melibatkan Bupati Flores Timur (ketika itu), Felix Fernandez, S.H, CN. Tetapi apa lacur? Rohaniwan Katolik itu jadi tersangka dan disidangkan. Buntutnya, Larantuka, Ibu kota Flores Timur meledak dalam amuk massa, Sabtu 15 November 2003, ketika majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara dua bulan dengan masa percobaan lima bulan kepada Romo Frans Amanue. Gedung Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Larantuka dilempari massa dan dibakar.
Di Kota Kupang, Ir. Sarah Lery Mboeik menampilkan sosoknya sebagai perempuan ber-'energi krating daeng' yang tanpa lelah, tak jemu-jemu, terus ngotot mengungkap praktek dugaan korupsi yang diperankan para pejabat birokrat di tingkat propinsi dan Kota Kupang. Dalam kasus proyek pengadaan sarana kesehatan (sarkes) tahun 2002, dari sembilan tokoh publik yang telah ditetapkan sebagai tersangka, hanya satu orang saja yang dihukum. Delapan pejabat/pengusaha/politisi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, menyandang predikat 'tersangka' itu sampai saat ini.
Di Belu, Gabriel Fernandez dengan jiwa besar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Belu karena tak mau meneken kontrak kerja proyek pengadaan rumpon ikan yang dinilainya tidak benar. Belakangan terbukti Fernandez benar dalam sikapnya. Pengusaha rumpon ikan dihukum penjara, Bupati Belu dan Wakil Bupati diperiksa jaksa.
Di Sikka, Siflan Angi, anggota DPRD setempat didemo para PNS karena mempersoalkan kebijakan anggaran yang tidak pro rakyat. Ketika eksekutif mencoret pos anggaran askeskin, dana emergensi dan dana saving untuk jalan raya dan air minum yang telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif, Siflan meradang dan 'bernyanyi' di ruang Dewan. Tak ayal, para pejabat eksekutif yang hadir 'sesak nafas'. Ujung-ujungnya, para PNS mendatangi Dewan dan mendemo vokalis DPRD Sikka itu.
Di Timor Tengah Utara (TTU), Direktur Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) NTT, Victor Manbait, S.H, naik darah mendengar dan membaca berita kasus dugaan penyelewengan dana perbaikan gizi buruk balita dan gizi ibu hamil. Bukan dagelan murahan kalau dana perbaikan gizi senilai Rp 90 juta hanya untuk membeli 17 kg ikan teri kering dan 90 butir telur ayam.
Di Ruteng, Ibu kota Kabupaten Manggarai, tanah Manggarai basah oleh tetesan darah lima warga Manggarai, 10 Maret 2004. Nyawa para petani miskin itu meregang ditembus peluru polisi ketika mempersoalkan kebijakan pemerintah menebang kopi mereka.
Inilah sebagian data yang terang-benderang memperlihatkan betapa roda pemerintahan yang dijalankan para birokrat di negeri ini begitu rapuh, goyah dan lemah. Roh birokrasi sebagaimana dimaksudkan Max Weber ketika merancangnya melempem sangat jauh. Motto pelayan masyarakat nyatanya 'indah kabar dari rupa'. Korupsi dipertontonkan tanpa malu-malu. Benarlah, korupsi di negeri ini telah dibanalisasi. Tidak salah, wajah birokrasi di negeri ini telah jadi begitu bopeng.
Celakanya, praktek maksiat ini sangat sulit diterabas justru karena para pejabat sangat mudah membayar orang-orang yang bisa dikerahkan untuk melakukan kontra demo ketika ada perlawanan terhadap praktek busuk yang diperankannya. Tak aneh, praktek kekuasaan di negeri ini sangat kuat ditandai dengan kekerasan, politik uang dan korupsi.
