Oleh : Tony Kleden
KEKERASAN terhadap wartawan kembali berulang. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kekerasan itu menimpa wartawan Harian Umum Pos Kupang, Obby Lewanmeru, yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Obby dianiaya oleh empat preman, Minggu, 17 Februari 2008 menjelang fajar.
Sontak saja, berita itu segera menasional dan menjadi buah bibir para jurnalis di Tanah Air. Protes paling keras dan nyaring, sudah tentu, datang dari para pegiat pers, insan pers, wartawan sendiri. Para pihak yang menaruh peduli pada pers juga sama, bereaksi.
Semuanya satu nada dasar : menyesal dan mengutuk. Menyesal karena tindakan itu diperlihatkan justru ketika kebebasan pers di negeri ini mulai mengaroma. Mengutuk karena aksi itu memperlihatkan betapa masih banyak orang yang menyelesaikan soal dengan cara-cara jalanan, tidak beradab dan irasional.
Aksi itu sepatutnya disesali dan dikutuk. Tetapi, pada galibnya aksi kekerasan itu sekaligus juga memperlihatkan betapa jurnalisme investigasi di negeri ini belum ada apa-apanya, masih terpuruk, jauh dari harapan dan belum punya tempat. Sebaliknya jurnalisme yang berkembang dan terus dikembangkan adalah 'jurnalisme fenomena' yang cenderung reaktif terhadap setiap fenomena sosial yang ada, dan belum cukup pada 'jurnalisme noumena', yang berani membongkar apa yang sesungguhnya terjadi dan ada di balik tirai.
Media dan para jurnalis kita (maaf) merasa sudah sangat puas jika mampu membuat para pembaca, pemirsa dan pendengar tertawa bahak-bahak, larut dalam duka nestapa para korban kekerasan. Banyak wartawan sudah bangga jika bisa melapor peristiwa on the spot -- yang belum tentu urgen dan penting untuk diketahui -- dan sanggup membuat pendengar, pemirsa dan pembaca berdecak kagum.
Dalam konteks Indonesia, sangat tangible kalau berita-berita yang dibeberkan masih lebih bersifat permukaan, datar dan belum jauh menukik ke dasar. Sangat jarang pers di negeri ini berhasil mengungkap kasus-kasus besar, membongkar misterinya, mengurai labirin masalahnya, dan mampu mempengaruhi suatu kebijakan penting dan strategis.
Banyak contoh dapat disebut betapa pers di negeri ini belum terlalu berhasil mempengaruhi para pengambil keputusan. Salah contoh yang telah klasik ialah korupsi di negeri ini. Selama tiga dasawarsa di bawah Soeharto, Indonesia morat-marit terbelenggu korupsi. Tetapi kondisi itu lebih sebatas 'katanya', 'konon.' Kasus-kasus KKN lebih sering terdengar, belum tersaji di halaman-halaman koran dan majalah. Kasus-kasus itu belum cukup kuat menarik keberanian dan membakar heroisme pers untuk mentransformasikannya ke dalam bahasa berita.
Memang, harus dipahami bahwa era Soeharto adalah era kegelapan bagi hampir semua piranti demokrasi, termasuk pers. Dijerat oleh regulasi yang mengekang, pers Indonesia terkerangkeng dalam ketakutan.
Alhasil, wartawan Indonesia adalah wartawan omong-omong, wartawan tukang kutip. Berita-berita yang tersaji, sebagai akibatnya, adalah berita omong-omong (talking news). News paper kemudian berubah rupa menjadi view paper, karena lebih banyak menyajikan persepsi, ketimbang memetakan realitas sosial. Seterusnya, fakta yang diberitakan adalah fakta yang telah terkonstruksikan, dan bukan fakta suci sebagaimana sudah terjadi.
In cassu Manggarai Barat, wartawan Pos Kupang, Obby Lewanmeru, coba mengambil jalan lain mengejawantahkan jati dirinya sebagai seorang wartawan sejati, wartawan yang punya kepekaan, yang sensitif terhadap realitas sosial yang ada di balik tirai. Dia coba mengungkap apa yang sudah menjadi agendanya dalam sebulan terakhir, yakni melacak kasus dugaan manipulasi proyek ubi aldira. Obby konsisten pada jalannya, setia pada pilihannya, tegas dalam sikapnya membongkar dugaan kasus itu. Harapannya jelas, semoga saja udang di balik itu bisa keluar.
Jalan, pilihan dan sikap yang diperlihatkan Obby semestinya menjadi proklamasi bagi kebangkitan 'jurnalisme noumena', yakni jurnalisme yang menyajikan fakta dalam dirinya sendiri, dan bukan fakta yang direproduksi atau direkonstruksikan kembali.
Di negeri dengan utang yang menggunung dan korupsi yang menggurita seperti ini, 'jurnalisme noumena' mesti perlu terus dihidupkan dan dikedepankan. Banyak kasus belum terbongkar. Banyak koruptor berwajah santo masih berkeliaran bebas. Pekerjaan 'menyenangkan orang susah dan menyusahkan orang senang' -- meminjam bahasanya wartawan Chicago yang humoris, Finley Peter Dunne -- ini mesti dilakoni setiap orang yang berani mengaku diri wartawan.
Inilah tantangan paling berat bagi panggilan wartawan di negeri ini saat ini. Panggilan wartawan adalah menulis. Setiap hari dia bergulat dengan kata. Kata menjadi persaksiannya. Bagi dia, kata adalah cerminan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kekuatan jika diasalkan dari kehidupan, pikir dan rasa. Seorang wartawan tidak punya apa pun selain kata untuk mengungkapkan isi kerohaniannya.
Kalau kata adalah persaksian seorang wartawan, maka bersama Sutardji Calzoum Bachri, setiap wartawan Indonesia boleh mendendangkan kidung ini, "Kita punya kata-kata, mereka punya tank, panser." *
Pos Kupang, Selasa 4 Maret 2008
KEKERASAN terhadap wartawan kembali berulang. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), kekerasan itu menimpa wartawan Harian Umum Pos Kupang, Obby Lewanmeru, yang bertugas di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Obby dianiaya oleh empat preman, Minggu, 17 Februari 2008 menjelang fajar.
Sontak saja, berita itu segera menasional dan menjadi buah bibir para jurnalis di Tanah Air. Protes paling keras dan nyaring, sudah tentu, datang dari para pegiat pers, insan pers, wartawan sendiri. Para pihak yang menaruh peduli pada pers juga sama, bereaksi.
Semuanya satu nada dasar : menyesal dan mengutuk. Menyesal karena tindakan itu diperlihatkan justru ketika kebebasan pers di negeri ini mulai mengaroma. Mengutuk karena aksi itu memperlihatkan betapa masih banyak orang yang menyelesaikan soal dengan cara-cara jalanan, tidak beradab dan irasional.
Aksi itu sepatutnya disesali dan dikutuk. Tetapi, pada galibnya aksi kekerasan itu sekaligus juga memperlihatkan betapa jurnalisme investigasi di negeri ini belum ada apa-apanya, masih terpuruk, jauh dari harapan dan belum punya tempat. Sebaliknya jurnalisme yang berkembang dan terus dikembangkan adalah 'jurnalisme fenomena' yang cenderung reaktif terhadap setiap fenomena sosial yang ada, dan belum cukup pada 'jurnalisme noumena', yang berani membongkar apa yang sesungguhnya terjadi dan ada di balik tirai.
Media dan para jurnalis kita (maaf) merasa sudah sangat puas jika mampu membuat para pembaca, pemirsa dan pendengar tertawa bahak-bahak, larut dalam duka nestapa para korban kekerasan. Banyak wartawan sudah bangga jika bisa melapor peristiwa on the spot -- yang belum tentu urgen dan penting untuk diketahui -- dan sanggup membuat pendengar, pemirsa dan pembaca berdecak kagum.
Dalam konteks Indonesia, sangat tangible kalau berita-berita yang dibeberkan masih lebih bersifat permukaan, datar dan belum jauh menukik ke dasar. Sangat jarang pers di negeri ini berhasil mengungkap kasus-kasus besar, membongkar misterinya, mengurai labirin masalahnya, dan mampu mempengaruhi suatu kebijakan penting dan strategis.
Banyak contoh dapat disebut betapa pers di negeri ini belum terlalu berhasil mempengaruhi para pengambil keputusan. Salah contoh yang telah klasik ialah korupsi di negeri ini. Selama tiga dasawarsa di bawah Soeharto, Indonesia morat-marit terbelenggu korupsi. Tetapi kondisi itu lebih sebatas 'katanya', 'konon.' Kasus-kasus KKN lebih sering terdengar, belum tersaji di halaman-halaman koran dan majalah. Kasus-kasus itu belum cukup kuat menarik keberanian dan membakar heroisme pers untuk mentransformasikannya ke dalam bahasa berita.
Memang, harus dipahami bahwa era Soeharto adalah era kegelapan bagi hampir semua piranti demokrasi, termasuk pers. Dijerat oleh regulasi yang mengekang, pers Indonesia terkerangkeng dalam ketakutan.
Alhasil, wartawan Indonesia adalah wartawan omong-omong, wartawan tukang kutip. Berita-berita yang tersaji, sebagai akibatnya, adalah berita omong-omong (talking news). News paper kemudian berubah rupa menjadi view paper, karena lebih banyak menyajikan persepsi, ketimbang memetakan realitas sosial. Seterusnya, fakta yang diberitakan adalah fakta yang telah terkonstruksikan, dan bukan fakta suci sebagaimana sudah terjadi.
In cassu Manggarai Barat, wartawan Pos Kupang, Obby Lewanmeru, coba mengambil jalan lain mengejawantahkan jati dirinya sebagai seorang wartawan sejati, wartawan yang punya kepekaan, yang sensitif terhadap realitas sosial yang ada di balik tirai. Dia coba mengungkap apa yang sudah menjadi agendanya dalam sebulan terakhir, yakni melacak kasus dugaan manipulasi proyek ubi aldira. Obby konsisten pada jalannya, setia pada pilihannya, tegas dalam sikapnya membongkar dugaan kasus itu. Harapannya jelas, semoga saja udang di balik itu bisa keluar.
Jalan, pilihan dan sikap yang diperlihatkan Obby semestinya menjadi proklamasi bagi kebangkitan 'jurnalisme noumena', yakni jurnalisme yang menyajikan fakta dalam dirinya sendiri, dan bukan fakta yang direproduksi atau direkonstruksikan kembali.
Di negeri dengan utang yang menggunung dan korupsi yang menggurita seperti ini, 'jurnalisme noumena' mesti perlu terus dihidupkan dan dikedepankan. Banyak kasus belum terbongkar. Banyak koruptor berwajah santo masih berkeliaran bebas. Pekerjaan 'menyenangkan orang susah dan menyusahkan orang senang' -- meminjam bahasanya wartawan Chicago yang humoris, Finley Peter Dunne -- ini mesti dilakoni setiap orang yang berani mengaku diri wartawan.
Inilah tantangan paling berat bagi panggilan wartawan di negeri ini saat ini. Panggilan wartawan adalah menulis. Setiap hari dia bergulat dengan kata. Kata menjadi persaksiannya. Bagi dia, kata adalah cerminan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kekuatan jika diasalkan dari kehidupan, pikir dan rasa. Seorang wartawan tidak punya apa pun selain kata untuk mengungkapkan isi kerohaniannya.
Kalau kata adalah persaksian seorang wartawan, maka bersama Sutardji Calzoum Bachri, setiap wartawan Indonesia boleh mendendangkan kidung ini, "Kita punya kata-kata, mereka punya tank, panser." *
Pos Kupang, Selasa 4 Maret 2008
0 komentar:
Posting Komentar