Selain praktek korupsi yang telah berjamur, model, sistem dan praktek pelayanan publik juga sama jeleknya. Di banyak tempat di NTT, menunggu untuk mendapat selembar Kartu Tanda Penduduk (KTP) ibarat seorang 'gadis pingitan menunggu pinangan'. Katanya sudah komputerisasi. Nyatanya, setiap kali memperpanjang KTP urusannya mesti dari awal lagi. Di Kota Kupang, retribusi sampah ditagih setiap bulan. Tetapi pasukan pengangkut sampah hanya menyusuri jalan-jalan protokol dan di kompleks perkantoran serta rumah-rumah plat merah.
Urusan dengan pemerintah selalu dikeluhkan karena terlalu meletihkan dan menguras banyak energi. Hal-hal sepele jadi rumit dan ruwet. Yang gampang jadi begitu berbelit dan susah. Di kalangan pegawai pemerintah, semboyan yang kerap diusung adalah ini : kalau bisa dibikin susah, kenapa dibikin gampang? Paradigma, mental, dan etos kerja seperti inilah yang turut punya andil menghambat kemajuan di republik ini. Kapan majunya bangsa ini?
Praktek kejahatan dan buruknya pelayanan publik seperti ini seharusnya bisa memijar api kesadaran akan urgensi pembalikan paradigma tentang birokrasi, tentang pegawai negeri sipil, tentang posisi, tugas, fungsi dan peran yang harus dilakukan birokrat. Sudah terlalu lama kondisi ini terbiarkan, di-taken for granted-kan tanpa banyak kesadaran untuk membangun niat dan memilin kehendak baik untuk mengubahnya. Rakyat yang hidup dalam situasi dan kondisi terberi (given) seperti ini mestinya punya alasan untuk berontak, memberontaki praktek-praktek kepemerintahan yang tidak sesuai harapan.
Di luar negeri, terutama di negara-negara Barat yang telah maju demokrasinya, warganya hidup di tempat di mana teori dipraktekkan. Keteraturan nyata dalam hidup harian. Anjing nakal yang menggigit orang lain, tuannya didenda. Melanggar aturan lalu lintas yang 'kecil-kecilan' seperti menyerobot saat lampu merah, kecepatan di atas ambang batas, memarkir di area larangan parkir, pasti didenda. Penonton sepakbola yang memukul pemain ketika berlaga dipinalti tidak boleh menonton pertandingan sepakbola seumur hidup. Dan, hukuman itu bukan selesai di atas kertas. Tidak! Para pelanggar mendenda tanpa banyak protes. Jika protes, urusannya justru makin panjang dan risikonya tambah berat. Semua patuh pada aturan karena ada kesadaran dan ada hasrat untuk hidup secara tertib, aman, elegan dan tenang.
Kapan kita hidup di sebuah negeri di mana semua warganya sama berdaulat, sama tinggi harkatnya, duduk sama rendah berdiri sama tinggi di depan hukum? Kapan kita bisa hidup di negeri di mana teori nyata dalam praktek?
Ideal dan harapan ini bisa diwujudkan jika dan hanya jika ada reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi itu akan membalikkan paradigma birokrasi yang sekian lama berjalan pincang dan cacat. Dari birokrasi dengan episentrum pada pejabat dan perangkat-perangkatnya menuju birokrasi dengan pusat perhatian pada 'option pro' rakyat. Dari wajah birokrasi yang dilaburi nafsu memiliki menuju birokasi dengan pelayanan tulus para perangkatnya. Dari pegawai pemerintah yang memposisikan diri sebagai dewa langit yang ingin disembah, menuju pegawai pemerintah yang sadar diri akan hakikatnya sebagai servus servorum populi, abdi dari segala abdi.
Harapan ini sangat mengandaikan adanya sebuah produk undang-undang administrasi negara yang bisa menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menjamin keteraturan dalam hidup, serta mempercepat proses pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam birokrasi. Dalam konteks itulah, sangat penting negara ini segera memiliki UU Administrasi Pemerintahan. (tony kleden)
(Harian Pos Kupang Rabu 24 Oktober 2007)
Hidup di mana teori dipraktekkan
Jumat, 26 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar